Pertanyaan:
Assalamu'alaikum ustadz, Saya mau bertanya tentang
hadits berikut ini. Dari Anas bin Malik, Rasulullah bersabda,
“Siapa yang shalat shubuh berjamaah kemudian duduk mengingat Allah hingga matahari terbit kemudian shalat sebanyak dua rakaat, maka untuknya pahala sebagaimana pahala haji dan umrah yang sempurna, sempurna dan sempurna” (HR Tirmidzi no 586, menurut al Albani, ‘sanadnya hasan’).
Apa nama sholat itu? dan apakah boleh langsung sholat pada saat/bersamaan dengan matahari terbit, mengingat ada hadits larangan berikut ini.
“Siapa yang shalat shubuh berjamaah kemudian duduk mengingat Allah hingga matahari terbit kemudian shalat sebanyak dua rakaat, maka untuknya pahala sebagaimana pahala haji dan umrah yang sempurna, sempurna dan sempurna” (HR Tirmidzi no 586, menurut al Albani, ‘sanadnya hasan’).
Apa nama sholat itu? dan apakah boleh langsung sholat pada saat/bersamaan dengan matahari terbit, mengingat ada hadits larangan berikut ini.
"Ada tiga waktu dimana Rasulullah SAW
melarang kita melakukan shalat atau menguburkan mayit, ketika matahari terbit
sehingga meninggi, ketika matahari tergelincir hingga matahari condong, dan
ketika matahari condong untuk terbenam." (HR. Muslim)
"Kerjakanlah Shalat Shubuh, kemudian
perpendeklah shalat hingga matahari terbit, sebab ia terbit di antara dua
tanduk setan, dan saat itu orang-orang kafir bersujud kepadanya....dst".
(HR Muslim).
Mohon penjelasan, (Abu Ammar) Jazakalloh
Mohon penjelasan, (Abu Ammar) Jazakalloh
Jawaban:
Wa ‘Alaikum Salam wa Rahmatullah wa Barakatuh.
Bismillah
walhamdulillah wash shalatu was salamu ‘ala rasulillah wa ‘ala aalihi wa
ashhabihi wa man waalah, wa ba’d:
Sdr Abu Ammar yang
dirahmati Allah ......
Shalat
yang dimaksud dalam hadits tersebut adalah shalat isyraq, yaitu shalat sesaat setelah matahari terbit, sebagai
awal dari shalat dhuha. Dia memiliki dalil dalam syariat serta punya keutamaan
istimewa. Ada beberapa riwayat yang menerangkan shalat Isyraq ini.
Dari Anas bin Malik Radhiallahu
‘Anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
من صلى الصبح في جماعة ثم قعد يذكر الله حتى تطلع الشمس ثم صلى ركعتين كانت له كأجر حجة وعمرة قال قال رسول الله صلى الله عليه وسلم :
تامة تامة تامة
“Barangsiapa yang shalat subuh berjamaah lalu dia duduk untuk
berdzikir kepada Allah hingga terbit matahari kemudian shalat dua rakaat
maka dia seperti mendapatkan pahala haji dan umrah.” Anas berkata: Rasulullah
bersabda: “Sempurna, sempurna, sempurna.” [1]
Dari Abu Umamah Radhiallahu
‘Anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
من صلى صلاة الغداة في جماعة ثم جلس يذكر الله حتى تطلع الشمس ثم قام فصلى ركعتين انقلب بأجر حجة وعمرة
“Barangsiapa yang shalat subuh berjamaah lalu kemudian dia duduk
untuk berdzikir kepada Allah hingga terbitnya matahari, kemudian dia bangun
mengerjakan shalat dua rakaat, maka dia mendapatkan pahala sebagaimana haji
dan umrah.” [2]
Dari Abdullah bin Ghabir, bahwa
Umamah dan ‘Utaibah bin Abd Radhiallahu ‘Anhuma mengatakan, bahwa
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
من صلى صلاة الصبح في جماعة ثم ثبت حتى يسبح لله سبحة الضحى كان له كأجر حاج ومعتمر تاما له حجه وعمرته
“Barangsiapa yang shalat subuh
secara berjamaah kemudian dia berdiam (berdzikir) sampai datang waktu dhuha,
maka dia akan mendapatkan ganjaran seperti haji dan umrah secara sempurna.” [3]
Tiga Hadits ini
menunjukkan shalat isyraq dilakukan bukan bertepatan matahari terbit, tetapi
dilakukan tidak lama setelah matahari terbit, karena lafazh hadits ini adalah
tsumma shalla rak’atain – kemudian shalat dua rakaat, dan tsumma qaama
fashalla rak’atain – kemudian dia bangun lalu shalat dua rakaat. Oleh
karenanya, riwayat ini sama sekali tidak bertentangan dengan hadits-hadits yang
melarang shalat ketika pas matahari terbit. Dipertegas lagi oleh hadits
yang ketiga, yang jelas-jelas menyebut dhuha, oleh karenanya shalat isyraq
pada hakikatnya adalah shalat dhuha yang diawalkan waktunya. Demikian pandangan
jumhur (mayoritas ulama).
Tersebut dalam kitab
para ulama:
أَنَّ صَلاَةَ
الضُّحَى وَصَلاَةَ الإْشْرَاقِ وَاحِدَةٌ إِذْ كُلُّهُمْ ذَكَرُوا وَقْتَهَا مِنْ
بَعْدِ الطُّلُوعِ إِلَى الزَّوَال وَلَمْ يَفْصِلُوا بَيْنَهُمَا .
وَقِيل : إِنَّ صَلاَةَ الإِْشْرَاقِ غَيْرُ صَلاَةِ الضُّحَى ،
وَعَلَيْهِ فَوَقْتُ صَلاَةِ الإْشْرَاقِ بَعْدَ طُلُوعِ الشَّمْسِ ، عِنْدَ
زَوَال وَقْتِ الْكَرَاهَةِ
Bahwasanya shalat
dhuha dan shalat isyraq adalah sama, semua mengatakan bahwa waktunya adalah
setelah terbitnya matahari sampai tergelincirnya, kedua shalat ini tidak
terpisahkan. Ada juga yang mengatakan:
sesungguhnya shalat isyraq bukanlah shalat dhuha, waktu pelaksanaannya adalah
setelah terbitnya matahari ketika tergelincirnya
waktu dibencinya shalat. (Tuhfatul
Muhtaj, 2/131, Al Qalyubi wal ‘Amirah, 1/412, Awjaza Al Masalik
Ila Muwaththa Malik, 3/124, Ihya ‘Ulumuddin, 1/203)
Demikianlah tiga
riwayat tentang disyariatkannya shalat Isyraq, yang memiliki
keutamaan mendapatkan pahala haji dan umrah secara sempurna. Namun, itu tidak
berarti menggugurkan kewajiban haji.
Sekian. Wa
Shallallahu ‘Ala Nabiyyna Muhammadin wa ‘Ala Aalihi wa Shahbihi ajmain.
Wallahu A’lam
[1] HR. At Tirmidzi
No. 586, katanya: hasan gharib. Al Baghawi dalam Syarhus Sunnah No. 710, Syaikh Al Albani menshahihkan dalam
Shahihul Jami’ No. 6346, sementara dalam Shahih At Targhib wat Tarhib
No. 464, beliau mengatakn hasan lighairih.
Syaikh Abul Hasan Al Mubarkafuri mengatakan:
وإنما حسن الترمذي
حديثه لشواهده، منها: حديث أبي أمامة عند الطبراني، قال المنذري في الترغيب،
والهيثمي في مجمع الزوائد (ج10: ص104) : إسناده جيد، ومنها: حديث أبي أمامة، وعتبة
بن عبد عند الطبراني أيضاً. قال المنذري: وبعض رواته مختلف فيه. قال: وللحديث
شواهد كثيرة-انتهى.
Sesungguhnya penghasanan At Tirmidzi terhadap
hadits ini karena banyaknya riwayat yang menjadi penguat (syawahid), di
antaranya hadits Umamah yang diriwayatkan Ath Thabarani, yang oleh Al Mundziri
dalam At Targhib dan Al Haitsami dalam Majma’ Az Zawaid (10/104)
dikatakan: “Isnadnya jayyid, di antaranya hadits Umamah dan ‘Utbah bin
Abd yang diriwayatkan Ath Thabarani juga. Al Mundziri mengatakan: “Sebagian
perawinya diperselisihkan.” Dia katakan: “Hadits ini memiliki banyak syawaahid
(saksi yang menguatkannya).” (Mir’ah Al Mafatih, 3/328)
[2] HR. Ath Thabarani, Al Mu’jam Al Kabir No. 7741, juga dalam Musnad Asy Syamiyyin No. 885.
Alauddin Al Muttaqi Al Hindi dalam Kanzul ‘Ummal No. 3542,
Imam Al Haitsami mengatakan: “Sanadnya Jayyid.” Lihat Majma’ Az Zawaid, 10,/134, No. 16938. Syaikh Al Albany mengatakan: “Hasan Shahih.”
Lihat Shahih At Targhib wat Tarhib, No hadits. 467.
[3]
HR. Ath Thabarani, Al Mu’jam Al Kabir No. 7663. Haditsnya ini memiliki banyak
penguat, oleh karena itu Syaikh al Albany mengatakan hadits ini hasan li
ghairih. Lihat Shahih At Targhib
wat Tarhib, No hadits. 469.
No comments:
Post a Comment