Pertanyaan:
Assalamu ‘Alaikum. Pak Ustadz, mohon info
apakah hadits riwayat Abu Daud dan Ibnu Majah tentang bolehnya sutrah shalat
hanya berupa garis (bukan benda) adalah shahih? Jazakallah (Bimarendra –
085217059xxx)
Jawaban:
Wa ‘Alaikum Salam wa Rahmatullah wa
Barakatuh. Bismillah wal hamdulillah wash Shalatu was Salamu ‘Ala Rasulillah wa
Ba’d:
Hadits tersebut adalah sebagai berikut ....
Dari Abu Hurairah Radhiallahu ‘Anhu, bahwa Nabi Shallallahu
‘Alaihi wa Sallam bersabda:
إذَا صَلَّى أَحَدُكُمْ فَلْيَجْعَلْ
تِلْقَاءَ وَجْهِهِ شَيْئًا ، فَإِنْ لَمْ يَجِدْ فَلْيَنْصِبْ عَصًا ، فَإِنْ
لَمْ يَكُنْ فَلْيَخُطَّ خَطًّا ثُمَّ لَا يَضُرُّهُ مَنْ مَرَّ بَيْنَ يَدَيْهِ
“Jika kalian shalat, maka hendaknya
meletakkan sesuatu di hadapannya, kalau tidak menemukan pembatas gunakanlah
tongkat, jika tidak ada maka buatlah garis, maka tidaklah merusakkan shalatnya
orang lewat di hadapannya itu.” (HR. Ibnu Majah No. 943, Abu Daud
No. 689, Ahmad No. 7386, Al Baihaqi dalam As Sunan Ash Shughra No. 950, lihat
juga Ma’rifatus Sunan wal Aatsar No. 1118, Al Humaidi dalam Musnadnya
No. 993. Al Baghawi dalam Syarhus Sunnah No. 541)
Sebelum kita mengetahui shahih, hasan, atau dhaifnya maka kita lihat dulu sanad hadits ini.
-
Riwayat
Imam Ibnu Majah: Bakr bin Khalaf Abu Bisyr, Humaid bin Al Aswad, Ismail bin
Umayyah, jalur lainnya: ‘Ammar bin Khaalid, Sufyan bin ‘Uyainah, Ismail bin ‘Umayyah, Abu Amru bin
Muhammad bin Amru bin Huraits, dari kakeknya Huraits bin Sulaim, dari
Abu Hurairah.
-
Riwayat
Imam Abu Daud: Musaddad, Bisyr bin Al Mufadhdhal, Ismail bin Umayyah, Abu
Amru bin Muhammad bin Huraits, dari kakeknya (Huraits), dari Abu
Hurairah.
-
Riwayat
Imam Ahmad: Abdullah, ayahnya, Sufyan bin ‘Uyainah, Ismail bin Umayyah, Abu
Muhammad bin Amru bin Huraits Al ‘Udzri, dia berkata sekali lagi, Abu
Amru bin Muhammad bin Huraits, dari kakeknya, dari Abu Hurairah.
-
Riwayat Imam Al Baihaqi: Abu Ali Ar
Rudzibaari, Abu Bakar bin Daasah, Abu Daud, Musaddad, Bisyr bin Al Mufadhdhal,
Ismail bin Umayyah, Abu Amru bin Muhammad bin Huraits, dari
kakeknya, dari Abu Hurairah.
-
Riwayat
Imam Al Humaidi: Sufyan bin ‘Uyainah, Ismail bin Umayyah, Abu Muhammad
bin Amru bin Huraits Al ‘Udzri,
dari kakeknya, dari Abu Hurairah.
Semua riwayat yang ada, selalu di dalamnya ada seseorang bernama Abu
Muhammad bin Amru bin Huraits, ada juga yang menyebut Abu Amru bin
Muhammad bin Huraits. Para muhadditsin memang berbeda dalam menyebutkan
namanya; mana yang benar? Abu Muhammad bin Amru atau Abu Amru bin Muhammad?
Imam Ibnul Mulqin bercerita:
وَقَالَ عَلّي بن الْمَدِينِيّ : قلت لِسُفْيَان : إِنَّهُم يَخْتَلِفُونَ
فِيهِ بَعضهم يَقُول : أَبُو عَمْرو بن مُحَمَّد ، وَبَعْضهمْ يَقُول : أَبُو مُحَمَّد
بن عَمْرو (فتفكَّر سُفْيَان سَاعَة ، ثمَّ قَالَ : مَا أحفظ إِلَّا أَبَا مُحَمَّد
بن عَمْرو . قلت لِسُفْيَان : وَابْن جريج يَقُول : أَبُو مُحَمَّد بن عَمْرو) فَسكت
سُفْيَان سَاعَة ، ثمَّ قَالَ : قدم هُنَا رجل بعد مَا مَاتَ إِسْمَاعِيل بن أُميَّة
، فَطلب هَذَا الشَّيْخ أَبَا مُحَمَّد حَتَّى وجده (فَسَأَلَهُ) عَنهُ فخلط عَلَيْهِ
Berkata Ali bin Al Madini: aku berkata kepada Sufyan (bin ‘Uyainah):
“Mereka memperselisihkan tentang orang ini, ada yang mengatakan: Abu Amru bin
Muhammad, sebagian lagi mengatakan: Abu Muhammad bin Amru.” Sufyan berfikir
sejenak, lalu dia berkata: “Yang aku hafal hanya Abu Muhammad bin Amru.” Aku
berkata kepada Sufyan: Ibnu Juraij berkata: “Abu Muhammad bin ‘Amru.” Lalu
Sufyan diam sesaat, lalu dia berkata: “Ada laki-laki yang datang ke sini
setelah wafatnya Ismail bin Umayyah, lalu Syaikh itu mencari Abu Muhammad
sampai dia menemukannya, lalu dia bertanya kepadanya tentangnya (Ismail bin
Umayyah) lalu dia berteman.” (Badrul Munir, 4/200-201)
Kalau kita lihat, maka Imam Sufyan bin Uyainah, juga Juraij, lebih
menguatkan nama orang itu adalah Abu Muhammad bin Amru bin Huraits. Sedangkan
Imam Ibnu Khuzaimah lebih menguatkan bahwa namanya adalah Abu Amri bin Muhammad
bin Huraits. Wallahu A’lam
Lalu siapakah Abu Muhammad bin Amru bin Huraits (atau Abu Amru bin Muhammad bin Huraits)
ini?
Beliau ditsiqahkan oleh Imam Ibnu
Hibban, dalam Ats Tsiqat (Juz. 4, Hal. 175). Dalam Al
Musnad Al Jami’ (39/345) Imam Ibnu Hibban juga menceritakan siapa Abu
Amr ini, yakn seorang Syaikh dari Madinah, dan Said Al Maqbari telah
meriwayatkan darinya, begitu pula anaknya,
Abu Amr sendiri meriwayatkan hadits dari kakeknya, Huraits bin ‘Imarah,
dari Abu Hurairah. Demikian dalam Al Musnad Al Jami’. Namun, Imam
Ibnu Hibban dikenal oleh para
muhadditsin sebagai imam yang mudah mentsiqahkan. Oleh karena itu
tidak cukup tautsiq darinya, tanpa pembanding yang lain.
Tetapi oleh Imam yang lain, Abu Muhammad
(atau Abu Amr) ini dianggap seorang rawi yang majhul (tidak
dikenal) sebagaimana menurut Imam Adz Dzahabi dan Abu Ja’far Ath Thahawi (Lisanul
Mizan, 3/275-276, Tahdzibut tahdzib,12/162), tepatnya majhul
(tidak dikenal biografinya) di generasi keenam (Taqribut Tahdzib,
2/441).
Ditambah lagi kakek Beliau pun juga disebut majhul oleh Imam Abu
Ja’far Ath Thahawi. (Imam Ibnu Abdil Bar, At Tamhid, 4/200)
Oleh karena itu sesuai kaidah, Jarh
Mufassar muqaddamun ‘ala Ta’dilil ‘am (kritikan terperinci harus diutamakan
dibandingkan pujian yang masih
global), maka kritikan terhadap Abu Muhammad (atau Abu Amr) ini harus
didahulukan dibanding pujiannya, apalagi yang mengkritik lebih banyak dibanding
yang memujinya.
Oleh karenanya segenap imam muhadditsin mendhaifkan hadits ini, di
antaranya:
-
Imam
Asy Syafi’i, Beliau nampak mendhaifkan hadits ini, sebagaimana perkataannya
berikut ini:
وَلَا يَخُطُّ الْمُصَلِّي بَيْنَ يَدَيْهِ
خَطًّا إلَّا أَنْ يَكُونَ فِي ذَلِكَ حَدِيثٌ ثَابِتٌ
“Orang yang shalat hendaknya
tidak membuat garis di hadapannya, kecuali jika dalam hal itu ada keterangannya
pada hadits yang kuat.” (Al Hafizh Ibnu Hajar, At Talkhish Al Habir,
1/681, juga Tahdzibut Tahdzib, 12/162)
-
Imam
Sufyan bin ‘Uyainah juga mengisyaratkan dhaifnya hadits ini. (Ibid)
Beliau berkata: “Kami tidak
menemukan sedikit pun yang bisa menguatkan hadits ini.” (Al Muharrar fil
Hadits, No. 283. Lihat juga Tuhfatul Asyraf, 9/314)
-
Imam
Malik berkata: tentang garis itu batil. (Al Mudawanah, 1/202)
-
Imam
Al Baghawi, katanya: pada isnadnya ada
kelemahan. (Syarhus Sunnah, 2/451)
-
Imam
Ahmad –menurut riwayat dari Ibnul Qasim- berkata: hadits tentang membuat garis
adalah dhaif. (Fathul Bari, 2/637)
Sebenarnya ada kesimpangsiuran tentang pendapat Imam Ahmad, oleh
karenanya Al Hafizh Ibnu Hajar berkata tentang Beliau:
وأحمد لم يعرف عنه التصريح بصحته ، إنما
مذهبه العمل بالخط ، وقد يكون اعتمد على الآثار الموقوفة لا على الحديث المرفوع
Dan Imam Ahmad, tidak diketahui darinya kejelasan tentang keshahihannya,
hanya saja madzhab Beliau mengamalkan hadits tentang garis, dengan berpegang
pada atsar yang mauquf (sampai sahabat saja) bukan berhujjah dengan
hadits yang marfu’ (sampai nabi). (Ibid)
-
Imam
Ad Daruquthni mengatakan: tidak shahih dan tidak kuat. (Tahdzibut Tahdzib,
12/162)
-
Imam
An Nawawi, mengatakan: lemah dan guncang (mudhtharib) . (Al Minhaj
Syarh Shahih Muslim, 4/217)
-
Imam
Ibnu Ash Shalah, Imam Al ‘Iraqi. (Tamamul Minnah, Hal. 301)
-
Syaikh
Al Albani, katanya: dhaif. (Tamamul
Minnah, Hal. 301, dan juga kitab-kitab lainnya)
-
Syaikh Syu’aib Al Arnauth berkata: isnadnya dhaif.
(Ta’liq Musnad Ahmad, 12/355)
-
Dan
lain-lain.
Demikianlah pihak yang mendhaifkan hadits ini.
Namun tidak sedikit ulama lain yang
menshahihkan hadits ini, di antaranya: Imam Ahmad dan Imam Ali Al Madini (At
Talkhish Al Habir, 1/681), dan
Imam Ibnu Hibban memasukkan dalam kitab Ats Tsiqaat (4/174, 7/398). Begitu pula Imam Ibnu
Khuzaimah memasukkannya dalam kitab Shahih-nya (Lihat No. 811)
Imam Ibnu Hajar Al ‘Asqalani menghasankan, Beliau mengatakan:
وَلَمْ يُصِبْ مَنْ زَعَمَ أَنَّهُ مُضْطَرِبٌ
, بَلْ هُوَ حَسَنٌ
Tidaklah benar pihak yang
menyangka hadits ini guncang, bahkan hadits ini hasan. (Bulughul Maram,
Hal. 78. Mawqi’ Al Mishkah)
Penghasanan Imam Ibnu Hajar ini diikuti oleh Syaikh Abdul Aziz bin
Abdullah bin Baaz, Syaikh Muhamamd bin Shalih Al ‘Utsaimin, dan lainnya.
Bukankah Imam Ibnu Hajar mengetahui bahwa Abu Muhammad bin Amru bin
Huraits (atau Abu Amru bin Muhammad bin Huraits) adalah majhul (tidak
diketahui identitasnya), sebagaimana di dalam kitab Beliau sendiri At
Tahdzib dan At Taqrib? Lalu, kenapa Beliau justru menghasankan
hadits ini?
Beliau beralasan bahwa hadits ini memiliki dua jalur dalam riwayat lain yang menguatkannya, yakni:
Pertama, hadits riwayat Ath Thabarani, dari Jalur Abu
Musa Al Asy’ari, dari Abu Harun Al ‘Abdi.
Kedua, yakni riwayat dari Said bin Jubeir. Kata Al Hafizh
Ibnu Hajar, rijal pada riwayat Said bin Jubeir ini tsiqat (kredibel).
Namun Asy Syafi’i mendhaifkannya, tetapi Asy Syafi’i justru menjadikannya hujjah,
sebagaimana tertera dalam Al Muktashar Al Kabir, karya Al Muzanni. (An
Nukat ‘Ala Ibnish Shalah, Juz. 2, Hal. 773-774. Mauqi’ Ruh Al Islam). Demikian
pembelaan Al Hafizh Ibnu Hajar terhadap hadits ini.
Namun, penghasanan Al Hafizh Ibnu Hajar
ini lemah, sebab kedua riwayat yang
dijadikan penguat itu juga bermasalah, yakni:
Pertama, hadits
riwayat Ath Thabarani, dari Jalur Abu Musa Al Asy’ari, dari Abu Harun Al
‘Abdi.
Siapakah Abu Harun Al ‘Abdi? Imam Al Jauzajaani berkata: Kadzdzaab
Muftar (pendusta lagi pembohong). (Al Ahwal Ar Rijaal,
Hal. 97, No. 142)
Imam Hammad bin Zaid juga mengatakan dia adalah pendusta. (Al Jarh
wat Ta’dil, 1/178)
Imam Abu Hatim dan Imam Abu Zur’ah mengatakan dhaif. (Ibid, 6/364)
Imam Yahya bin Sa’id Al Qaththan meninggalkan hadits Abu Harun. (Adh
Dhu’afa No. 295)
Imam Yahya bin Ma’in mengatakan: tidak bisa dipercaya. Imam Ahmad dan
Imam An Nasa’i mengatakan: matruk – ditinggalkan. (Adh Dhu’afa wal
Matrukin No. 2427)
Maka, jelaslah kelemahan riwayat ini bahkan dengan kelemahan yang cukup
parah karena salah satu perawinya ada yang disebut sebagai pendusta.
Kedua,
yaitu dari Khalid Al Hidza, dari Iyas bin Mu’awiyah, dari Sa’id bin Jubeir,
beliau berkata: .....
Nah, hadits ini bukanlah ucapan Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam
melainkan dari Sa’id bin Jubeir seorang generasi tabi’in. Maka, hadits ini
maqthu’ (terputus sanadnya), sehingga Imam Asy Syafi’i mendhaifkannya,
sebagaimana dikatakan Imam Al Baihaqi. Ini pun diketahui oleh Al Hafizh Ibnu
Hajar. (An Nukat ‘Ala Ibnish Shalah, 2/774)
Oleh karena itu, dua riwayat ini tidak bisa dijadikan syahid
(saksi yang menguatkan) hadits sutrah dengan membuat garis di atas.
Lalu, apakah karena hadits ini
dhaif lantas dilarang sutrah hanya
dengan garis saja? Atau dengan ujung sajadah saja? Insya Allah akan kami bahas
pada kesempatan lain, karena penanya hanya menanyakan tentang status haditsnya
saja.
Wallahu A’lam. Wa Shallallahu ‘Ala Nabiyyina Muhammadin wa ‘Ala Aalihi wa Shahbihi Ajmain.
No comments:
Post a Comment