Sunday, February 16, 2014

Hadits Tentang Sutrah (pembatas shalat) Cukup Sekedar Garis Saja Oleh: Farid Nu’man Hasan

Pertanyaan:

                Assalamu ‘Alaikum. Pak Ustadz, mohon info apakah hadits riwayat Abu Daud dan Ibnu Majah tentang bolehnya sutrah shalat hanya berupa garis (bukan benda) adalah shahih? Jazakallah (Bimarendra – 085217059xxx)

Jawaban:

                Wa ‘Alaikum Salam wa Rahmatullah wa Barakatuh. Bismillah wal hamdulillah wash Shalatu was Salamu ‘Ala Rasulillah wa Ba’d:

                Hadits tersebut adalah sebagai berikut ....

Dari Abu Hurairah Radhiallahu ‘Anhu, bahwa Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:

إذَا صَلَّى أَحَدُكُمْ فَلْيَجْعَلْ تِلْقَاءَ وَجْهِهِ شَيْئًا ، فَإِنْ لَمْ يَجِدْ فَلْيَنْصِبْ عَصًا ، فَإِنْ لَمْ يَكُنْ فَلْيَخُطَّ خَطًّا ثُمَّ لَا يَضُرُّهُ مَنْ مَرَّ بَيْنَ يَدَيْهِ
“Jika kalian shalat, maka hendaknya meletakkan sesuatu di hadapannya, kalau tidak menemukan pembatas gunakanlah tongkat, jika tidak ada maka buatlah garis, maka tidaklah merusakkan shalatnya orang lewat di hadapannya itu.”    (HR. Ibnu Majah No. 943, Abu Daud No. 689, Ahmad No. 7386, Al Baihaqi dalam As Sunan Ash Shughra No. 950, lihat juga Ma’rifatus Sunan wal Aatsar No. 1118, Al Humaidi dalam Musnadnya No. 993. Al Baghawi dalam Syarhus Sunnah No. 541)

Sebelum kita mengetahui shahih, hasan, atau dhaifnya maka  kita lihat dulu sanad hadits ini.

-          Riwayat Imam Ibnu Majah: Bakr bin Khalaf Abu Bisyr, Humaid bin Al Aswad, Ismail bin Umayyah, jalur lainnya: ‘Ammar bin Khaalid, Sufyan bin ‘Uyainah,  Ismail bin ‘Umayyah, Abu Amru bin Muhammad bin Amru bin Huraits, dari kakeknya Huraits bin Sulaim, dari Abu Hurairah. 

-          Riwayat Imam Abu Daud: Musaddad, Bisyr bin Al Mufadhdhal, Ismail bin Umayyah, Abu Amru bin Muhammad bin Huraits, dari kakeknya (Huraits), dari Abu Hurairah.

-          Riwayat Imam Ahmad: Abdullah, ayahnya, Sufyan bin ‘Uyainah, Ismail bin Umayyah, Abu Muhammad bin Amru bin Huraits Al ‘Udzri, dia berkata sekali lagi, Abu Amru bin Muhammad bin Huraits, dari kakeknya, dari Abu Hurairah.

-           Riwayat Imam Al Baihaqi: Abu Ali Ar Rudzibaari, Abu Bakar bin Daasah, Abu Daud, Musaddad, Bisyr bin Al Mufadhdhal, Ismail bin Umayyah, Abu Amru bin Muhammad bin Huraits, dari kakeknya, dari Abu Hurairah.

-          Riwayat Imam Al Humaidi: Sufyan bin ‘Uyainah, Ismail bin Umayyah, Abu Muhammad bin Amru bin Huraits Al ‘Udzri,  dari kakeknya, dari Abu Hurairah.


Semua riwayat yang ada, selalu di dalamnya ada seseorang bernama Abu Muhammad bin Amru bin Huraits, ada juga yang menyebut Abu Amru bin Muhammad bin Huraits. Para muhadditsin memang berbeda dalam menyebutkan namanya; mana yang benar? Abu Muhammad bin Amru atau Abu Amru bin Muhammad?

Imam Ibnul Mulqin bercerita:

 وَقَالَ عَلّي بن الْمَدِينِيّ : قلت لِسُفْيَان : إِنَّهُم يَخْتَلِفُونَ فِيهِ بَعضهم يَقُول : أَبُو عَمْرو بن مُحَمَّد ، وَبَعْضهمْ يَقُول : أَبُو مُحَمَّد بن عَمْرو (فتفكَّر سُفْيَان سَاعَة ، ثمَّ قَالَ : مَا أحفظ إِلَّا أَبَا مُحَمَّد بن عَمْرو . قلت لِسُفْيَان : وَابْن جريج يَقُول : أَبُو مُحَمَّد بن عَمْرو) فَسكت سُفْيَان سَاعَة ، ثمَّ قَالَ : قدم هُنَا رجل بعد مَا مَاتَ إِسْمَاعِيل بن أُميَّة ، فَطلب هَذَا الشَّيْخ أَبَا مُحَمَّد حَتَّى وجده (فَسَأَلَهُ) عَنهُ فخلط عَلَيْهِ

Berkata Ali bin Al Madini: aku berkata kepada Sufyan (bin ‘Uyainah): “Mereka memperselisihkan tentang orang ini, ada yang mengatakan: Abu Amru bin Muhammad, sebagian lagi mengatakan: Abu Muhammad bin Amru.” Sufyan berfikir sejenak, lalu dia berkata: “Yang aku hafal hanya Abu Muhammad bin Amru.” Aku berkata kepada Sufyan: Ibnu Juraij berkata: “Abu Muhammad bin ‘Amru.” Lalu Sufyan diam sesaat, lalu dia berkata: “Ada laki-laki yang datang ke sini setelah wafatnya Ismail bin Umayyah, lalu Syaikh itu mencari Abu Muhammad sampai dia menemukannya, lalu dia bertanya kepadanya tentangnya (Ismail bin Umayyah) lalu dia berteman.” (Badrul Munir, 4/200-201)

Kalau kita lihat, maka Imam Sufyan bin Uyainah, juga Juraij, lebih menguatkan nama orang itu adalah Abu Muhammad bin Amru bin Huraits. Sedangkan Imam Ibnu Khuzaimah lebih menguatkan bahwa namanya adalah Abu Amri bin Muhammad bin Huraits. Wallahu A’lam

Lalu siapakah Abu Muhammad bin Amru bin Huraits  (atau Abu Amru bin Muhammad bin Huraits) ini?

Beliau ditsiqahkan oleh Imam Ibnu Hibban, dalam Ats Tsiqat (Juz. 4, Hal. 175). Dalam Al Musnad Al Jami’ (39/345) Imam Ibnu Hibban juga menceritakan siapa Abu Amr ini, yakn seorang Syaikh dari Madinah, dan Said Al Maqbari telah meriwayatkan darinya, begitu pula anaknya,  Abu Amr sendiri meriwayatkan hadits dari kakeknya, Huraits bin ‘Imarah, dari Abu Hurairah. Demikian dalam Al Musnad Al Jami’. Namun, Imam Ibnu Hibban dikenal oleh para muhadditsin sebagai imam yang mudah mentsiqahkan. Oleh karena itu tidak cukup tautsiq darinya, tanpa pembanding yang lain.

Tetapi oleh Imam yang lain, Abu Muhammad (atau Abu Amr) ini dianggap seorang rawi yang majhul (tidak dikenal) sebagaimana menurut Imam Adz Dzahabi dan Abu Ja’far Ath Thahawi (Lisanul Mizan, 3/275-276, Tahdzibut tahdzib,12/162), tepatnya majhul (tidak dikenal biografinya) di generasi keenam (Taqribut Tahdzib, 2/441).    

Ditambah lagi kakek Beliau pun juga disebut majhul oleh Imam Abu Ja’far Ath Thahawi. (Imam Ibnu Abdil Bar, At Tamhid, 4/200)

Oleh karena itu sesuai kaidah, Jarh Mufassar muqaddamun ‘ala Ta’dilil ‘am (kritikan terperinci harus diutamakan dibandingkan pujian yang masih global), maka kritikan terhadap Abu Muhammad (atau Abu Amr) ini harus didahulukan dibanding pujiannya, apalagi yang mengkritik lebih banyak dibanding yang memujinya.

Oleh karenanya segenap imam muhadditsin mendhaifkan hadits ini, di antaranya:

-          Imam Asy Syafi’i, Beliau nampak mendhaifkan hadits ini, sebagaimana perkataannya berikut ini:

 وَلَا يَخُطُّ الْمُصَلِّي بَيْنَ يَدَيْهِ خَطًّا إلَّا أَنْ يَكُونَ فِي ذَلِكَ حَدِيثٌ ثَابِتٌ
 “Orang yang shalat hendaknya tidak membuat garis di hadapannya, kecuali jika dalam hal itu ada keterangannya pada hadits yang kuat.” (Al Hafizh Ibnu Hajar, At Talkhish Al Habir, 1/681, juga Tahdzibut Tahdzib, 12/162)

-          Imam Sufyan bin ‘Uyainah juga mengisyaratkan dhaifnya hadits ini. (Ibid)
Beliau berkata: “Kami tidak menemukan sedikit pun yang bisa menguatkan hadits ini.” (Al Muharrar fil Hadits, No. 283. Lihat juga Tuhfatul Asyraf, 9/314)

-          Imam Malik berkata: tentang garis itu batil. (Al Mudawanah, 1/202)
-          Imam Al Baghawi, katanya:  pada isnadnya ada kelemahan. (Syarhus Sunnah, 2/451)
-          Imam Ahmad –menurut riwayat dari Ibnul Qasim- berkata: hadits tentang membuat garis adalah dhaif. (Fathul Bari, 2/637)

Sebenarnya ada kesimpangsiuran tentang pendapat Imam Ahmad, oleh karenanya Al Hafizh Ibnu Hajar berkata tentang Beliau:

وأحمد لم يعرف عنه التصريح بصحته ، إنما مذهبه العمل بالخط ، وقد يكون اعتمد على الآثار الموقوفة لا على الحديث المرفوع
Dan Imam Ahmad, tidak diketahui darinya kejelasan tentang keshahihannya, hanya saja madzhab Beliau mengamalkan hadits tentang garis, dengan berpegang pada atsar yang mauquf (sampai sahabat saja) bukan berhujjah dengan hadits yang marfu’ (sampai nabi). (Ibid)

-          Imam Ad Daruquthni mengatakan: tidak shahih dan tidak kuat. (Tahdzibut Tahdzib, 12/162)
-          Imam An Nawawi, mengatakan: lemah dan guncang (mudhtharib) . (Al Minhaj Syarh Shahih Muslim, 4/217)
-          Imam Ibnu Ash Shalah, Imam Al ‘Iraqi. (Tamamul Minnah, Hal. 301)
-          Syaikh Al Albani, katanya:  dhaif. (Tamamul Minnah, Hal. 301, dan juga kitab-kitab lainnya)
-           Syaikh Syu’aib Al Arnauth berkata: isnadnya dhaif. (Ta’liq Musnad Ahmad, 12/355)
-          Dan lain-lain.

Demikianlah pihak yang mendhaifkan hadits ini.

Namun tidak sedikit ulama lain  yang menshahihkan hadits ini, di antaranya: Imam Ahmad dan Imam Ali Al Madini (At Talkhish Al Habir, 1/681),  dan Imam Ibnu Hibban memasukkan dalam kitab Ats Tsiqaat  (4/174, 7/398). Begitu pula Imam Ibnu Khuzaimah memasukkannya dalam kitab Shahih-nya (Lihat No. 811)

Imam Ibnu Hajar Al ‘Asqalani menghasankan, Beliau mengatakan:

وَلَمْ يُصِبْ مَنْ زَعَمَ أَنَّهُ مُضْطَرِبٌ , بَلْ هُوَ حَسَنٌ
Tidaklah  benar pihak yang menyangka hadits ini guncang, bahkan hadits ini hasan. (Bulughul Maram, Hal. 78. Mawqi’ Al Mishkah)

Penghasanan Imam Ibnu Hajar ini diikuti oleh Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baaz, Syaikh Muhamamd bin Shalih Al ‘Utsaimin, dan lainnya.

Bukankah Imam Ibnu Hajar mengetahui bahwa Abu Muhammad bin Amru bin Huraits (atau Abu Amru bin Muhammad bin Huraits) adalah majhul (tidak diketahui identitasnya), sebagaimana di dalam kitab Beliau sendiri At Tahdzib dan At Taqrib? Lalu, kenapa Beliau justru menghasankan hadits ini?

Beliau   beralasan bahwa hadits ini memiliki   dua jalur dalam riwayat lain yang menguatkannya, yakni:
Pertama, hadits riwayat Ath Thabarani, dari Jalur Abu Musa Al Asy’ari, dari Abu Harun Al ‘Abdi.

Kedua, yakni riwayat dari Said bin Jubeir. Kata Al Hafizh Ibnu Hajar, rijal pada riwayat Said bin Jubeir ini tsiqat (kredibel). Namun Asy Syafi’i mendhaifkannya, tetapi  Asy Syafi’i justru menjadikannya hujjah, sebagaimana tertera dalam Al Muktashar Al Kabir, karya Al Muzanni. (An Nukat ‘Ala Ibnish Shalah, Juz. 2, Hal. 773-774. Mauqi’ Ruh Al Islam). Demikian pembelaan Al Hafizh Ibnu Hajar terhadap hadits ini.

Namun, penghasanan Al Hafizh Ibnu Hajar ini lemah, sebab kedua riwayat  yang dijadikan penguat itu juga bermasalah, yakni:

Pertama, hadits riwayat Ath Thabarani, dari Jalur Abu Musa Al Asy’ari, dari Abu Harun Al ‘Abdi.

 Siapakah  Abu Harun Al ‘Abdi? Imam Al Jauzajaani berkata: Kadzdzaab Muftar  (pendusta  lagi pembohong). (Al Ahwal Ar Rijaal, Hal. 97, No. 142)   

Imam Hammad bin Zaid juga mengatakan dia adalah pendusta. (Al Jarh wat Ta’dil, 1/178)
Imam Abu Hatim dan Imam Abu Zur’ah mengatakan dhaif.  (Ibid, 6/364)
Imam Yahya bin Sa’id Al Qaththan meninggalkan hadits Abu Harun. (Adh Dhu’afa No. 295)
Imam Yahya bin Ma’in mengatakan: tidak bisa dipercaya. Imam Ahmad dan Imam An Nasa’i mengatakan: matruk – ditinggalkan. (Adh Dhu’afa wal Matrukin No. 2427)

Maka, jelaslah kelemahan riwayat ini bahkan dengan kelemahan yang cukup parah karena salah satu perawinya ada yang disebut sebagai pendusta.

Kedua, yaitu dari Khalid Al Hidza, dari Iyas bin Mu’awiyah, dari Sa’id bin Jubeir, beliau berkata:  .....

Nah, hadits ini bukanlah ucapan Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam melainkan dari Sa’id bin Jubeir seorang generasi tabi’in. Maka, hadits ini maqthu’ (terputus sanadnya), sehingga Imam Asy Syafi’i mendhaifkannya, sebagaimana dikatakan Imam Al Baihaqi. Ini pun diketahui oleh Al Hafizh Ibnu Hajar. (An Nukat ‘Ala Ibnish Shalah, 2/774)

Oleh karena itu, dua riwayat ini tidak bisa dijadikan syahid (saksi yang menguatkan) hadits sutrah dengan membuat garis di atas.

Lalu,  apakah karena hadits ini dhaif lantas  dilarang sutrah hanya dengan garis saja? Atau dengan ujung sajadah saja? Insya Allah akan kami bahas pada kesempatan lain, karena penanya hanya menanyakan tentang status haditsnya saja.

                Wallahu A’lam. Wa Shallallahu ‘Ala Nabiyyina Muhammadin wa ‘Ala Aalihi wa Shahbihi  Ajmain.




No comments:

Post a Comment