Secara umum, sikap Ahlus Sunnah wal Jama’ah terhadap
nama-nama Allah dan sifat-saifatNya, terbagi atas tiga bagian, yakni tatsbit
(menetapkan apa adanya sesuai zhahir nash), tafwidh (menyerahkan
maknanya kepada Allah Ta’ala), dan ta’wil (memberikan maknanya). Bukan tahrif
(menyimpangkan/merubah), ta’thil (menafikan/mengingkari), dan tasybih
(menyerupakan dengan makhluk).
Dalam Fathul Bari , Al
Imam Ibnu Hajar mengutip ucapan Ibnul Munayyar sebagai berikut:
وَلِأَهْلِ الْكَلَام
فِي هَذِهِ الصِّفَات كَالْعَيْنِ وَالْوَجْه وَالْيَد ثَلَاثَة أَقْوَال : أَحَدهَا
أَنَّهَا صِفَات ذَات أَثْبَتَهَا السَّمْع وَلَا يَهْتَدِي إِلَيْهَا الْعَقْل ، وَالثَّانِي
أَنَّ الْعَيْن كِنَايَة عَنْ صِفَة الْبَصَر ، وَالْيَد كِنَايَة عَنْ صِفَة الْقُدْرَة
، وَالْوَجْه كِنَايَة عَنْ صِفَة الْوُجُود ، وَالثَّالِث إِمْرَارهَا عَلَى مَا جَاءَتْ
مُفَوَّضًا مَعْنَاهَا إِلَى اللَّه تَعَالَى
Bagi Ahli kalam, tentang sifat-sifat
ini seperti ‘mata’, ‘wajah’, ‘tangan’, terdapat tiga pendapat:
Pertama, sifat-sifat Allah adalah dzat yang
ditetapkan oleh pendengaran (wahyu) dan tidak mampu bagi akal untuk
mengetahuinya.
Kedua, bahwa ‘mata’ adalah kinayah
(kiasan) bagi penglihatan, ‘tangan’ adalah kinayah dari kekuatan, dan ‘wajah’
adalah kinayah dari sifat wujud.
Ketiga, melewatinya sebagaimana datangnya,
dan menyerahkan (mufawwadha) maknanya kepada Allah Ta’ala. (Fathul
Bari, 20/484)
Apa yang
dikatakan Al Hafizh Ibnu Hajar ini, menunjukkan bahwa pada masa lalu, para
ulama memaknai sifat-sifat Allah Ta’ala menjadi tiga metode: Pertama, tatsbit.
Kedua, ta’wil. Ketiga, tafwidh. Namun, di
antara tiga metode ini, ta’wil adalah metode yang paling jarang mereka
lakukan, karena kehati-hatian kaum salaf pada saat itu.
Namun,
sebagian kalangan mengklaim bahwa sikap Ahlus Sunnah yakni Salafus Shalih
hanya satu yakni tatsbit (menetapkan apa adanya sesuai zhahir nash). Ada
pula yang mengatakan bahwa salaf itu melakukan tafwidh, dan ini
masyhur kata mereka. Ada pula yang mengatakan kaum salaf itu melakukan ta’wil,
dan mereka punya bukti dan contoh dari para sahabat untuk itu. Dan
masing-masing mereka membela pemahamannya, sambil menyerang yang lainnya,
bahkan sampai taraf tafsiq (saling memfasikan) dan takfir (saling
mengkafirkan). Mereka saling mengeluarkan yang lain telah keluar dari madzhab
Ahlus Sunnah.
Kelompok
tatsbit, menganggap para pelaku ta’wil telah melakukan bid’ah,
dan mereka menjulukinya dengan kaum Asy’ariyah. Sementara, para pelaku ta’wil
menganggap bahwa pihak tatsbit telah
menganggap Allah Ta’ala serupa dengan makhluk (tasybih) dan
memiliki jasad (tajsim) karena menetapkan (itsbat) bahwa Allah
Ta’ala memiliki kaki, tangan, wajah, dan bersemayam. Sebab, ini semua layak
disandarkan kepada makhluk, bukan khaliq. Lalu –lucunya- keduanya sama-sama
mengklaim memiliki sandaran dari para
salaf.
Padahal apa yang mereka pahami semua,
sama-sama memiliki dasar dari para salafush shalih, serta memiliki
tujuan mulia, yakni menghindari dan melindungi kesucian sifat-sifatNya
dari pemahaman menyimpang orang-orang awam, setelah Islam menyebar ke
berbagai penjuru dunia yang tidak berbahasa Arab. Perbedaan mereka
seharusnya tidaklah mencolok, tidak
dibenarkan untuk saling mengkafirkan,
sebagaimana yang dikatakan oleh Imam Ibnu Taimiyah, Imam As Syathibi,
Imam Al Laqqani dan Imam Hasan Al Banna Rahimahumullah.
Imam Ibnu Taimiyah Rahimahullah
mengomentari fenomena saling mengkafirkan dan memfasikkan ini dengan mengatakan:
هَذَا مَعَ أَنِّي دَائِمًا وَمَنْ جَالَسَنِي يَعْلَمُ ذَلِكَ مِنِّي : أَنِّي
مِنْ أَعْظَمِ النَّاسِ نَهْيًا عَنْ أَنْ يُنْسَبَ مُعَيَّنٌ إلَى تَكْفِيرٍ وَتَفْسِيقٍ
وَمَعْصِيَةٍ ، إلَّا إذَا عُلِمَ أَنَّهُ قَدْ قَامَتْ عَلَيْهِ الْحُجَّةُ الرسالية
الَّتِي مَنْ خَالَفَهَا كَانَ كَافِرًا تَارَةً وَفَاسِقًا أُخْرَى وَعَاصِيًا أُخْرَى
وَإِنِّي أُقَرِّرُ أَنَّ اللَّهَ قَدْ غَفَرَ لِهَذِهِ الْأُمَّةِ خَطَأَهَا : وَذَلِكَ
يَعُمُّ الْخَطَأَ فِي الْمَسَائِلِ الْخَبَرِيَّةِ الْقَوْلِيَّةِ وَالْمَسَائِلِ
الْعَمَلِيَّةِ . وَمَا زَالَ السَّلَفُ يَتَنَازَعُونَ فِي كَثِيرٍ مِنْ هَذِهِ الْمَسَائِلِ
وَلَمْ يَشْهَدْ أَحَدٌ مِنْهُمْ عَلَى أَحَدٍ لَا بِكُفْرِ وَلَا بِفِسْقِ وَلَا مَعْصِيَةٍ
“Ini adalah selalu menjadi pendapat
saya, dan orang yang bermajelis dengan saya pasti tahu itu: Sesungguhnya saya
adalah termasuk manusia yang paling keras melarang untuk menyandarkan seseorang
secara spesifik kepada hukum kafir, fasik, dan maksiat, kecuali jika telah
diketahui bahwa dia telah diberikan hujjah Islam yang siapa pun berselisih
dengannya maka dia kafir, fasik, dan telah bermaksiat. Aku tekankan,
sesungguhnya Allah telah mengampuni kesalahan umat ini: yang demikian itu
kesalahan secara umum, baik itu permasalahan khabariyah (sifat-sifat Allah, pen),
ucapan, atau perbuatan. Para salaf senantiasa berselisih dalam banyak
permasalahan ini. Namun tidaklah menyaksikan mereka terhadap yang lainnya
saling mengkafirkan, memfasikan dan menyebut telah berbuat maksiat.” (Imam
Ibnu Taimiyah, Majmu’ Fatawa, 1/258)
Imam Al Laqqani Rahimahullah mengatakan, sebagaimana dikutip oleh
Imam Al Alusi:
قال اللقاني : أجمع الخلف
ويعبر عنهم بالمؤولة والسلف ويعبر عنهم بالمفوضة على تنزيهه تعالى عن المعنى
المحال الذي دل عليه الظاهر وعلى تأويله وإخراجه عن ظاهره المحال وعلى الإيمان به بأنه
من عند الله تعالى جاء به رسول الله صلى الله عليه وسلم وإنما اختلفوا في تعيين محمل
له معنى صحيح وعدم تعيينه بنا
“Al
Laqqani berkata, “Kaum khalaf -sering disebut orang-orang yang
melakukan takwil- dan kaum salaf- sering disebut sebagai orang yang
melakukan tafwidh- telah sepakat untuk mensucikan Allah dari lafaz literal (tekstual) yang
mustahil bagi Allah, menakwil dan mengeluarkan dari lafaz literal yang
mustahil, serta mengimani bahwa hal itu adalah dari Allah yang diturunkan
kepada Rasulullah. Mereka hanya berbeda dalam menentukan atau tidak menentukan
mana yang benar. “ (Ruhul Ma’ani, 12/103)
Al Ustadz Hasan Al Banna Rahimahullah
juga mengatakan seperti yang dikatakan Imam Ibnu Taimiyah, sebagai berikut:
ونعتقد إلى جانب هذا أن تأويلات الخلف لا توجب الحكم عليهم بكفر ولا فسوق
، ولا تستدعي هذا النزاع الطويل بينهم وبين غيرهم قديما وحديثا ، وصدر الإسلام
أوسع من هذا كله .
وقد لجأ أشد الناس تمسكا برأي السلف ، رضوان الله عليهم ، إلى التأويل في
عدة مواطن ، وهو الإمام أحمد بن حنبل رضي الله عنه ، من ذلك تأويله لحديث : (الحجر
الأسود يمين الله في أرضه) وقوله صلى الله عليه وسلم :(قلب المؤمن بين إصبعين من
أصابع الرحمن) وقوله صلى الله عليه وسلم : (إني لأجد نفس الرحمن من جانب اليمن) .
“Bersamaan ini, kami juga meyakini bawah ta’wil – ta’wil
kaum khalaf tidaklah mengharuskan jatuhnya hukum kafir dan fasik kepada mereka,
dan jangan sampai terjadi pertentangan berkepanjangan di antara mereka dan
selain mereka, baik yang terdahulu dan sekarang, dada Islam lebih luas dari itu
semua.
Orang
yang paling kuat dalam memegang pendapat salaf –semoga Allah meridhai mereka-
pun telah melakukan ta’wil pada beberapa tempat, dia adalah Imam Ahmad
bin Hambal Radhiallahu ‘Anhu. DI antaranya adalah ta’wilnya terhadap
hadts: “Hajar Aswad adalah Tangan Kanan Allah di muka bumi.” Dan hadits
lainnya: “Hati seorang mu’min berada di antara dua jari dari jari-jari Ar
Rahman.” Dan hadits: “Sesungguhnya saya mendapatkan Zat Ar Rahman dari
arah Yaman.” (Al Imam Asy Syahid Hasan Al Banna, Majmu’ah Ar Rasail,
Hal. 368. Al Maktabah At Tafiqiyah)
Sikap pertama: Tatsbit (menetapkan apa adanya sesuai
zhahir nash)
Berkata
Al Ustadz Hasan Al Banna Rahimahullah:
أما السلف رضوان الله عليهم فقالوا: نؤمن بهذه
الآيات والأحاديث كما وردت ، ونترك بيان المقصود منها لله تبارك وتعالى , فهم
يثبتون اليد والعين والأعين والاستواء والضحك والتعجب... الخ , وكل ذلك بمعانٍ لا
ندركها , ونترك لله تبارك وتعالى الإحاطة بعلمها , ولاسيما و قد نهينا عن ذلك في
قول النبي صلى الله عليه وسلم : (تفكروا في خلق الله , و لا تتفكروا في الله ,
فإنكم لن تقدروا قدره ) .
“Ada pun salaf –semoga Allah
meridhai mereka semua – mengatakan: Kami mengimani ayat-ayat dan hadits-hadits
ini sebagaimana datangnya, dan kami membiarkan maksud penjelasannya kepada Allah Tabaraka wa Ta’ala, mereka itsbat
(menetapkan) tangan, mata, bersemayam , tertawa, dan takjub .. dan seterusnya,
dan semua ini dengan makna-makan yang kami tidak mampu mencapainya, dan kami
serahkan kepada Allah Tabaraka wa Ta’ala
tentang cakupkan pengertianNya, dan apalagi kami telah dilarang dalam hal ini
sebagaimana sabda Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam: Berpikirlah
tentang ciptaan Allah, jangan kalian berpikir tentang zat Allah, sesungguhnya
kalian tidak akan mampu menjangkaunya.” (Al Imam Asy Syahid Hasan Al Banna, Majmu’ah
Ar Rasail, Hal. 362. Al Maktabah At Taufiqiyah)
Syaikh
Hasan Al Banna memberikan informasi kepada kita bahwa sikap salaf terhadap ayat
dan hadits-hadits yang berbicara sifat-sifat Allah Ta’ala, adalah tatsbit
yakni menetapkan maknanya apa adanya sesuai sebagaimana datangnya ayat. Hal ini
juga ditetapkan oleh Imam lainnya.
Imam
Ibnu Taimiyah mengutip dari Imam Al Baihaqi Rahimahullah sebagai
berikut:
أَمَّا الْمُتَقَدِّمُونَ
مِنْ هَذِهِ الْأَمَةِ فَإِنَّهُمْ لَمْ يُفَسِّرُوا مَا كَتَبْنَا مِنْ الْآيَاتِ
وَالْأَخْبَارِ فِي هَذَا الْبَابِ ؛ وَكَذَلِكَ قَالَ فِي " الِاسْتِوَاءِ عَلَى
الْعَرْشِ " وَسَائِرِ الصِّفَاتِ الْخَبَرِيَّةِ ؛ مَعَ أَنَّهُ يَحْكِي قَوْلَ
بَعْضِ الْمُتَأَخِّرِينَ . وَقَالَ الْقَاضِي أَبُو يَعْلَى فِي كِتَابِ " إبْطَالِ
التَّأْوِيلِ " لَا يَجُوزُ رَدُّ هَذِهِ الْأَخْبَارِ وَلَا التَّشَاغُلُ بِتَأْوِيلِهَا
وَالْوَاجِبُ حَمْلُهَا عَلَى ظَاهِرِهَا وَأَنَّهَا صِفَاتُ اللَّهِ لَا تُشْبِهُ
صِفَاتِ سَائِرِ الْمَوْصُوفِينَ بِهَا مِنْ الْخَلْقِ ؛ وَلَا يَعْتَقِدُ التَّشْبِيهَ
فِيهَا ؛ لَكِنْ عَلَى مَا رُوِيَ عَنْ الْإِمَامِ أَحْمَد وَسَائِرِ الْأَئِمَّةِ
. وَذَكَرَ بَعْضَ كَلَامِ الزُّهْرِيِّ وَمَكْحُولٍ وَمَالِكٍ وَالثَّوْرِيِّ والأوزاعي
وَاللَّيْثِ وَحَمَّادِ بْنِ زَيْدٍ وَحَمَّادِ بْنِ سَلَمَةَ وَسُفْيَانَ بْنِ عيينة
والفضيل بْنِ عِيَاضٍ وَوَكِيعٍ وَعَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ مَهْدِيٍّ وَالْأُسُودِ
بْنِ سَالِمٍ وَإِسْحَاقَ بْنِ راهويه وَأَبِي عُبَيْدٍ وَمُحَمَّدِ بْنِ جَرِيرٍ الطبري
وَغَيْرِهِمْ فِي هَذَا الْبَابِ .
“Ada pun para pendahulu umat ini,
mereka tidak menafsirkan apa yang kami tulis berupa ayat atau khabar (hadits)
dalam masalah ini, begitu pula ayat tentang: “bersemayam di atas ‘arys” dan
seluruh sifat khabariyah, “ beliau juga menceritakan ucapan sebagian
ulama belakangan tentang masalah ini. Al Qadhi Abu Ya’ala mengatakan dalam
kitab Ibthalul Ta’wil: “Tidak boleh menolak khabar (hadits) ini dan tidak
disibukkan menta’wilnya dan wajib membawa (makna)nya kepada zhahirnya,
sesungguhnya sifat-sifat Allah Ta’ala tidaklah serupa dengan semua
sifat-sifat yang disandarkan kepada makhluk, dan tidak boleh meyakini di dalamnya
terdapat tasybih, tetapi seperti apa yang diriwayatkan dari Imam Ahmad dan
semua Imam lainnya.”
Beliau (Al Baihaqi) juga menyebut
sebagian ucapan dari Az Zuhair, Mak-hul, Malik, Ats Tsauri, Al Auza’i, Laits
bin Sa’ad, Hammad bin Zaid, Hammad bin Salamah, Sufyan bin ‘Uyainah, Al Fudhail, Al Waki, Abdurrahman bin Mahdi, Al Aswad bin Salim, Ishaq bin
Rahawaih, Abu ‘Ubaidah, Muhammad bin
Jarir Ath Thabari, dan lain-lain, tentang permasalahan ini.” (Imam Ibnu
Taimiyah, Majmu’ Fatawa, 1/426)
Al Hafizh Ibnu Hajar Al Asqalani mengutip dari
Syaikh Syihabuddin As Sahrawardi sebagai berikut:
أَخْبَرَ اللَّه فِي
كِتَابه وَثَبَتَ عَنْ رَسُوله الِاسْتِوَاء وَالنُّزُول وَالنَّفْس وَالْيَد وَالْعَيْن
، فَلَا يُتَصَرَّف فِيهَا بِتَشْبِيهٍ وَلَا تَعْطِيل ، إِذْ لَوْلَا إِخْبَار اللَّه
وَرَسُوله مَا تَجَاسَرَ عَقْل أَنْ يَحُوم حَوْل ذَلِكَ الْحِمَى ، قَالَ الطِّيبِيُّ
: هَذَا هُوَ الْمَذْهَب الْمُعْتَمَد وَبِهِ يَقُول السَّلَف الصَّالِح
Berkata Syaikh Syihabuddin As
Sahrawardi dalam kitabnya ‘Al Aqidah’ : “Allah telah mengabarkan dalam
Al Quran dan Rasul juga telah menetapkan tentang bersemayam, turun, jiwa, tangan, dan mata.
Itu semua tidak boleh disikapi dengan penyerupaan dan tidak pula pengingkaran.
Jikalau tidak dikabarkan oleh Allah dan RasulNya, maka akal pun tidak boleh
lancang untuk menerka-nerkanya.” Berkata Ath Thayyibi: “Inilah madzhab yang
kuat, yang merupakan pendapat salafus shalih.” (Imam Ibnu Hajar, Fathul
Bari, 20/484)
Apa yang dikatakan Syaikh Syihabuddin
As Sahrawardi ini mirip dengan apa yang dikatakan oleh Al Ustadz Hasan Al
Banna.
Imam Malik Radhiallahu ‘Anhu ditanya tentang hadits-hadits sifat,
dia menjawab:
أمرها كما جاءت، بلا
تفسير
“Biarkan saja sebagaimana datangnya,
jangan tafsirkan.” (Imam Adz Dzahabi, Siyar A’lam an Nubala, 8/105)
Imam Malik juga berkata:
مَنْ وَصَفَ شَيْئًا
مِنْ ذَاتِ اللَّهِ مِثْلَ قَوْلِهِ { وَقَالَتْ الْيَهُودُ
يَدُ اللَّهِ مَغْلُولَةٌ } فَأَشَارَ بِيَدِهِ إلَى عُنُقِهِ ، وَمِثْلُ قَوْلِهِ
{ وَهُوَ السَّمِيعُ الْبَصِيرُ } فَأَشَارَ إلَى عَيْنِهِ وَأُذُنِهِ أَوْ شَيْئًا
مِنْ يَدَيْهِ قُطِعَ ذَلِكَ مِنْهُ لِأَنَّهُ شَبَّهَ اللَّهَ بِنَفْسِهِ ، ثُمَّ
قَالَ مَالِكٌ : أَمَا سَمِعْت قَوْلَ الْبَرَاءِ حِينَ حَدَّثَ { أَنَّ النَّبِيَّ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - لَا يُضَحِّي بِأَرْبَعٍ مِنْ الضَّحَايَا وَأَشَارَ
الْبَرَاءُ بِيَدِهِ كَمَا أَشَارَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
- قَالَ الْبَرَاءُ وَيَدَيَّ أَقْصَرُ مِنْ يَدِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ } فَكَرِهَ الْبَرَاءُ أَنْ يَصِفَ يَدَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - إجْلَالًا لَهُ وَهُوَ مَخْلُوقٌ فَكَيْفَ الْخَالِقُ الَّذِي
لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ انْتَهَى .
“Barangsiapa yang mensifati Zat Allah
Ta’ala dengan sesuatu, misal firmanNya: “Orang Yahudi berkata tangan Allah
terbelenggu” lalu dia mengisyaratkan tangannya ke lehernya, menyilangkan
tangannya, dan demikian msalnya kata ‘Mendengar’, ‘Melihat’, dia mengisyaratkan tangannya ke telinga,
mata, atau sebagian dari kedua tangannya, maka ia telah melakukan kesalahan,
karena dia telah menyerupakan Allah Ta’ala dengan dirinya.”
Lalu Malik berkata: “Tidakkah kau
dengan ucapan Al Barra’ ketika dia berkata: Sesungguhnya Nabi Shallallahu
‘Alaihi wa Sallam tidaklah berkurban dengan empat kurban, dia
mengisyaratkan dengan tangannya
sebagaimana Nabi mengisyaratkan dengan tangannya. Al Barra berkata: Tanganku
lebih pendek dari tangan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Maka,
Al Barra tidak suka menyifati tangan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa
Sallam sebagai penghormatan terhadapnya, padahal Nabi adalah makhluk. Maka,
bagaimana dengan Al Khaliq yang tiada satu pun yang serupa denganNya?” (Syaikhul
Islam Ibnu Taimiyah, Al Fatawa Al Kubra, 10/122. Imam Al Qurthubi, Al Jami’
Li Ahkamil Quran, 11/256. Imam Abu Hayyan Muhamamd bin Yusuf bin Ali bin
Yusuf bin Hayyan, Al Bahr Al Muhith, 8/128)
Berkata Imam Ash Shabuni, dalam kitab Aqidah As
Salaf wa Ashab Al Hadits, sebagaimana yang dikutip dalam catatan kaki kitab
I’tiqad Aimmah Al Hadits:
وجاء ربك والملك صفا
صفا ونؤمن بذلك كله على ما جاء
“Dan Datanglah Rabmu dan Malaikat
bershaf-shaf,” dan kami mengimaninya
semuanya sebagaimana datangnya. (Syaikh Abu Bakar Al Isma’ili, I’tiqad
Aimmah Al Hadits, Hal. 13)
Ketika mengomentari surat Al A’raf
ayat 54, “Tsummastawa ‘alal ‘arsy.” Imam Ibnu Katsir berkata:
وإنما يُسلك في هذا المقام مذهب السلف الصالح: مالك،
والأوزاعي، والثوري،والليث بن سعد، والشافعي، وأحمد بن حنبل، وإسحاق بن راهويه وغيرهم،
من أئمة المسلمين قديما وحديثا، وهو إمرارها كما جاءت من غير تكييف ولا تشبيه
ولا تعطيل
Sesungguhnya cara yang ditempuh oleh
madzhab salafus shalih dalam hal ini, seperti Malik, Al Auza’i, Ats Tsauri, Al
Laits bin Sa’ad, Asy Syafi’i, Ahmad bin Hambal, Ishaq bin Rahawaih, dan
lain-lain, dari kalangan Imam muslimin baik dahulu maupun sekarang. Mereka membiarkan
sebagaimana datangnya dengan tanpa
bertanya bagaimana, tanpa menyerupakan, dan tanpa mengingkari. (Imam Ibnu
Katsir, Tafsir Al Quran Al ‘Azhim, 3/427)
Imam Abul Hasan Al Asy’ari sendiri mengikuti madzhab tatsbit
sebagaimana yang dikatakan oleh Imam Ibnu Taimiyah:
وَأَمَّا الْأَشْعَرِيُّ
نَفْسُهُ وَأَئِمَّةُ أَصْحَابِهِ فَلَمْ يَخْتَلِفْ قَوْلُهُمْ فِي إثْبَاتِ الصِّفَاتِ
الْخَبَرِيَّةِ وَفِي الرَّدِّ عَلَى مَنْ يَتَأَوَّلُهَا كَمَنْ يَقُولُ : اسْتَوَى
بِمَعْنَى اسْتَوْلَى . وَهَذَا مَذْكُورٌ فِي كُتُبِهِ كُلِّهَا كَ " الْمُوجَزِ
الْكَبِيرِ " وَ " الْمَقَالَاتِ الصَّغِيرَةِ وَالْكَبِيرَةِ " وَ
" الْإِبَانَةِ " وَغَيْرِ ذَلِكَ . وَهَكَذَا نَقَلَ سَائِر النَّاسِ عَنْهُ
حَتَّى الْمُتَأَخِّرُونَ كَالرَّازِيَّ وَالْآمِدِيَّ يَنْقُلُونَ عَنْهُ إثْبَاتَ
الصِّفَاتِ الْخَبَرِيَّةِ وَلَا يَحْكُونَ عَنْهُ فِي ذَلِكَ قَوْلَيْنِ .
“Ada pun Al Asy’ari sendiri dan juga
para imam yang mengikutinya, mereka tidaklah berbeda pendapat dalam menetapkan (itsbat) sifat-sifat
khabariyah dan dalam membantah orang-orang yang menta’wilkannya, seperti orang
yang mengatakan: istawa (bersemayam) maknanya adalah istawla
(menguasai). Ini disebutkan dalam semua kitabnya, seperti Al Mujazi Al Kabir,
Al Maqallat Ash Shaghirah wal Kabirah, dan Al Ibanah, dan yang lainnya. Dan seperti itulah semua
manusia mengutip darinya, sampai generasi muta’akhirun (belakangan)
seperti Ar Razi dan Al Amidi, mengutip
darinya tentang itsbat (penetapan) terhadap sifat-siifat
khabariyah, dan tidak diceritakan darinya tentang hal ini adanya dua pendapat.”
(Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, Majmu’ Fatawa, 3/94)
Sementara Imam Ibnu Furak, salah satu
pengikut Imam Al Asy’ari, juga melakukan
tatsbit, sebagaimana yang dikatakan Syaikhul Islam.
فَصْلٌ هَذَا مَعَ أَنَّ
ابْنَ فورك هُوَ مِمَّنْ يُثْبِتُ الصِّفَاتِ الْخَبَرِيَّةَ كَالْوَجْهِ وَالْيَدَيْنِ
وَكَذَلِكَ الْمَجِيءُ وَالْإِتْيَانُ . مُوَافَقَةً لِأَبِي الْحَسَنِ فَإِنَّ هَذَا
قَوْلُهُ وَقَوْلُ مُتَقَدِّمِي أَصْحَابِهِ
“Pembahasan
ini tentang Ibnu Furak, dia termasuk diantara yang menetapkan sifat-sifat
khabariyah seperti wajah, dua tangan, dan seperti itulah maknanya sebagaimana
datangnya. Sesuai dengan Abul Hasan, dan
sesungguhnya ini adalah pendapatnya dan pendapat para pendahulu dari
sahabat-sahabatnya.” (Ibid, 3/409)
Imam
Muhammad bin Al Hasan Rahimahullah
-beliau adalah murid Imam Abu Hanifah- mengatakan:
اتفق الفقهاء كلهم من المشرق إلى المغرب على الإيمان بالقرآن والأحاديث التي
جاء بها الثقات في صفة الرب عز وجل من غير تفسير ولا وصف ولا تشبيه، فمن فسر اليوم
شيئا من ذلك فقد خرج مما كان عليه النبي صلى الله عليه وسلم وفارق الجماعة، فإنهم لم
يصفوا ولم يفسروا ولكن أفتوا بما في الكتاب والسنة ثم سكتوا
“Seluruh ahli fiqih sepakat, baik timur dan barat,
tentang keimanan terhadap ayat-ayat dan hadits-hadits tentang sifat Allah ‘Azza
wa Jalla yang telah diriwayatkan dari orang terpercaya, tanpa tafsir
(interpretasi), washf (menyifati dengan sifat yang tidak layak), tasybih
(merupai dengan makhluk), barang siapa yang hari ini melakukan penafsiran, maka
dia telah keluar dari jalan yang tempuh oleh Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa
Sallam, dan berpisah dari jamaah. Demikian itu, karena mereka tidak pernah
mensifati, tidak menafsirkan, tetapi mereka menerangkan dengan apa-apa yang ada
dalam Al Quran dan As Sunnah, lalu diam.” (Imam Ibnul Qayyim, Ijtima’ Al
Juyusy Al Islamiyah, Hal. 64. Syaikh Dr Abdullah ‘Azzam, Aqidah wa
Atsaruha fi Bina’ Al Jiil, Hal. 56. Al Hafizh Ibnu Hajar, Fathul Bari,
20/494. Imam Abu Thayyb Syamsul Haq Al ‘Azhim, ‘Aunul Ma’bud, 10/245)
Al Khalal berkata: telah mengabarkanku Ali
bin ‘Isa bahwa Hambal berkata kepada mereka: “Aku bertanya kepada Abu Abdillah
(Imam Ahmad bin Hambal) tentang hadits yang meriwayatkan bahwa ‘Allah Ta’ala
turun ke langit dunia’, ‘Allah melihat’, ‘Allah meletakkan kakiNya’ , dan
hadits-hadits semisalnya?
Imam
Ahmad bin Hambal Radhiallahu ‘Anhu menjawab:
نؤمن بها ونصدق بها،
ولا نَرُدُّ منها شيئاً، ونعلم أن ما جاء به رسول الله صلى الله عليه وسلم حق إذا كانت أسانيد صحاح، ولا نرد على الله قوله، ولا
يوصف بأكثر مما وصف به نفسه بلا حد ولا غاية " لَيْسَ كَمِثْلِهِ شيءٌ وَهُوَ
السّمِيع البَصيرُ
“Kami
mengimaninya dan membenarkannya, kami tidak membantahnya sama sekali, dan kami
mengetahui bahwa apa-apa yang datang dari Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa
Sallam adalah benar, jika sanadnya shahih, dan kami tidaklah membantah
firmanNya, dan kami tidaklah mensifatiNya lebih banyak dari Dia sifatkan
terhadap diriNya, dengan tanpa batas, dan tanpa ujung. “Tidak ada yang serupa
denganNya, dan Dia Maha Mendengar dan Maha Melihat.” (Imam Ibnul Qayyim, Ijtima’
Al Juyusy Al Islamiyah, Hal. 61. Syaikh Dr. Abdullah ‘Azzam, Aqidah wa
Atsaruha fi Bina’ Al Jiil, Hal. 57)
Apa
yang dikatakan oleh Iman Ahmad bin Hambal ini mirip dengan yang dikatakan oleh
Imam Hasan Al Banna, berikut:
ومعرفة الله تبارك وتعالى
وتوحيده وتنزيهه أسمى عقائد الإسلام ، وآيات الصفات وأحاديثها الصحيحة وما يليق
بذلك من التشابه , نؤمن بها كما جاءت من غير تأويل ولا تعطيل , ولا نتعرض
لما جاء فيها من خلاف بين العلماء , ويسعنا ما وسع رسول الله صلى الله عليه وسلم
وأصحابه (وَالرَّاسِخُونَ فِي الْعِلْمِ يَقُولُونَ آمَنَّا بِهِ كُلٌّ مِنْ
عِنْدِ رَبِّنَا) (آل عمران:7)
“Ma’rifah kepada Allah Tabaraka wa Ta’ala dan
mengesakanNya, serta mensucikan zatNya merupakan setinggi-tingginya aqidah
Islam. dan Ayat-ayat sifat serta hadits-hadits shahih tentangnya, serta
berbagai keterangan mutasyabihat tentangnya, kita mengimaninya sebagaimana
datangnya tanpa ta’wil dan tanpa ta’thil (mengingkari), serta tidak
mempertajam perselsihan yang terdapat pada ulama, kita telah melapangkan diri
sebagaimana Rasulullah Shallallahu
‘Alaihi wa Salam dan sahabatnya telah melapangkan.
“Dia-lah
yang menurunkan Al kitab (Al Quran) kepada kamu. di antara (isi) nya ada
ayat-ayat yang muhkamaat, Itulah pokok-pokok isi Al qur'an dan yang lain
(ayat-ayat) mutasyaabihaat. Adapun orang-orang yang dalam hatinya condong
kepada kesesatan, Maka mereka mengikuti sebahagian ayat-ayat yang mutasyabihat
daripadanya untuk menimbulkan fitnah untuk mencari-cari ta'wilnya, Padahal
tidak ada yang mengetahui ta'wilnya melainkan Allah. dan orang-orang yang
mendalam ilmunya berkata: "Kami beriman kepada ayat-ayat yang
mutasyaabihaat, semuanya itu dari sisi Tuhan kami." (QS. Ali
Imran (3): 7) (Al Imam Asy Syahid Hasan Al Banna, Majmu’ah Ar Rasail,
Hal. 306. Al Maktabah At Taufiqiyah)
Oleh karena itu, jalan yang mereka tempuh adalah jalan
yang benar, sebagaimana yang dikatakan oleh Imam Ibnu Katsir berikut:
فمن أثبت لله تعالى ما وردت به الآيات الصريحة
والأخبار الصحيحة، على الوجه الذي يليق بجلال الله تعالى، ونفى عن الله تعالى النقائص،
فقد سلك سبيل الهدى.
“Maka,
siapa saja yang menetapkan Allah Ta’ala sebagaimana yang dijelaskan oleh ayat-ayat yang terang dan
hadits-hadits yang shahih, sesuai dengan hal yang pantas bagi keagungan Allah Ta’ala, dan
meniadakan kekurangan bagiNya, maka dia telah menumpuh jalan pentunjuk.” (Tafsir
Al Quran Al ‘Azhim, 3/427)
Abdul Aziz bin Abdullah bin Abi Salamah Al Majisyun mengatakan –
sebagaimana yang diriwayatkan oleh Abu Bakar Al Atsram, Abu Amr Ath Thalmanki,
Abu Abdillah bin Baththah, dengan pembahasan yang cukup panjang, hingga
akhirnya dia berkata:
فَمَا
وَصَفَ اللَّهُ مِنْ نَفْسِهِ فَسَمَّاهُ عَلَى لِسَانِ رَسُولِهِ سَمَّيْنَاهُ كَمَا
سَمَّاهُ وَلَمْ نَتَكَلَّفْ مِنْهُ صِفَةَ مَا سِوَاهُ لَا هَذَا وَلَا هَذَا لَا
نَجْحَدُ مَا وَصَفَ وَلَا نَتَكَلَّفُ مَعْرِفَةَ مَا لَمْ يَصِفْ .
“Maka,
apa saja yang Allah Ta’ala sifatkan untuk diriNya dan yang disifatkan oleh
RasulNya, maka kami menamakannya sebagaimana Allah dan RasulNya telah namakan.
Kami tidaklah membebani diri mensifatiNya dengan sifat-sifat lain, tidak yang
ini tidak pula yang itu. Kami tidak menolak kata yang dipakai untuk
menyifati dan tidak pula mencari-cari
pengertian yang tidak dituturkan.” (Imam Ibnu Taimiyah, Al Fatawa Al
Kubra, 10/122)
Demikianlaih madzhab tatsbit. Sikap mereka
terhadap ayat dan hadits-hadits sifat adalah, mereka diam, tidak membahas,
membiarkan apa adanya, memahami sebagaimana datangnya, tanpa tafsir, ta’wil,
tasybih, dan tahrif.
Namun,
ada pula ulama yang menganggap apa yang mereka lakukan ini bukanlah tatsbit
(menetapkan apa adanya sesuai zhahir nash), tetapi tafwidh
(menyerahkan makna dan pengetahuannya kepada Allah Ta’ala). Oleh karena itu,
jangan kaget jika sebagian Imam Ahlus Sunnah justru mengatakan tafwidh
adalah madzhab salaf yang sesungguhnya. Walau
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mencela tafwidh dengan celaan yang
sangat keras. Wallahu A’lam
Sikap Kedua: Tafwidh
Al Ustadz Hasan Al Banna Rahimahullah
berkata ketika mengunggulkan madzhab
salaf tentang masalah sifat-sifat Allah Ta’ala, mengatakan:
ونحن نعتقد أن رأي السلف من السكوت وتفويض علم هذه المعاني إلى
الله تبارك وتعالى أسلم وأولى بالاتباع ، حسما لمادة التأويل والتعطيل ، فإن
كنت ممن أسعده الله بطمأنينة الإيمان ، وأثلج صدره ببرد اليقين ، فلا تعدل به
بديلا
“Kami
meyakini bahwa pendapat salaf yakni diam dan menyerahkan ilmu makna-makna
ini kepada Allah Ta’ala adalah lebih selamat dan lebih utama untuk diikuti,
dengan memangkas habis takwil dan ta’thil (pengingkaran), maka
jika Anda adalah termasuk orang yang telah Allah bahagiakan dengan ketenangan
iman, dan disejukkan dadanya dengan salju embun keyakinan, maka janganlah
mencari gantinya (salaf).” (Al Imam Asy Syahid Hasan Al Banna, Majmu Ar
Rasail, Hal. 368. Al Maktabah At Taufiqiyah)
Sebagian
orang ada yang mencela apa yang dikatakan oleh Al Ustadz Hasan Al Banna ini,
lantaran mereka begitu ‘memaksakan’ pendapatnya bahwa kaum salaf adalah
tatsbit, tidak yang lainnya. Sebenarnya, jika mereka mau bersabar untuk
melihat ke berbagai literatur yang ada, mereka akan temukan bahwa apa yang
dikatakan oleh Al Ustadz Hasan Al Banna ini merupakan kesimpulan dan sikap para
Imam Ahlus Sunnah sebelumnya. Sehingga tidak perlu sampai keluar celaan
untuknya, yang secara tidak langsung hal itu juga celaan untuk para ulama
sebelumnya.
Imam Adz Dzahabi Rahimahullah mengatakan
bahwa sikap salaf terhadap Bab Sifat-Sifat Allah Ta’ala adalah tafwidh,
berikut ucapannya:
فقولنا في ذلك وبابه:
الاقرار، والامرار، وتفويض معناه إلى قائله الصادق المعصوم
Adapun pendapat kami tentang itu dan dalam
bab ini adalah mengakui, membiarkan, dan
menyerahkan (tafwidh) maknanya kepada pengucapnya yang benar dan
ma’shum (Imam Adz Dzahabi, Siyar A’lam An Nubala, 8/105)
Begitu pula Imam Al Alusi Rahimahullah,
ketika menafsirkan Surat Al An’am ayat
158:
أَوْ يَأْتِىَ بَعْضُ
ءايات رَبّكَ
“Atau Kedatangan sebagian ayat
Tuhanmu”
Berkata Imam Al Alusi dalam tafsir Ruhul
Ma’ani:
وأنت تعلم أن المشهور
من مذهب السلف عدم تأويل مثل ذلك بتقدير مضاف ونحوه بل تفويض المراد منه إلى
اللطيف الخبير مع الجزم بعدم إرادة الظاهر
“Engkau telah mengetahui, bahwa yang masyhur
dari madzhab salaf adalah meniadakan takwil seperti itu, baik dengan cara
menambahkan atau lainnya, tetapi (mereka) tafwidh (menyerahkan)
maksudnya kepada Al Lathiful Khabir (maksudnya Allah Ta’ala) beserta
meyakininya dengan tanpa memaknainya
secara literal.” (Ruhul Ma’ani,
6/80)
Begitu pula ketika menafsiri Al A’raf
ayat 54:
ثُمَّ اسْتَوَى عَلَى
الْعَرْشِ
“Kemudian Allah bersemayam di atas ‘Arys”
Berkata
Imam Al Alusi:
وأنت تعلم أن المشهور
من مذهب السلف في مثل ذلك تفويض المراد منه إلى الله تعالى
“Engkau telah mengetahui, bahwa yang masyhur
dari madzhab salaf dalam hal seperti ini adalah tafwidh
(menyerahkan) maksudnya kepada Allah Ta’ala.” (Ibid, 6/196)
Berkata Imam An Naisaburi dalam
tafsirnya ketika menafsiri Al Maidah ayat 64:
وَقَالَتِ الْيَهُودُ
يَدُ اللَّهِ مَغْلُولَةٌ
“Dan orang Yahudi berkata: tangan
Allah terbelenggu ..”
وكان طريقة السلف الإيمان
بها وأنها من عند الله ثم تفويض معرفتها إلى الله
“Adalah metode kaum salaf mereka
mengimaninya, bahwa itu dari sisi Allah, kemudian tafwidh (menyerahkan)
pengetahuan tentangnya kepada Allah.” (Tafsir An Naisaburi, 3/186)
Syaikh
Abdurrahman Al Mubarakfuri Rahimahullah mengatakan tentang makna, ‘Alal ‘Arsyistawa’ , Dia
bersemayam di atas ‘arsy:
وَلِقَوْلِهِ : { عَلَى الْعَرْشِ اِسْتَوَى } مِنْ تَفْوِيضِ
عِلْمِهِ إِلَيْهِ تَعَالَى وَالْإِمْسَاكِ عَنْ تَأْوِيلِهِ .
“Untuk
firmanNya: ‘Ala Al ‘Arsy istawa (Dia bersemayam di atas ‘arsy), termasuk
menyerahkan ilmunya kepada Allah Ta’ala, dan menahan diri dari menta’wilnya.” (Syaikh
Abdurrahman Al Mubarakfuri,Tuhfah Al Ahwadzi Syarh Sunan At Tirmidzi,
8/160)
Syaikh Abdullah bin Abdul Muhsin At
Turki beliau
berkata:
فإِنَّ أحدًا لا يعرفُ
كيفيةَ ما أخبر الله به عن نفسه ، ولا يقف على كنه ذاته وصفاته غيره ، وهذا هو الذي
يجبُ تفويضُ العلم فيه إِلى الله عزَّ وجلَ
“Maka, sesungguhnya tak ada satu pun
manusia yang mengetahui bagaimana caranya, tentang apa-apa yang Allah kabarkan
tentang diriNya, dan tidak ada yang mengerti asalNya, DzatNya, SifatNya, selain
diriNya, dan yang demikian itulah yang diwajibkan untuk menyerahkan (tafwidh)
ilmu tentang hal itu kepada Allah ‘Azza wa Jalla.” (Mujmal I’tiqad
A’immah As Salaf, Hal. 141)
Demikianlah. Imam Al Alusi justru
mengatakan, tafwidh baik itu tafwidhul murad (menurut istilah
Imam Al Alusi ), atau tafwidhul ma’na (menurut istilah Imam Adz Dzahabi),
atau tafwidhul ma’rifah (menurut istilah Imam An Naisaburi), atau tafwidhul
‘ilmi (menurut istilah Syaikh Abdullah bin Abdul Muhsin At Turki) yang
semuanya bermakna sama yakni menyerahkan
maksud/makna/pengetahuan/ilmu tentang sifat-sifat Allah kepada Allah Ta’ala, ternyata sebagaimana
dikatakan Imam Al Alusi- itu adalah madzhab masyhur dari para ulama
salaf.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah pun melakukan tafwidh
Disadari atau tidak, sengaja atau
tidak, ternyata Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah juga melakukan tafwidh terhadap
sifat-sifat Allah Ta’ala. Padahal tafwidh adalah pemahaman yang sangat dia
benci. Demikian katanya:
" الْإِيمَانُ بِصِفَاتِ اللَّهِ تَعَالَى وَأَسْمَائِهِ
" الَّتِي وَصَفَ بِهَا نَفْسَهُ وَسَمَّى بِهَا نَفْسَهُ فِي كِتَابِهِ وَتَنْزِيلِهِ
أَوْ عَلَى لِسَانِ رَسُولِهِ مِنْ غَيْرِ زِيَادَةٍ عَلَيْهَا وَلَا نَقْصٍ مِنْهَا
وَلَا تَجَاوُزٍ لَهَا وَلَا تَفْسِيرٍ لَهَا وَلَا تَأْوِيلٍ لَهَا بِمَا يُخَالِفُ
ظَاهِرَهَا وَلَا تَشْبِيهٍ لَهَا بِصِفَاتِ الْمَخْلُوقِينَ ؛ وَلَا سِمَاتِ المحدثين
بَلْ أَمَرُوهَا كَمَا جَاءَتْ وَرَدُّوا عِلْمَهَا إلَى قَائِلِهَا ؛ وَمَعْنَاهَا
إلَى الْمُتَكَلِّمِ بِهَا . وَقَالَ بَعْضُهُمْ - وَيُرْوَى عَنْ الشَّافِعِيِّ
- : " آمَنْت بِمَا جَاءَ عَنْ اللَّهِ وَبِمَا جَاءَ عَنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَى مُرَادِ رَسُولِ اللَّهِ "
“Beriman kepada Sifat Allah Ta’ala
dan NamaNya” yang telah Dia sifatkan diriNya sendiri, dan Dia namakan diriNya
sendiri, di dalam KitabNya dan wahyuNya, atau atas lisan RasulNya, dengan tanpa
penambahan atau pengurangan atasnya, tidak melampauinya, tidak menafsirkannya
dengan apa-apa yang menyelisihi zhahirnya, tidak menyerupakannya dengan
sifat-sifat makhluk, dan apalagi dengan pembawa berita, tetapi membiarkan
sebagaimana datangnya, dan mengembalikan ilmunya kepada yang mengucapkannya,
dan mengembalikan maknanya kepada yang membicarakannya. Sebagian mereka
berkata: -diriwayatkan dari Imam Asy Syafi’i- : Aku beriman dengan apa-apa yan
datang dari Allah, dan yang datang dari Rasulullah Shllalalhu “Alaihi wa Sallam
dengan maksud dari Rasulullah.” (Majmu’
Fatawa, 1/ 294)
Apa yang dikatakannya: “ ...
dan mengembalikan ilmunya kepada yang mengucapkannya, dan mengembalikan
maknanya kepada yang membicarakannya.” Tak lain dan tak bukan adalah tafwidhul
ilmi (menyerahkan ilmunya kepada Allah Ta’ala) dan tawidhul ma’na
(menyerahkan maknanya kepada Allah Ta’ala). Sungguh, ini sangat jelas
persamaannya. Wallahu A’lam.
Sedangkan, kita melihat adanya dua
sikap dari Al Ustadz Hasan Al Banna, dia menampakkan bahwa sikap yang benar
sebagaimana salaf adalah mengimani dan menetapkan sebagaimana datangnya (tatsbit),
dan menyerahkan maknanya kepada Allah Ta’ala (tafwidh), tanpa takwil
dan ta’thil.
Sikap ketiga: Takwil (memberikan makna yang tidak
mengotori kesucian Allah Ta’ala)
Kita akan dapati pula, bahwa sebagian
salaf, mulai dari sahabat dan tabi’in juga ada yang melakukan ta’wil terhadap
sifat-sifat yang disandarkan kepada Allah Ta’ala. Namun, pada generasi
selanjutnya, metode ta’wil inilah yang lebih sering ditempuh oleh para ulama.
Maka boleh kita katakan, ta’wil merupakan madzhab jumhur setelah
masa-masa abad-abad pertama Islam. Ta’wil yang kita bahas di sini,
bukanlah ta’wil kaum zindik yang memang telah melakukan penyimpangan
terhadap makna-makna sifat Allah Ta’ala.
Sebelum
saya paparkan tentang contoh ta’wil para
Imam Ahlus Sunnah, saya akan berikan rambu-rambu ta’wil, dari Syaikh Muhammad
bin Shalih Al ‘Utsaimin Rahimahullah:
Syaikh Utsaimin membagi ta’wil menjadi tiga dalam
kitab, Lum’ah al I’tiqad, Hal. 19
(saya ringkas saja):
1. Dilakukan melalui ijtihad dan niat yang baik. Maka ini dimaafkan.
2. Dilakukan karena hawa nafsu dan fanatisme, dan memiliki argumentasi bahasa Arab, maka pelakunya fasiq, kecuali jika pendapatnya itu terdapat penguarangan atau aib terhadap Allah maka itu bias kufur.
3. Dilakukan karena hawa nafsu dan fanatisme, dan tanpa memiliki argumentasi bahasa Arab. Keloimpok ini kufur, kaena pada hakikatnya kedustaan yang tidak berdasar.
1. Dilakukan melalui ijtihad dan niat yang baik. Maka ini dimaafkan.
2. Dilakukan karena hawa nafsu dan fanatisme, dan memiliki argumentasi bahasa Arab, maka pelakunya fasiq, kecuali jika pendapatnya itu terdapat penguarangan atau aib terhadap Allah maka itu bias kufur.
3. Dilakukan karena hawa nafsu dan fanatisme, dan tanpa memiliki argumentasi bahasa Arab. Keloimpok ini kufur, kaena pada hakikatnya kedustaan yang tidak berdasar.
Berikut ini beberapa contoh ta’wil yang dilakukan oleh
sahabat nabi dan tabi’in ridhwanullah ‘alaihim jami’an, terhadap
ayat-ayat sifat
Firman Allah Ta’ala tentang ‘tangan’:
وَقَالَتِ الْيَهُودُ
يَدُ اللَّهِ مَغْلُولَةٌ
“Dan orang Yahudi berkata: tangan
Allah terbelenggu ..”
Ayat ini
tidak mungkin dipahami sesuai teksnya, sebab membawa makna Allah Ta’ala serupa
dengan makhlukNya sendiri yang tangannya terbelenggu. Oleh karena itu, Abdullah
bin Abbas Radhiallahu ‘Anhuma mengatakan:
ليس يعنون بذلك أن يد الله موثقةٌ، ولكنهم يقولون:
إنه بخيل أمسك ما عنده، تعالى الله عما يقولون علوًّا كبيًرا.
“Maknanya
bukanlah tangan Allah terikat, tetapi mereka mengatakan: Sesungguhnya Allah Ta’ala
bakhil, lantaran telah menahan apa-apa yang ada padaNya, Maha Tinggi Allah dari
apa yang mereka katakan dengan ketinggian yang besar.”
Sementara
Qatadah Radhiallahu ‘Anhu mengatakan:
أما قوله:"يد الله مغلولة"، قالوا: الله بخيل غير جواد!
“Ada
pun tentang firmanNya, Tangan Allah Terbelenggu, mereka mengatakan:
“Allah itu bakhil tidak dermawan.” (Imam Abu Ja’afar bin Jarir Ath Thabari, Jami’ul
Bayan fi Ta’wilil Quran, 10/452-453)
Imam Ibnu Katsir telah menyebutkan,
dari Ibnu Abbas tentang makna ‘terbelenggu’: yakni bakhil. (Imam Ibnu
Katsir, Tafsir Al Quran Al ‘Azhim, 3/146)
Imam Al
Baghawi
Rahimahullah
berkomentar tentang ayat tersebut:
قال ابن عباس وعكرمة والضحاك وقتادة: إن الله تعالى كان قد
بسط على اليهود حتى كانوا من أكثر الناس مالا وأخصبهم ناحية فلما عصوا الله في أمر
محمد صلى الله عليه وسلم وكذبوا به كف الله عنهم ما بسط عليهم من السعة، فعند ذلك قال
فنحاص بن عازوراء: يد الله مغلولة، أي: محبوسة مقبوضة عن الرزق نسبوه إلى البخل، تعالى
الله عن ذلك.
“Berkata
Ibnu Abbas, Ikrimah, Adh Dhahak, dan Qatadah: “Sesungguhnya Allah Ta’ala begitu
lapang terhadap Yahudi sampai-sampai mereka menjadi manusia yang paling banyak
hartanya dan kelompok paling makmur di antara mereka. Lalu, ketika mereka
mengingkari Allah dalam urusan Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam
dan mendustakannya, maka Allah Ta’ala menahan buat mereka apa-apa yang dahulu
Dia lapangkan, maka saat itulah Finhash bin ‘Azura berkata: “Tangan Allah
terbelenggu”, yaitu dikekang dan dicabut dari rezeki, mereka menyandarkanNya
dengan kebakhilan. Maha Tinggi Allah dari hal itu.” (Imam Al Baghawi, Ma’alim
At Tanzil, 3/76)
Ayat lainnya:
قُلْ إِنَّ الْفَضْلَ بِيَدِ اللَّهِ
“ Katakanlah: "Sesungguhnya
karunia itu di tangan Allah..” (QS. Ali Imran (3): 73)
Imam Ibnu Katsir menta’wil ayat ini, katanya:
أي: الأمورُ كلها تحت تصريفه، وهو المعطي المانع،
يَمُنّ على من يشاء بالإيمان والعلم والتصور التام، ويضل من يشاء ويُعمي بصره وبصيرته،
ويختم على سمعه وقلبه، ويجعل على بصره غشاوة، وله الحجة والحكمة
“Yaitu
semua urusan di bawah pengaturanNya. Dialah yang memberi dan menolak. Dia
memberikan karunia berupa ilmu, iman, dan seluruh tindakan kepada siapa saja
secara sempurna. Serta menyesatkan, membutakan penglihatannya dan mata hatinya,
menutup pendengarannya dan hatinya, dan menjadikan pada pandangannya halangan,
dan Dialah yang memiliki hujjah dan
hikmah.” (Tafsir Al Quran Al ‘Azhim, 2/60)
Dalam ayat lain, yang menyebutkan
sifat Wajhullah (Wajah Allah), para Imam Ahlus Sunnah pun melakukan ta’wil:
Imam
Ibnu Katsir Rahimahullah mengatakan:
وهكذا قوله ها هنا: { كُلُّ شَيْءٍ هَالِكٌ إِلا
وَجْهَهُ } أي: إلا إياه.
“Demikian juga, firmanNya di sini:
“Segala sesuatu akan binasa kecuali wajahNya”, yaitu kecuali DiriNya” (Imam
Ibnu Katsir, Tafsir Al Quran Al ‘Azhim, 6/261)
Begitu pula Imam Al Qurthubi Rahimahullah
mengatakan, tentang makna ‘Wajah Allah’:
قال: " إنما نطعمكم لوجه الله " أي
لرضائه وطلب
ثوابه، ومنه قوله صلى الله عليه وسلم: (من بنى
مسجدا يبتغي به وجه لله بنى الله له مثله في الجنة).
“Allah
Ta’ala berfirman: ‘Sesungguhnya kami memberikan makanan kepada kalian,
hanyalah demi wajah Allah.’ Yaitu demi ridhaNya, dan mencari pahalaNya,
dari itulah Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda: Barangsiapa
membangun masjid dengan mengharap wajah Allah, maka akan Allah bangunkan
baginya yang seumpama itu di surga.” (Al Jami’ Li Ahkamil Quran,
2/84)
Belau
juga mengatakan:
(ويبقى
وجه ربك) أي ويبقى الله، فالوجه عبارة عن وجوده وذاته سبحانه، قال الشاعر: قضى على
خلقه المنايا * فكل شئ سواه فاني
وهذا الذي ارتضاه المحققون من علمائنا: ابن فورك وأبو المعالي
وغيرهم.
وقال ابن عباس: الوجه عبارة عنه كما قال: (ويبقى وجه ربك
ذو الجلال والاكرام) وقال أبو المعالي: وأما الوجه فالمراد به عند معظم أئمتنا وجود
الباري تعالى، وهو الذي ارتضاه شيخنا.
“Dan
Yang tersisa hanyalah wajah Rabbmu, yaitu yang tersisa hanyalah Allah,
wajah merupakan ibarat (perumpamaan) dari wuudNya dan ZatNya yang Maha Suci.
Berkata seorang penyair:
“Telah
ditetapkan atas hambaNya kematian, Segala sesuatu selainNya adalah binasa
(fana).”
Inilah
yang disetujui para muhaqqiq (peneliti) dari ulama kami, seperti: Ibnu
Furak, Abu Al Ma’ali, dan lainnya.
Ibnu
Abbas mengatakan: Wajah merupakan ibarat dariNya, sebagaimana frmanNya: “Dan
yang tersisa hanyalah wajah Rabbmu yang memiliki keagungan dan kemuliann.”
Abul Ma’ali mengatakan: “Ada pun wajah maksudnya adalah menurut imam-imam besar
kami adalah wujud Allah Ta’ala, dan itulah yang disetujui oleh guru kami.” (Ibid,
17/165)
Ayat lainnya:
سَنَفْرُغُ لَكُمْ
أَيُّهَا الثَّقَلانِ
“Kami akan
memperhatikan sepenuhnya kepadamu Hai manusia dan jin.” (QS. Ar Rahman: 31)
Para
ulama salaf pun melakukan ta’wil atas ayat “kami akan memperhatikan” ,
sebab jika dipahami secara zhahir makna ‘memperhatikan’ membutuhkan alat
penginderaan, dan itu mustahil bagi Allah Ta’ala. Oleh karena itu Imam Ibnu
Jarir berkata tentang ayat tersebut:
وأما تأويله : فإنه وعيد من الله لعباده وتهدد
“Ada pun
ta’wilnya adalah ancaman dari Allah dan menakut-nakuti.” Begitu pula yang
dikatakan oleh Ibnu Abbas dan Adh Dhahak. (Jami’ul Bayan, 23/41-42)
Ayat
lain:
وَهُوَ مَعَكُمْ أَيْنَ مَا كُنْتُمْ
“ ..dan Dia bersama kamu di mana saja
kamu berada.” (QS. Al Hadid (57): 4)
Ayat ini mesti dita’wil,
sebab jika tidak, akan bertentangan dengan kalimat yang ada pada ayat itu
sendiri bahwa Allah bersemayam di ‘ArysNya. Oleh karena itu Imam Ibnu Taimiyah
dan para pengikutnya pun yang sangat anti ta’wil, juga menakwil ayat ini.
Ayat
ini tidak berarti Allah Ta’ala secara zat ada di setiap tempat kita berada, dan
tidak boleh mengartikan demikian. Kata Imam Ibnu Jarir takwilnya adalah:
وهو شاهد لكم أيها الناس أينما كنتم يعلمكم، ويعلم أعمالكم،
ومتقلبكم ومثواكم، وهو على عرشه فوق سمواته السبع
“Dia
menyaksikan kalian, wahai Manusia, dimana saja kalian berada Dia mengetahui
kalian, mengetahui perbuatan kalian, lalu lalang kalian, dan di tempat tinggal
kalian,dan Dia di atas ‘ArsyNya, di langit yang tujuh.” (Ibid,
23/196)
Demikianlah.
Sebenarnya masih sangat banyak ta’wil yang dilakukan para ulama terhadap
ayat-ayat sifat, dalam rangka menjaga kesucian sifat-sifatNya dari penakwilan
menyimpang manusia. Sikap ta’wil ini di dukung deretan para Imam kaum
muslimin, baik fuqaha dan muhadditsin, seperti Imam Al Ghazali, Imam An
Nawawi, Imam Ibnu Hajar Al Asqalani, Imam Al Khathabi, Imam Fakruddin Ar Razi,
Imam Al Jashash, Imam As Suyuthi, Imam Al Baqillani, Imam Ibnu Daqiq Al ‘Id,
Imam Izzuddin bin Abdusalam, Imam Abul Faraj bin Al Jauzi, Imam An Nasafi, Imam
Al Bulqini, Imam Ar Rafi’i, Imam Al Baidhawi, Imam Al Amidi, Imam Al ‘Iraqi,
Imam Ibnu Al ‘Arabi, Imam Al Qurthubi, Imam Al Qadhi ‘Iyadh, Imam Al Qarrafi,
Imam Asy Syathibi, Imam Abu Bakar Ath Thurthusi, Imam Syahrustani, Imam Al
Maziri, Imam Isfirayini, Imam Dabusi, Imam As Sarakhsi, Imam At Taftazani, Imam
Al Bazdawi, Imam Ibnul Hummam, Imam Ibnu Nujaim, Imam Al Karkhi, Imam Al
Kasani, Imam As Samarqandi, dan lain-lain. Mereka inilah yang biasa
disebut kaum Asy ‘ariyah. (sebenarnya saya ingin menguraikan
satu-persatu bukti sikap mereka, namun ini sudah cukup mewakili)
Jika
kita perhatikan, maka jumhur ulama adalah melakukan ta’wil. Namun, para
ulama salaf (terdahulu), lebih sedikit melakukan ta’wil. Ada apa dibalik
ini? Ini bisa terjadi, lantaran Islam dan Al Quran pada masa setelah mereka telah menyebar ke seluruh penjuru
dunia yang penduduknya bukan berbahasa Arab. Sehingga, jika ayat-ayat dan
hadits-hadits sifat ini dibaca dan
difahami secara literal (zhahiriyah), maka bisa menggelincirkan pemahaman orang
awam yang tidak bercita rasa bahasa Arab. Oleh karena itu, bangkitlah para
ulama untuk melindungi nash-nash tersebut, dari kemungkinan tafsiran berbahaya
orang-orang ‘Ajam (non Arab).
Dari
sisi ini, maka sebenarnya antara salaf dan khalaf, memiliki tujuan yang sama
dengan sikap mereka itu, yakni menjaga kesucian Al Quran. Oleh karena
itu, walau kita lebih condong kepada pemahaman salaf, tidak selayaknya
menjadikan polemik ini sebagai ajang saling pengkafiran sesama umat Islam.
sebab, para ulama yang berselisih pun tidak sampai tingkat seperti itu. Sebab memojokkan kaum Asy’ariyah (para
penakwil) dan menuduhnya keluar dari Ahlus Sunnah, sama juga memojokkan
nama-nama para Imam kaum muslimin di atas yang telah mendapat posisi penting di
hati umumnya kaum muslimin. Maka, renungkanlah!
Wallahu A’lam
No comments:
Post a Comment