Mukadimah
“Hai orang-orang yang beriman, peliharalah
dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan
batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, keras, dan tidak mendurhakai
Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan
apa yang diperintahkan.” (QS. At Tahrim: 6)
Berkata Imam Asy
Syaukani Rahimahullah dalam Kitab Fathul Qadir:
"يا أيها الذين آمنوا قوا أنفسكم"
بفعل ما أمركم به وترك ما نهاكم عنه "وأهليكم" بأمرهم بطاعة الله ونهيهم
عن معاصيه
“Wahai Oang-orang yang beriman, peliharalah dirimu” maksudnya dengan melaksanakan apa-apa yang telah diperintahkan
kepadamu dan meninggalkan apa-apa yang telah dilarang untukmu. “Dan
keluargamu” maksudnya dengan memerintahkan mereka untuk tat kepada Allah
dan mencegah mereka dari maksiat kepadaNya. (Imam Asy Syaukani, Fathul
Qadir, 7/257. Mawqi’ Ruh Al Islam)
Imam
Muqatil bin Sulaiman berkata, “Peliharalah dirimu dan keluargamu dari api
neraka,” yakni memelihara dengan adab yang shalih (baik).
Imam
Mujahid dan Imam Muqatil juga berkata, “Peliharalah dirimu dengan
amal perbuatanmu, dan peliharalah keluargamu dengan wasiat-wasiatmu.”
Imam
Ibnu Jarir
berkata, “Wajib bagi kita mengajarkan anak-anak kita tentang agama dan
kebaikan, beserta perkara adab yang dibutuhkannya.” (Lihat Tafsir ini semua
dalam kitab Fathul Qadir)
Anak
merupakan tanggung jawab kedua orang tuanya, baik bapak atau ibu, teristimewa
lagi bapak, sebab ia kepala rumah tangga yang tanggung jawab dunia akhiratnya
lebih besar. Sesuai dengan hadits: Kullukum ra’in wa kullukum mas’ulun ‘an ra’iyatihi (Setiap kalian adalah
pemimpin, dan setiap pemimpin akan diminta pertanggungjawaban atas
kepemimpinannya). Maka sangat wajar bila seorang ahli hikmah mengatakan, “Perhatikanlah
anakmu, sebab surga atau neraka bagimu, tergantung sikapmu terhadap anak.”
Berikut
ini adalah rincian cara Islam dalam mendidik anak.
1.Memberikan kabar gembira atas
kelahiran anak
Allah Subhanahu wa
Ta’ala berfirman:
فَبَشَّرْنَاهُ
بِغُلامٍ حَلِيمٍ
“ Maka kami beri dia (Nabi
Ibrahim) kabar gembira dengan (lahirnya) seorang anak yang amat sabar (yakni
Nabi Ismail)” (QS. Ash Shafat (37): 101)
Dalam ayat lain:
يَا زَكَرِيَّا
إِنَّا نُبَشِّرُكَ بِغُلامٍ اسْمُهُ يَحْيَى لَمْ نَجْعَلْ لَهُ مِنْ قَبْلُ سَمِيًّا
“Hai Zakaria, Sesungguhnya
kami memberi kabar gembira kepadamu akan (beroleh) seorang anak yang namanya
Yahya, yang sebelumnya kami belum pernah menciptakan orang yang serupa dengan
dia.”
(QS. Maryam (19): 7)
Sudah selayaknya orang tua
bergembira dengan kelahiran anak, baik bayi laki-laki atau perempuan, baik anak
pertama atau selanjutnya, dengan tanpa pembedaan dan pilih kasih sebagai wujud
rasa syukur kita kepada Allah Ta’ala. Kegembiraan ini diharapkan menjadi
awal yang baik dan memiliki pengaruh bagi jiwa anak, agar dalam perkembangannya
ia mudah diarahkan dan dididik sesuai adab Islam.
2. Menasabkan bayi itu kepada orang
tuanya (bapak)
Ini merupakan kewajiban
selanjutnya yang dilakukan orang tua kepada anaknya. Sesuai firmanNya:
ادْعُوهُمْ لآبَائِهِمْ هُوَ أَقْسَطُ عِنْدَ اللَّهِ
“Panggil-lah mereka
(anak-anak angkatmu) dengan memakai nama bapak-bapak mereka, hal itu lebih adil
di sisi Allah.” (QS. Al Ahzab (3): 5)
Ayat ini berkenan tentang
anak angkat, kita wajib memanggil dan menasabkan mereka dengan bapak kandungnya
sendiri (bapak biologis). Apalagi, dengan anak kita sendiri tentu lebih
wajib menasabkan kepada orang tua
sendiri.
Bahkan Rasulullah Shallallahu
‘Alaihi wa Sallam mencela orang yang mengingkari atau tidak mengakui
anaknya sendiri. Atau, mengklaim anak orang lain sebagai anak kandung.
Rasulullah Shallallahu
‘Alaihi wa Sallam bersabda:
كُفْرٌ
بِامْرِئٍ ادِّعَاءُ نَسَبٍ لَا يَعْرِفُهُ أَوْ جَحْدُهُ وَإِنْ دَقَّ
“Kufur hukumnya, orang
yang mengklaim nasab yang tidak diketahuinya, atau mengingkari nasab walau
masih samar.” (HR. Ibnu Majah No.2744, Ath Thabarani
dalam Al Awsath no. 7919.
Syaikh Al Albani menshahihkan dalam As Silsilah Ash Shahihah No.
3370. Al Bushiri juga mengatakan: isnadnya shahih. Az Zawaid,
3/150 )
Ada kebiasaan di sebagian
masyarakat kita, menyandarkan nama anak (perempuan) dengan nama suaminya,
tentunya hal itu bertentangan dengan cara Islam. Misal, seorang bapak sebut
saja namanya Muhammad mempunyai anak wanita bernama Fatimah, nikah bersuamikan
Ali, maka dimasyarakat ia akan dipanggil ‘Bu Ali’ atau dibelakang namanya
tertulis Fatimah Ali. Itu keliru, seharusnya ia tetap dinasabkan kepada
bapaknya, misal Fatimah binti Muhammad.
3.
Mendoakannya dengan Doa perlindungan
Hal ini dicontohkan dalam Al Qur’an, yakni ketika isteri dari seorang
shalih bernama Imran (ada juga yang menyebutnya sebagai nabi), akan melahirkan
bayi perempuan yang kelak dinamakan Maryam. Saat itu
Istri Imran mendoakan bayi perempuannya (Maryam).
Allah Ta’ala berfirman:
“Maka tatkala isteri 'Imran melahirkan
anaknya, diapun berkata: "Ya Tuhanku, Sesunguhnya Aku melahirkannya
seorang anak perempuan; dan Allah lebih mengetahui apa yang dilahirkannya itu;
dan anak laki-laki tidaklah seperti anak perempuan. Sesungguhnya Aku Telah
menamai dia Maryam dan Aku mohon perlindungan untuknya serta anak-anak
keturunannya kepada (pemeliharaan) Engkau daripada syaitan yang terkutuk."
(QS. Ali Imran (3): 36)
Imam Ibnu Katsir berkata:
“Yaitu aku mohon perlindungan Allah untuknya, serta untuk anak keturunannya,
yaitu Isa dari kejahatan syetan. Maka Allah kabulkan permohonan itu.” Lalu Imam Ibnu Katsir menyebutkan sebuah hadits dari Abdurrazaq dari Ma’mar, dari Az Zuhry,
dari Said bin Musayyib, dari Abu Hurairah, dari Rasulullah, bahwa Ia bersabda:
“Tidaklah satupun bayi ketika
dilahirkan melainkan syetan mengganggunya, sehingga menjeritlah bayi itu.
Kecuali Maryam dan anaknya, Isa.” (Imam Ibnu Katsir, Tafsir Al Qur’an
Al ‘Azhim, Jilid 1, hal. 479)
Jadi, menurut keterangan ini,
hanya dua bayi yang tidak mengalami gangguan syetan, yaitu Maryam dan anaknya,
Isa ‘Alaihissalam.
Masih lanjutan hadits di atas, Abu Hurairah
berkata, “Bacalah!” Inni u’idzuha bika wa dzurriyataha minasy syaithanir
rajim. "وإني أعيذها بك وذريتها من الشيطان الرجيم" (Sesungguhnya Aku mohon
perlindungan untuknya serta anak-anak keturunannya kepada (pemeliharaan)
Engkau, dari gangguan syetan yang terkutuk) (HR. Bukhari no. 3431, Muslim
no. 2366, 2367)
Jika
anaknya laki-laki maka kata ‘ha’ diganti menjadi ‘hu’, yakni menjadi Inni
u’idzuhu bika wa dzurriyatahu minasyaithanir rajim.
Imam
Al Qurthubi berkata:
قال علماؤنا: فأفاد هذا الحديث أن الله
تعالى استجاب دعاء أم مريم، فإن الشيطان ينخس جميع ولد آدم حتى الأنبياء والأولياء
إلا مريم وابنها
Berkata para ulama kita: “Maka
faidah dari hadits ini, bahwa Allah Ta’ala telah mengabulkan doa Ummu Maryam,
sesungguhnya syetan mengganggu semua anak Adam, sampai para nabi dan para wali,
kecuali Maryam dan anaknya. (Al Jami Li Ahkamil Quran, 4/68)
4. Adzankan
Ini merupakan
upaya merekamkan kalimat tauhid Laa Ilaha Illallah Muhammadarrasulullah
sejak dini. Sebab
otak bayi laksana pita kaset yang masih kosong, ia akan terisi oleh suara yang
pertama kali tertangkap olehnya. Semoga hal itu menjadi arahan yang lurus bagi
sang bayi, yang akan mengendalikan arah hidupnya.
Dari
Abu Rafi’, dari ayahnya, ia berkata:
رَأَيْتُ
رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَذَّنَ فِي أُذُنِ الْحَسَنِ بْنِ
عَلِيٍّ حِينَ وَلَدَتْهُ فَاطِمَةُ بِالصَّلَاةِ
“Aku melihat Rasulullah adzan seperti adzan
shalat di telinga Al hasan ketika dilahirkan oleh Fathimah.” (HR. Abu Daud
no. 5105. At Tirmidzi No. 1514, katanya: hasan shahih. Abdurrazzaq dalam Al
Mushannaf No.7986, Ahmad No. 23869)
Syaikh
Al Albany –ahli hadits abad ini- berkata tentang status hadits ini, “Hasan,
Insya Allah!” (Irwa’ al Ghalil, 4/400. Dia juga menghasankan
dalam kitabnya yang lain, Shahih Sunan Abi Daud No. 5105 dan Shahih
wa Dhaif Sunan At Tirmidzi No. 1514)
Selain itu Imam Al Hakim juga menshahihkannya, namun Imam Adz Dzahabi
telah mengoreksinya.
Selain
itu, Al Imam Al Hafizh Yahya bin Said Al Qaththan juga menyebutkan bahwa hadits
ini diriwayatkan oleh seorang rawi yang dhaif, munkar, dan mudhtharib
(guncang). (Imam Ibnul Qaththan, Bayanul Wahm wal Iham fi Kitabil
Ahkam, No. 2135. 1997M-1418H. Dar Ath Thayyibah, Riyadh)
Namun Syaikh Al Albani, dalam penelitian
akhirnya dia mendhaifkan hadits ini. Berkata Syaikh Abdul Muhsin Al ‘Abbad Al
Badr Hafizhahullah:
والشيخ ناصر حسنه في بعض كتبه، وأخيراً رجع عن ذلك، ففي إسناده
رجل ضعيف وهو عاصم بن عبيد الله، وقد ذكر أن في شعب الإيمان للبيهقي حديثاً عن الحسن
يتعلق بالأذان وقد قيل: إنه شاهد لهذا، والشيخ ناصر قال: إنه بعدما طبع الكتاب رأى
إسناده وإذا في إسناده رجل وضاع ومتروك، وكان قبل ذلك يظن أنه شاهد لحديث أبي رافع
الموجود معنا، وعلى هذا فلا يصلح أن يكون شاهداً ما دام أن فيه كذاباً ومتروكاً، فيبقى
الحديث بدون شاهد. وإذا لم يكن في الموضوع أو في الباب إلا هذا الحديث الذي في إسناده
هذا الرجل الضعيف الذي هو عاصم بن عبيد الله ؛ فإنه لا يكون هناك شيء يصلح للاحتجاج
به في هذا الموضوع، إلا إذا كان هناك أحاديث أخرى تشهد له فيمكن ذلك، وأما إذا كان
التعويل على هذا الحديث وعلى الحديث الآخر الذي عند البيهقي الذي فيه الوضاع والمتروك،
فإنه لا يكون الأذان في أذن الصبي ثابتاً؛ لأن هذا الحديث فيه رجل ضعيف، وذاك الحديث
فيه متروك وفيه وضاع، فلا يشهد أحدهما للآخر ولا يثبت الحكم بهذا الحديث. وعلى هذا
فيعتبر الحديث غير صحيح ما دام بهذا الإسناد.
“Syaikh
Nashir (Al Albani) telah menghasankan hadits tersebut dalam sebagian kitabnya,
tetapi pada akhirnya
dia menarik kembali pendapat itu. Sebab dalam isnad hadits ini terdapat
seorang yang dhaif, yaitu ‘Ashim
bin ‘Ubaidullah. Beliau telah enyebutkan bahwa dalam kitab Syu’abul Iman
karya Imam Al Baihaqi ada hadits dari Al Hasan yang terkait dengan azan, dan
telah disebutkan: hadits tersebut (riwayat Al Baihaqi) merupakan penguat hadits
ini (riwayat At Tirmidzi dari Abu Rafi’ di atas, pen). Dan Syaikh Nashir
berkata: setelah buku tersebut diterbitkan saya melihat isnadnya
ternyata ada seorang yang wadhaa’ (pemalsu hadits) dan matruk
(ditinggalkan), dahulu sebelumnya hadits tersebut dianggap sebagai penguat
hadits Abu Rafi’ yang ada pada kami. Oleh karena itu tidak benar menjadikan
hadits tersebut sebagai penguat selama di dalamnya terdapat seorang yang pendusta
dan matruk. Maka, kesimpulannya hadits ini tidak memiliki syahid
(penguat). Dan, jika dalam pembahsan ini tidak ada dasar kecuali hadits ini
yang di isnadnya terdapat kelemahan perawinya yaitu ‘Ashim bin ‘Ubaidullah,
maka tidaklah ada satu pun yang bisa dijadikan argument dalam masalah ini (azan
untuk bayi), kecuali jika ada hadits lain yang menguatkannya, maka hal itu
dimungkinkan. Ada pun jika takwil terhadap hadits ini dan hadits lainnya yang
terdapat pada Imam Al Baihaqi yang di dalamnya terdapat wadhaa’
(pemalsu) dan matruk, maka aktifitas azan pada telinga bayi tidaklah
shahih, karena hadits ini (riwayat
Tirmidzi dari Abu Rafi’, pen) terdapat seseorang yang lemah. Sedangkan
hadits itu (Al Baihaqi) ada yang seorang
yang wadhaa’ dan matruk,
maka tidaklah salah satu menjadi penguat bagi yang lainnya. Maka tidaklah benar
berhukum dengan hadits ini. Oleh karena itu, hadits ini dihukumi tidak shahih
selama dengan sanad seperti ini.” (Syarh Sunan Abi Daud, No. 580)
Syaikh
Syu’aib Al Arnauth juga mendhaifkan hadits ini dengan penjelasan yang panjang. (Lihat
Tahqiq Musnad Ahmad No. 23869)
Jadi,
pandangan yang lebih kuat adalah hadits ini adalah dhaif, sebagaimana dikatakan
oleh Imam Adz Dzahabi, Imam Yahya bin Said Al Qaththan, Syaikh Syu’aib Al Arnauth,
Syaikh Al Albani, dan lainnya.
Namun
demikian ada baiknya kita menyimak
perkataan Syaikh Syu’aib Al Arnauth sebagai berikut:
قلنا: ومع ضعف الحديث الوارد في هذه المسألة،
فقد عمل به جمهور الأمة قديماً وحديثاً، وهو ما أشار إليه الترمذي عقبَه بقوله: والعمل
عليه. وقد أورده أهل العلم في كتبهم وبوَّبُوا عليه واستحبُّوه.
Kami
berkata: bersama kelemahan hadits dalam
masalah ini, mayoritas umat dahulu dan sekarang telah mengamalkan hadits ini,
hal itu seperti yang diisyaratkan oleh At Timirdzi setelah dia meriwayatkan
hadits ini, dengan ucapan beliau: hadits ini diamalkan. Dan, para ulama
telah menyampaikan hal ini dalam bab-bab kitab-kitab mereka dan mereka
menyunnahkannya. (Ibid)
Perkataan
Imam At Tirmidzi yang dimaksud adalah:
وَقَدْ ذَهَبَ بَعْضُ أَهْلِ الْعِلْمِ إِلَى هَذَا الْحَدِيثِ
Sebagian
ulama telah berpendapat dengan hadits ini. (Sunan At Tirmidzi No.
1514)
Setelah masa Imam At
Tirmidzi banyak sekali ulama di berbagai madzhab yang mengamalkan hadits
tersebut. Diantaranya, Imam Ibnul Qayyim dalam kitab At Tuhfah-nya,
bahwa azan (dan juga iqamah) untuk bayi baru dilahirkan adalah sunah.
Dalam kitabnya itu beliau
menulis:
الباب الرابع:في استحباب التأذين في أذنه اليمنى والإقامة في أذنه اليسرى
Bab keempat: Sunahnya azan
di telinga kanan dan iqamah di telinga kiri. (Lihat Tuhfatul Maudud fi
Ahkamil Maulud, Hal. 21, Cet. 1. 1983M- 1403H. Darul Kutub Al ‘Ilmiyah) . lalu
beliau menyebutkan beberapa hadits, termasuk hadits ini.
Imam Ibnul
Mulqin Rahimahullah menceritakan:
عَن عمر بن عبد الْعَزِيز - رَحْمَة
الله عَلَيْهِ - أَنه كَانَ إِذا ولد لَهُ ابْن أذن فِي أُذُنه الْيُمْنَى وَأقَام
فِي الْيُسْرَى . وأصحابنا يتواترون عَلَى نقل هَذَا عَنهُ
Dari
Umar bin Abdul Aziz Rahmatullah ‘Alaih, bahwa Beliau jika dilahirkan
anak untuknya Beliau mengazankan di telinga kanan dan iqamat di telinga kiri.
Para sahabat kami meriwayatkan ini secara mutawatir darinya. (Al Badrul
Munir, 9/350)
Tetapi riwayat
dari Umar bin Abdul Aziz ini dikomentari oleh Al Hafizh Ibnu Hajar: “Lam
araahu musnadan – saya belum melihat riwayat ini secara musnad.” (At
Talkhish Al Habir, 4/368)
Sedangkan hadits tentang
iqamah, adalah sebagai berikut:
مَنْ وُلِدَ لَهُ فَأَذَّنَ فِي
أُذُنِهِ الْيُمْنَى وَأَقَامَ فِي أُذُنِهِ الْيُسْرَى لَمْ تَضُرَّهُ أُمُّ
الصِّبْيَانِ.
"Siapa yang
kelahiran anak lalu ia mengadzankannya pada telinga kanan dan iqamah pada
telinga kiri maka Ummu Shibyan (jin yang suka mengganggu anak kecil,
-pent) tidak akan membahayakannya". (HR. Abu Ya’la No. 6780, Al Baihaqi
dalam Syu’abul Iman No. 7619, Ad Dailami No. 5982)
Para ulama telah
mendhaifkan hadits ini, karena ada dua orang perawi bermasalah, yaitu Marwan
bin Salim Al Ghifari dan Yahya
bin Al ‘Ala.
Imam Al Haitsami Rahimahullah
memberikan komentar:
فيه مروان بن سالم الغفارى وهو متروك
Dalam sanad
hadits ini terdapat Marwan bin Salim Al
Ghifari, dia adalah matruk (ditinggalkan haditsnya). (Majma’ Az
Zawaid, 4/59)
Imam Al Bushiri Rahimahullah
mengatakan:
هَذَا إِسْنَادٌ ضَعِيفٌ لِضَعْفِ
يَحْيَى بْنِ الْعَلاَءِ
Isnad hadits ini
dhaif, karena kedhaifan Yahya bin Al ‘Ala. (Al Ittihaf Al Khairah,
5/329)
Hadits ini juga
didhaifkan oleh Imam Abu Fadhl Al ‘Iraqi. (Al Mughni ‘an Hamlil Asfar
No. 1541, Takhrijul Ihya No. 1529), bahkan Syaikh Ali Hasyisy menyebutkan
maudhu’ (palsu). (As Silsilah Al Ahadits Al Wahiyah, Hal. 238)
5. Tahnik
Disunahkan memberikan tahnik
kepada bayi dengan menggunakan kurma atau sejenisnya, seperti madu dan
lain-lain. Dengan cara mengunyah kurma hingga lembut dan halus, lalu dimasukkan
ke dalam mulut bayi tersebut. Ini merupakan upaya persiapan agar bayi nantinya
mudah untuk merasakan manisnya air susu ibu. Hal ini didasarkan pada sebuah
hadits:
Dari Abu
Musa al Asy’ary beliau berkata: Dilahirkan bagiku bayi laki-laki, kemudian aku bawa
kepada Rasulullah. Lalu Rasulullah menamakan bayi itu Ibrahim dan mentahniknya
dengan korma serta mendoakan keberkatan atasnya, lalu menyerahkan kembali
kepadaku. Dan dia (Ibrahim) merupakan anak Abu Musa yang paling besar
(sulung).(HR. Bukhari no. 5467, Muslim III/1690, Ahmad IV/339)
Dari hadits ini ada tiga
pelajaran lain selain tahnik, yaitu pertama, hendaknya yang mentahnik adalah
orang shalih atau ahli ilmu. Boleh saja orang tuanya sendiri, apalagi ia juga
seorang shalih atau ahli ilmu. Kedua, meminta diberikan atau dicarikan nama
yang baik bagi si bayi oleh orang shalih atau ahli ilmu. Ketiga, mendoakan bayi
ketika ditahnik dengan doa yang mengandung keberkahan bagi bayi. Namun, tidak
ada rincian seperti apakah lafal doa tersebut, karena dalam hadits tersebut
tidak sebutkan teks doanya.
Jika mau, boleh diucapkan doa
yang mengandung permohonan keberkahan seperti: Allahumma barik lahu,
atau Allahumma barik ‘alaih, atau Allahumma barik fih. Secara
bahasa doa-doa ini memiliki maksud yang sama
yakni agar bayi tersebut diberkahi Allah Subhanahu wa Ta’ala.
6. Sikap Terhadap Bayi di hari ke Tujuh
Dari Salman bin ‘Amir Adh Dhabbi, bahwa Rasulullah Shallallahu
‘Alaihi wa Sallam bersabda:
مَعَ
الْغُلَامِ عَقِيقَةٌ فَأَهْرِيقُوا عَنْهُ دَمًا وَأَمِيطُوا عَنْهُ الْأَذَى
“Bersama bayi itu ada aqiqahnya,
maka sembelihlah (kambing), dan hilangkanlah gangguan darinya.” (HR. Bukhari
No. 5154. At Tirmidzi No. 1551 Ibnu Majah No. 3164. Ahmad No. 17200)
Maksud dari “hilangkanlah
gangguan darinya” adalah mencukur rambut kepalanya (Imam Asy Syaukani, Nailul
Authar, 5/132. Maktabah Ad Da’wah Al Islamiyah). Imam Ibnu Hajar menyebutkan, bahwa Imam
Muhammad bin Sirin berkata: “Jikalau makna ‘menghilangkan gangguan’ adalah
bukan mencukur rambut, aku tak tahu lagi apa itu.” Al Ashmu’i telah memastikan bahwa maknanya
adalah mencukur rambut. Diriwayatkan oleh Abu Daud dengan sanad shahih, bahwa
Al Hasan Al Bashri juga mengatakan demikian. (Al Hafizh Ibnu Hajar, Fathul
Bari, 9/593. Darul Fikr)
Dalam riwayat lain:
كُلُّ
غُلَامٍ رَهِينَةٌ بِعَقِيقَتِهِ تُذْبَحُ عَنْهُ يَوْمَ سَابِعِهِ وَيُحْلَقُ وَيُسَمَّى
“Setiap
bayi tergadai dengan aqiqahnya, disembelih (hewan) pada hari ketujuh dari
kelahirannya, dicukur rambutnya dan diberikan nama.” (HR. Abu Daud No. 2838. Ahmad No.
19382. Ad Darimi No. 2021. Al Baihaqi, Syu’abul Iman, No. 8377. Hadits
ini shahih. Lihat Syaikh Al Albani, Irwa’ Al Ghalil No. 1165. Al Maktab
Al Islami. Imam An Nawawi, Al Adzkar, No. 843. Darul Fikr)
Apa maksud kalimat “Setiap
bayi digadaikan dengan aqiqahnya”? Imam Al Khaththabi mengatakan, telah
terjadi perbedaan pendapat tentang makna tersebut. Imam Ahmad bin Hambal
mengatakan, maksudnya adalah setiap anak yang lahir dan dia belum diaqiqahkan,
lalu dia wafat ketika masih anak-anak,
maka dia tidak bisa memberikan syafa’at kepada kedua orang tuanya.
Sementara, pengarang Al Masyariq dan An Nihayah mengatakan,
maksudnya adalah bahwa tidaklah diberi nama dan dicukur rambutnya kecuali
setelah disembelih aqiqahnya. (Imam Asy Syaukani, Nailul Authar,
5/133. Maktabah Ad Da’wah Islamiyah.
Imam Abu Thayyib Syamsul Haq ‘Azhim Abadi, ‘Aunul Ma’bud, 8/27. Darul
Kutub Al ‘Ilmiyah)
Seorang tokoh tabi’in, ‘Atha bin
Abi Rabbah mengatakan seperti yang dikatakan Imam Ahmad, maksud kalimat
tersebut adalah orang tua terhalang mendapatkan syafa’at dari anaknya. (Imam
Ibnul Qayyim, Tuhfatul Maudud, Hal. 48. Darul Kutub Al ‘Ilmiyah)
- Aqiqah
-
Hukumnya
Mayoritas ulama mengatakan hukumnya adalah sunah. Berikut
keterangan Imam Ibnul Qayyim:
فأما أهل
الحديث قاطبة وفقهاؤهم وجمهور أهل العلم فقالوا هي من سنة رسول الله صلى الله عليه
وسلم
“Ada pun pimpinan Ahli Hadits dan
para ahli fiqih mereka dan jumhur (mayoritas) ulama, mereka mengatakan
bahwa aqiqah adalah sunah Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam.”
(Tuhfatul Maudud, Hal. 28. Darul Kutub Al ‘Ilmiah)
Imam
Asy Syaukani Rahimahullah mengatakan:
وذهب الجمهور
من العترة وغيرهم إلى انها سنة
“Madzhab jumhur (mayoritas) ulama
dan lainnya adalah aqiqah itu sunah.” (Nailul Authar, 5/132. Maktabah
Ad da’wah Al Islamiyah Syabab Al Azhar)
Berkata Syaikh Sayyid Sabiq Rahimahullah:
والعقيقة سنة مؤكدة ولو كان الاب معسرا، فعلها الرسول، صلى الله عليه
وسلم، وفعلها أصحابه، روى أصحاب السنن أن النبي، صلى الله عليه وسلم، عق عن الحسن والحسين
كبشا كبشا، ويرى وجوبها الليث وداود الظاهري.
“Aqiqah adalah sunah
mu’akkadah walau keadaan orang tuanya sulit, Rasulullah telah
melaksanakannya, begitu pula para sahabat. Para pengarang kitab As Sunan telah meriwayatkan bahwa Nabi Shallallahu
‘Alaihi wa Sallam telah meng-aqiqahkan Hasan dan Husein dengan masing-masing
satu kambing kibas. Sedangkan menurut
Laits bin Sa’ad dan Daud Azh Zhahiri aqiqah adalah wajib.” (Fiqhus Sunnah,
3/326. Darul Kitab Al ‘Arabi)
Sedangkan, Imam Abu Hanifah
justru membid’ahkan Aqiqah! (Imam An Nawawi, Al Majmu’ Syarh Al
Muhadzdzab, 3/217. Dar ‘Alim Al Kitab)
Pengarang kitab Al Bahr
menyebutkan, bahwa Imam Abu Hanifah menilai Aqiqah merupakan kejahiliyahan.
Imam Asy Syaukani mengatakan, jika benar itu dari Abu Hanifah, maka hal itu
bisa jadi dikarenakan belum sampai kepadanya hadits-hadits tentang aqiqah.
Sementara Imam Muhammad bin Hasan mengatakan Aqiqah adalah kebiasaan jahiliyah
yang telah dihapus oleh Islam dengan qurban. Sementara, justru kalangan zhahiriyah
(yakni Imam Daud dan Imam Ibnu Hazm, pen) dan Imam Al Hasan Al Bashri
mengatakan wajib. (Imam Asy Syaukani, Nailul Authar, 5/132. Maktabah
Ad da’wah Al Islamiyah Syabab Al Azhar. Imam Ibnul Qayyim, Tuhfatul Maudud,
Hal. 38. Darul Kutub Al ‘Ilmiyah)
Imam Ibnu Hazm mengatakan bahwa
aqiqah adalah wajib. (Al Muhalla, 7/523. Darul Fikr)
Pendapat yang benar dan lebih
kuat, hukum aqiqah adalah sunah. Hal ini didasari oleh hadits berikut:
من ولد له فأحب أن ينسك
عن ولده فليفعل
“Barang
siapa dilahirkan untuknya seorang bayi, dan dia mau menyembelih (kambing) untuk
bayinya, maka lakukanlah.” (HR. Malik No. 1066. Ahmad No. 22053. Al Haitsami
mengatakan, dalam sanadnya terdapat seorang yang tidak menjatuhkan hadits ini,
dan periwayat lainnya adalah para periwayat hadits shahih. Majma’ Az
Zawaid, 4/57. Al Maktabah Asy Syamilah)
Hadits ini dengan jelas
menyebutkan bahwa penyembelihan dikaitkan dengan kemauan orangnya. Kalau dia
mau, maka lakukanlah. Maka, tidak syak lagi bahwa pendapat jumhur
(mayoritas) ulama lebih kuat dan benar, bahwa aqiqah adalah sunah.
Imam Ash Shan’ani Rahimahullah menjadikan hadits ini sebagai
pengalih kewajiban aqiqah menjadi sunah. (Subulus Salam, 6/329. Al
Maktabah Asy Syamilah)
Imam Ibnu Abdil Bar Rahimahullahi mengomentari hadits tersebut
dalam At Tamhid:
في هذا الحديث: قوله صلى الله عليه وسلم:" من ولد له ولد فأحب أن
ينسك عن ولده فليفعل دليل على أن العقيقة ليست بواجبة لأن الواجب لا يقال فيه من أحب
فليفعله".
“Dalam hadits ini terdapat dalil
bahwa aqiqah bukanlah kewajiban, karena seandainya wajib tidak akan dikatakan
di dalamnya, “Barang siapa yang suka maka lakukanlah.” (Imam Ibnu Abdil Bar,
At Tamhid Lima fil Muwaththa’ minal Ma’ani wal Asanid, 4/311. Mawqi’ Ruh
Al Islam)
Imam Ibnul Qayyim Rahimahullah
mengutip dari para ulama tentang maksud hadits ini:
وفعله لها لا يدل على الوجوب وإنما يدل على الاستحباب
“Melaksanakan aqiqah (dalam
hadits ini), tidaklah menunjukkan kewajiban, itu hanyalah menunjukkan perbuatan
yang disukai (sunah).” (Tuhfatul Maudud, Hal. 42. Darul Kutub Al
‘Ilmiyah)
Beliau juga mengatakan:
العقيقة سنة عن الجارية كما هي سنة عن الغلام هذا قول جمهور أهل
العلم من الصحابة والتابعين ومن بعدهم
“Aqiqah adalah sunah buat anak
perempuan sebagaimana juga sunah bagi anak laki-laki, inilah pendapat mayoritas
ahli ilmu dari kalangan sahabat nabi, tabi’in, dan orang setelah mereka. “ (Ibid,
hal. 46)
Imam
Abul Walid Sulaiman Al Baji mengomentari hadits di atas, katanya hadits ini
menunjukkan bahwa aqiqah tidak wajib karena terkait dengan kerelaan orang
tuanya. Lalu dia mengatakan:
قَالَ مَالِكٌ
فِي الْمَبْسُوطِ : مَنْ لَمْ يَذْبَحْ وَلَمْ يُطْعِمْ فَلَا إثْمَ عَلَيْهِ وَبِهَذَا
قَالَ جُمْهُورُ الْفُقَهَاءِ
“Berkata Imam Malik dalam
Al Mabsuth: Barang siapa yang tidak menyembelih (aqiqah), tidak
memberikan makan, maka tidak ada dosa baginya. Demikian inilah pendapat
mayoritas ahli fiqih.” (Imam Abul Walid Sulaiman Al Baji, Al Muntaqa
Syarh Al Muwaththa’, 3/142. Al Maktabah Asy Syamilah)
Berkata Ja’far bin Muhammad,
ditanyakan kepada Imam Ahmad tentang seseorang yang tidak memiliki apa-apa untuk
diaqiqahkan. Beliau menjawab: “Tidak ada masalah atasnya.” Al Harits berkata, ditanyakan kepada Imam
Ahmad tentang orang yang tidak memiliki apa-apa untuk diaqiqahkan. Beliau
menjawab: “Jika dia mau tidak mengapa berhutang, aku harap Allah Ta’ala menggantinya
karena dia menghidupkan sunah.” (Imam Ibnul Qayyim, Tuhfatul Maudud,
Hal. 40. Darul Kutub Al ‘ilmiyah)
Jika sudah jelas bahwa aqiqah
adalah sunah, bukan wajib, maka dia
tidak berdosa jika tidak melaksanakannya, maka bagaimana mungkin hal itu dianggap
hutang hingga dewasa? Maka, bagaimana mungkin, orang tua tidak boleh
mengaqiqahkan anaknya, hanya karena dia belum meng-aqiqahkan dirinya?
Berkata
Al ‘Allamah Ibnul Qayyim Rahimahullah:
يجب على
الأب وهو المنصوص عن أحمد قال إسماعيل بن سعيد الشالنجي سألت أحمد عن الرجل يخبره والده
أنه لم يعق عنه هل يعق عن نفسه قال ذلك على الأب
“(Aqiqah)
adalah kewajiban bagi ayah, dan ini ditegaskan oleh nash (dalil) dari Ahmad.
Ismail bin Said Asy Syalinji berkata:
Aku bertanya kepada Ahmad tentang seorang laki-laki yang mengabarkan bahwa
orang tuanya belum mengaqiqahkan dirinya, apakah dia mesti meng-aqiqahkan
dirinya? Ahmad menjawab: “itu adalah kewajiban ayahnya.” (Ibid, Hal.
41. Darul Kutub Al ‘Ilmiyah)
-
Waktu Pelaksanaan
Para ulama sepakat bahwa hari
ketujuh dari kelahiran bayi adalah paling utama (afdhal), tetapi mereka
berbeda pendapat tentang aqiqah selain hari ketujuh, bolehkah atau tidak.
Kebanyakan ulama membolehkannya. Ada yang mengatakan sama sekali tidak boleh
dan jika dilakukan, maka itu bukanlah aqiqah. Sebagian lain ada yang
membolehkan pada hari ke 14 dan 21, ada pula yang membolehkan sebelum hari ke
tujuh, bahkan ada yang membolehkan kapan pun dia memiliki kemampuan, walau sudah dewasa.
Dari Samurah bin Jundub, bahwa
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
كلُّ غلامٍ رهينةٌ بعقيقته: تذبح عنه يوم سابعه، ويحلق، ويسمى
“Setiap bayi digadaikan dengan
aqiqahnya, disembelihkan untuknya pada hari ketujuh, dicukur kepalanya, dan
diberikan nama.” (HR. Abu Daud No. 2838. Ahmad No. 19382. Ad Darimi No.
2021. Al Baihaqi, Syu’abul Iman, No. 8377. Hadits ini shahih. lihat Syaikh Al Albani, Irwa’
Al Ghalil No. 1165. Al Maktab Al Islami. Imam An Nawawi, Al Adzkar,
No. 843. Darul Fikr)
Imam
Asy Syaukani mengomentari demikian:
فِيهِ مَشْرُوعِيَّةُ التَّسْمِيَةِ فِي الْيَوْمِ
السَّابِعِ وَالرَّدُّ عَلَى مَنْ حَمْلِ التَّسْمِيَةَ فِي حَدِيثِ سَمُرَةَ السَّابِقِ
عَلَى التَّسْمِيَةِ عِنْدَ الذَّبْحِ .
وَفِيهِ أَيْضًا مَشْرُوعِيَّةُ وَضْعِ الْأَذَى وَذَبْحِ الْعَقِيقَةِ
فِي ذَلِكَ الْيَوْمِ .
“Dalam hadits ini terdapat
pensyariatan penamaan pada hari ketujuh, dan sebagai bantahan bagi pihak yang
mengatakan bahwa penamaan itu pada saat penyembelihan, dan disyariatkannya pula
menghilangkan gangguan (mencukur rambut), dan menyembelih aqiqah pada hari
itu.” (Nailul Authar , 5/135. Maktabah Ad Da’wah Al Islamiyah)
Imam Abu Thayyib Syamsul Azhim
Abadi,
memberikan syarah (penjelasan) demikian:
فِيهِ دَلِيل عَلَى أَنَّ وَقْت الْعَقِيقَة سَابِع الْوِلَادَة ، وَأَنَّهَا
لَا تُشْرَع قَبْله وَلَا بَعْده وَقِيلَ تَجْزِي فِي السَّابِع الثَّانِي وَالثَّالِث
لِمَا أَخْرَجَهُ الْبَيْهَقِيُّ عَنْ عَبْد اللَّه بْن بُرَيْدَةَ عَنْ أَبِيهِ عَنْ
النَّبِيّ أَنَّهُ قَالَ " الْعَقِيقَة تُذْبَح لِسَبْع وَلِأَرْبَع عَشْرَة وَلِإِحْدَى
وَعِشْرِينَ " ذَكَرَهُ فِي السُّبُل . وَنَقَلَ التِّرْمِذِيّ عَنْ أَهْل الْعِلْم
أَنَّهُمْ يَسْتَحِبُّونَ أَنْ تُذْبَح الْعَقِيقَة يَوْم السَّابِع فَإِنْ لَمْ يَتَهَيَّأ
فَيَوْم الرَّابِع عَشَر ، فَإِنْ لَمْ يَتَهَيَّأ عَقَّ عَنْهُ يَوْم إِحْدَى وَعِشْرِينَ
.
“Dalam hadits ini terdapat dalil bahwa waktu aqiqah
adalah hari ke tujuh kelahiran. Sesungguhnya tidak disyariatkan sebelum dan
sesudahnya. Ada yang mengatakan: Sudah mencukupi dilakukan pada hari ke 14 dan
21, sebab telah dikeluarkan oleh Imam Al Baihaqi dari Abdullah bin Buraidah,
dari Ayahnya, dari Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, beliau bersabda:
‘Aqiqah disembelih pada hari ke- 7, 14, dan 21.’ Hadits ini disebutkan dalam kitab
Subulus Salam. Imam At Tirmidzi mengutip dari para ulama bahwa mereka
menyukai menyembelih aqiqah pada hari ke 7, jika dia belum siap maka hari ke
14, jika dia belum siap maka di hari ke 21.” (‘Aunul Ma’bud, 8/28.
Darul Kutub Al ‘Ilmiyah)
Para Imam Ahlus Sunnah pun
membolehkan aqiqah dilakukan setelah hari ketujuh kelahiran. Berikut
keterangannya:
قال أبو داود في كتاب المسائل سمعت أبا عبد الله يقول العقيقة تذبح يوم
السابع وقال صالح بن أحمد قال أبي في العقيقة تذبح يوم السابع فإن لم يفعل ففي أربع
عشرة فإن لم يفعل ففي إحدى وعشرين وقال الميموني قلت لأبي عبد الله متى يعق عنه قال
أما عائشة فتقول سبعة أيام وأربعة عشرة ولأحد وعشرين وقال أبو طالب قال أحمد تذبح العقيقة
لأحد وعشرين يوما انتهى
“Abu Daud mengatakan dalam kitab Al
Masail, aku mendengar Abu Abdillah (Imam Ahmad) berkata: Aqiqah disembelih
pada hari ke 7. Berkata Shalih bin Ahmad: “Ayahku (Imam Ahmad) berkata tentang
aqiqah, bahwa disembelih pada hari ke 7, jika belum melaksanakannya maka hari
ke 14, dan jika belum melaksanakannya aka hari ke 21. Berkata Al Maimuni: Aku
bertanya kepada Abu Abdillah, kapankah dilaksanakannya aqiqah? Dia menjawab:
‘Ada pun ‘Aisyah mengatakan pada hari ke 7, 14, dan 21.’ Berkata Abu Thalib:
Imam Ahmad berkata aqiqah disembelih pada satu hari, hari ke 21. Selesai.” (Imam
Ibnul Qayyim, Tuhfatul Maudud, Hal. 43. Darul Kutub Al ‘Ilmiyah)
Imam Ibnul Qayyim juga
menceritakan bahwa Imam Hasan Al Bashri mewajibkan aqiqah pada hari ketujuh.
Imam Laits bin Sa’ad mengatakan bahwa aqiqah dilakukan pada hari ketujuh
kelahiran, jika belum siap, boleh saja dilakukan pada hari setelahnya, dan
bukan kewajiban aqiqah pada hari ketujuh. Sementara Abu Umar (Ibnu Abdil Bar)
mengatakan bahwa Imam Laits bin Sa’ad mewajibkan aqiqah hari ketujuh. Semenara
‘Atha lebih menyukai aqiqah dilakukan hari ketujuh dan mengakhirkannya hingga hari ketujuh
selanjutnya (hari ke 14). Ini juga pendapat Ahmad, Ishaq, dan Asy Syafi’i,
Malik tidak menambahkan hingga hari ke 14, sementara menurut Ibnu Wahhab tidak
mengapa hingga hari ke 21. Ini juga pendapat Aisyah, ‘Atha, Ishaq, dan Ahmad. (Ibid,
Hal. 44)
Berkata Syaikh Sayyid Sabiq Rahimahullah:
والذبح
يكون يوم السابع بعد الولادة إن تيسر، وإلا ففي اليوم الرابع عشر وإلا ففي اليوم الواحد
والعشرين من يوم ولادته، فإن لم يتيسر ففي أي يوم من الايام. ففي حديث البيهقي: تذبح
لسبع، ولاربع عشر، ولاحدي وعشرين.
“Penyembelihan
dilakukan pada hari ke tujuh setelah kelahiran jika dia lapang, jika tidak maka pada hari ke 14,
jika tidak maka hari ke 21 dari hari kelahirannya. Jika masih sulit, maka bisa
lakukan di hari apa pun. Dalam Hadits Al Baihaqi: “disembelih pada hari ke 7,
14, dan 21.” (Fiqhus Sunnah, 3/328. Darul Kitab Al ‘Arabi)
Demikian perselisihan
ini, bahkan ada pula yang mengklaim bahwa secara ijma’ (aklamasi) tidak
boleh aqiqah pada hari sebelum dan sesudah hari ke 7. Namun klaim ini lemah
dan bertentangan dengan realita
perselisihan yang ada.
Berkata Imam Asy
Syaukani Rahimahullah:
وَنَقَلَ صَاحِبُ الْبَحْرِ عَنْ الْإِمَامِ يَحْيَى أَنَّهَا لَا تُجْزِئُ
قَبْلَ السَّابِعِ وَلَا بَعْدَهُ إجْمَاعًا وَدَعْوَى الْإِجْمَاعِ مُجَازَفَةٌ مَا
عَرَفْت مِنْ الْخِلَافِ الْمَذْكُورِ .
“Pengarang Al Bahr mengutip
dari Imam Yahya, bahwa menurut ijma’ aqiqah tidaklah sah dilakukan
sebelum dan sesudah hari ke 7. Namun, klaim adanya ijma’ ini hanyalah
prasangkaan semata, tidakkah Anda mengetahui perselisihan yang sudah
disebutkan.” (Nailul Authar, 5/133. Maktabah Ad Da’wah Al Islamiyah)
-
Bolehkah
Aqiqah setelah Dewasa?
Para ulama berbeda pendapat, antara
membolehkan dan tidak. Mereka yang melarang beralasan bahwa hadits tentang
bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam pernah mengaqiqahkan
dirinya setelah dewasa adalah dhaif.
Dari Anas bin Malik, katanya:
عق رسول الله صلى الله عليه وسلم عن نفسه بعد ما بعث بالنبوة
“Rasulullah Shallallahu
‘Alaihi wa Sallam mengaqiqahkan dirinya setelah beliau diangkat menjadi
nabi.” (HR. Abdurrazaq, No. 7960)
Hadits ini sering dijadikan dalil
bolehnya aqiqah ketika sudah dewasa. Shahihkah hadits ini?
Hadits ini dhaif.
Dalam sanadnya terdapat Abdullah bin Muharrar. Para Imam Ahli hadits
tidaklah menggunakan hadits darinya.
Yahya bin Ma’in mengatakan, Abdullah
bin Muharrar bukanlah apa-apa (tidak dipandang). Amru bin Ali Ash Shairafi
mengatakan, dia adalah matrukul hadits (haditsnya ditinggalkan). Ibnu
Abi Hatim berkata: Aku bertanya kepada ayahku (Abu Hatim Ar Razi) tentang Abdullah
bin Muharrar, dia menjawab: matrukul hadits (haditsnya
ditinggalkan), munkarul hadits (haditsnya munkar), dan dhaiful hadits
(haditsnya lemah). Ibnul Mubarak meninggalkan haditsnya.
Abu Zur’ah mengatakan, dia adalah
dhaiful hadits. (Imam Abdurrahman bin Abi Hatim, Al Jarh wat
Ta’dil, 5/176. Dar Ihya At Turats)
Sementara Imam Bukhari
mengatakan, Abdullah bin Muharrar adalah munkarul hadits. (Imam
Bukhari, Adh Dhu’afa Ash Shaghir, Hal. 70, No. 195. Darul Ma’rifah)
Muhammad bin Ali Al Warraq
mengatakan, ada seorang bertanya kepada Imam Ahmad tentang Abdullah bin
Muharrar, beliau menjawab: manusia meninggalkan haditsnya. Utsman bin Said
mengatakan: aku mendengar Yahya berkata: Abdullah bin Muharrar bukan orang yang
bisa dipercaya. (Al Hafizh Al Uqaili, Adh Dhu’afa, 2/310. Darul Kutub
Al ‘ilmiyah)
Imam An Nasa’i mengatakan,
Abdullah bin Muharrar adalah matrukul hadits (haditsnya ditinggalkan).
(Imam An Nasa’i, Adh Dhu’afa wal Matrukin, Hal. 200, No. 332)
Imam Ibnu Hibban mengatakan,
bahwa Abdullah bin Muharrar adalah diantara hamba-hamba pilihan, sayangnya dia
suka berbohong, tidak mengatahui, dan banyak memutarbalik-kan hadits, dan tidak
faham. (Imam Az Zaila’i, Nashb Ar Rayyah, 1/297. Maktabah Syamilah)
Al Hafizh Ibnu Hajar mengatakan
bahwa Abdullah bin Muharrar adalah seorang yang dhaif jiddan (lemah
sekali). (Imam Ibnu Hajar,Talkhish Al Habir, 4/362. Darul Kutub Al ‘Ilmiyah)
Ada pun ulama yang mendhaifkan hadits ini
adalah Al Hafizh Ibnu Hajar, Imam An Nawawi menyebutnya sebagai hadits batil,
sedangkan Imam Al Baihaqi menyebutnya hadits munkar. (Ibid)
Oleh karena itu, ulama kalangan Malikiyah dan sebagain
Hambaliyah melarang aqiqah ketika sudah dewasa.
Tetapi, banyak pula imam kaum muslimin yang membolehkan. Dan, menurut Syaikh Al Albani hadits di atas
adalah SHAHIH, karena ada dua jalur lain yang menguatkan hadits tersebut. Yakni
hadits yang diriwayatkan oleh Imam Abu Ja’far Ath Thahawi dalam Kitab
Musykilul Atsar No. 883, dan hadits yang diriwayatkan oleh Imam Ath
Thabarani dalam Mu’jam Al Awsath No. 1006. Sehingga Syaikh
Muhammad Nashiruddin Al Albani menshahihkan hadits ini dengan status SHAHIH
LI GHAIRIHI. (As Silsilah Ash Shahihah No. 2726)
Ulama yang membolehkan adalah Imam Muhammad bin Sirin, Al
Hasan Al Bashri, Atha’, sebagian Hambaliyah dan Syafi’iyah.
Imam Ahmad ditanya tentang bolehkah seseorang mengaqiqahkan
dirinya ketika sudah dewasa? Imam Ibnul Qayyim menyebutkan dalam kitabnya
sebagai berikut:
وقال أن
فعله إنسان لم أكرهه
“Dia (Imam Ahmad) berkata: Aku tidak memakruhkan orang yang
melakukannya.” (Imam Ibnul Qayyim, Tuhfatul Maudud, Hal 61. Cet. 1.
1983M-1403H. Darul Kutub Al ‘Ilmiyah)
-
Harus dengan Kambing
Pendapat yang mengatakan bolehnya aqiqah dengan selain kambing adalah
pendapat lemah dan telah diingkari oleh orang-orang mulia.
Sebagaimana yang
diterangkan dalam riwayat berikut:
عن ابن أبى مليكة يقول نفس
لعبد الرحمن بن أبى بكر غلام فقيل لعائشة رضى الله عنها يا ام المؤمنين عقى عليه
أو قال عنه جزورا فقالت معاذ الله ولكن ما قال رسول الله صلى الله عليه وسلم شاتان
مكافأتان
Dari Ibnu Abi Malikah ia
berkata: Telah lahir seorang bayi laki-laki untuk Abdurrahman bin Abi Bakar,
maka dikatakan kepada ‘Aisyah: “Wahai Ummul Mu’minin, adakah aqiqah atas
bayi itu dengan seekor unta?”. Maka ‘Aisyah menjawab: “Aku berlindung
kepada Allah, tetapi seperti yang dikatakan oleh Rasulullah, dua ekor kambing
yang sepadan.” (HR. Ath Thahawi, Musykilul Atsar,
No. 871)
Ini adalah riwayat
pengingkaran yang sangat tegas bagi orang yang menggantikan Kambing dengan yang
lainnya, sampai-sampai ‘Aisyah mengucapkan Ma’adzallah! (Aku berlindung
kepada Allah). Hadits ini menjadi pembatal bagi siapa saja yang mencoba-coba
mengganti hewan aqiqah menjadi Sapi atau Unta.
Oleh karena itu, dengan tegas
berkata Imam Ibnu Hazm Rahimahullah:
ولا يجزئ
في العقيقة الا ما يقع عليه اسم شاة إما من الضأن واما من الماعز فقط، ولا يجزئ في
ذلك من غير ما ذكرنا لا من الابل ولامن البقر الانسية ولامن غير ذلك
“Tidaklah cukup dalam aqiqah
melainkan hanya dengan apa-apa yang dinamakan dengan kambing (syatun), baik itu jenis kambing
benggala atau kambing biasa, dan
tidaklah cukup hal ini dengan selain yang telah kami sebutkan, tidak
pula jenis unta, tidak pula sapi, dan
tidak pula lainnya.” (Al Muhalla, 7/523. Darul Fikr)
Telah ada kasus pada masa
sahabat, di antara mereka melaksanakan aqiqah dengan Unta, namun hal itu
langsung dingkari oleh Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Imam
Ibnul Mundzir menceritakan, bahwa Anas bin Malik meng-aqiqahkan anaknya dengan
Unta, juga dilakukan oleh Abu Bakrah dia menyembelih Unta untuk anaknya dan
memberikan makan penduduk Bashrah dengannya. Kemudian disebutkan dari Al Hasan,
dia berkata: bahwa Anas bin Malik meng –aqiqahkan
anaknya dengan Unta. Kemudian disebutkan
hadits, dari Yahya bin Yahya, mengabarkan kepada kami Husyaim, dari ‘Uyainah
bin Abdirrahman, dari ayahnya, bahwa Abu Bakrah telah mendapatkan anak
laki-laki, bernama Abdurrahman, dia adalah anaknya yang pertama di Bashrah,
disembelihkan untuknya Unta dan diberikan untuk penduduk Bashrah, lalu sebagian
mereka mengingkari hal itu, dan berkata: ”Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa
Sallam telah memerintahkan aqiqah dengan dua kambing untuk bayi laki-laki,
dan satu kambing untuk bayi perempuan, dan tidak boleh dengan selain itu.” (Imam Ibnul Qayyim, Tuhfatul Maudud fi
Ahkamil Maulud, Hal. 58. Darul Kutub Al ‘Ilmiyah)
Imam Ibnul Mundzir membolehkan
aqiqah dengan selain kambing, dengan alasan:
مَعَ
الْغُلَامِ عَقِيقَةٌ فَأَهْرِيقُوا عَنْهُ دَمًا وَأَمِيطُوا عَنْهُ الْأَذَى
“Bersama bayi itu ada aqiqahnya,
maka sembelihlah hewan, dan hilangkanlah gangguan darinya.” (HR. Bukhari No.
5154. At Tirmidzi No. 1551 Ibnu Majah No. 3164. Ahmad No. 17200)
Menurutnya, hadits ini tidak menyebutkan kambing, tetapi
hewan secara umum, jadi boleh saja dengan selain kambing. Alasan Imam Ibnu Mundzir ini lemah, sebab
hadits ini masih global, dan telah ditafsirkan dan dirinci oleh berbagai hadits
lain yang menjelaskan bahwa apa yang dimaksud hewan dalam hadits itu adalah
kambing. Menurut kaidah ushul tidak dibenarkan mengamalkan dalil yang masih
global, jika sudah ada dalil lain yang memberikan perincian dan penjelasannya.
Istilahnya Hamlul Muthlaq ila Al muqayyad (Dalil yang masih
muthlaq/umum harus dibatasi oleh dalil yang muqayyad/terbatas).
Hadits-hadits yang memberikan rincian tersebut adalah
(saya sebut dua saja)
Dari Ummu Kurzin Radhiallahu
‘Anha, katanya:
قَالَ رَسُولُ
اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ الْغُلَامِ شَاتَانِ مُكَافَأَتَانِ
وَعَنْ الْجَارِيَةِ شَاةٌ
“Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda,
bahwa untuk anak laki-laki adalah dua kambing yang sepadan, dan bagi anak
perempuan adalah satu ekor kambing.” (HR. At Tirmidzi No. 1550. Ibnu
Majah No. 3162. An Nasa’i No. 4141.
Lafaz ini milik Ibnu Majah. Dishahihkan oleh Syaikh Al Albani dalam Shahih
Wa Dhaif Sunan An Nasa’i No. 4215)
Dari Aisyah Radhiallahu ‘Anha, katanya:
أمرنا رسول الله صلى الله عليه وسلم أن نعق عن الغلام شاتين، وعن
الجارية شاة.
“Rasulullah
Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam memerintahkan kami untuk meng-aqiqahkan
anak laki dengan dua ekor kambing, dan anak perempuan seekor kambing.” (HR.
Ibnu Majah No. 3163. Dishahihkan oleh Syaikh Al Albani dalam Irwa’ Al Ghalil
No. 1166)
Demikianlah hadits-hadits yang
memberikan perinciannya. Masih banyak hadits lainnya, yang semuanya
memerintahkan dengan kambing, tak satu pun menyebut selain kambing, justru yang ada adalah
pengingkaran selain kambing. Maka,
jelaslah kelemahan pendapat yang mengatakan bahwa aqiqah boleh diganti dengan
Sapi atau Unta. Wallahu A’lam.
Imam
Ibnul Qayyim telah membantah kekeliruan Imam Ibnul Mundzir dalam hal ini,
menurutnya hadits yang menyebutkan sembelihan dengan hewan adalah masih umum, dan telah dirinci dengan riwayat
hadits-hadits yang menyebut penyembelihan itu harus dengan kambing. Beliau
mengatakan;
وقول النبي صلى الله عليه وسلم عن الغلام شاتان وعن الجارية شاة مفسر
والمفسر أولى من المجمل
“Dan sabda Nabi Shallallahu
‘Alaihi wa Sallam, ‘untuk anak laki-laki dua kambing dan anak perempuan
satu kambing,’ merupakan perincinya, dan rincian harus diutamakan dibanding
yang masih global (umum).” (Tuhfatul Maudud, Hal. 58. Darul Kutub Al
‘Ilmiyah)[1]
-
Bayi laki-laki dua kambing, Bayi Perempuan satu kambing
Demikianlah ketetapan yang telah
ditegaskan dalam berbagai nash hadits. Sebagaimana yang sudah saya tulis
sebelumnya. Ini menjadi pendapat mayoritas ulama. Ada pun Imam Malik dan
lainnya, menurutnya tidak ada kelebihan bayi laki-laki di atas bayi perempuan,
keduanya sama saja.
Dari Ummu Kurzin Radhiallahu
‘Anha, katanya:
قَالَ رَسُولُ
اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ الْغُلَامِ شَاتَانِ مُكَافَأَتَانِ
وَعَنْ الْجَارِيَةِ شَاةٌ
“Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda,
bahwa untuk anak laki-laki adalah dua kambing yang sepadan, dan bagi anak
perempuan adalah satu ekor kambing.” (HR. At Tirmidzi No. 1550. Ibnu
Majah No. 3162. An Nasa’i No. 4141.
Lafaz ini milik Ibnu Majah. Dishahihkan oleh Syaikh Al Albani dalam Shahih
Wa Dhaif Sunan An Nasa’i No. 4215)
Imam Abu Thayyib Syamsul Azhim
Abadi
mengomentari hadits dari Ummu Kurzin ini:
وفي الحديث دليل على أن المشروع في العقيقة شاتان عن الذكر وشاة واحدة عن
الأنثى. وحكاه في فتح الباري عن الجمهور. وقال مالك: إنها شاة عن الذكر والأنثى
“Hadits ini merupakan dalil bahwa
dalam aqiqah disyariatkan dua ekor kambing buat anak laki-laki, dan satu ekor
kambing buat anak perempuan, diceritakan dalam Al Fath bahwa itu
adalah pendapat jumhur (mayoritas). Malik berkata: bahwa anak laki dan
perempuan adalah sama satu ekor kambing. (Aunul Ma’bud, 8/25)
Dalil pihak yang mengatakan bahwa
bayi laki dan perempuan adalah sama-sama satu ekor, yakni riwayat dari Ibnu
Abbas Radhiallahu Anhuma:
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
عَقَّ عَنْ الْحَسَنِ وَالْحُسَيْنِ كَبْشًا كَبْشًا
“Bahwa Rasulullah Shallallahu
‘Alaihi wa Sallam meng-aqiqahkan Hasan dan Husein masing-masing satu
kambing kibas.” (HR. Abu Daud No. 2841. Dishahihkan oleh Abdul Haq dan Ibnu
Daqiq Al ‘Id, lihat Al Hafizh Ibnu Hajar, At Talkhish
Al Habir No. 1983. Darul Kutub Al ‘Ilmiyah. Juga dishahihkan Syaikh Al
Albani dalam Irwa’ Al Ghalil No. 1167. Maktab Al Islami)
Imam Abu Thayyib mengatakan:
قال الحافظ شمس الدين بن القيم رحمه الله: احتج بهذا من يقول الذكر والأنثي في
العقيقة سواء لا يفضل أحدهما على الآخر وأنها كبش كبش كقول مالك وغيره.
“Berkata Al Hafizh Syamsuddin
bin Al Qayyim Rahimahullah: Hadits ini dijadikan dalil oleh orang
yang mengatakan bahwa bayi laki dan perempuan adalah sama saja dalam aqiqah,
tidak ada kelebihan antara satu atas yang lainnya, yaitu masing-masing satu
kibas, sebagaimana pendapat Malik dan lainnya.” (Aunul Ma’bud, 8/30.
Lihat juga Imam Ibnul Qayyim, Hasyiyah ‘Ala Sunan Abi Daud, 8/30. Mawqi’ Ruh Al
Islam)
Selain Imam Malik, ini juga
pendapat kalangan sahabat Nabi seperti Ibnu Umar, Urwah bin Zubeir, dan
lainnya.
Disebutkan dalam Nailul Authar sebagai
berikut:
أَنَّ الشَّاتَيْنِ مُسْتَحَبَّةٌ فَقَطْ وَلَيْسَتْ بِمُتَعَيَّنَةٍ
وَالشَّاةُ جَائِزَةٌ غَيْرُ مُسْتَحَبَّةٍ .
“Sesungguhnya dua kambing adalah
sunah saja, bukan kewajiban, dan satu kambing adalah boleh, tidak sunah.” (Nailul
Authar, 5/134. Maktabah Al Islamiyah Syabab Al Azhar)
Maka, tidak samar lagi, bahwa dua
kambing untuk bayi laki-laki adalah afdhal (lebih utama) dan bukan
wajib, sedangkan satu kambing adalah boleh. Sedangkan, untuk bayi perempuan,
telah ijma’ (sepakat) semua ulama adalah satu kambing.
Berikut
penjelasannya:
وأما الأنثى فالمشروع في العقيقة عنها شاة واحدة إجماعا كما في البحر
.
“Ada pun bayi perempuan, telah ijma’
disyariatkan aqiqah dengan satu ekor kambing, sebagaimana tertera dalam
kitab Al Bahr.” (Ibid)
- Mencukur Rambut
Dari Samurah bin Jundub, bahwa Rasulullah
Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
كلُّ غلامٍ رهينةٌ بعقيقته: تذبح عنه يوم سابعه، ويحلق، ويسمى
“Setiap bayi digadaikan dengan
aqiqahnya, disembelihkan untuknya pada hari ketujuh, dicukur kepalanya, dan
diberikan nama.” (HR. Abu Daud No. 2838. Ahmad No. 19382. Ad Darimi No.
2021. Al Baihaqi, Syu’abul Iman, No. 8377. Hadits ini shahih. lihat Syaikh Al Albani, Irwa’
Al Ghalil No. 1165. Al Maktab Al Islami. Imam An Nawawi, Al Adzkar,
No. 843. Darul Fikr)
Caranya
adalah dengan mencukur semua, dan dilarang qaza’ (mencukur sebagian)
sebagaimana yang Rasulullah larang dalam kitab Riyadhus shalihin-nya
Imam an Nawawi.
Lalu,
menimbang potongan rambut itu, dan disesuaikan dengan berat perak untuk
disedekahkan. Ini jika dalam kelapangan ekonomi. Sebagian kecil ulama seperti Imam
Ar Rafi’i memilih menggunakan emas. Mungkin karena perak jarang dipakai
oleh manusia.
Syaikh Ibrahim bin
Muhammad bin Salim bin Dhayyan berkata : “Dan disunnahkan mencukur rambut bayi,
bersedekah dengan perak seberat timbangan rambutnya dan diberi nama pada hari
ketujuhnya. Masih ada ulama yang menerangkan tentang sunnahnya amalan tersebut
(bersedekah dengan perak), seperti : al-Hafidz Ibnu Hajar Al ‘Asqalani, Imam
Ahmad, dan lain-lain.”
Hal
ini berdasarkan hadits:
Dari Anas bin Malik,
Bahwasanya Rasulullah memerintahkan mencukur rambut Hasan dan Husein, anak Ali
bin Abi Thalib, pada hari ke tujuh, kemudian bersedekah dengan perak seberat
timbangan rambut Hasan dan Husein itu. (HR. Thabrani dalam Al
Ausath I/133)
Hadits jalur Anas bin
Malik ini dhaif (lemah), namun ada hadits lain yang serupa, dari jalur
Abdullah bin Abbas, yang bisa menguatkannya. Sehingga hadits di atas naik
derajatnya menjadi hasan li ghairihi.
Berkata Imam Ibnu Hajar,
“Seluruh riwayat yang ada sepakat tentang penyebutan bersedekah dengan
perak. Tidak ada satu pun yang menyebutkan emas. Berbeda dengan perkataan Ar
Rafi’i, bahwa disunnahkan bersedekah dengan emas seberat timbangan rambut,
kalau tidak sanggup maka dengan perak. Riwayat yang menyebut bersedekah dengan
emas dhaif dan tak ada yang menguatkannya!” (Talkhis al Habir
IV/1408)
- Pemberian Nama
Penamaan pada hari
ketujuh, bukanlah keharusan, melainkan hanya keutamaan saja (afdhaliyah).
Boleh saja memberikan nama sebelum hari ketujuh, sebab Rasulullah pernah
menamakan anaknya yang baru lahir dengan nama Ibrahim.
Dari Anas bin Malik beliau
berkata, bahwa Rasulullah besabda: “Semalam telah dilahirkan seorang bayi
laki-laki bagiku. Saya namakan dia dengan nama bapakku (maksudnya nenek
moyangnya) yaitu Ibrahim.” (HR. Muslim no. 2355, Abu Daud no. 3126, dan
Baihaqi IX/589)
Begitu pula beberapa
sahabat seperti Abu Musa al Asy’ary, Abu Thalhah, dan Zubeir bin Awwam, anak
mereka dinamakan sebelum hari ketujuh.
-
Memberikan nama-nama yang baik
Hendaknya para orang tua memberikan
nama-nama yang baik, dan jangan terpengaruh oleh ucapan tokoh kafir Barat William
Shakespare yang mengatakan What is a name? (Apalah arti sebuah
nama?) sebab dalam Islam nama bukan sekadar label, tetapi juga doa, citra diri,
dan identitas seorang muslim.
Nama-nama yang disukai
oleh Allah Ta’ala adalah nama-nama yang menunjukkan sikap penghambaan
seperti Abdullah, Abdurrahman, Abdul Aziz, yang secara makna adalah sama yaitu
hamba Allah.
Dari Ibnu Umar beliau
berkata, bahwa Rasulullah bersabda: “Sesungguhnya nama yang paling dicintai
Allah adallah Abdullah dan Abdurrahman.” (HR. Muslim III/1683, Tirmidzi
V/132, Abu Daud IV/287, dan Ahmad II/24)
Bagus juga memberikan nama
anak dengan nama para Nabi, seperti Ibrahim, Yusuf, dan lain-lain. Sebagaimana
yang Rasulullah contohkan ketika menamakan anaknya dan anak Abu Musa dengan
nama Ibrahim.
Dari Yusuf bin Abdullah
bin Salam, dia berkata: “Rasulullah menamakan saya Yusuf.” (Riwayat Bukhari
dalam kitab Adabul Mufrad, hal. 249)
-
Nama-nama yang dibenci
Dari Samurah bin Jundub
Radhiallahu ‘Anhu, katanya:
نَهَانَا رَسُولُ اللَّهِ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ نُسَمِّيَ رَقِيقَنَا بِأَرْبَعَةِ أَسْمَاءٍ
أَفْلَحَ وَرَبَاحٍ وَيَسَارٍ وَنَافِع
Rasulullah Shallallahu
‘Alaihi wa Sallam melarang kami menamakan budak kami dengan empat nama:
aflah (menang), rabah (beruntung), yasaar (mudah), dan naafi’ (bermanfaat). (HR.
Muslim No. 2136)
Dalam riwayat lain dari
Jabir bin Abdullah Radhiallahu ‘Anhu, beliau berkata:
أَرَادَ
النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ يَنْهَى عَنْ أَنْ يُسَمَّى بِيَعْلَى
وَبِبَرَكَةَ وَبِأَفْلَحَ وَبِيَسَارٍ وَبِنَافِعٍ وَبِنَحْوِ ذَلِكَ
Rasulullah berkehendak
melarang penamaan dengan nama-nama seperti Ya’la, Barakah, Aflah, Yassar,
Nafi’, dan semisal itu. (HR. Muslim
No. 2138)
Atau nama yang
melambangkan kesombongan seperti Maha Raja, Raja Diraja, atau Syahhansyah. Hal
ini didasrkan pada hadits:
Dari Abu Hurairah beliau
berkata, bahwa Rasulullah bersabda:
أَغْيَظُ
رَجُلٍ عَلَى اللَّهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَأَخْبَثُهُ وَأَغْيَظُهُ عَلَيْهِ رَجُلٍ
كَانَ يُسَمَّى مَلِكَ الْأَمْلَاكِ لَا مَلِكَ إِلَّا اللَّهُ
“Seorang yang paling Allah
murkai dan yang
paling buruk/keji di sisi Allah pada hari kiamat nanti adalah seseorang yang
bernama Malikul Amlak (Raja Diraja/Rajanya para raja), padahal tidak ada raja
kecuali Allah.” (HR. Bukhari No. 6205, Muslim No. 2143, ini menurut lafaz Muslim)
Juga dibenci menamakan
anak dengan nama-nama yang tidak jelas seperti Juventus, atau nama yang
mengandung kekufuran seperti musyrikah (wanita musyrik), Jarimah
(Kejahatan), atau Farji (kemaluan). Atau nama-nama neraka seperti jahanam,
wail, saqar. Atau nama-nama tokoh kafir Barat, atau nama para ahli maksiat
seperti artis dan lain-lain. Diharamkan
pula dengan nama Abdul Masih (Hamba al Masih), Abdul Uzza (hamba dewa uzza),
dan seluruh nama yang berarti penghambaan kepada selain Allah Ta’ala.
-Dianjurkan Ganti Nama
jika Terlanjur memiliki nama yang Buruk
Ini
dicontohkan langsung oleh Rasulullah ketika ia memberikan nama-nama para
sahabatnya yang baru memeluk Islam. Boleh juga menggunakan nama kun-yah,
yaitu nama sandaran yang menjelaskan nasab. Contoh ada orang bernama Abdullah
atau apa saja, ia memiliki anak bernama Ahmad, maka ia dipanggil Abu Ahmad
(Bapaknya si Ahmad). Atau seorang anak bernama Ahmad punya bapak bernama
Abdullah, maka ia dipanggil Ibnu Abdillah (Anaknya si Abdullah).
Demikianlah sikap Islam
terhadap pemeliharaan bayi pada hari ketujuh.
7. Mengkhitankan
Yang paling rajih
(argumentatif) hukum khitan adalah wajib, ini yang ditujukkan oleh dalil-dalil
dan mayoritas pendapat ulama. Perintah Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam
telah tsabit (kuat) terhadap seorang laki-laki yang telah ber-Islam untuk
berkhitan. Beliau bersabda kepadanya :
"Buanglah darimu rambut kekufuran dan berkhitanlah". Ini merupakan dalil yang paling kuat atas wajibnya khitan.
Berkata Syaikh Al Albany dalam Tamamul
Minnah hal. 69: "Adapun hukum khitan maka yang tepat menurut kami
adalah wajib dan ini merupakan pendapatnya jumhur seperti Imam Malik,
Asy-Syafi'i, Ahmad dan pendapat ini yang dipilih oleh Ibnu Qayyim. Beliau
membawakan 15 sisi pendalilan yang menunjukkan wajibnya khitan. Walaupun satu
persatu dari sisi tersebut tidak dapat mengangkat perkara khitan kepada hukum
wajib namun tidak diragukan bahwa pengumpulan sisi-sisi tersebut dapat
mengangkatnya. Karena tidak cukup tempat untuk menyebutkan semua sisi tersebut
maka aku cukupkan dua sisi saja :
Allah Ta’ala berfirman:
ثُمَّ أَوْحَيْنَا
إِلَيْكَ أَنِ اتَّبِعْ مِلَّةَ إِبْرَاهِيمَ حَنِيفًا
“Kemudian
Kami wahyukan kepadamu ; 'Ikutilah millahnya Ibrahim yang hanif" (QS. An-Nahl
(16) : 123)
Khitan termasuk millah (ajaran) Ibrahim sebagaimana disebutkan dalam hadits Abi
Hurairah yang telah lalu. Sisi ini merupakan hujjah yang terbaik sebagaimana kata Al-Baihaqi yang dinukil oleh Al-Hafidzh Imam IbnuHajar (10/281).
Khitan termasuk millah (ajaran) Ibrahim sebagaimana disebutkan dalam hadits Abi
Hurairah yang telah lalu. Sisi ini merupakan hujjah yang terbaik sebagaimana kata Al-Baihaqi yang dinukil oleh Al-Hafidzh Imam IbnuHajar (10/281).
Khitan termasuk syi'ar Islam yang paling
jelas, yang dibedakan dengan seorang muslim dari seorang nashrani.
Hampir-hampir tidak dijumpai dari kaum muslimin yang tidak berkhitan"
[selesai ucapan Syaikh Al Albany)"
Kami tambahkan sisi ke
tiga yang menunjukkan wajibnya khitan. Al-Hafizh menyebutkan sisi ini dalam 'Fathul
Baari (10/417)' dari Imam Abu Bakar Ibnul Arabi ketika ia
berbicara tentang hadits : "Fithrah itu ada lima ; khitan, mencukur rambut kemaluan
....". Ia (Imam Abu Bakar Ibnul Araby) berkata :
"Menurutku kelima
perkara yang disebutkan dalam hadits ini semuanya wajib. Karena seseorang jika
ia meninggalkan lima perkara tersebut tidak tampak padanya gambaran bentuk anak
Adam (manusia), lalu bagaimana ia digolongkan dari kaum muslimin" (Selesai
ucapan Al Imam)"
Hukum khitan ini umum bagi
laki-laki dan wanita, hanya saja ada sebagian wanita yang tidak ada pada mereka
bagian yang bisa dipotong ketika khitan yaitu apa yang diistilahkan klitoris
(kelentit). Kalau demikian keadaannya maka tidak dapat dinalar bila kita
memerintah mereka untuk memotongnya padahal tidak ada pada mereka.
Berkata Imam Ibnul Hajj
dalam Al-Madkhal(3/396):
"Khitan
diperselisihkan pada wanita, apakah mereka dikhitan secara mutlak atau
dibedakan antara penduduk Masyriq (timur) dan Maghrib (barat). Maka penduduk
Masyriq diperintah untuk khitan karena pada wanita mereka ada bagian yang bisa
dipotong ketika khitan, sedangkan penduduk Maghrib tidak diperintah khitan
karena tidak ada bagian tersebut pada wanita mereka. Jadi hal ini kembali pada
kandungan ta'lil (sebab/alasan)".
Madzhab Malik mengatakan
khitan untuk wanita adalah sunah. Dalam Madzhab Hanafi, khitan wanita bukan
sunah, melainkan kehormatan bagi wanita.
Madzhab Syafi’I dan Hambali, khitan wanita adalah wajib. [2]Adapun menurut
Faqihul islam abad ini Al ‘Allamah Syaikh Yusuf Al Qaradhawy hafizhahullah,
khitan bagi wanita tidak wajib dan tidak pula sunah, sebab –menurutnya-
tidak ada satu pun dalil yang shahih- yang menunjukkan wajib atau sunahnya,
baginya hanya sekedar mubah (boleh). Bahkan jika ternyata membahayakan,
bisa dicegah.
Telah masyhur menurut dunia kedokteran, bahwa khitan bagi wanita justru
membahayakan kaum wanita. Khususnya membahayakan kehidupan seksualnya, sebab
urat syaraf kenikmatan seksual wanita adalah pada klitorisnya, yang jika
dipotong maka terhalanglah baginya untuk merasakan apa-apa yang kaum laki-laki
telah rasakan. Sehingga hal ini bisa menggiring pada terjadinya keretakan rumah
tangga. Wallahu A’lam
Kapankah
waktu dikhitan? Sebagian madzhab Syafi’I menyatakan di hari ketujuh. Ini
didasarkan hadits: “Ada
tujuh perkara yang disunnahkan bagi bayi pada usia yang ke tujuh hari: diberi
nama, khitan, … (HR. At Thabrani dalam Al Ausath. Al
Haitsami dalam Majma’ Az Zawaid (IV/59), mengatakan bahwa
perawinya adalah tsiqat (terpercaya). Namun Imam Ibnu hajar
dalam Fathul bari
(IX/483) menyatakan dhaif)
Imam An
Nawawi
mengatakan bahwa sebagian madzhab Syafi’i mengatakan waktu khitan adalah
setelah baligh, namun demikian dianjurkan bagi orang tua mengkhitankan sejak
kecil, sebab hal itu lebih ringan bagi bayi.
Sebagian
ahli fiqih menyatakan wajibnya mengkhitan ketika masih bayi, bukan sekedar
anjuran. Sebab hal itu membawa kemaslahatan. Berkata Imam Ibnul Qayyim
dalam Tuhfatul Maudud hal, 60-61, “Tidak boleh bagi wali
(orang tua) membiarkan seorang bayi tidak dikhitan sampai ia mencapai baligh.”
8. Mendidik Anak sejak Usia Dini
Sejak dini anak ditanamkan
nilai-nilai tauhidullah (keesaan Allah). Ma’rifatullah (mengenal
Allah) adalah tema pertama yang kita ajarkan kepada anak-anak, tentu dengan
bahasa dan contoh-contoh yang sederhana. Agar terpatri dalam ruang pikirnya,
siapa penciptanya, siapa pemberi rizki, siapa pengatur hidup, siapa penguasa
alam, siapa yang pantas disembah, siapa yang menghidupkan dan mematikan, dll.
Agar ia tidak mudah ternoda oleh kepercayaan yang sifatnya tahayul, mitos, dan
khurafat, yang biasanya berkembang dan sangat melekat di masyarakat.
Sejak
dini juga ditanamkan pendidikan ma’rifaturrasul (mengenal Rasulullah),
agar ia memiliki teladan yang mampu menjadi pemandu hidupnya, dan tidak salah
pilih idola. Apalagi, saat ini banyak para artis, atau tokoh-tokoh khayalan dan
rekaan yang mencoba merebut hati para anak-anak kita, baik cerita rakyat
seperti Gatot Kaca atau dari Barat seperti Superman, Batman, Satria Baja Hitam,
Power Rangers. Sekadar tahu tokoh-tokoh ini tidak ada masalah, namun jadi
masalah jika anak menjadikan mereka sebagai teladan hidupnya, dan melupakan
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam.
Sejak
dini juga ditanamkan tarbiyah akhlaqiyah wa sulukiyah (pembinaan akhlak
dan perilaku). Agar anak menghormati orang tua dan yang lebih tua, atau
menyayanyi yang lebih muda. Agar anak tahu adab makan, minum, berjalan,
berpakaian, dan berbicara, serta adab-adab lainnya. Supaya mereka menyayangi
sahabat dan memaafkan musuh. Agar mereka tahu juga batasan-batasan pergaulan
dengan lawan jenis, agar tidak terjadi fitnah dikemudian hari.
Sejak
dini juga diperkenalkan dengan tokoh-tokoh Islam, mulai para sahabat nabi, para
Imam dan ulama, para pahlawan dan mujahidin Islam, baik dalam atau luar negeri.
Bukan justru memperkenalkan mereka dengan bintang film, penyanyi, pemain sepak
bola, atau penghibur yang membuatnya jauh dari Allah dan kewajiban-kewajiban
agama.
Hendaknya
dirumah sering diperdengarkan ayat-ayat Allah, lantunan ayat suci Al Qur’an
baik dibaca sendiri oleh orang tua, atau melalui kaset-kaset muratal para Imam
Mesjid di Timur Tengah. Ini lebih baik dan sangat baik demi keberkahan rumah
dan turunnya rahmat Allah. Paling tidak, syair-syair Islam seperti
nasyid-nasyid Islami yang tidak melampui batas dan tidak melalaikan.
Terakhir,
sediakanlah anak-anak kita buku-buku bacaan yang mendidik, yang mampu menambah
pengetahuan agama dan akademik, serta iman mereka. Seperti buku-buku kisah
tentang para nabi, sahabat, atau buku-buku doa sederhana, hadits-hadits, atau
majalah Islam anak-anak. Dampingilah mereka untuk membantu memahaminya,
sebagaimana kita dampingi mereka ketika nonton televisi agar bisa menjauhi
tontonan yang tidak pantas. (Sebagusnya cegah mereka dari televisi, hingga
saatnya nanti mereka bisa membedakan mana baik mana buruk).
Jika
ini sudah kita lakukan, berdoalah mudah-mudahan anak kita terbentuk oleh
kebiasaan Islami, yang akan mewarnai dan membentuk kehidupannya setelah dewasa
nanti. Sebagaimana kata pepatah Arab:
Man syabba fii syai’iin syaaba ‘alaih (Barang siapa yang
dididik dengan sesuatu, maka sesuatu itulah yang akan membentuk dirinya hingga
dewasa nanti)
9. Membimbingnya dalam Memilih Jodoh
Jodoh memang rahasia Allah
Ta’ala, selaku orang beriman kita wajib meyakininya. Namun selaku orang
berakal, kita dituntut mempersiapkannya secara rasional sejauh yang kita mampu.
Hendaknya orang tua tidak lepas tangan dengan masalah jodoh anak-anaknya. Anak
memiliki hak untuk menentukan calon pendamping hidupnya, tetapi orang tua
berkewajiban mengarahkan, memberi pertimbangan, dan masukan, walau akhirnya
anak juga yang memutuskan.
Rasulullah
Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam telah memberikan arahan bagi umatnya
urusan pernikahan ini, sabdanya:
“Wanita
dinikahkan karena empat hal, karena kecantikannya, hartanya, keturunannya, dan
agamanya. Pilihlah karena agamanya, niscaya kau akan beruntung.”(HR. Bukhari dan Muslim)
Maksud
dari ‘pilihlah karena agamanya’ adalah pilihlah karena keshalihannya,
sebagaimana hadits: “Dunia adalah perhiasan, dan sebaik-baik perhiasan dunia
adalah isteri yang shalihah.”
Berkata
Umar bin al Khathab, “Nikahilah anak gadis kalian dengan laki-laki shalih,
sebab jika ia (laki-laki shalih) sedang marah,
ia tidak akan berbuat zalim, jika ia ridha ia akan amat menjaga.”
Hendaknya
orang tua mempermudah urusan pernikahan, sebab memang pernikahan dalam Islam
adalah perkara agung yang simple. Namun, tradisi dan adatlah yang membuatnya
menjadi rumit dan njelimet (susah). Harus ini, harus itu, begini dan
begitu, yang sebenarnya tidak ada dasarnya dalam Islam. Namun, anehnya itulah
yang menjadi pedoman bagi pernikahan mereka, bukan berpedoman kepada Al Qur’an
dan As Sunnah.
Wallahu A’lam wa lIllahil ‘Izzah
[1] Namun tertulis dalam kitab
Al Mausu’ah Al Fiqhiyah Al Kuwaitiyah, sebagai berikut:
يُجْزِئُ فِي الْعَقِيقَةِ الْجِنْسُ
الَّذِي يُجْزِئُ فِي الأُْضْحِيَّةِ ، وَهُوَ الأَْنْعَامُ مِنْ إِبِلٍ وَبَقَرٍ
وَغَنَمٍ ، وَلاَ يُجْزِئُ غَيْرُهَا ، وَهَذَا مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ بَيْنَ
الْحَنَفِيَّةِ ، وَالشَّافِعِيَّةِ وَالْحَنَابِلَةِ ، وَهُوَ أَرْجَحُ
الْقَوْلَيْنِ عِنْدَ الْمَالِكِيَّةِ وَمُقَابِل الأَْرْجَحِ أَنَّهَا لاَ تَكُونُ
إِلاَّ مِنَ الْغَنَمِ .
وَقَال الشَّافِعِيَّةُ : يُجْزِئُ
فِيهَا الْمِقْدَارُ الَّذِي يُجْزِئُ فِي الأُْضْحِيَّةِ وَأَقَلُّهُ شَاةٌ
كَامِلَةٌ ، أَوِ السُّبُعُ مِنْ بَدَنَةٍ أَوْ مِنْ بَقَرَةٍ .
وَقَال الْمَالِكِيَّةُ
وَالْحَنَابِلَةُ : لاَ يُجْزِئُ فِي الْعَقِيقَةِ إِلاَّ بَدَنَةٌ كَامِلَةٌ أَوْ
بَقَرَةٌ كَامِلَةٌ
“Aqiqah sudah mencukupi
dengan jenis hewan yang sama dengan qurban, yaitu jenis hewan ternak seperti
Unta, Kerbau, dan Kambing, dan tidak sah selain
itu. Ini telah disepakati oleh kalangan Hanafiyah, Syafi’iyah, dan
Hanabilah, dan ini menjadi pendapat yang lebih kuat dari dua pendapat kalangan
Malikiyah, yang diutamakan adalah bahwa tidak sah kecuali dari jenis hewan
ternak. Kalangan Syafi’iyah mengatakan: telah sah aqiqah dengan hewan yang
seukuran dengan hewan yang telah mencukupi bagi qurban, minimal adalah seekor
kambing yang telah sempurna, atau sepertujuh dari Unta atau Sapi. Kalangan
Malikiyah dan Hanabilah mengatakan: tidak sah aqiqah kecuali dengan Unta dan
Sapi yang telah sempurna.” (Al Mausu’ah Al Fiqhiyah Al Kuwaitiyah,
30/279)
Demikian pandangan kalangan ulama madzhab. Namun pendapat yang
lebih kuat adalah sebagaimana yang dikatakan oleh ‘Aisyah, Ibnu Hazm, dan Ibnul
Qayyim, bahwa aqiqah hanya sah dengan kambing. Wallahu A’lam
[2]
Keterangan di atas telah jelas, bahwa khitan wanita adalah masyru’ dalam
Islam. Hanya saja, para ulama berbeda pendapat dalam menentukan hukum
kemasyru’annya. Ada yang mewajibkan, menyunnahkan, membolehkan, bahkan ada yang
melarangnya.
Pihak yang mewajibkan seperti Imam Asy Syafi’i
dan mayoritas pengikutnya. Juga Imam Ibnul Qayyim dan Syaikh Al Albani.
Sedangkan, Imam Malik dan Imam Abu Hanifah
menyatakan sunah secara mutlak (laki-laki dan wanita), dan Imam Ahmad
mengatakan wajib buat laki-laki namun sunah buat wanita. (‘Aunul Ma’bud,
14/125),
Imam Ibnu Qudamah mengatakan wajib bagi
laki-laki, dan kemuliaan bagi wanita, serta tidak wajib bagi mereka. (Al
Masu’ah Al Fiqhiyah Al Kuwaitiyah, 19/28).
No comments:
Post a Comment