Mukadimah
Siapa yang tidak kenal
lagu dan musik ? Unsur ini, dalam kehidupan manusia –khususnya zaman ini-
begitu dominan dalam berbagai aktifitas kehidupan.
Tetapi,
bagaimanakah posisinya dalam syariat?
Imam Ibnu Jama’ah
mengatakan masalah lagu dan musik, para ulama terbagi menjadi delapan pendapat
(Az Zubaidy, Al ittihaf syarah al Ihya, VII/7) Bahkan Imam Ibnu Hajar al Haitsami
menyebutkan ada sebelas pendapat para ulama.(Ibnu Hajar al Haitsami, Kaffur
Ri’a ’an Muharramat al lahwy was Sima’, II/277-278).
Dalam Kitab Ar
Rasail Libni Hazm, disebutkan
demikian:
كثر القول
في الغناء، وقد لخص ابن الجوزي المواقف المختلفة منه بقوله: " تكلم الناس في الغناء
فأطالوا، فمنهم من حرمه، ومنهم من أباحه من غير كراهة، ومنهم من كرهه مع الإباحة
"
Telah banyak pendapat tentang nyanyian, Ibnul
Jauzi telah menyimpulkan perbedaan sikap terhadap nyanyian itu, demikian:
“Manusia telah membicarakan nyanyian sejak lama, di antara mereka ada yang
mengharamkannya, dan di antara mereka ada yang membolehkannya tanpa membencinya
sama sekali, dan di antara mereka ada yang memakruhkannya.” (Imam Ibnu Hazm,
Muqaddimah Bab Risalah fil Ghina, Juz. 1, Hal. 419. Al Maktabah Asy
Syamilah)
Dalam kitab tersebut Imam Ibnu Hazm membantah
argumen kelompok yang mengharamkan nyanyian, di antaranya:
1.
Hadits
dari ‘Aisyah: “Sesungguhnya Allah mengharamkan wanita (budak) penyanyi,
menjualnya, memberinya harga, dan mengajarinya.” Imam Ibnu Hazm menolak
hadits ini sebab dalam rawinya terdapat Said bin Abi Razin yang
meriwayatkan dari saudaranya, dia itu tidak dikenal biografinya, apa yang
dikatakan Ibnu Hazm ini didukung oleh Imam Adz Dzahabii (Mizanul I’tidal, 2/136), Imam
Ibnu Hajar (Lisanul Mizan, 3/29)
2.
Hadits
dari Ali: “Jika umatku melakukan lima
belas perkara, maka mereka telah menghalalkan azab Allah Ta’ala …. Di antaranya
adalah Al Ma’azif (alat-alat musik).” Ali bin Abi Thalib memarfu’kan hadits
ini kepada Rasulullah. Hadits tersebut diriwayatkan oleh Ahmad bin Khalid, dia
berkata, berkata kepada kami Abu Taubah, berkata kepada kami Faraja bin
Fadhalah, dari Yahya bin Said al Anshary, dari Muhammad bin Ali, dari Ali
bin Abi Thalib ..( disebut hadits di atas).
Imam Abdurrahman bin Mahdi berkata tentang Faraja bin Fadhalah: “Hadits-hadits
yang diriwayatkan oleh Faraja bin Fadhalah, dari Yahya bin Said al Anshary,
adalah munkar dan terbalik (maqlubah)”. Imam Yahya bin Ma’in ditanya
tentang Faraja bin Fadhalah, dia menjawab: “Dia dhaif.” (Al Majruhin,
Juz. 2, Hal. 206. Al Maktabah Asy Syamilah). Dalam Taqribut tahdzib,
Juz. 2, hal. 8, juga dinyatakan dhaif. Imam Al Hakim berkata tentang
Faraja bin Fadhalah: “Beliau dengan segala kebesarannya, jika dia haditsnya
menyendiri, maka tidak diterima karena hafalannya yang buruk.” (Tahdzibut
Tahdzib, Juz. 1, Hal. 283). Imam Ibnu al Madini berkata: “Dia itu pertengahan
dan tidak kuat.” Bukhari dan Muslim
berkata: “Munkarul hadits.” An Nasa’i berkata: “Dhaif.” (Tahdzibut Tahdzib, Juz.8, Hal.
235). Imam Abu Hatim berkata: “Munkarul hadits, hadits yang
diriwayatkannya tidaklah tegak.” (Tahdzibul kamal, Juz. 16, Hal.
468). Nah, jelaslah kedhaifan hadits tersebut.
3.
Hadits:
“Rasulullah melarang sembilan hal (diantaranya adalah nyanyian).” Imam
Ibnu Hazm menolak hadits ini karena diriwayatkan oleh seorang bernama “Kaisan”,
seseorang yang dia tidak mengetahui kepribadiannya, dan dalam sanadnya ada
Muhammad bin Muhajir dan dia dhaif. Hanya saja Ibnu Hazm tidak membahas lebih
lanjut, Muhammad bin Muhajir yang mana yang dimaksudkannya, padahal perawi yang bernama Muhammad bin
Muhajir ada enam orang.
4.
Hadits
dari Ibnu Mas’ud: “Nyanyian dapat menumbuhkan nifaq di hati.” Menurut Ibnu hazm
hadits ini munqathi’ (terputus). Diriwayatkan oleh Salam dari
seorang Syaikh, dari Ibnu Mas’ud (lalu disebut ucapan di atas). Syaikh ini
majhul (tidak dikenal).
5.
Hadits
Abu Umamah, tentang pengharaman mengajarkan wanita (budak) penyanyi, membelinya
atau menjualnya. Hadits ini diriwayatkan oleh Ismail bin ‘Ayyasy, dan dia
dhaif. (Lihat
semua dalam Ar Rasail Libni Hazm, Bab Risalah Fil
Ghina, Juz. 1, Hal. 421-423)
Alangkah baiknya pihak
yang mengharamkan lagu dan musik tabuhan, mau jujur mengakui, bahwa tidak ada
kesepakatan dalam masalah ini. Bukan saja mengakui, tetapi juga menghargai
pandangan orang-orang yang berbeda dengan mereka, yaitu yang menyatakan
mubah. Pandangan ini bukanlah pandangan
manusia ‘kemarin sore’, melainkan pandangan para imam dan ahli ilmu, bahkan
sejak zaman sahabat, tabi’in, tabi’ut tabi’in. Insya Allah akan kami paparkan
siapa saja sahabat, tabi’in, tabi’ut tabi’in yang memubahkan lagu dan musik
tabuhan (bahkan ada yang membolehkan ‘aud/gitar-kecapi masa lalu).
Bahkan telah ada dua puluh
kitab yang disusun oleh ulama klasik tentang pembelaan mereka
terhadap lagu dan musik, sebagaimana yang disebutkan dalam At Taratib Al
Idariyah Juz II, hal. 132, di antaranya:
1.
Kitab Ar Rukhshah fis Sima’ yang ditulis oleh
Imam Ibnu Qutaibah, di dalamnya banyak sekali riwayat tentang sahabat, tabi’in,
tabi’ut tabi’in yang mendengarkan lagu, dengan atau tanpa musik.
2.
Kitab Al Muhalla oleh Imam Ibnu Hazm, di
dalamnya dia menyebutkan: “Semua riwayat yang mengharamkannya itu batil dan
maudhu’.”
3.
Kitab Muhammad bin Thahir al Maqdisy, dia
menyebutkan di dalamnya: “Tidak ada perbedaan mendengarkan suara senar gitar
dengan suara burung.” Dia juga mengatakan, “Tak ada satu huruf pun yang shahih
tentang (pengharaman) ini.”
4.
Kitab Bawariqul Ilma’ fi Takfiri man Yuharrimu
Muthlaqas Sima’ karya Ahmad al Ghazali (saudara kandung Imam al
Ghazali)
5.
Kitab Ibthalul Da’wal Ijma’ ‘ala Tahrimi Muthlaqis Sima’
karya Imam Asy Syaukani (dalam karyanya yang lain yakni Nailul Authar
juga ada pembahasan tentang ini)
6.
Kitab Nuzhatul Asma’ fi Mas’alatis Sima’ karya
Imam Ibnu Rajab al Hambali murid Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, ada pula yang
mengatakan murid Imam Ibnul Qayyim al jauziyah.
7.
Kitab Ahkamul Qur’an karya Imam Abu Bakar Ibnul
‘Arabi al Maliki. Dia mengatakan keringanan pada walimah, bukan hanya alat
musik tabuh, melainkan seluruh alat musik (Jilid III, hal. 1494). Ia menegaskan
tak ada di dalam Al Quran dan As Sunnah tentang pengharaman lagu dan musik
(Jilid III, hal. 1053)
8.
Kitab Ihya’ Ulumuddin karya Imam al Ghazali,
dan karya-karya lainnya
Sekarang kita simak apa
kata Imam Ibnu Nahwi dalam al
Umdah, atau Imam Asy Syaukani (Nailul Authar, VIII/264-266):
“Kebolehan menyanyi dan
mendengarnya ini diriwayatkan dari segolongan sahabat dan tabi’in. Golongan
sahabat di antaranya Umar, Utsman, Abdurrahman bin ‘Auf, Abu Ubaidah bin al
Jarrah, Abu Mas’ud al Anshari, Bilal, Abdullah bin al Arqam, Usamah bin Zaid,
Hamzah, Abdullah bin Umar, Abdullah bin Ja’far, Abdullah bin Zubair, Hasan bin
Tsabit, Abdullah bin Amr, Qurzhah bin Ka’ab, Khuwat bin Jubair, Ribah bin al
Mu’tarif, Mughirah bin Syu’bah, Amr bin al Ash, ‘Aisyah, dan Rubayyi’ binti
Mu’awwidz.
Sedangkan kalangan tabi’in
adalah Said bin al Musayyib, Salim bin Abdullah bin Umar, Ibnul Hasan, Kharijah
bin Zaid, Syuraih al Qadhi, Said bin Jubair, Amr asy Sya’bi, Abdullah bin Abi
‘Atiq, Atha’ bin Abi Rabah, Ibnu Syihab Az Zuhri, Umar bin Abdul ‘Aziz, dan
Sa’ad bin Ibrahim az Zuhri.
Adapun orang yang
mengikuti mereka adalah sejumlah manusia yang tidak terhitung, imam empat
madzhab, Sufyan bin ‘Uyainah, dan jumhur ulama Syafi’iyah.”
Demikian. Insya Allah
nama-nama sahabat di atas akan kami buktikan satu persatu bahwa mereka memang
membolehkan lagu dan musik. Walau ada di antara mereka jarang mendengarkan lagu
atau bisa jadi hanya sekali saja, itu tetap menunjukkan bahwa mereka tidak
mengharamkannya.
Sebenarnya para ulama
sepakat bahwa lagu yang mengandung kekejian, syirik, cabul, cinta picisan, dan
seluruh akhlak kotor, sebagaimana umumnya nyanyian saat ini adalah haram tak
ragu lagi. Nah, kita tidak membahas lagu-lagu seperti itu. Yang kita bahas adalah
bagaimana dengan nyanyian yang baik-baik, di dalamnya tidak terdapat kekejian
sama sekali, melainkan sesuatu yang netral dan fitrah saja, misal seperti lagu
anak-anak NINA BOBO, TOPI SAYA BUNDAR, BURUNG KAKAK TUA, atau Nasyid-Nasyid
Islam –yang masih benar-benar Islami- yang marak saat ini.
Saya akan paparkan hujjah
yang sangat kuat tentang mubahnya nyanyian dan alat musik (khususnya alat musik
pukul): Menurut Al Quran dan As Sunnah Ash Shahihah, petunjuk para sahabat dan
tabi'in, maqashid syariah dan tabiat Islam. Lalu, silakan para pengunjung
treadh ini membandingkan, mana yang paling argumentatif, mana yang berdalil
menggunakan Al Quran dan As Sunnah Ash Shahihah, mana yang berdalil dengan
ucapan para ulama saja, apakah pihak yang membolehkan atau yang mengharamkan.
Maka, perhatikanlah
baik-baik, baik yang pro nasyid atau yang kontra, dan bersabarlah atas panjangnya tulisan ini
...
I. Dalil Al Quran.
A. Al A'raf ayat 157:
"Dan menghalalkan
bagi mereka segala yang baik dan mengharamkan bagi mereka segala yang buruk dan
membuang dari mereka beban-beban dan belenggu yang ada pada mereka."
Ayat ini menunjukkan bahwa
syariat menghalalkan segala hal yang baik. Ath Thayyibat (segala
yang baik) adalah kalimat jamak dengan alif dan lam yng menunjukkan makna umum,
meliputi segala hal yang baik, tidak dibatasi, dan Ath Thayyibat menurut
mayoritas biasanya identik dengan hal-hal yang bisa dinikmati, thahir (suci) dan halal.
Berkata Imam Asy Syaukani,
bahwa Imam Al Izz bin Abdus Salam menegaskan dalam Dalailul Ahkam,
yang dimaksud dengan Ath Thayyibat dalam ayat tersebut adalah hal-hal yang dapat dinikmati.(Imam
Asy Syaukany, Nailul Authar, VIII/32) Ulama kenamaan abad ini, Imamul Akbar
Syaikh Mahmud Syaltut al Mishry juga mengatakan demikian. Dan kita tahu bahwa nyanyian
adalah sesuatu untuk dinikmati, maka ia termasuk Ath Thayyibat.
(maaf, sekali lagi, kita tidak bicara tentang lagu-lagu seronok, munkar,
syirik, cinta picisan, tetapi lagu-lagu yang mengandung semangat patriotisme,
jihad, ukhuwah, mahabbatullah, sebagaimana yang terekam dalam nasyid-nasyidnya
–seperti- Moslem Muwahhid,
Izzatul Islam, Shautul Harakah)
Dalam ayat lain,
diterangkan pula tentang halalnya Ath Thayyibat:
"Mereka bertanya
kepadamu: 'Apa sajakah yang dihalalkan bagi mereka?' Katakanlah:
"Dihalalkan bagimu yang baik-baik (ath Thayyibat)." (QS. Al Maidah: 4)
Justru, Allah Ta’ala
mengecam pihak-pihak yang begitu mudah mengharamkan apa-apa baik, yang Allah Ta’ala berikan untuk
hamba-hambaNya, yang dengan itu mereka telah mempersempit karuniaNya.
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah
kamu haramkan apa-apa yang baik yang telah Allah halalkan bagi kamu, dan
janganlah kamu melampaui batas. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang
yang melampaui batas.” (QS. Al Maidah: 87)
B. Al Jumu’ah ayat 11
“Dan
apabila mereka melihat perniagaan atau permainan (lahwun), mereka bubar untuk
menuju kepadanya dan mereka tinggalkan kamu sedang berdiri (berkhotbah).
Katakanlah: "Apa yang di sisi Allah lebih baik daripada permainan dan
perniagaan", dan Allah Sebaik-baik pemberi rezki.
Sebab turunnya ayat ini,
adalah –sebagaimana diriwayatkan Imam Muslim dan lainnya- bahwa ketika
datangnya kafilah dagang yang telah ditunggu-tunggu oleh orang-orang Islam
(saat itu sedang melaksanakan shalat jum’at), tiba dengan membawa barang-barang
dagangan, maka serta merta mereka menyambutnya dengan nyanyian dan
tabuh-tabuhan, sebagai ungkapan rasa senang atas kedatangan kafilah
tersebut dengan selamat, juga sebagai ungkapan harapan mereka agar barang
dagangannya bisa menghasilkan dan keuntungan yang banyak.
Karena itu, mereka berebut
mengambil dagangan, sehingga Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam yang
sedang khutbah mereka tinggalkan, dalam riwayat lain disebutkan sampai-sampai
yang tersisa dari jamah shalat jumat hanya dua belas orang saja.
Lihatlah ayat tersebut,
Allah Ta’ala menyebut permainan dan perniagan dalam satu susunan kalimat, lalu
kenapa hanya nyanyian saja yang diharamkan, sedang perniagaan tidak? Padahal
kedua-duanya saat itu telah memalingkan mereka dari shalat jumat! Jadi,
sebenarnya yang diharamkan bukanlah permainan dan perniagaannya secara zat atau
perbuatan, melainkan efek ‘melalaikannya’ itu.
Sedangkan kelalaian bisa terjadi karena hal lainnya di dunia ini, bahkan
dunia hakikatnya adalah permainan (lahwun) yang melalaikan, maka seharusnya
yang diharamkan bukan hanya nyanyian,
tetapi seluruh isi dunia.
Allah Ta’ala berfirman:
“Sesungguhnya kehidupan
dunia hanyalah permainan dan senda gurau. dan jika kamu beriman dan bertakwa,
Allah akan memberikan pahala keppadamu dan Dia tidak akan meminta
harta-hartamu.” (QS. Muhammad: 36)
Sedangkan bagian ayat pada
surat Jumuah di
atas, yang berbunyi: Katakanlah: "Apa yang di sisi Allah lebih baik
daripada permainan dan perniagaan" merupakan kalimat yang
berfungsi optional (pilihan) dan pembanding, tidak ada kaitannya dengan pengharaman
permainan (lahwun) dan perdagangan. Ayat itu menegaskan bahwa pada sisi Allah
yakni menunaikan shalat jumat adalah lebih baik dari pada permainan dan
perdagangan.
C. Surat Al Baqarah ayat
29
“Dia-lah Allah, yang
menjadikan segala yang ada di bumi untuk kamu dan Dia berkehendak (menciptakan)
langit, lalu dijadikan-Nya tujuh langit. dan Dia Maha mengetahui segala
sesuatu.”
(QS. Al Baqarah: 29)
Tidak ada yang diharamkan
keculi oleh nash yang shahih dan sharih (jelas-tegas) dalam kitab Allah Ta’ala dan
Sunah Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Jika tidak ada dalam
keduanya, atau ijma’, atau ada nashnya yang shahih tapi tidak sharih, atau
sharih tapi tidak shahih, maka ia tetap dalam batas kemaafan Allah Ta’ala yang
luas dan lapang.
“ ...Padahal Sesungguhnya Allah telah
menjelaskan kepada kamu apa yang diharamkan-Nya atasmu, kecuali apa yang
terpaksa kamu memakannya.”(QS. Al An’am: 119)
Rasulullah Shallallau
‘Alaihi wa Sallam bersabda:
“Apa-apa yang Allah
halalkan dalam kitabNya adalah halal, dan apa-apa yang diharamkan dalam
kitabNya adalah haram, dan apa-apa yang didiamkanNya adalah dimaafkan. Maka,
terimalah kemaafan dari Allah, karena sesungguhnya Allah tidak lupa terhadap
segala sesuatu.” Kemudian beliau membaca (Maryam: 64): “Dan tidak sekali-kali
Rabbmu itu lupa.” (HR. Al Hakim dari Abu Darda’, beliau menshahihkannya. Juga
diriwayatkan oleh Al Bazzar)
Sabda lainnya:
“Sesungguhnya Allah telah
menentukan kewajiban-kewajiban maka janganlah kamu menyia-nyiakannya, dan
menetapkan batasan-batasan maka janganlah kamu melanggarnya, dan Dia diamkan
beberapa perkara sebagai rahmat buat kamu, bukan karena Dia lupa, maka
janganlah kamu mencari-carinya.” (HR. Daruquthni dari Abu Tsa’labah al Khusyani,
dihasankan oleh Imam An Nawawi dalam Arbain)
D. Surat
Luqman ayat 6
“Dan di antara manusia (ada)
orang yang mempergunakan perkataan yang tidak berguna untuk menyesatkan
(manusia) dari jalan Allah tanpa pengetahuan dan menjadikan jalan Allah itu
olok-olokan. mereka itu akan memperoleh azab yang menghinakan.”
Ayat ini sering dijadikan
dalil untuk mengharamkan lagu, yaitu dengan menafsirkan perkataan yang tidak
berguna (lahwul hadits) sebagai nyanyian. Sebagaimana
tafsiran dari Ibnu Mas’ud, Ibnu Abbas dan Ibnu Umar. Bahkan Ibnu Mas’ud
bersumpah, “Demi Allah, itu adalah lagu.” (HR. Al Baihaqi, Sunanul Kubra,
X/23)
Imam
Ibnul Qayyim, yang memang terkenal paling bersemangat mengharamkan nyanyian,
sampai-sampai mengatakan bahwa tafsiran di atas dapat dihukumi sebagai hadits
marfu’ (Ibnul Qayyim, Ighatsatul lahfan, I/258-259)
Al Wahidi mengatakan bahwa maksud lahwul
hadits adalah nyanyian, itu juga penafsiran dari Mujahid dan Ikrimah. (Ibnul
Qayyim, ibid, hal. 257)
Perlu
diketahui, tafsiran bahwa lahwul hadits adalah lagu, bukanlah
satu-satunya tafsiran yang bersifat final.
Imam
Asy Syaukany, dalam Fathul Qadir-nya mengatakan bahwa maksud
lahwul hadits adalah apa-apa yang bisa melalaikan dari kebaikan, bisa berupa
nyanyian, pemainan, perkataan dusta, dan segala yang munkar. Ia meriwayatkan bahwa Imam Hasan al Bashri menafsiri
makna lahwul hadits adalah ma’azif (alat-alat
musik) dan ghina’ (nyanyian), tetapi juga diriwayatkan darinya,
bahwa maksud lahwul hadits adalah kufr (kekafiran)
dan syirk (kesyirikan).
Kalimat,
“Liyudhilla (untuk menyesatkan (manusia) ...” menunjukkan bahwa
huruf lam pada kata li
yudhilla berfungsi sebagai lam ta’lil (lam yang menunjukkan
sebab –‘illat hukum). Demikian dalam Fathul Qadir.
Jadi,
sebenarnya, perilaku apa saja –ingat! bukan hanya nyanyian- jika bertujuan
untuk menyesatkan manusia dari jalan Allah Ta’ala, jelas perbuatan haram. Mafhum
mukhalafah (pemahaman implisit)nya adalah jika tidak ada maksud
menyesatkan manusia maka tidak mengapa.
Imam
Ibnu Jarir at Thabari menegaskan dalam tafsirnya, dari Ibnu Wahhab, bahwa Ibnu
Zaid mengatakan ayat “Dan di
antara manusia ada orang yang mempergunakan perkatan yang tidak berguna ....”
maksudnya adalah orang-orang kafir. Tidakkah memperhatikan ayat selanjutnya:
“Dan
apabila dibacakan kepadanya ayat-ayat Kami Dia berpaling dengan menyombongkan
diri seolah-olah Dia belum mendengarnya, seakan- akan ada sumbat di kedua
telinganya; Maka beri kabar gembiralah Dia dengan azab yang pedih.” (QS. Luqman: 7)
Manusia
yang diceritakan dalam ayat ini, jelas bukan berkepribadian muslim. Memang,
sebagian ada yang membantah bahwa itu juga berlaku untuk orang Islam. Dan
lahwul hadits merupakan perkataan batil (sia-sia) yang mereka gunakan untuk
kelalaian. (Abu Ja’far Ibnu Jarir Ath Thabari, Jami’ul Bayan, I/41, tafsir surat Luqman)
Imam Ibnul ‘Athiyah
mengatakan, bahwa pendapat yang rajih (kuat) adalah bahwa ayat
tersebut diturunkan tentang orang-orang kafir, oleh karena itu ungkapan ayat
tersebut sangat keras yaitu “untuk menyesatkan (manusia) dari jalan Allah
tanpa pengetahuan dan menjadikan jalan Allah itu olok-olokan.” Dan
disertai ancaman siksaan yang amat hina. (Tafsir Ibnu ‘Athiyah, XI/484)
Pemahaman ini juga
dikuatkan oleh Imam Fakhr ar Razi dalam tafsirnya, bahwa Allah Ta’ala sedang
menceritakan keadaan orang-orang kafir, mereka meninggalkan Al Quran dan sibuk
dengan selainnya. (Tafsir Al Kabir, XIII/141-142)
Imam Ibnu Hazm telah
membantah tafsiran bahwa lahwul hadits adalah lagu, dan bantahan
ini sangat masyhur dan sering diulang-ulang oleh kelompok yang membolehkan lagu
dan musik (yang dipukul). Bantahan ini sebenarnya telah diketahui dan sudah
dibantah pula oleh para ulama yang mengharamkannya, tetapi nampaknya pandangan
Imam Abu Muhammad Ibnu Hazm sangat kokoh sehingga bantahan-bantahan untuknya
masih bisa didiskusikan lagi.
Imam Ibnu Hazm Rahimahullah
menolak tafsiran Ibnu Mas’ud Radhiallahu ‘Anhu, dengan perkataannya:
Pertama, Perkataan seseorang tidak bisa dijadikan hujjah
kecuali perkataan Rasulullah.
Keduan, Para sahabat dan
tabi’in berbeda pendapat.
Ketiga, nash ayat tersebut
(Luqman ayat 6) justru membatalkan argumentasi mereka sendiri, karena dalam
ayat tersebut berbunyi, “Dan diantara manusia ada orang yang menggunakan
perkataan yang tidak berguna (lahwul hadits) untuk menyesatkan manusia dari
jalan Allah tanpa pengetahuan dan menjadikan jalan Allah itu olok-olokan, “ ini menunjukkan bahwa yang melakukannya
adalah kafir, jika menjadikan jalan
Allah sebagai olok-olokan, hal ini tanpa perselisihan lagi. Beliau juga
mengatakan: “Jika seorang menggunakan perkataan sia-sia untuk menyesatkan
manusia dari jalan Allah, maka orang tersebut kafir.“ Iniah yang dicela
Allah. Sedangkan orang yang menggunakan perkataan sia-sia untuk tujuan hiburan
atau menenangkan diri, bukan bertujuan menyesatkan manusia dari jalan Allah,
tidaklah tercela. Maka terbantahlah argumen mereka dengan ucapan mereka
sendiri. Bahkan, jika seseorang membaca Al Quran atau hadits, atau obrolan,
atau lagu, sehingga sengaja melalaikan
shalat, itu termasuk kefasikan dan berdosa kepada Allah. Tetapi siapa yang
tidak melalaikan atau meninggalkan kewajiban sebagaimana yang kami katakan,
maka itu tetap kebaikan.” (Imam Ibnu Hazm, Al Muhalla, IX/10)
Hujjatul Islam, Imam al
Ghazali Rahimahullah juga ikut membantah, katanya, “Adapun makna
‘menggunakan perkataan tak berguna ‘ untuk agama, artinya merubah hukum agama
dan menyesatkan manusia dari jalan Allah, jelas hukumnya haram dan tercela, tak
ada perselisihan. Tidak semua nyanyian mengganti agama dan menyesatkan dari
jalan Allah, inilah yang dimaksud ayat tersebut. Seandainya membaca Al Quran
untuk menyesatkan dari jalan Allah, maka jelas haram.”
Hal ini diperkuat tentang
perilaku sebagian orang munafik ketika menjadi Imam Shalat secara sengaja selalu
membaca surat
‘Abasa karena didalamnya terdapat celaan terhadap Rasulullah Shallallahu
‘Alaihi wa Sallam, maka Umar Radhiallahu ‘Anhu hendak membunuhnya,
karena menilai perbuatan mereka itu haram dan menyesatkan. Apalagi menggunakan
syair dan lagu.(Imam al Ghazali, Ihya Ulumuddin, hal. 260-261, Darul
Ma’rifah, Beirut )
II. Dalil Al Hadits
A.
Hadits pertama, Imam Bukhari dan Imam Muslim meriwayatkan
dari ‘Aisyah Radhiallahu ‘Anha, tentang nyanyian dua jariyah (budak wanita yang masih remaja) di rumah
‘Aisyah, dan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam ada di situ.
Dari Aisyah, suatu hari
Abu Bakar Radhiallahu ‘Anhu masuk ke rumah Rasulullah, di sana ada dua jariyah yang
sedang bernyanyi dengan memainkan rebana, mereka sudah biasa bernyanyi, sedang
Rasulullah terhalang oleh tirai. Abu Bakar melarang keduanya, sampai Rasulullah
membuka tirai dan bersabda: “Wahai Abu Bakr, biarkanlah karena hari ini hari raya.”
Dalam riwayat lain, Abu
Bakar berkata, “Apakah pantas seruling setan ini terdengar di rumah
Rasulullah?” dan itu terjadi ketika hari ‘Ied (hari raya), maka Rasulullah
bersabda: “Wahai Abu bakar, sesungguhnya setiap kaum memiliki hari raya, dan
inilah hari raya kita.”
Atau dalam riwayat lain,
bahwa Rasulullah menegur kecaman Abu Bakar, untuk mengajarkan kepada orang
Yahudi bahwa Islam itu luas dan Nabi diutus dengan agama hanafiyatus sam-hah
(hanif dan toleran). (HR. Ahmad dari ‘Aisyah)
‘Aisyah juga berkata,
“Ketika utusan Habasyah (Etiopia) datang kepada Rasulullah, mereka mengadakan
permaianan di mesjid. Rasulullah menutupi dengan kainnya dan aku sendiri
menyaksikan mereka bermain di dalam mesjid, sampai saya merasa bosan. Saya pun
memerintahkan jariyah itu untuk berhenti (bernyanyi) meskipun ia masih ingin
benyanyi.
Dari hadits ini bisa
diketahui bahwa nyanyian identik dengan duff (rebana) sebagaimana yang
dilakoni dua jariyah tersebut, dan ternyata Aisyah dan Rasulullah mendengarkan
itu, dan Abu Bakar mengecamnya. Justru Rasulullah melarang apa yang dilakukan
oleh Abu Bakar tersebut, sehingga dua jariyah tersebut tetap bernyanyi hingga
‘Aisyah memberikan perintah untuk disudahi. Sebagian kalangan mengatakan, ini
menunjukkan bolehnya laki-laki mendengarkan nyanyian wanita asing, sebagaimana
Rasulullah mendengar dua jariyah tersebut, dan Rasulullah tidak ada hubungan
nasab apa pun dengan mereka berdua.
Namun kalangan yang anti
lagu tetap mengharamkan, menurut mereka dua jariyah itu masih anak-anak, alias
belum baligh, jadi belum mengerti apa yang sedang mereka lakukan. Pendapat ini
tertolak, sebab tidak ada keterangan yang menunjukkan itu. Lagi pula, jika
betul dua jariyah itu masih kanak-kanak, apa mungkin Abu Bakar melakukan
pengingkaran yang sangat keras kepada anak kecil, dengan ucapannya “Apakah
pantas di rumah Rasulullah terdengar suara seruling syetan?” Tentu ini adalah
celaan yang tidak pantas diterima anak kecil bukan? Tidak mungkin Abu Bakar
setega itu.
Lihatlah .., zina, sutera,
khamr, dan alat-alat musik digandengkan menjadi satu susunan kalimat. Ketiga
hal itu seolah haram menurut hadits tersebut. Sungguh, haramnya zina, sutera,
dan khamr adalah jelas. Tetapi, apakah zina, sutera, dan khamr menjadi halal
ketika datang hari raya? Bukankah musik yang diharamkan dalam hadits itu,
justru menjadi halal ketika hari raya? Lalu, kenapa musik dibolehkan pada hari
raya sementara yang lain, khamr dan zina tetap haram, bukankah ketiganya
disebutkan secara bersamaan dalam hadits tersebut? Nah, ini bukti kuat bahwa
pendapat bahwa musik hanya dibolehkan khusus ketika hari Ied saja adalah
pendapat lemah. Ini sekaligus bukti,
sebagaimana sebagaian ulama, seperti Imam Ibnu Hazm, Imam Ibnul Araby, dan
Syaikh Yusuf al Qaradhawy, bahwa tak ada satu pun hadits –termasuk hadits Imam
Bukhari ini- yang shahih yang mengharamkannya, atau sekalipun shahih, tak ada
korelasi yang menunjukkan keharamannya. Wallahu A’lam. Insya Allah, pada
gilirannya nanti akan kami paparkan tentang hadits bolehnya lagu dan musik
pukul, walau bukan hari Ied atau pernikahan.
Fakta di lapangan, hadits
Imam Bukhari tersebut memang para ulama berselisih tentang status
keshahihannya. Di dalamnya ada Hisyam bin Amr yang menjadi pembicaraan
para pakar (Imam Ibnu Hajar, Taghliq at Ta’liq, V/17-22)
Yahya bin Main dan Al
Ajili menyatakan bahwa dia tsiqah. Abu Daud mengatakan bahwa Hisyam bin Amr
meriwayatkan empat ratus hadits yang tidak ada asalnya.
Abu Hatim menyatakan
bahwa, “ Dia shaduq, tetapi kemudian dia berubah, maka setiap yang
datang darinya harus dikaji ulang, dan setiap yang disampaikannya mesti
ditanyakan kembali.”
Ibnu Sayyar juga
mengungkapkan bahwa ini merupakan bencana besar yang membuat kami bertawaqquf
(no coment) terhadap riwayatnya. Karena bisa jadi apa yang disampaikannya telah
terjadi perubahan.
Imam Ahmad mengatakan, “Ia
kurang hafalannya.” An
Nasa’i mengatakan bahwa, “Dia laa ba’sa bihi” (tidak ada masalah).
Sedangkan
Imam Adz Dzahabi mendukungnya, dan berkata,”Ia dapat dipercaya, tetapi banyak
yang mengingkari haditsnya.” (Adz Dzahabi, Mizanul I’tidal, IV/302, 9234.
Ibnu Hajar, Tahzib at Tahzib, XI/51-54. Al Mizzi, Tahzibul Kamal,
III/242-255, no. 6586)
B.
Hadits Kedua, tentang
pernikahan kerabat ‘Aisyah Radhiallahu ‘Anha yang bersuamikan orang
Ashar. Pada pesta pernikahan itu, nampak sepi-sepi saja tak ada hiburan apa
pun, lalu Nabi Shallallahu ‘laihi wa Sallam menanyakan hal tersebut
seakan ia mengkritiknya.
Dari ‘Aisyah, bahwa beliau
menghadiri pernikahan seorang wanita Anshar, maka Nabi Shallallahu ‘Alaihi
wa Sallam bersabda: “Wahai ‘Aisyah, Apakah mereka tidak memainkan ‘lahwun’?
Bukankah orang Anshar sangat menyukai permaianan (al lahwu)?” (HR. Bukhari dan
Ahmad)
Imam Ibnu Hibban dalam
Shahihnya, meriwayatkan dari ‘Aisyah, beiiau berkata: “Di kamarku ada
jariyah dari Anshar, kemudian aku menikahkannya, maka ketika Rasulullah masuk
pada hari pernikahannya, ia sama sekali tidak mendengar nyanyian ataupun
lahwun, kemudian dia bersabda: “Wahai ‘Aisyah, apakah engkau tidak memberikan
nyanyian untuknya?” lalu ia bersabda: “Bukankah
ini kampungnya orang Anshar, dan mereka sangat menyukai nyanyain?” (HR.
Ibnu Hibban, no.5875, rijalnya tsiqat)
Imam Ibnu Majah,
meriwayatkan dari Ibnu Abbas Radhiallahu ‘Anhu, dia berkata: “Aisyah
menikahkan kerabat dekatnya, orang Anshar, kemudian Rasulullah datang dan
bertanya: “Sudahkah engkau memberikan hadiah untuknya?” ‘Aisyah menjawab: “Ya,
sudah.” Rasulullah bertanya lagi, “Sudahkah engkau mengirim orang untuknya
bernyanyi?” ‘Aisyah menjawab: “Belum.” Kemudian Rasulullah bersabda:
“Sesungguhnya kaum Anshar adalah kaum yang suka senda gurau, alangkah bagusnya
engkau kirimkan baginya orang yang menyambut tamu tamu dengan syair:
Aku datang kepadamu .... Aku datang kepadamu ....
Semoga Allah mencukupkan kami, dan mencukupkan kamu sekalian!” (HR. Ibnu Majah,
no. 1900)
Ada
riwayat lain yang hampir serupa, dimana Rasulullah bertanya: “Kenapa engkau
tidak mengundang orang yang akan menyambut dengan syair:
Aku datang kepadamu ....aku datang kepadamu ...
Semoga Allah
mencukupkan kami dan kamu
Jika bukan
karena emas yang merah
Niscaya aku
tidak akan mendatangi kampungmu
Jika bukan
karena habbatus sauda
Niscaya aku
tidak akan mendatangi gadis-gadismu..
Pada riwayat lain (no. 1995)
menyebutkan: “Niscaya para gadismu tidak akan gemuk.” Syaikh al Albany dalam Al Irwa’-nya.
Dari
beberapa riwayat ini, pelajaran berharga yang bisa kita ambil, yakni pertama, sikap Rasulullah yang menghargai kebiasaan dan
tradisi orang lain yakni Anshar
(Madinah) yang suka nyanyian, sedangkan dia orang Muhajirin (Mekkah). Kedua,
ternyata Rasulullah pun melantunkan syair atau mencontohkan nyanyian untuk
menyambut para undangan.
C.
Hadits Rubayyi’ binti Mu’awwidz, Imam Bukhari meriwayatkan
dalam Shahihnya dalam Kitab Nikah, Bab Dharb al Duff fin Nikah wal
Walimah (Memukul rebana selama pernikahan dan walimah).
Dari Rubayyi’ binti
Mu’awwidz beliau berkata, “Pada pagi hari, Rasulullah datang ke pernikahan
saya, kemudian beliau duduk dikursiku seperti halnya kamu duduk di depan saya
sekarang ini. Lalu, aku memerintahkan para jariyah memainkan duff,
dengan menyanyikan lagu-lagu perjuangan orang tua kami yang gugur pada perang
Badar, mereka terus bernyanyi dengan syair yang mereka kuasai, hingga salah
seorang jariyah mengucapkan sebuah syair:
Diantara kita telah hadir,
seorang Nabi yang mengetahui hari yang akan datang ...
Maka Nabi Shallallahu
‘Alaihi wa Sallam menanggapi, “Sya’ir yang ini, janganlah kamu nyanyikan.” (HR.
Bukhari, Bab al Maghazi no. 4001, Juga Bab Nikah no. 5147)
Imam
Ibnu majah meriwayatkan dari Ibnu Abi Syaibah, dari Al Hasan al Madani: “Ketika
hari ‘Asyura kami di Madinah, di antara kami ada jariyah yang memainkan duff
dan bernyanyi-nyanyi, lalu kami masuk ke rumah Rubayyi’ binti Mu’awwidz,
sahabat Nabi yang tenar. Lalu kami menceritakan kepadanya apa yang dilakukan
jariyah tadi. Dia menjawab: “Rasulullah pernah datang ke rumahku disaat hari
pernikahanku, saat itu ada dua jariyah yang bernyanyi, mereka menyanyikan kisah
syahidnya para orang tua kami dalam perang Badar, sampai mereka mengatakan apa
yang tidak seharusnya mereka ucapkan, yaitu:
...diantara
kita telah hadir seorang Nabi yang mengetahui tentang hari depan ..
Rasulullah
menanggapi: “Adapun kalimat ini, jangan kau katakan, karena tidak satu pun yang
tahu hari esok kecuali Allah ‘Azza wa Jalla.” (HR. Ibnu Majah no. 1897, Ahmad
VI/359-360)
Riwayat
ini membuktikan bahwa Rasulullah pun mendengarkan hiburan dan duff, dan
itu sekaligus menunjukkan kemubahannya. Sedangkan yang ia ingkari adalah
kalimat yang bernada kultus, bukan mengingkari nyanyian itu sendiri. Nah,
benarkah anggapan bahwa kebolehannya hanya pada hari raya dan walimah saja
sebagaimana hadits-hadits ini? Jawab: tidak! Apa dalilnya? Jangan kemana-mana
dulu, kita kan kembali setelah ini.
D. Hadits
tentang seorang jariyah hitam yang bernadzar dihadapan Rasulullah, bahwa jika
Rasulullah selamat dan pulang dari peperangannya, maka ia berjanji akan menabuh
duff dan bernyanyi di depan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam.
Dari
Buraidah: “Rasulullah hendak menuju peperangan, ketika kembali dari peperangan,
ada seorang jariyah hitam datang kepada Rasulullah, dan berkata: “Wahai
Rasulullah, sungguh aku telah bernadzar, apabila engkau kembali dengan selamat,
aku akan menabuh duff dan bernyanyi di hadapanmu,” Maka Rasulullah
bersabda: “Apabila engkau telah bernadzar, maka tabuhlah sekarang, karena
apabila tidak maka engkau telah melanggar nadzarmu.” Kemudian jariyah
tersebut menabuh duff dan bernyanyi, kemudian ketika Abu Bakar
Radhiallahu ‘Anhu datang, jariyah itu masih menabuh dan bernyanyi lalu ketika Ali Radhiallahu ‘Anhu
datang jariyah itu masih menabuh dan bernyanyi, lalu ketik Utsman Radhiallahu
‘Anhu datang ia juga masih menabuh dan bernyanyi. Tetapi, ketika Umar Radhiallahu
‘Anhu datang, ia (Umar) langsung melemparkan duff itu ke arahnya, lalu
jariyah itu duduk. Lalu, rasulullah bersabda: “Wahai Umar, sungguh setan akan
takut kepadamu, sungguh ketika aku duduk ia menabuh, begitu pula ketika Abu
Bakar, Ali dan ‘Utsman, ia tetap menabuh. Tetapi, ketika engkau masuk wahai
Umar, engkau lemparkan duff itu.” (HR. Ahmad no. 22989, dan Tirmidzi
no. 3690, katanya hasan shahih gharib)
Riwayat ini menunjukkan
bahwa Rasulullah, Abu Bakar, Utsman, dan Ali ikut mendengarkan nyanyian dan
tabuhan. Saat itu bukan hari raya dan walimah, maka ini merupakan bantahan bagi
yang mengatakan bahwa pembolehannya hanya ketika hari Ied dan walimah saja.
Kita tahu bahwa bernadzar
tidak boleh dengan perkara maksiat. Jadi, ketika Rasulullah memerintahkan agar
jariyah itu menunaikan nadzarnya dengan menabuhkan duff, itu menunjukkan bahwa
manabuh duff dan bernyanyi bukan maksiat. Jika itu maksiat, maka mustahil
Rasulullah meridhai bahkan memerintahkan untuk memainkannya. Ya hadits ini
sangat jelas.
E.Hadits tentang Qaynah (wanita yang
suka bernyanyi)
Dari Said bin Yazid, bahwa
ada seorang wanita datang menemui Nabi, kemudian Nabi bertanya kepada ‘Aisyah:
“Wahai ‘Aisyah, apakah engkau kenal dia?” ‘Aisyah menjawab: “Tidak, wahai Nabi
Allah.” Lalu, Nabi bersabda: “Dia itu Qaynah dari Bani Fulan, apakah kamu mau
ia bernyanyi untukmu?”, maka bernyanyilah qaynah itu untuk ‘Aisyah. (HR. An
Nasa’i, kitab Asyratun Nisa’, no. 74)
Jelaslah ... bolehnya
mendengarkan nyanyian walau bukan hari raya. Riwayat ini tak ada kaitan apapun
dengan hari raya dan walimah.
Kemubahannya sangat
terlihat jelas, sebab tak mungkin Rasulullah memerintah orang lain bernyanyi
untuk ‘Aisyah, jika memang bernyanyi itu haram. Sebenarnya masih banyak riwayat dari
Rasulullah yang menguatkan bahwa lagu dan musik
tabuhan adalah mubah, namun hadits-hadits ini, kami kira cukuplah. Al
hamdulillah ...
III. Para sahabat Nabi yang membolehkan bernyanyi dan
mendengarkannya, dan mereka sebaik-baiknya kaum dan salaf (pendahulu)
Mereka para sahabat
merupakan murid madrasah nabawiyah. Kita akan dapati, bahwa sikap mereka
terhadap nyanyian tidaklah sekeras
generasi setelahnya. Karena memang saat itu nyanyian dan tabuhan bukanlah
sebuah ancaman terhadap ketaatan, sehingga mereka tidak merasa perlu khawatir.
Adapun generasi selanjutnya, manusia banyak tenggelam dalam hura-hura, syahwat,
dan lalai, karena lagu dan nyanyian. Maka, wajar bila ulama masa
itu menjadi lebih keras dibanding para sahabat. Jadi, yang harusnya
dipermasalahkan bukanlah lagu dan musik itu sendiri, melainkan sikap israf
(berlebihan) manusianya dalam menikmati lagu dan musik tabuhan, sehingga banyak
hal-hal utama yang mereka tinggalkan. Namun, tidak semua orang bersikap israf
dalam perkara ini. Maka, sekali lagi, keharaman lagu dan musik bukan dilihat
dari lagu dan musik itu sendiri, tetapi efek lalai atau potensi lalai sangat
mungkin terjadi karenanya.
Sikap Umar bin al Khathab Radhiallahu
‘Anhu
Dialah Al Faruq, yang
paling keras dalam melaksanakan perintah Allah Ta’ala, sebagaimana hadits:
“Yang disayangi dari umtku adalah Abu Bakar, dan yang paling keras dlam
melaksanakan perintah Allah dikalangan umatku adalah Umar, dan sejujurnya
manusia adalah pemalunya Utsman ... dst.” (HR. Ahmad, Tirmidzi, An Nasa’i, Ibnu
Majah, Ibnu Hibban, Al Hakim, dan Al Baihaqi, Al jami’ush Shaghir, 895)
Kita
tahu sikapnya yang keras terhadap orang Habasyah yang sedang bermain tarian
pedang di Mesjid Nabawi saat hari Ied. Namun, sebenarnya ia sangat suka
bersenandung, dan toleran sahabat lainnya yang suka menghibur diri, atau
bernyanyi dalam perjalanan di gurun.
Dari
Abdullah bin Auf, dia berkata: “Aku menghampiri pintu rumah Umar bin Al
Khathab, kemudian aku mendengar ia sedang bernyanyi:
Wahai, bagaimanakah nasib rumahku di
Madinah
Setelah maksud jahat Jamil bin
ma’mar terpenuhi
Yang
dimaksud adalah Jamil al Jamahi, karena hanya dia yang punya nama itu. Aku
datang minta izin masuk ke rumahnya, beliau berkata, “Apakah engkau mendengar
apa yang aku nyanyikan tadi?, “ Aku menjawab, “Ya.” Beliau berkata:”
Sesungguhnya aku, apabila sedang kesepian, aku juga sering bersenandung seperti
orang lain juga.” (Imam al Alusi, Tafsir Al Alusi, XXI/71) Ya .. inilah Umar, ia
bersenandung ...
Khawat bin Jubair dia berkata: “Aku pergi haji
bersama Umar bin al Khathab, kami berangkat dengan berkendaraan bersama Abu
Ubaidah bin al Jarrah, Abdurrahman bin Auf, tiba-tiba manusia berkata,
“Nyanyikanlah buat kami syairnya dhirar, “ lalu Umar menanggapi, “Biarkanlah
mereka wahai Abu Abdillah”, maka mereka pun bernyanyi sesuka seleranya –yaitu
syair dhirar. Aku pun terus menyanyikan lagu buat mereka, sampai waktu sahur
tiba, dan Umar berkata, “Sudahilah nyanyianmu wahai Khawat, karena kita sudah hampir waktu sahur.” (Imam
Ibnu Hajar, Al Ishabah, I/457, no. 2298. Al Baihaqi, V/69)
Waktu sahur maksudnya waktu berdzikir dan istighfar
pada sepertiga malam terakhir (QS. Adz Dzariyat: 18), bukan makan sahur.
Riwayat ini, nampak bukan hanya Umar saja yang
mendengarkan nyanyian, tetapi Abu Ubaidah bin Al Jarrah dan Saad bin Abi
Waqqash, dan kedunya merupakan termasuk sahabat yang mubasysyiruna bil
jannah (diberitakan akan masuk surga).
Al Harits bin Ubaidillah bin ‘Ayyas menceritakan
bahwa ia pernah bersama Umar berjalan di suatu jalan di Mekkah di masa
kekhalifahannya, kaum muhajirin dan Anshar juga turut serta. Sesampainya di
rumah, Umar berdendang dengan suara yang merdu, sehingga ada orang dari Irak
yang berkata, “Kenapa tidak meminta orang lain saja (untuk bernyanyi) wahai
Amirul Mu’minin?! Umar pun menjadi malu, lalu ia memacu kudanya dan berpisah
dari rombongan. Imam Ibnu Thahir al Maqdisi mengatakan sanad riwayat ini kuat.
Imam Ibnu Thahir meriwayatkan dari Zaid bin Aslam
dari Ayahnya, bahw Umar Radhiallahu ‘Anhu lewat di depan orang yang
sedang bernyanyi, kemudian beliau berkata: “Nyanyian adalah bekal bagi
musafir.” (Muhammad bin Thahir al Maqdisy, hal. 42)
Diterima dari Yahya bin Abdurrahman, dia berkata,
“Kami berhaji bersama Umar dalam haji Akbar, hingga sampai di suatu tempat
bernama Rauha’, lalu Ribah bin al Mu’tarif yang terkenal merdu suaranya
dalam menyanyikan lagu Arab Badui diminta oleh orang-orang: “Perdengarkanlah
suaramu kepada kami dan menarilah,” Dia menjawab: Aku harus jauh karena malu
terhadap Umar.” Kemudian orang-orang meminta izin kepada Umar bin Khathab, dan
berkata: “Kami minta kepada Ribah untuk menyanyikan lagu dan menari buat kami
selama istirahat diperjalanan, tetpi dia tidak mau tanpa seizinmu.” Maka
Umar berkata kepada Ribah; “Wahai Ribah
bernyanyi dan menarilah untuk mereka, tetapi jika sudah waktu sahur, hendaknya
berhentilah.”(An Nihayah, 190/4)
Dan Ribah membiarkan mereka mendengarkan syair Dhirar
bin Khatthab, lalu ribah meninggikan suaranya (‘uqayrah) dan terus
bernyanyi padahal mereka semua sedang ihram!” (Ibnu Thahir, hal. 41-42)
Az Zubair bin Bakkar menceritakan, bahwa Umar Radhiallahu
‘Anhu lewat dihadapan Ribah bin al Mu’tarif, lalu berkata kepadanya, “Ada
apa ini?”, lalu Abdurrahman bin ‘Auf menjawab, “Suatu hal yang biasa, sekedar
untuk mempersingkat perjalanan kita,” Kemudian Umar berkata, “Kalau begitu
bernyanyilah dengan syairnya Dhirar bin al Khatthab.(Al Ishabah,
I/502. Sunanul Kubra X/224)
Saya kira riwayat-riwayat ini sangat memadai bahwa
Umar, Saad bin Abi Waqqash, Abu Ubaidah bin Al Jarrah, Abdurrahman bin ‘Auf,
Khawat bin Jubair, dan sahabat nabi lainnya, baik Ansha dan Muhajirin,
mereka semua pernah bahkan biasa mendengarkan nyanyian. Selain mereka, berikut akan kami paparkan
sahabat Nabi lainnya.
Sikap Utsman bin Affan Radhiallahu ‘Anhu
Sikap
Utsman, sebagaimana yang diriwayatkan oleh Imam Abu Hasan al Mawardi mengatakan
dalam kitabnya Al hawy fi fiqh Imam Asy Syafi’i, “Bahwa Utsman bin Affan
memiliki dua jariyah yang sering mendendangkan nyanyian untuknya, apabila datang
waktu Sahur, beliau berkata kepada keduanya: “Berhentilah, sekarang sudah
waktunya istighfar.” (Az Zubaidi, al ittihaf as sadah al muttaqin, VII/567)
Sikap Abdullah bin Ja’far Radhiallahu ‘Anhu
Dia
adalah anak Ja’far bin Abu Thalib Radhiallahu ‘Anhu, ketua rombongan
hijrah pertama ke Habasyah. Abdullah bin Ja’far terkenal sebagai sahabat
nabi yang suka mendengarkan nyanyian dengan mengunakan musik. Al ‘Allamah
Kamaluddin Abul fadhl Ja’far bin Tsa’lab al Adfawy mengatakan dalam al
imta’: Adalah Abdullah bin ja’far bin Abi Thalib, dia cukup terkenal
dalam hal mendengarkan nyanyian dan lagu. Banyak para ahli fiqih, huffazh, dan
ahli tarikh yang menimba ilmu darinya.
Imam
Ibnu Abdil Barr berkata: “Beliau berpandangan bahwa dalam nyanyian itu tidak
ada masalah apapun.” (Al Isti’ab, II/276)
Abdullah
bin ja’far pernah bermalam di rumah Mu’awiyah. Ia sangat dihormati luar biasa
oleh Mu’awiyah, sampai isteri Mu’awiyah jengkel. Ketika datang malam, Abdullah
bin Ja’far bernyanyi hingga suaranya terdengar ke luar kamar. Berkatalah isteri
Mu’awiyah: “Apakah engkau dengar sesuatu dari kamar orang yang sangat kau
hormati, sekan ia daging dan darahmu?” lalu Mu’awiyah mendengarkannya hingga ia
meninggalkan Abdullah bin Ja’far. Pada akhir malam Mu’awiyah mendengar bacaan
Al Quran dari Abdullah bin Ja’far, lalu ia mendatanginya dan berkata:
“Perdengarkanlah kepadaku apa yang engau dendangkan semalam.” (Ibid)
Abu Manshur al Baghdadi mengatakan dalam As Sima’
bahwa, Abdullah bin ja’far dengan penuh perasaan sering membuat syair lagu
untuk tetangga-tetangganya dan diperdengarkan kepada mereka dengan alat musik.
Az Zubeir bin Bakr menceritakan bahwa Abdullah bin
ja’far sering ke kedai Manzil Jamilah, sebuah kedai yang terkenal pada
masa sahabat, di dalamnya sering diperdengarkan nyanyian dari seorang penyanyi.
(Al Ihya’, VII/566)
Imam Asy Syaukani dalam Nailul Authar-nya
berkata: “Penduduk Madinah dan orang-orang yang menyetujuinya dari kalangan
ulama Ahli Zhahir dan sejumlah ahli tasawwuf berpendapat membolehkan nyanyian.
Meskipun dengan ‘Aud dan seruling. Abu Manshur al Baghdadi Asy Syafi’i menceritakan
dalam As Sima’ bahwa Abdullah bin Ja’far tidak menganggap terlarang
masalah nyanyian, bahkan ia membuat lagu untuk budak-budak perempuannya, serta
mendengarkan nyanyian mereka dengan menggunakan alat musiknya, Ini terjadi pada
masa kekhalifahan Ali Radhiallahu ‘Anhu.”
Sikap Abdullah bin Zubeir Radhiallahu ‘Anhu
Dia adalah anak dari Zubeir bin Awwam Radhiallahu
‘Anhu dan Asma’ binti Abu Bakar. Ia wafat di tangan gubernur zalim Al
Hajjaj pada masa khalifah Abdul Malik bin Marwan tahun 73H. Banyak manusia
meriwayatkan hadits darinya. Imam Ibnu Daqiq al Id meriwayatkan dalam Iqtinash
Sawanih dengan sanadnya dari Wahhab bin Sannan, di berkata: “Aku mendengar
Abdullah bin Zubeir Radhiallahu ‘Anhu bersenandung dengan nyanyian.”
Imam
Haramain (dalam An Nihayah) dan Ibnu Abid Dunya mengatakan, menurut
perkataan yang bisa dipercaya dari para sejarawan, mereka menukil bahwa
Abdullah bin Zubeir memiliki beberapa ‘Aud (gitar zaman dulu). Ketika Ibnu Umar
masuk ke rumahnya dan melihat ‘Aud itu, ia bertanya: “Apa ini wahai sahabat
Rasulullah?” lalu Abdullah bin Zubeir memberikan ‘Aud itu kepada Ibnu Umar, dan
dia mengamatinya. Lalu bertanya: “Apakah ini timbangan negeri Syam?” Abdullah
bin Zubeir menjawab, “Ini timbangan untuk akal.”
Sikap Abdullah bin Umar Radhiallahu ‘Anhu
Kita dapati ada
beberapa riwayat yang berbeda tentang sikap Abdullah bin Umar ini. Ketika
sedang berjalan bersama Nafi’, Ia pernah menutup telinganya ketika terdengar
suara seruling merdu sekali.lalu ia bertanya: “apakah engkau masih mendengar?”
Nafi’ menjawab: “Tidak.” Ketika suara seruling sudah hilang barulah ia
melepaskan jarinya. Lalu ia berkata: “Begitulah aku melihat Rasulullah
melakukannya.”(HR. Abu Daud no. 4924)
Hadits
ini sering dijadikan dalil untuk mengharamkan, padahal tidak. Jika benar haram,
tentu Ibnu Umar juga memerintah Nafi’ untuk menutup telinga, tidak mungkin ia
mendiamkan Nafi’ untuk tetap mendengarkan sesuatu yang haram. Bisa jadi ia
sekedar tidak menyukainya, dan ‘tidak suka’ tidaklah bermakna haram.
Sebagaimana kita ketahui, para sahabat nabi memang tidak menyukai kenikmatan
duniawi, namun sikap itu tidak berarti haram sacara syara.’
Ternyata, hadits ini pun dinyatakan munkar
oleh perawinya yakni Imam Abu Daud, begitu pula menurut Al hafizh al Mundziri
dalam Mukhtashar lis Sunan, ia tidak mengingkari kemungkaran hadits tersebut.
walau ada juga yang menyatakan shahih yakni pensyarahnya (kitab Aunul Ma’bud)
menyatakan sanadnya kuat dan tsiqat.
Al ‘Allamah Abu Umar al Andalusi
meriwayatkan dalam Al ‘Aqd, bahwa Abdullah bin Umar pernah datang ke
rumah Abdullah bin Ja’far, lalu di dapatinya seorang budak perempuan milik
Abdullah bin Ja’far yang di dalam kamarnya terdapat alat musik ‘Aud (kecapi). Kemudian Abdullah
bin Ja’far bertanya kepada Ibnu Umar, “Apakah Anda menganggapnya terlarang?”
Ibnu Umar menjawab: “Tidak apa-apa.”
Sikap Mu’awiyah dan Amr bin al ‘Ash Radhiallahu
‘Anhuma
Dalam Al Hawy,
diceritakan oleh Al Mawardi, bahwa Mu’awiyah dan Amr bin al Ash sering
mengunjungi Abdullah bin Ja’far, yang dilihatnya sering sibuk dengan nyanyian,
dan mereka menasihatinya. Mereka berdua pernah datang untuk bertanya kepada
Abdullah bin Ja’far, ketika mereka berdua masuk ke rumah Ibnu Ja’far, semua
jariyah terdiam. Berkatalah Mu’awiyah kepada mereka, “Saya harap kalian
kembalilah bernyanyi seperti tadi.” Maka, Jariyah-jariyah kembali bernyanyi
untuk Mu’awiyah, terlihat Mu’awiyah menggerak-gerakan kakinya di kursi. Lalu,
Amr bin al Ash bertanya, “Apa yang sedang kau nikmati?” Mu’awiyah menjawab:
“Wahai Amr, sesungguhnya orang mulia sedang bernyanyi.”
Imam
Ibnu Qutaybah juga meriwayatkan bahwa Mu’awiyah pernah menemani anaknya –Yazid-
yang sedang memainkan ‘Aud. Mu’awiyah menemaninya dengan memainkan tharb
(rebab-alat musik pukul). Masih banyak lagi kisah tentang masalah ini dari
Mu’awiyah.
Sikap Mughirah bin Syu’bah Radhiallahu ‘Anhu
Seorang
pemikir Arab, Mughirah bin Syu’bah, termasuk sahabat Nabi yang suka
mendengarkan nyanyian. Syaikh Tajuddin al Fazari menceritakan ketertarikan
Mughirah bin Syu’bah dalam mendengarkan nyanyian. Beliau juga termasuk sahabat
yang sering nikah dan menikahkan orang lain.
Sikap Usamah bin Zaid Radhiallahu ‘Anhu
Dari
Abdullah bin al Harits bin Naufal, beliau berkata, “Aku melihat Usamah bin Zaid
sedang duduk di mesjid engan mengangkat sebelah kakinya di atas yang lainnya,
ia sedikit meninggikan suaranya.” Anandungbdullah bin Al Harits berkata, “Saya
kira beliau sedang bersenandung dengan nyanyian syair An Nashab.”
(Riwayat Abdurrazzaq, XI/5, Al Atsar, 91739. Al Baihaqi, X/224)
An
Nashab adalah salah satu syair Arab Badui yang mirip nyanyian (untuk bersenandung),
sebagaimana dikatakan Abu Ubaid.
Sikap Abdullah bin Al Arqam Radhiallahu ‘Anhu
Dia adalah anak
Arqam bin Abi al Arqam. Dalam As Sunan-nya Imam al Baihaqi, meriwayatkan
dari Az Zuhri dari Ubaid bin Abdillah bin Utbah: “Sesungguhnya Ayahnya
menceritakan kepadanya bahwa beliau pernah mendengar Abdullah bin al Arqam
meninggikan suaranya dan beliau bersenandung.” Abdullah bin Utbah berkata: “Demi Allah,
setahu saya, tidak pernah saya melihat dan menemukan orang yang paling takut
kepada Allah selain Abdullah bin al Arqam.”(As Sunan al Kubra, X/225)
Sikap Imran bin Hushain Radhiallahu ‘Anhu
Imam Bukhari meriwayatkan dalam
Adabul Mufrad, dari Mathraf bin Abdullah, ia berkata: Aku ditemani Imran
dari Kuffah ke Bashrah, sedikit-dikit ia bersenandung dengan melantunkan
syair.(Adabul Mufrad, hal. 124)
Abdur
Razzaq meriwayatkan, sebenarnya dari Bashrah ke Mekkah beliau melantunkan
nasyid setiap hari, kemudian ia berkata kepadaku: “Sesungguhnya syair itu sama
dengan ucapan, dan setiap ucapan ada yang baik dan ada juga yang batil.” (Abdurrazzaq,
XI/5, Al Atsar no. 19740)
Sikap Bilal bin Rabah Radhiallahu
‘Anhu
Imam
Abdur Razzaq meriwayatkan, juga Imam Baihaqi dengan sanadnya –lafaz ini dari
Baihaqi, dia berkata: Abdullah bin az Zubair berkata sambil bersandar: “Wahai
Bilal bernyanyilah!” Kemudian seorang bertanya: “Bernyanyi?” Kemudian dia duduk
dengan tegak, dan berkata: “Tiada seorang pun Muhajirin yang belum pernah
mendengar Bilal menyanyikan An Nashab?”
Sikap Hasaan bin Tsabit
Radhiallahu ‘Anhu
Penulis
kitab al Aghani meriwayatkan
dalam al Kamil dan juga yang lainnya, dari Kharijah bin Zaid, dia
mengatakan kami diundang dalam sebuah npesta pernikahan, di sana hadir pula
Hassan bin Tsabit, saat itu sudah buta, ia bersama anaknya –Abdurahman. Setelah
selesai makan, tuan rumah mendatangkan dua jariyah penyanyi, Rab’ah dan ‘Izzah
al Maila’. Keduanya mengambil alat musik gambus lalu menabuhnya dengan merdu
dan indah serta menyanyilan syairnya Hassan bin Tsabit.
Aku rasa, pandanganku senantiasa sempit
Sehingga
angin dan hujan memalingkan wajahnya dari ku ..
Ketika
Hassan mendengar syair tersebut ia berkata: “Sungguh kini aku bisa melihat dan
mendengar.” Matanya mulai berkaca-kaca. Ketika dua jariyah itu berhenti
menyanyi, air matanya mengering, ketika bernyanyi, ia menangis lagi. Aku
melihat Abdur Rahman mengahmpiri dua jariyah tersebut dan berkata, “Teruslah
nyanyikan syair ini.”(Al Aghani, XVII/176-179)
Sikap sahabat-sahabat yang lain
Sahabat lain yang mendengarkan nyanyian di
antaranya adalah Hamzah bin Abdul Muthalib, kisahnya ada dalam Ash Shahihain.
Abdullah bin Umar dalam riwayat Ibnu Hazm dan Ibnu Thahir, Barra bin Malik yang
diriwayatkan oleh al Hafizh Abu Nu’aim dan ibnu Daqiq al Ied, An Nu’man bin
Basyir yang diriwayatkan oleh ahli lagu
dan al Aqd serta Syarhul Miqna, Abdullah bin Amr yang
diriwayatkan oleh Zubair bin Bakr dalam kitab al Mawfiqiyyat, juga
‘Aisyah, banyak hadits-hadits yang menceritakan bahwa beliau suka mendengarkan
nyanyian. (Al ittihaf, VII/568)
IV. Para Tabi’in yang membolehkan Bernyanyi dan
Mendengarkannya
Mereka
adalah murid-murid para sahabat nabi, merekalah pengisi zaman khairul qurun
yang kedua setelah masa sahabat nabi.
Sikap Said bin al Musayyib
Ia
adalah tabi’in utama, setelah Uwais al Qarny. Sebagian lagi mengatakn ia
adalah junjungan para tabi’in. Ia termasuk tujuh ahli fiqih (Fuqaha as Sab’ah) Madinah pada
zamannya. Ternyata beliaupun pernah mendengarkan nyanyian.
Dari Ibrahim bin Muhammad al Abbas al Muthallibi,
bahwa Said bin al Musayyib pernah melewati suatu tempat di Mekkah, dan beliau
mendengar Al Akhdhar sedang menyanyikan sebuah syair di Darul ‘Ash
bin Wail dengan syair:
Hilang harum kesturi di perutnya Nu’man secara
tiba-tiba
Zainab berjalan di antara wanita-wanita yang
mengelilinginya
Kemudian
Said menepuk Nu’man dengan kakinya. Kemudian Nu’man berkata: “Ini, Demi Allah!
Hanya untuk didengarkan dan dinikmati saja.”
Lalu,
Said bin al Musayyib menjawab dengan menyanyikan syair:
Dia
tidak seperti wanita lain yang menebarkan sakunya sehasta
Dan
kedatangannya memanjangkan kuku jarinya
Dan
mencat ujung jari dengan wangi misk dan
Kakinya yang halus seperti bulan purnama ....dst
Ibrahim mengatakan: Mereka beranggapan
bahwa syair ini adalah buatan Said bin al Musayyab. Ibnu Abdil Barr mengatakan,
“Ini bukanlah Syair buatan An Namiri sebagaimana yang pernah aku
riwayatkan, dan dalam syair dia tidak ada bait seperti ini. Jelas ini adalah
bait syair buatan Said bin al Musayyib.
Kisah ini juga dikutip oleh Ibnul Jauzy
dalam Talbisul Iblis, dan Ath Thabrani serta As Sam’ani dalam Awail
adz Dzail.
Sikap Salim bin Abdullah
Dia
adalah Salim bin Abdullah bin Umar bin Al Khathab. Imam Ibnu Thahir mengatakan,
dengan sanadnya yang sampai pada Abdul Aziz bin Abdul lathif dia berkata,
ayahku mengatakan: “Aku pernah masuk ke rumah Salim bin Abdullah bin Umar. Di sana ada Asy’ab yang
sedang menyanyikan syair:
Perubahan
di wajahnya bagai purnama setahun penuh
Yang terbebas dari
dosa dan kesalahan
Yang nampak hanyalah kekayaan
Sesuai
dengan kesucian jiwa
Memisahkan
setiap hal yang jelek dan menjijikan dari sesuatu yang suci ...dst
Lalu
Salim berkata kepada Asy’ab: “Ulangi lagi untukku.” Maka Asy’ab
melanjutkan sampai selesai.
Kemudian Salim berkata: “Hai demi Allah, kalaulah
engkau tidak bergantian mengisahkan syair ini, niscaya akan aku beri hadiah
untukmu.
Kemudian Imam ibnus Sam’ani mengutip akhir sanadnya,
dan juga Abdul Aziz bin Abdul muthallib, beliau adalah Qadhi di Madinah, ada
pula yang menyebut Qadhi di Mekkah.
Sikap Qadhi Syuraih
Dinukil dari Al Ustadz Abu Manshur al Baghdadi dalam
As Sima’ menceritakan tentang Qadhi Syuraih, bahwa beliau menyusun syair,
mendendangkan dan mendengarkannya sendiri dengan penuh penghayatan.
Sikap Kharijah bin Zaid
Dia adalah salah seorang dari tujuh ahli fiqih
Madinah. Tentang kisahnya mendengarkan musik sudah kami sebutkan dalam Sikap
Hassan bin Tsabit Radhiallahu ‘Anhu. Silahkan diperiksa.
Sikap Said bin Jubair
Al hafizh Abu Fadhl Muhammad bin Thahir menceritakan
dengan sanadnya yang sampai kepada al Ashmu’i tentang Al Qadhi Said bin Jubair;
Umar bin Zaidah menceritakan kepada kami, Isteri Amr bin Al Asham menceritakan:
“Kami nelewati sebuah tempat dan di samping kami ada Said bin Jubair dan di
antara kami ada seorang jariyah yang bernyanyi dengan memukul duff,
dengan mendendangkan syair:
Kalaulah kamu tidak kagum kepadaku, maka kemarilah
Said
mengagumiku,
Dengan berkurban yang kaum muslimin
Sedikit sekali yang melakukannya ...dst
Maka Said menimpali:
“Kau dusta, kau dusta!”
Al Faqihi meriwayatkan dalam Tarikh Mekkah,
bahwa Said mendengarkan lagu yang diiringi duff dengan tidak mengecam
perbuatan itu. Namun, ketika diperbincangkan hal itu, ia menyanggahnya dengan
tanpa mengecam.
Sikap Amir Asy Sya’bi
Dia adalah tabi’in generasi pertama. Dalam Shafwat
at Tashawwuf Al Hafizh Abu Fadhl Muhammad bin Thahir mengatakan, Al Ashmu’i
berkata, Amr bin Abi Zaidah menceritakan: “Asy Sya’bi lewat di depan jariyahnya
yang sedang bernyanyi, Asy Sya’bi menyenanginya, namun jariyah itu diam ketika
melihat Amir Asy Sya’bi. Lalu Asy Sya’bi berkata: “Tinggikan ujung lagu itu.”
Kisah ini juga terdapat dalam Awailudz Dzaili-nya
Ibnu Sam’ani.
Sikap Ibnu Abi ‘Atiq
Ia seorang faqih, zuhud, dan mengajarkan syair
nyanyian. Shahihain meriwayatkan hadits darinya. Dalam Al Mawfiqiyat Thayyibah, dari
Ummi Sulaiman binti Nafi’, bahwa Ibnu Abi ‘Atiq pernah masuk ke rumah Jariyah
di kota Madinah, yang mendendangkan nyanyian kepada Ibnu Suraij:
Hati telah mengatakan yang sebenarnya
Sebagaimana diceritakan Ummi Zaid
Sedangkan hewan tunggangan kelam kelabu
Kelabu karena penunggangnya ... dst
Kemudian Ibnu Abi ‘Atiq meminta jariyah itu
mengulangi nyanyiannya, tetapi jariyah tersebut menolaknya, sehingga Ibnu Abi
‘Atiq keluar rumah karena kesal. Kisah
ini sangat tenar dan sanadnya kuat.
Sikap ‘Atha bin Abi Rabah
Dia adalah tokoh tabi’in terkenal. Luas
ilmunya, wara’, zuhud, ‘abid dan penghapal hadits dan atsar. Imam al Baihaqi mengatakan, dengan sanad
sampai Ibnu Juraij, aku pernah bertanya kepada ‘Atha tentang masalah syair yang
diiringi musik, beliau menjawab: “Aku berpendapat hal itu tidak mengapa, selama
tidak terdapat hal yang buruk di dalamnya.”
Ibnu
Abdil Barr dalam sanadnya yang sampai kepada Ibnu Juraij berkata: “Aku bertanya
kepada ‘Atha tentang bersenandung syair dan lagu, beliau menjawab: “Tidak
apa-apa selama tidak mengandung hal yang buruk.”
Muhammad
bin Ishaq al Faqihy dalam Tarikh Makkah, menceritakan bahwa ketika
Imam Atha’ mengkhitan anaknya, di
dalamnya ada nyanyian dua orang pemuda yakni al ‘Aridh dan Ibnu Suraij. ‘Atha
menyukai suara Ibnu Suraij sehingga ia berkata: “Yang terbaik di antara kalian
adalah yang lembut suaranya yaitu Ibnu Suraij.”
Sikap Umar bin Abdul Aziz
Ibnu Qutaibah meriwayatkan dari Ishaq
tentang Umar bin Abdul Aziz. Ishaq ditanya tentang nyanyian menurut Umar bin
Abdul Aziz. Dia mengatakan: “Ketika menjadi khalifah tidak pernah sama sekali
mendengarkan nyanyian, sedangkan ketika masih menjadi pangeran beliau
menyedikan waktu khusus untuk mendengar nyanyian tapi yang baik-baik saja. Dia
sendiri yang mendendangkan dan memainkan alat musiknya. Di kamarnya ada
tharb (gendang), kadang-kadang ia memukul tharb itu dengan kakinya.”
Dalam
Al Mawfiqiyat, Zubair bin Bakr mengatakan saya pernah mendengar paman
mengatakan, “Saya pernah bertemu orang-orang Madinah yang menyanyikan lagu yang
disandarkan sebagai gubahan Umar bin Abdul Aziz.”
Al
Adfawi menceritakan bahwa Umar bin Abdul Aziz, sebelum menjadi khalifah, suk
mendengarkan budak-budaknya bernyanyi.
Sikap Sa’ad bi Ibrahim
Ibnu Hazm menceritakan tentang pendapat
Sa’ad bin Ibrahim (seorang Qadhi di Madinah, cucu Abdurrahman bin ‘Auf), bahwa
ia termasuk tabi’in yang membolehkan nyanyian.
V. Para Imam setelah tabi’in
juga membolehkan nyanyian
Sikap Ibnu Juraij
Dalam At tadzkirah al Hamduniyah diceritakan
oleh Daud al Makky, bahwa Ibnu Juraij sedang mengisi ta’lim, dan di dalamnya
ada rombongan dari Irak di antaranya ada Abdullah bin Mubarak. Saat itu
lewatlah seorang penyanyi, maka Ibnu Juraij berkata, “Maukah engkau bernyanyi?”
penyanyi itu menjawab, “Aku sedang terburu-buru,” tetapi kemudian ia bernyanyi
juga. Ibnu Juraij berkata, “Suaramu bagus.” Kemudian ia menghadap ke jamaah
dari Irak, “Apakah kalian tidak suka
nyanyian?” mereka menjawab:
“sesungguhnya di Irak kami tidak menyukai nyanyian.” Beliau bertanya, “Kalau
bersenandung bagaimana?” mereka menjawab: “Bersenandung tidak masalah bagi
kami.” Ibnu Juraij menimpali, “lalu, apa bedanya bersenandung dengan
bernyanyi?”
Ibnu Qutaibah berkata dalam Ar rukhshah fis Sima’:
Ibnu Juraij bercerita, bahwa beliau pernah bermaksud pergi Jumat dan melewati
sebuah rumah seorang penyanyi, kemudian ia singgah dan pemilik rumah keluar,
dan duduk bersamanya di pinggir jalan. Ibnu Juraij berkata: “Bernyanyilah.”
Maka menyanyialah ia, sampai Ibnu juraij mengalir air matanya hingga membasahi
janggutnya, karena syairnya menceritakan kenikmatan surga.
Sikap Muhammad bin Sirin
Ibnu Abi Syaibah meriwayatkan dari Ibnu ‘Aun (murid
Ibnu Sirin). Beliau berkata: Pada keluarga Muhammad bin Sirin terdpat
kumpulan malak (para suami) yang berkumpul-kumpul di saat senggang. Di
saat Mumammad bin Siri pulang ke rumah ia berkata kepada isterinya: “Di mana
makananmu?” Ibnu ‘Aun berkata:
“Yang dimaksud dengan mkanan adalah duff.” (Al Mushannif, IV/193)
Sikap Imam Abu Hanifah
Dalam Ibnu Abdi Rabbah dalam al ‘Aqd
menyebutkan, Hafash bin Ghiyats menerima langsung dari Muhamamd bin Hasan
dari Abu Yusuf, dia (Abu Hanifah) berkata: “Adapun aku cukup menyukainya
sebagai hutang yang mesti aku lunasi, dan aku berjanji pada pada diriku
sendiri, bila dilantunkan lagu, aku akan mendengarkannya.”
Ibnu Qutaibah juga menceritakan tentang Abu
Hanifah yang sering mendengarkan nyanyian dan musik tetangganya yang bernama
‘Amr. Hingga
suatu hari ‘Amr dipenjara, mendengar dia dipenjara, Abu hanifah pergi menemui
khalifah meminta pembebasan ‘Amr.
Sikap Imam Malik
Al Adfawy
dalam Al Imta’ bi Ahkamis Sima’ meriwayatkan, Khalifah Harun ar Rasyid pernah bertanya kepada
Ibrahim bin Said, “Apakah Anda tahu sikap Imam Malik terhadap musik?” Ibrahim
menjawab: “Demi Allah, tidak! Tetapi ayahku pernah memberitahu bahwa dia pernah
berkumpul pada undangan Bani Yarbu’. Saat itu mereka termasuk kaum yang lebih
dalam pengetahuannya, sedangkan Malik paling sedikit ilmu dan kemampuannya,
mereka membawa duff sambil bernyanyi dan bersenda gurau, sedangkan Malik
hanya memegang duff. Beliau menyanyikan sebuah lagu untuk mereka:
Keselamatanku terancam di antara kita, dan
Di
manakah aku temukan penyelasaian, di mana?
Sedangkan
ucapan Imam malik, bahwa beliau mengharamkan penjualan jariyah yang suka
bernyanyi, bukan berarti bernyanyi haram. Melainkan ia mencela jariyah yang
selalu menyanyi, sehingga melupakan tugas pelayanan lainnya.
Ar
Ruyani meriwayatkan dari Al Qaffal bahwa madzhab Malik bin Anas memperbolehkan
nyanyian dengan menggunakan alat-alat musik. Ustadz Abu Manshur al Faurani
meriwayatkan dari Imam Malik kebolehan menggunakan ‘Aud. Imam Malik adalah
Imamnya Penduduk Madinah, berkata Ibnu Thahir bahwa tidak ada perbedaan pendapat
di kalangan ulama Madinah tentang bolehnya memainkan ‘Aud/kecapi. Ibnu Nahwi
dalam al Umdah menyatakan bahwa, Ibnu Thahir berkata, “Pendapat itu
sudah menjadi ijma’ penduduk Madinah.”
Sikap Imam Asy Syafi’i
Imam
al Ghazali menerangkan dalam Al Ihya’, “pada dasarya madzhab ini tidak
mengharamkan nyanyian.” Yunus bin Abdil A’la mengatakan, Aku bertanya kepada
Imam Asy Syafi’i tentang dibolehkannya orang Madinah mendengarkan nyanyian dan
musik, maka Imam Asy Syafi’i menjawab: “Sama sekali aku tidak tahu, ulama Hijaz
mana yang melarang mendengarkan nyanyian kecuali yang jelas-jelas diharamkan,
adapun bersenandung, Al athlal dan Al Marabi; itu adalah termasuk memperindah
suara dengan dibarengi syair atau sajak, itu boleh-boleh saja.”
Al
Mawardi meriwayatkan tentang kebolehan memainkan ‘Aud oleh sebagian ulama
syafi’iyyah. Bahkan Ibnu Nahwi mengatakan jumhur ulama syafi’iyyah menyatakan
kebolehannya. Hal ini juga dikatakan oleh Abu ishaq Asy Syairazi Asy Syafi’i.
Imam Ahmad bin Hambal
Imam Abul Wafa bin Aqil al Hambali dalam al
Fushul berkata: Ada
riwayat yang shahih sampai kepada Imam Ahmad bahwa dia pernah mendengarkan
nyanyian dari anaknya yang bernama shalih. Dia hanya membenci nyanyian yang
diikuti sesuatu yang dibenci.
Pensyarah
al Muqaffai mengatakan: diriwayatkan dari Ahmad, bahwa beliau mendengar
sebuah ungkapan syair dari anaknya, shalih dan dia tidak mengecamnya. Shalih
bertanya kepada Imam Ahmad, “Wahai Ayah, bukankah engkau mengingkari dan
membencinya?”. Imam Ahmad menjawab: “itu dituduhkan sebagai pendapatku, maka
mereka melakukan sebuah kemungkaran bersamanya.”
Imam Sufyan bin ‘Uyainah
Murid Sufyan bin ‘Uyainah, yakni Zubair bin
Bakr bercerita dalam Al Mawfiqiyat, ketika beliau
mengunjungi Ibnu jami’ di Mekkah, Ibnu jami memberi mereka banyak harta,
Sufyan bertanya, “Dengan apa kita membalas harta sebanyak ini?” mereka
menjawab, “Dengan nyanyian saja.” Lalu Zubair
berkata, “lantas dengan apa mereka membalasnya?” Mereka menjawab:
Aku
thawaf memutari ka’bah
Beserta
yang lainnya
Sambil aku angkat
kain sarungku sebatas mata kaki
Sufyan
menjawab; “Bagus, itu sunnah. Lanjutannya?’
Mereka menjawab:
Aku bersujud malam hari sampai subuh
Dan
kubaca ayat-ayat yang Allah turunkan
Sufyan
berkata: “Sangat baik, bagus, lanjutannya?” mereka meneruskan ...dst
Demikianlah, uraian panjang, tentang
mubahnya nyanyian dan musik tabuh, menurut Al Quran, Al hadits, perilaku para
sahabat, tabi’in, tabi’ut tabi’in, Imam empat, dan lain-lain.
VI. Lagu dan Musik –walaupun nasyid Islam- bisa haram,
jika ...
1.
Tinjauan
isi syairnya, jika isinya menodai aqidah, jorok, mesum, menyesatkan manusia
dari jalan Allah Ta’ala, maksiat, cinta
picisan dan rayuan kepada wanita. Inilah kebanyakan lagu yang ada saat ini.
2.
Tinjaun penyanyi dan pendengar, yakni penampilannya;
apakah meniru orang kafir? Pakaiannya pamer aurat. Ada tarian dan jogetnya. Wanita tidak boleh
bernyanyi untuk laki-laki yang bukan mahramnya.
3.
Tinjauan
waktu, jika nyanyian dapat memalingkan manusia dari kewajiban agama dan dunia
maka wajib ditinggalkan. Termasuk nyanyian yang akhirnya menyita waktu, atau
berlebihan, maka wajib ditinggalkan. Setiap manusia, dia yang paling tahu
tentang keadaan dirinya, saat bagimanakah sudah layak disebut melampaui batas.
4.
Tinjauan
tempat, jika di dalamnya terdapat kemunkaran seperti khamr, wanita, judi,
seperti di bar dan diskotik. Berbaurnya laki-laki dan perempuan.
5.
Dari
dampaknya, ini tolok ukurnya masing-masing individu. Jika ternyata mendengar
nyanyian dan musik membuatnya lahir rasa takut dan cemas tak berdasar, atau
lahir syahwat, atau lahir keinginan untuk melakukan pebuatan haram, maka
langsunglah ia menjauhi lagu dan nyanyian.
Tambahan 1:
Berkata Syaikh Sayyid
Sabiq Rahimahullah:
فإن
الغناء في مواضعه جائز والذي يقصد به فائذة مباحة حلال، وسماعه مباح، وبهذا يكون منفعة
شرعية يجوز بيع آلته وشراؤها لانها متقومه.
ومثال
الغناء الحلال: 1 - تغني النساء لاطفالهن وتسليتهن.
2
- تغني أصحاب الاعمال وأرباب المهن أثناء العمل للتخفيف عن متاعبهم والتعاون بينهم.
3
- والتغني في الفرح إشهارا له.
4
- والتغني في الاعياد إظهارا للسرور.
5
- والتغني للتنشيط للجهاد.
وهكذا
في كل عمل طاعة حتى تنشط النفس وتنهض بحملها.
والغناء
ما هو إلا كلام حسنه حسن وقبيحه قبيح، فإذا عرض له ما يخرجه عن دائرة الحلال كأن يهيج
الشهوة أو يدعو إلى فسق أو ينبه إلى الشر أو اتخذ ملهاة عن الطاعات، كان غير حلال.
Sesungguhnya nyanyian
dalam berbagai temanya adalah boleh.
Dan, nyanyian yang dengannya
dimaksudkan untuk hal yang berfadah maka dia mubah lagi halal.
Boleh mendengarkannya, dan dengan
ini mendatangkan manfaat secara syar’i,
maka boleh jual beli alat-alatnya karena
hal itu memiliki nilai (harga).
Contoh
nyanyian yang dihalalkan:
1.
Nyanyian
seorang ibu untuk menghibur anak-anaknya
2.
Nyanyian
para pekerja dan budak-budak ketika bekerja untuk meringankan pekerjaan dan
saling membantu di antara mereka
3.
Nyanyian pada saat senang agar nampak rasa senangnya
4.
Nyanyian
ketika hari raya untuk menunjukkan kebahagiaan karenanya
5.
Nyanyian
untuk menyemangatkan jihad
Demikian juga pada setiap perbuatan
ketaatan sehingga bisa menyemangati jiwa dan bangkit mengerjakan ketaatan itu.
Nyanyian tidak lain tidak bukan adalah
ucapan; jika baik maka dia baik, jika buruk maka dia buruk. Jika nyanyian
diarahkan untuk keluar dari lingkup kehalalan, seperti membangkitkan syahwat,
atau ajakan kepada kefasikan, atau menyadarkan kepada keburukan, atau
menjadikannya lalai dari ketaatan, maka itu tidak halal. (Fiqhus
Sunnah, 3/56, Darul Kitab Al ‘Arabi)
Tambahan 2:
Dari kitab Al Mausu’ah Al Fiqhiyah
Al Kuwaitiyah, 4/90-94. Terbitan Departemen Urusan Agama dan Waqaf, Kuwait
Mendengarkan Nyanyian
Menurut
mayoritas fuqaha (ahli fiqih/juris) mendengarkan nyanyian adalah HARAM,
yakni JIKA:
1.
Jika dibarengi dengan hal yang munkar
2.
Jika ditakuti mengantarkan kepada fitnah seperti terperangkap
oleh wanita, atau remaja yang masih sangat muda, atau bangkitnya syahwat yang
mengantarkannya pada zina
3.
Jika membuat pendengarnya meninggalkan kewajiban agama
seperti shalat, dan meninggalkan
kewajiban dunia yang harus dilakukannya, ada pun jika sampai meninggalkan
perbuatan sunah maka itu makruh, seperti meninggalkan shalat malam, doa di
waktu sahur, dan semisalnya. (Ihya ‘Ulumuddin, 2/269. Sunan
Al Baihaqi, 5/69, 97. Asna Al Mathalib, 4/44, terbitan Al Maktabah
Al Islamiyah. Hasyiah Al Jumal, 5/380, terbitan Dar Ihya At Turats.
Hasyiah Ibnu ‘Abidin, 4/384 dan 5/22, Hasyiah Ad Dasuqi, 4/166. Al
Mughni, 9/175, Al Manar Ats Tsalitsah. ‘Umdatul Qari, 6/271,
terbitan Al Muniriyah)
Nyanyian Untuk Menghibur Jiwa
Ada pun jika nyanyian
dimaksudkan untuk mengistirahatkan jiwa yang bersih dari pengertian nyanyian
sebelumnya, maka telah terjadi perselisihan atas hal itu. Segolongan ulama ada
yang melarangnya dan yang lain membolehkannya.
Abdullah bin Mas’ud Radhiallahu
‘Anhu berpendapat hal itu haram, pendapat ini diikuti oleh mayoritas ulama
Iraq, diantaranya Ibrahim An Nakha’i, ‘Amir Asy Sya’bi, Hammad bin Abi
Sulaiman, Sufyan Ats Tsauri, Al Hasan Al Bashri, lalu kalangan Hanafiyah dan
sebagian Hanabilah. (Sunan Al Baihaqi, 10/223. Al Mughni,
9/175. Al Muhalla, 9/59, terbitan Al Muniriyah. ‘Umdatul Qari, 6/271 .
Mushannaf Abdurrazzaq, 11/4, 6, terbitan Al Maktab Al Islami. Ihya
‘Ulumuddin, 2/269, terbitan Mathba’ah Al Istiqamah. Fathul Qadir,
6/35. Bada’i Ash Shana’i, 6/2972)
Mereka yang mengharamkan
berdalil dengan firman Allah Ta’ala: “Diantara manusia ada yang membeli
lahwal hadits (perkataan yang tidak berguna) untuk menyesatkan manusia dari
jalan Allah.” Berkata Ibnu Abbas dan Ibnu Mas’ud: “Lahwul Hadits adalah
nyanyian.”
Juga dengan hadits dari Abu
Umamah Radhiallahu ‘Anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa
Sallam melarang menjual para budak wanita penyanyi (Al Mughanniyat),
melarang membelinya, melarang mempekerjakannya, dan memakan harga penjualannya.
(HR. Ahmad, Ibnu Majah, dan At Tirmidzi dan ini menurut lafaz At Tirmidzi
dari Abu Umamah Radhiallahu ‘Anhu, At Tirmidzi mengatakan: Kami
mengetahui hadits ini hanya dari jalur ini. Sebagian ulama membincangkan Ali
bin Yazid, dan mendhaifkannya, dia orang Syam. Al Bukhari mengatakan: munkarul
hadits. An Nasa’i mengatakan: Laisa bi tsiqah (tidak bisa
dipercaya). Abu Zur’ah mengatakan: Laisa biqawwi (tidak kuat). Ad
Daruquthni mengatakan: matruk (ditinggalkan). Lihat Sunan Ibnu Majah
dengan tahqiq Fuad Abdul Baqi, 2/733, terbitan Isa Al Halabi. Dan Tuhfah Al
Ahwadzi, 4/502-504, terbitan Maktabah As Salafiyah)
Hadits lainnya dari ‘Uqbah
bin ‘Amir, bahwa Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda: “Segala
hiburan yang dimainkan oleh seseorang adalah batil, kecuali melatih kuda,
memanah, dan bergurau dengan istrinya.”
(HR. Abu Daud, At Tirmidzi, An Nasa’i, dan Al Hakim dari ‘Uqbah bin ‘Amir
secara marfu’, dan lafaz Abu Daud: “Bukanlah termasuk hiburan (yakni
boleh) melainkan pada tiga hal;
seseorang yang melatih kudanya, bergurau dengan isteri, dan lempran panahnya …”
At Tirmidzi mengatakan: hadits ini hasan. Perkataan yang terdapat di dalam
tanda kurung merupakan perkataan si pensyarah hadits. Dan dalam bab ini, juga
ada dari Ka’ab bin Murrah, ‘Amru bin ‘Abasah, dan Abdullah bin ‘Amru. Al Hakim
mengatakan: sanadnya shahih, tetapi Bukhari-Muslim tidak meriwayatkannya, dan
disepakati Adz Dzahabi. Tuhfah Al Ahwadzi, 5/365-367, Al Maktabah As
Salafiyah. Mukhtashar Abi Daud oleh Al Mundziri, 3/370, Darul Ma’rifah. Jami’
Al Ushul, 5/41-42, Maktabah Al Hulwani, 1390H. Al Mustadrak, 2/95,
Darul Kutub Al ‘Arabi)
Ada pun pendapat Syafi’iyah,
Malikiyah, dan sebagian Hanabilah, bahwa hal itu (nyanyian untuk menghibur
jiwa) adalah makruh. Jika
mendengarkannya dari wanita ajnabiyah (bukan mahram) maka lebih makruh
lagi. Kalangan Malikiyah menerangkan sebab kemakruhannya, karena mendengarkan
nyanyian menghilangkan muru’ah (citra diri yang baik/wibawa). Sedangkan
Syafi’iyah mengatakan; “ Di dalamnya terdapat hal yang
melalaikan.” Sedangkan Imam
Ahmad menjelaskan sebabnya: “Aku tidak menyukai nyanyian , karena nyanyian
dapat menumbuhkan nifaq di hati.” (Hasyiah
Ad Dasuqi, 4/166. Al Mughni, 9/175. Asna Al Mathalib, 4/344)
Sedangkan pendapat Abdullah bin
Ja’far, Abdullah bin Az Zubair, Al Mughirah bin Syu’bah, Usamah bin Zaid,
‘Imran bin Hushain, Mu’awiyah bin Abi Sufyan, dan selain mereka dari kalangan
sahabat nabi, dan ‘Atha bin Abi Rabah (seorang tabi’in, pen), dan dari
kalangan Hanabilah seperti Abu Bakar Al
Khalal, dan sahabatnya Abu Bakar Abdil Aziz, dan Al Ghazali dari kalangan
syafi’iyah, menyatakan hal itu boleh. (Al Mughni, 9/175. Mushannaf
Abdurrazzaq, 11/5. Ihya ‘Ulumuddin, 2/269)
Dalil mereka yang
membolehkan adalah dengan nash dan qiyas.
Dalil dari nash, yaitu hadits
yang diriwayatkan oleh Al Bukhari dan Muslim, dari ‘Aisyah Radhiallahu ‘Anha,
katanya: Masuk ke ruanganku Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam,
dan saya memiliki dua orang jariyah (budak wanita yang masih remaja)
yang sedang bernyanyi dengan lagu Bu’ats, lalu dia berbaring di atas
hamparan dan memalingkan wajahnya. Lalu datanglah Abu Bakar dan membentak saya,
dan berkata: “Seruling syetan ada di sisi Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa
Sallam, lalu Rasulullah menoleh dan bersabda: “Biarkan mereka berdua.” Maka
ketika dia lengah, aku memberikan isyarat kepada keduanya, lalu mereka berdua
keluar. (Fathul Bari, 2/440, terbitan As Salafiyah. Shahih Muslim dengan
tahqiq Fuad Abdul Baqi, 2/607. Terbitan ‘Isa Al Halabi)
Umar bin Al Khathab
mengatakan: “Nyanyian merupakan perbekalan bagi musafir.” (Atsar dari
Umar bin Al Khathab ini diriwayatkan oleh Al Baihaqi dalam Sunanul Kubra,
5/68. Terbitan Majelis Da’iratul Ma’arif ,
India. 1352H)
Al Baihaqi meriwayatkan
dalam Sunannya: “Bahwa Umar bin Al Khathab mendengarkan nyanyian
Khawwat. Ketika masuk waktu sahur (waktu untuk berdzikir dan doa, pen)
beliau berkata kepadanya: “Wahai Khawwat, hentikan lisanmu sekarang kita sudah
masuk waktu sahur (yakni untuk
berdzikir, pen).” (Atsar diriwayatkan oleh Al Baihaqi, dari Khawwat
bin Jubeir dengan lafaz: Kami keluar bersama Umar bin Al Khathab, dan
dia berkata: kami melakukan perjalanan dengan menaiki tunggangan, di antara
mereka ada Abu Ubaidah bin Al Jarah dan Abdurrahman bin ‘Auf Radhiallahu
‘Anhuma. Lalu Khawwat berkata;
Berkatalah segolongan kaum; “Bernyanyilah untuk kami wahai Khawwat,” maka kami
bernyanyi untuk mereka. Mereka mengatakan: “Bernyanyilah kepada kami dengan
syair Dhirar.” Lalu Umar berkata:
“Biarkanlah dia bernyanyi sesuai dengan perasaannya.” Khawwat berkata: “Maka
saya terus bernyanyi untuk mereka sampai datang waktu sahur . lalu
Umar berkata: “Wahai Khawwat, hentikan lisanmu sekarang kita sudah masuk
waktu sahur.” Ibnu Hajar telah menyebutkan penguatan terhadap riwayat ini
dari Ibnu As Siraj, dan dia tidak
memberikan komentar. Sunanul Kubra, 5/69. Al Ishabah, 1/457)
Sedangkan qiyasnya adalah bahwasanya nyanyian yang
tidak dibarengi dengan hal yang diharamkan, di dalamnya terdapat pendengaran
terhadap suara indah yang disyairkan.
Dan mendengarkan suara yang indah, dari sisi memang itu indah, maka itu
tidaklah diharamkan. Sebab, hal itu kembali kepada berlezat-lezat melalui indera pendengaran
terhadap apa-apa yang menjadi kekhususan baginya, sama halnya dengan kelezatan
yang dirasakan indera lain terhadap apa yang disediakan untuknya.
Ada pun suara al mauzun
(yang sya’irkan), bukanlah suara yang diharamkan. Tidaklah anda melihat suara
indah yang disyairkan yang berasal dari tenggorokan burung bulbul, tentu
mendengarkannya tidak haram. Demikian pula suara manusia, karena tidak ada
bedanya antara tenggorokan dengan tenggorokan. Termasuk yang difahami dari
suara indah yang syairkan adalah tidaklah kebolehan itu bertambah kecuali
dengan adanya penekanan.
Sedangkan nyanyian yang
menggerakan hati dan melahirkan belas kasih,
maka sesungguhnya jika belas
kasih itu termasuk belas kasih yang mulia, justru dituntut untuk
melahirkannya. Telah terjadi pada diri
Umar bin Al Khathab Radhiallahu ‘Anhu bahwa dalam perjalanan hajinya dia
mendengarkan nyanyian –sebagaimana
disebutkan sebelumnya- dan para sahabat menyenandungkan nasyid rajaz
untuk memberikan kesan kepada pasukan ketika berjumpa, dan tidak satu pun
mereka menganggap yang demikian itu sebagai aib. Dan, syair rajaz-nya
Abdullah bin Rawahah sangat masyhur. (Ihya ‘Ulumuddin, 2/270)
Nyanyian Untuk Perkara Yang Mubah
Jika nyanyian disenandungkan
untuk perkara yang mubah seperti dalam pesta pernikahan, hari raya, khitan,
kedatangan orang jauh, menambah kebahagiaan yang dibolehkan, ketika mengkhatamkan
Al Quran untuk menguatkan rasa bahagia dengan hal itu, ketika perjalanan para
mujahidin menuju peperangan jika hal itu mampu menyemangati jiwa mereka, atau
bagi jamaah haji agar lahir kesan dalam jiwa mereka rasa rindu terhadap
ka’bah al musyarrafah, atau nyanyian untuk unta sebagai penyemangat baginya dalam perjalanan
–yaitu nyanyian Al Hida- atau untuk menggiatkan bekerja seperti nyanyian
para pekerja ketika beraktifitas atau mengangkat beban berat, atau nyanyian
untuk mendiamkan anak-anak dan menidurkannya seperti nyanyian seorang ibu untuk
anak-anaknya, ini semua MUBAH sama sekali tidak dibenci menurut pandangan jumhur
ulama. (Ihya ‘Ulumuddin, 2/276-277. Hasyiah Al Jumal,
5/380-381. Asna Al Mathalib, 4/344. Qalyubi, 4/220. Al Mughni,
9/176. Hasyiah Ad Dasuqi, 4/166. At Taj wal Iklil Limukhtashar Khalil
dengan Hamisy (catatan pinggir) Mawahib Al Jalil, 4/4, Cet. 2. 1399H. Hasyiah
Ibnu ‘Abidin, 5/222. Hasyiah Abis Sa’ud ‘Ala Malamiskin, 3/389)
Mereka berdalil dari hadits yang
diriwayatkan oleh ‘Aisyah Radhiallahu ‘Anha sebelumnya, tentang dua
orang jariyah yang bernyanyi, ini merupakan nash kebolehan bernyanyi pada hari
raya.
Hadits dari Buraidah: Rasulullah
Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam keluar pada sebagian peperangan yang
diikutinya. Ketika beliau pulang, datanglah seorang jariyah berkulit
hitam. Dia berkata: “Wahai Rasulullah, saya telah bernazar, jika Allah
memulangkan Engkau dengan selamat saya
bernazar akan memukul gendang dan bernyanyi di depanmu.” Maka Rasulullah Shalallahu
‘Alaihi wa Sallam bersabda: “Jika kau sudah bernazar maka pukul-lah
(gendang), jika tidak bernazar, tidak usah.” (HR. At Tirmidzi, katanya;
hasan shahih gharib. Al Mubarakfuri mengatakan; hadits ini dikeluarkan oleh
Ahmad, dan Al Hafizh (Ibnu Hajar) menyebutkan hadits Buraidah ini dalam Fathul
Bari, dan dia mendiamkannya. Lihat Tuhfah Al Ahwadzi ,10/179, Al
Maktabah As Salafiyah. Jami’ Al ushul, 8/617, Maktabah Al Hulwani)
Hadits ini menunjukkan kebolehan
bernyanyi ketika kedatangan orang yang bepergian jauh demi menambah
kebahagiaan. Seandainya nyanyian diharamkan, tidaklah boleh bernazar dengannya,
dan tentunya tidaklah Rasulullah Shallallahu
‘Alaihi wa Sallam membolehkan melakukannya.
Mereka juga berdalil dengan
hadits dari ‘Aisyah Radhiallahu ‘Anha,
bahwa dia menikahkan kerabatnya dari kalangan Anshar, lalu Rasulullah Shallallahu
‘Alaihi wa Sallam datang mengunjunginya dan berkata: “Apakah kau
menghadiahinya sesuatu?” ‘Aisyah menjawab: “Ya.” Nabi bertanya: “Apakah kau sudah mengutus
untuknya seorang untuk bernyanyi?” ‘Aisyah menjawab: “Tidak.” Nabi bersabda:
“Sesungguhnya orang Anshar adalah kaum suka dengan hiburan, alangkah baiknya
kau kirim seseorang yang menyenandungkan;
Kami datang kami datang
kepadamu, maka sambutlah kami dan kami akan sambut kalian? (HR. Ibnu
Majah dari Ibnu Abbas dengan lafaz seperti ini. Al Hafizh Al Bushiri mengatakan
dalam Az Zawaid: isnadnya
diperselisihkan lantaran Al Ajlah dan Abu Az Zubair. Mereka mengatakan: dia
tidak mendengar dari Ibnu Abbas. Al Bukhari meriwayatkan dari ‘Aisyah dengan
lafaz: bahwa dia mempersembahkan seorang wanita untuk dinilahkan dengan seorang
laki-laki Anshar. Lalu Nabi bersabda: “Wahai ‘Aisyah, apakah kamu punya sesuatu
untuk hiburan? Karena orang Asnhar itu senang hiburan. ” Lihat Sunan Ibnu
Majah dengan tahqiq Fuad Abdul Baqi, 1/612, terbitan ‘Isa Al halabi. Fathul
Bari, 9/225, terbitan As Salafiyah)
Nash ini menunjukkan
kebolehan nyanyian ketika pesta pernikahan.
Hadits lain dari ‘Aisyah
Radhiallahu ‘Anha, katanya: Saya dalam perjalanan bersama Rasulullah Shallallahu
‘Alaihi wa Sallam, adalah Abdullah bin Rawahah orang yang bagus melantunkan
Al Hida’, dia bersama kaum laki-laki sedangkan Anjasyah bersama kaum
wanita. Lalu Nabi Shallallahu Alaihi
wa Sallam berkata kepada Ibnu Rawahah: “Buatlah agar kaum itu bergerak
(berangkat).” Maka Ibnu Rawahah berjalan dengan cepat sambil menyenandungkan
syair rajaz, dan Anjasyah pun mengikutinya bersenandung dan
mengendalikan untanya dengan keras. Maka Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam
berkata kepada Anjasyah: “Pelan-pelan saja, lembutlah terhadap al qawarir (kaum wanita).” (HR.
Bukhari dan Muslim, dari hadits Anas bin Malik. Sedangkan lafaz dalam Shahih
Muslim: Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam berada dalam
sebagian perjalannya, dia bersama seorang anak berkulit hitam yang dipanggil:
Anjasyah si penggiring. Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam
berkata kepadanya: “Wahai Anjasyah, kau pelan-pelan saja dalam menggiring kaum
wanita.” Lihat Fathul Bari, 10/538. Terbitan As Salafiyah. Shahih Muslim
dengan tahqiq Muhammad Fuad Abdul Baqi, 4/811, terbitan ‘Isa Al Halabi, 1375H.
Jami’ Al Ushul, 5/171-172, terbitan
Maktabah Al Hulwani, 1390H)
Dari Saib bin Yazid Radhilallahu
‘Anhu, dia berkata; Kami dalam perjalanan haji bersama Abdurrahman bin
‘Auf, dan kami bermaksud menuju Mekkah, Abdurrahman memisahkan diri dari jalan,
kemudian dia berkata kepada Ribah bin Al Mughtarif: “Bernyanyialh untuk kami
wahai Abu Hassan –dia adalah seorang yang bagus nashabnya (nashab adalah
termasuk jenis nyanyian)- maka ketika dia bernyanyi, Umar menemui mereka dan
menentang lagu itu dan bertanya: “Apa ini?” Abdurrahman berkata: “Apa ada
masalah dengan ini? Kita berhibur dan bernyanyi untuk mempersingkat
perjalanan.” Umar berkata; “Kalau kau mau, nyanyikan saja syairnya Dhirar bin
Al Khathab bin Mirdas, orang Parsinya Quraisy. “ (HR. Al Baihqi, Ibnu Hajar
menyebutkannya dalam Al Ishabah. Lihat Sunan Al Baihaqi, 10/224,
terbitan Majlis Dairatul Ma’arif, India, 1355H. Al Ishabah fi Tamyizis
Shahabah, 1/502)
Umar pernah mengatakan
nyanyian adalh perbekalannya musafir. (Sunan Al Baihaqi, 5/68. Al
Mughni, 1/179) Dan ini
menunjukkan kebolehan nyanyian untuk menghibur
jiwa.
Ibnu Abi Syaibah meriwayatkan
bahwa Umar bin Al Khathab memerintahkan untuk melantunkan Al Hida’. (Mushnnaf
Ibnu Abi Syibah, 1/177, dengan khat Istambul)
(selesai
dari Kitab Al Mausu’ah Al Fiqhiyah Al Kuwaitiyah)
Teks Asli:
الاِسْتِمَاعُ
إلَى الْغِنَاءِ :
ذَهَبَ جُمْهُورُ الْفُقَهَاءِ إلَى أَنَّ اسْتِمَاعَ الْغِنَاءِ يَكُونُ
مُحَرَّمًا فِي الْحَالاَتِ التَّالِيَةِ :
أ
- إِذَا صَاحَبَهُ مُنْكَرٌ .
ب
- إِذَا خُشِيَ أَنْ يُؤَدِّيَ إِلَى فِتْنَةٍ كَتَعَلُّقٍ بِامْرَأَةٍ ، أَوْ بِأَمْرَدَ
، أَوْ هَيَجَانِ شَهْوَةٍ مُؤَدِّيَةٍ إِلَى الزِّنَى .
ج
- إِنْ كَانَ يُؤَدِّي إِلَى تَرْكِ وَاجِبٍ دِينِيٍّ كَالصَّلاَةِ ، أَوْ دُنْيَوِيٍّ
كَأَدَاءِ عَمَلِهِ الْوَاجِبِ عَلَيْهِ ، أَمَّا إِذَا أَدَّى إِلَى تَرْكِ الْمَنْدُوبَاتِ
فَيَكُونُ مَكْرُوهًا . كَقِيَامِ اللَّيْل ، وَالدُّعَاءِ فِي الأَْسْحَارِ وَنَحْوِ
ذَلِكَ .
الْغِنَاءُ
لِلتَّرْوِيحِ عَنِ النَّفْسِ :
أَمَّا إِذَا كَانَ الْغِنَاءُ بِقَصْدِ التَّرْوِيحِ عَنِ النَّفْسِ
، وَكَانَ خَالِيًا عَنِ الْمَعَانِي السَّابِقَةِ فَقَدِ اُخْتُلِفَ فِيهِ ، فَمَنَعَهُ
جَمَاعَةٌ وَأَجَازَهُ آخَرُونَ .
وَقَدْ ذَهَبَ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ مَسْعُودٍ
إلَى تَحْرِيمِهِ ، وَتَابَعَهُ عَلَى ذَلِكَ جُمْهُورُ عُلَمَاءِ أَهْل الْعِرَاقِ
، مِنْهُمْ إبْرَاهِيمُ النَّخَعِيُّ ، وَعَامِرُ الشَّعْبِيُّ ، وَحَمَّادُ بْنُ أَبِي
سُلَيْمَانَ ، وَسُفْيَانُ الثَّوْرِيُّ ، وَالْحَسَنُ الْبَصْرِيُّ ، وَالْحَنَفِيَّةُ
، وَبَعْضُ الْحَنَابِلَةِ .
وَاسْتَدَل هَؤُلاَءِ عَلَى التَّحْرِيمِ : - بِقَوْلِهِ تَعَالَى :
{ وَمِنَ النَّاسِ مَنْ يَشْتَرِي لَهْوَ الْحَدِيثِ لِيُضِل عَنْ سَبِيل اللَّهِ
} قَال ابْنُ عَبَّاسٍ وَابْنُ مَسْعُودٍ : لَهْوُ
الْحَدِيثِ هُوَ : الْغِنَاءُ .
وَبِحَدِيثِ أَبِي أُمَامَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أَنَّ النَّبِيَّ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَهَى عَنْ بَيْعِ الْمُغَنِّيَاتِ ، وَعَنْ شِرَائِهِنَّ
، وَعَنْ كَسْبِهِنَّ ، وَعَنْ أَكْل أَثْمَانِهِنَّ .
وَبِحَدِيثِ عُقْبَةَ بْنِ عَامِرٍ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ قَال : كُل شَيْءٍ يَلْهُو بِهِ الرَّجُل فَهُوَ بَاطِلٌ ، إلاَّ تَأْدِيبَهُ
فَرَسَهُ ، وَرَمْيَهُ بِقَوْسِهِ ، وَمُلاَعَبَتَهُ امْرَأَتَهُ .
وَذَهَبَ الشَّافِعِيَّةُ ، وَالْمَالِكِيَّةُ ، وَبَعْضُ الْحَنَابِلَةِ
إلَى أَنَّهُ مَكْرُوهٌ ، فَإِنْ كَانَ سَمَاعُهُ مِنِ امْرَأَةٍ أَجْنَبِيَّةٍ فَهُوَ
أَشَدُّ كَرَاهَةً ، وَعَلَّل الْمَالِكِيَّةُ الْكَرَاهَةَ بِأَنَّ سَمَاعَهُ مُخِلٌّ
بِالْمُرُوءَةِ ، وَعَلَّلَهَا الشَّافِعِيَّةُ بِقَوْلِهِمْ : لِمَا فِيهِ مِنَ اللَّهْوِ
. وَعَلَّلَهَا الإِْمَامُ أَحْمَدُ بِقَوْلِهِ : لاَ يُعْجِبُنِي الْغِنَاءُ لأَِنَّهُ
يُنْبِتُ النِّفَاقَ فِي الْقَلْبِ .
وَذَهَبَ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ جَعْفَرٍ
، وَعَبْدُ اللَّهِ بْنُ الزُّبَيْرِ ، وَالْمُغِيرَةُ بْنُ شُعْبَةَ ، وَأُسَامَةُ
بْنُ زَيْدٍ ، وَعِمْرَانُ بْنُ حُصَيْنٍ ، وَمُعَاوِيَةُ بْنُ أَبِي سُفْيَانَ ، وَغَيْرُهُمْ
مِنَ الصَّحَابَةِ ، وَعَطَاءٌ بْنُ أَبِي رَبَاحٍ ، وَبَعْضُ الْحَنَابِلَةِ مِنْهُمْ
أَبُو بَكْرٍ الْخَلاَّل ، وَصَاحِبُهُ أَبُو بَكْرٍ عَبْدُ الْعَزِيزِ ، وَالْغَزَالِيُّ
مِنَ الشَّافِعِيَّةِ إلَى إبَاحَتِهِ .
وَاسْتَدَلُّوا عَلَى ذَلِكَ بِالنَّصِّ وَالْقِيَاسِ .
أَمَّا النَّصُّ : فَهُوَ مَا أَخْرَجَهُ الْبُخَارِيُّ وَمُسْلِمٌ عَنْ
عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا قَالَتْ : دَخَل عَلَيَّ رَسُول اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَعِنْدِي جَارِيَتَانِ تُغَنِّيَانِ بِغِنَاءِ بُعَاثٍ ، فَاضْطَجَعَ
عَلَى الْفِرَاشِ وَحَوَّل وَجْهَهُ ، وَدَخَل أَبُو بَكْرٍ فَانْتَهَرَنِي وَقَال
: مِزْمَارَةُ الشَّيْطَانِ عِنْدَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَأَقْبَل
عَلَيْهِ رَسُول اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَال : دَعْهُمَا ، فَلَمَّا
غَفَل غَمَزْتُهُمَا فَخَرَجَتَا
وَيَقُول عُمَرُ بْنُ الْخَطَّابِ : الْغِنَاءُ زَادُ الرَّاكِبِ
فَقَدْ رَوَى الْبَيْهَقِيُّ فِي سُنَنِهِ : أَنَّ عُمَرَ بْنَ الْخَطَّابِ
رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ كَانَ يَسْتَمِعُ إلَى غِنَاءِ خَوَّاتٍ ، فَلَمَّا كَانَ السَّحَرُ
قَال لَهُ : ارْفَعْ لِسَانَكَ يَا خَوَّاتُ ، فَقَدْ أَسَحَرَنَا
وَأَمَّا الْقِيَاسُ : فَإِنَّ الْغِنَاءَ الَّذِي لاَ يُصَاحِبُهُ مُحَرَّمٌ
، فِيهِ سَمَاعُ صَوْتٍ طَيِّبٍ مَوْزُونٍ ، وَسَمَاعُ الصَّوْتِ الطَّيِّبِ مِنْ حَيْثُ
إنَّهُ طَيِّبٌ لاَ يَنْبَغِي أَنْ يَحْرُمَ ، لأَِنَّهُ يَرْجِعُ إلَى تَلَذُّذِ حَاسَّةِ
السَّمْعِ بِإِدْرَاكِ مَا هُوَ مَخْصُوصٌ بِهِ ، كَتَلَذُّذِ الْحَوَاسِّ الأُْخْرَى
بِمَا خُلِقَتْ لَهُ .
وَأَمَّا الْوَزْنُ فَإِنَّهُ لاَ يُحَرِّمُ الصَّوْتَ
، أَلاَ تَرَى أَنَّ الصَّوْتَ الْمَوْزُونَ الَّذِي يَخْرُجُ مِنْ حَنْجَرَةِ الْعَنْدَلِيبِ
لاَ يَحْرُمُ سَمَاعُهُ ، فَكَذَلِكَ صَوْتُ الإِْنْسَانِ ، لأَِنَّهُ لاَ فَرْقَ بَيْنَ
حَنْجَرَةٍ وَحَنْجَرَةٍ .
وَإِذَا انْضَمَّ الْفَهْمُ إلَى الصَّوْتِ الطَّيِّبِ الْمَوْزُونِ ،
لَمْ يَزِدِ الإِْبَاحَةَ فِيهِ إلاَّ تَأْكِيدًا .
أَمَّا تَحْرِيكُ الْغِنَاءِ الْقُلُوبَ ، وَتَحْرِيكُهُ
الْعَوَاطِفَ ، فَإِنَّ هَذِهِ الْعَوَاطِفَ إنْ كَانَتْ عَوَاطِفَ نَبِيلَةً فَمِنَ
الْمَطْلُوبِ تَحْرِيكُهَا ، وَقَدْ وَقَعَ لِعُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ أَنِ اسْتَمَعَ
إلَى الْغِنَاءِ فِي طَرِيقِهِ لِلْحَجِّ - كَمَا تَقَدَّمَ - وَكَانَ الصَّحَابَةُ
يُنْشِدُونَ الرَّجَزِيَّاتِ لإِِثَارَةِ الْجُنْدِ عِنْدَ اللِّقَاءِ ، وَلَمْ يَكُنْ
أَحَدٌ يَعِيبُ عَلَيْهِمْ ذَلِكَ ، وَرَجَزِيَّاتُ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ رَوَاحَةَ
وَغَيْرِهِ مَعْرُوفَةٌ مَشْهُورَةٌ .
الْغِنَاءُ لأَِمْرٍ مُبَاحٍ :
إِذَا كَانَ الْغِنَاءُ لأَِمْرٍ مُبَاحٍ ، كَالْغِنَاءِ
فِي الْعُرْسِ ، وَالْعِيدِ ، وَالْخِتَانِ ، وَقُدُومِ الْغَائِبِ ، تَأْكِيدًا لِلسُّرُورِ
الْمُبَاحِ ، وَعِنْدَ خَتْمِ الْقُرْآنِ الْكَرِيمِ تَأْكِيدًا لِلسُّرُورِ كَذَلِكَ
، وَعِنْدَ سَيْرِ الْمُجَاهِدِينَ لِلْحَرْبِ إِذَا كَانَ لِلْحَمَاسِ فِي نُفُوسِهِمْ
، أَوْ لِلْحُجَّاجِ لإِِثَارَةِ الأَْشْوَاقِ فِي نُفُوسِهِمْ إلَى الْكَعْبَةِ الْمُشَرَّفَةِ
، أَوْ لِلإِْبِل لِحَثِّهَا
عَلَى السَّيْرِ - وَهُوَ الْحُدَاءُ - أَوْ لِلتَّنْشِيطِ عَلَى الْعَمَل
كَغِنَاءِ الْعُمَّال عِنْدَ مُحَاوَلَةِ عَمَلٍ أَوْ حَمْل ثَقِيلٍ ، أَوْ لِتَسْكِيتِ
الطِّفْل وَتَنْوِيمِهِ كَغِنَاءِ الأُْمِّ لِطِفْلِهَا ، فَإِنَّهُ مُبَاحٌ كُلُّهُ
بِلاَ كَرَاهَةٍ عِنْدَ الْجُمْهُورِ .
وَاسْتَدَلُّوا عَلَى ذَلِكَ بِمَا ذُكِرَ سَابِقًا مِنْ حَدِيثِ الْجَارِيَتَيْنِ
الَّذِي رَوَتْهُ أُمُّ الْمُؤْمِنِينَ عَائِشَةُ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا (2) وَهَذَا
نَصٌّ فِي إبَاحَةِ الْغِنَاءِ فِي الْعِيدِ .
وَبِحَدِيثِ بُرَيْدَةَ قَال : خَرَجَ رَسُول اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي بَعْضِ مَغَازِيهِ ، فَلَمَّا انْصَرَفَ جَاءَتْ جَارِيَةٌ
سَوْدَاءُ فَقَالَتْ : يَا رَسُول اللَّهِ إنِّي كُنْتُ نَذَرْتُ - إِنْ رَدَّكَ اللَّهُ
سَالِمًا - أَنْ أَضْرِبَ بَيْنَ يَدَيْكَ بِالدُّفِّ وَأَتَغَنَّى ، فَقَال لَهَا
رَسُول اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : إنْ كُنْتِ نَذَرْتِ فَاضْرِبِي
وَإِلاَّ فَلاَ .
وَهَذَا نَصٌّ فِي إبَاحَةِ الْغِنَاءِ عِنْدَ قُدُومِ الْغَائِبِ تَأْكِيدًا
لِلسُّرُورِ ، وَلَوْ كَانَ الْغِنَاءُ حَرَامًا لَمَا جَازَ نَذْرُهُ ، وَلَمَا أَبَاحَ
لَهَا رَسُول اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِعْلَهُ .
وَبِحَدِيثِ عَائِشَةَ : أَنَّهَا أَنْكَحَتْ ذَاتَ قَرَابَةٍ لَهَا
مِنَ الأَْنْصَارِ ، فَجَاءَ رَسُول اللَّهِ فَقَال : أَهْدَيْتُمُ الْفَتَاةَ
؟ قَالُوا : نَعَمْ ، قَال : أَرْسَلْتُمْ مَعَهَا مَنْ يُغَنِّي ؟ قَالَتْ : لاَ ،
فَقَال رَسُول اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : إنَّ الأَْنْصَارَ قَوْمٌ
فِيهِمْ غَزَلٌ ، فَلَوْ بَعَثْتُمْ مَعَهَا مَنْ يَقُول : أَتَيْنَاكُمْ أَتَيْنَاكُمْ
، فَحَيَّانَا وَحَيَّاكُمْ . وَهَذَا نَصٌّ فِي إبَاحَةِ الْغِنَاءِ فِي الْعُرْسِ
.
وَبِحَدِيثِ عَائِشَةَ قَالَتْ : كُنْتُ مَعَ رَسُول اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي سَفَرٍ . وَكَانَ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ رَوَاحَةَ جَيِّدَ الْحُدَاءِ
، وَكَانَ مَعَ الرِّجَال ، وَكَانَ أَنْجَشَةُ مَعَ النِّسَاءِ ، فَقَال النَّبِيُّ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لاِبْنِ رَوَاحَةَ : حَرِّكِ الْقَوْمَ ، فَانْدَفَعَ
يَرْتَجِزُ ، فَتَبِعَهُ أَنْجَشَةُ ، فَأَعْنَفَتِ الإِْبِل ، فَقَال النَّبِيُّ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لأَِنْجَشَةَ رُوَيْدَكَ ، رِفْقًا بِالْقَوَارِيرِ . يَعْنِي
النِّسَاءَ .
وَعَنْ السَّائِبِ بْنِ يَزِيدَ قَال : كُنَّا مَعَ عَبْدِ الرَّحْمَنِ
بْنِ عَوْفٍ فِي طَرِيقِ الْحَجِّ ، وَنَحْنُ نَؤُمُّ
مَكَّةَ ، اعْتَزَل عَبْدُ الرَّحْمَنِ الطَّرِيقَ ، ثُمَّ قَال لِرَبَاحِ
بْنِ الْمُغْتَرِفِ : غَنِّنَا يَا أَبَا حَسَّانَ ، وَكَانَ يُحْسِنُ النَّصْبَ -
وَالنَّصْبُ ضَرْبٌ مِنَ الْغِنَاءِ - فَبَيْنَا رَبَاحٌ يُغَنِّيهِ أَدْرَكَهُمْ عُمَرُ
فِي خِلاَفَتِهِ فَقَال : مَا هَذَا ؟ فَقَال عَبْدُ الرَّحْمَنِ : مَا بَأْسٌ بِهَذَا
؟ نَلْهُو وَنُقَصِّرُ عَنَّا السَّفَرَ ، فَقَال عُمَرُ : فَإِنْ كُنْتَ آخِذًا فَعَلَيْكَ
بِشِعْرِ ضِرَارِ بْنِ الْخَطَّابِ بْنِ مِرْدَاسٍ فَارِسِ قُرَيْشٍ .
وَكَانَ عُمَرُ يَقُول . الْغِنَاءُ مِنْ زَادِ الرَّاكِبِ ، وَهَذَا يَدُل عَلَى إبَاحَةِ الْغِنَاءِ لِتَرْوِيحِ
النَّفْسِ .
وَرَوَى
ابْنُ أَبِي شَيْبَةَ أَنَّ عُمَرَ بْنَ الْخَطَّابِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ كَانَ يَأْمُرُ
بِالْحُدَاءِ
3.Fatwa-Fatwa Ulama Tentang Nasyid-Nasyid Islami
1.
Fatwa Samahatusy Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz Rahimahullah
Beliau memiliki beberapa
fatwa, kami akan coba sampaikan empat fatwa.
Fatwa 1:
سماحة الشيخ
عبدالعزيز بن باز
س: ما حكم استماع أشرطة الأناشيد الإسلامية؟
جـ- الأناشيد تختلف فإذا كانت سليمة ليس فيها إلا الدعوة إلى الخير والتذكير بالخير وطاعة الله ورسوله والدعوة إلى حماية الأوطان من كيد الأعداء والاستعداد للأعداء ، ونحو ذلك ، فليس فيها شيء .
أما إذا كان فيها غير ذلك من دعوة إلى المعاصي واختلاط النساء بالرجال أو تكشفهن عندهم أو أي فساد كان فلا يجوز استماعها .
س: ما حكم استماع أشرطة الأناشيد الإسلامية؟
جـ- الأناشيد تختلف فإذا كانت سليمة ليس فيها إلا الدعوة إلى الخير والتذكير بالخير وطاعة الله ورسوله والدعوة إلى حماية الأوطان من كيد الأعداء والاستعداد للأعداء ، ونحو ذلك ، فليس فيها شيء .
أما إذا كان فيها غير ذلك من دعوة إلى المعاصي واختلاط النساء بالرجال أو تكشفهن عندهم أو أي فساد كان فلا يجوز استماعها .
Beliau ditanya: “Apa hukum
mendengarkan kaset-kaset nasyid Islami?
Beliau menjawab:
“(Hukum) Nasyid memiliki
perbedaan. Jika nasyid tersebut benar, tidak ada di dalamnya kecuali ajakan
pada kebaikan dan peringatan pada kebaikan dan ketaatan kepada Allah dan
RasulNya, serta ajakan kepada pembelaan kepada tanah air dari tipu daya musuh,
dan menyiapkan diri melawan musuh, dan yang semisalnya, maka tidak apa-apa. Ada
pun jika di dalam nasyid tidak seperti itu, berupa ajakan kepada maksiat,
campur baur antara laki-laki dan wanita, atau para wanita membuka auratnya,
atau kerusakan apa pun, maka tidak boleh mendengarkannya.” (Selesai fatwa
pertama)
Fatwa 2:
سماحة الشيخ
عبد العزيز بن عبد الله بن باز رحمه الله :
الأناشيد الإسلامية مثل الأشعار؛ إن كانت سليمة فهي سليمة ، و إن كانت فيها منكر فهي منكر ... و الحاصل أن البَتَّ فيها مطلقاً ليس بسديد ، بل يُنظر فيها ؛ فالأناشيد السليمة لا بأس بها ، والأناشيد التي فيها منكر أو دعوة إلى منكرٍ منكرةٌ ) [ راجع هذه الفتوى في شريط أسئلة و أجوبة الجامع الكبير ، رقم : 90 / أ [
الأناشيد الإسلامية مثل الأشعار؛ إن كانت سليمة فهي سليمة ، و إن كانت فيها منكر فهي منكر ... و الحاصل أن البَتَّ فيها مطلقاً ليس بسديد ، بل يُنظر فيها ؛ فالأناشيد السليمة لا بأس بها ، والأناشيد التي فيها منكر أو دعوة إلى منكرٍ منكرةٌ ) [ راجع هذه الفتوى في شريط أسئلة و أجوبة الجامع الكبير ، رقم : 90 / أ [
Syaikh Abdul Aziz bin
Abdullah bin Baz berkata:
“Nasyid-nasyid Islam itu
seperti sya’ir-sya’ir. Jika dia benar isinya, maka dia benar. Jika di dalamnya
terdapat kemungkaran, maka dia munkar ....
wal hasil, memutuskan hukum nasyid secara mutlak (general/menyamaratakan)
tidaklah benar, tetapi mesti dilihat dulu. Maka, jika nasyid-nasid tersebut
baik, maka tidak apa-apa. Dan nasyid-nasyid yang terdaat kemungkaran atau
ajakan kepada kemunkaran, maka dia munkar.” (Lihat fatwa ini dalam kaset tanya
jawab, Al Jami’ Al Kabir, no. 90/side. A) (selesai fatwa kedua)
Fatwa 3:
السؤال: كثر الكلام حول موضوع الأناشيد
الإسلامية، والناس في حيرة حول هذا، وجاءت أسئلة بخصوص هذا الموضوع،أكثر من سؤال،
فنرجوا من سماحتكم التفضّل ببيان ذلك وتوضيحه؟؟
فأجاب سماحة الشيخ عبد العزيز بن باز- رحمه الله :
الأناشيد الإسلامية فيها تفصيل، لا يمكن الجواب عنها مطلق، لا بد يكون فيها تفصيل؛ فكل شِعر أو أنشودة، سواء سمي أناشيد إسلامية أو غير ذلك، لابد أن يكون سليماً مما يخالف الشرع المطهّر، فإذا كان سليماً مما يُخالف الشرع المطهر في مدح قيمة الأخلاق كالكرم والجود، في الحث على الجهاد في سبيل الله، في الحث على حماية الأوطان من الأعداء، في الحث على الإخلاص لله في العمل، في الحث على بر الوالدين، وعلى إكرام الجار، على غير هذا من الشؤون الإسلامية، بأساليب واضحة ليس فيها ما يخالف الشرع المطهّر، فليس فيها بأس مثل ما قال الشافعي-رحمه الله- في الشعر- هو كان على خير نسق-: حسنه حسن، وقبيحه قبيح
. قال النبي صلى الله عليه وسلم: " إن من الشعر حكمة
". الله قال-جلا
وعلا-: " والشعراء يتبعهم الغاوون*ألم تر أنهم في كل واد يهيمون *
وأنهم يقولون مالايفعلون * إلا الذين آمنوا وعملوا الصالحات وذكروا الله
كثيراً....... "الآية.
فهؤلاء مُستَثنَون..إذا كان شعره سليماً، داخلاً في العمل الصالح..فهو مُستثنى.
ومن كان شعره ليس داخلاً في ذلك بأن يدعو إلى ما
يُخالف الشرع، فإنه لا يكون أمره طيباً، ولا ينبغي أن يُسمح له، بل ينبغي أن يُترك
حتى يكون شعره موافقاً لشرع الله، سليماً مما يُخالفه.
فكل أنشودة أو أناشيد ينبغي أن تُعرض على أهل
العلم،على لجنة من أهل العلم ينظرونها، ويُنقّحونها، فإذا نقّحوها وبيّنوا أنها
جائزة تُقدّم للمدرسة أو لغير المدرسة.. ولا تُقبل من كل أحد هذه الأناشيد بل
تُنظر فيها من لجنة، إذا كانت من جهة المعارف فمن جهة المعارف، وإذا كانت من جهة
المعاهد فمن جهة المعاهد..من أي جهة تكون هذه الأناشيد ؛لا يُسمح بها حتى تُعرض
على لجنة من أهل العلم والبصيرة، المعروفين بالاستقامة والعلم بالشرع حتى ينظروا
فيها، لأن التساهل فيها قد يُفضي إلى شرٍّ كثير..فلا بد أن تُعرض على أهل العلم
الذين يُعرف فيهم العلم والفضل والغيرة الإسلامية..[كلمة غير واضحة]
فيها، ويبينون مافيها من خلل، ثم يوجِّهون أهل
الأناشيد إلى ماهو الأفضل..فقال السائل: طبعاً من رأي سماحتكم أن لا تطغى هذه
الأناشيد على الإنصراف عن سماع القرآن الكريم، لأن بعض الإخوة يشتكي بأنها صرفتهم
عن سماع القرآن والذكر؟؟
فقال سماحة الشيخ ابن باز-رحمه الله-: لابد أن
يكون لها وقت خاص قليل، ما تشغلهم عما هو أهم، لا عن دروسهم، ولا عن القرآن، ولا
عن الذكر، فيكون لها وقت قليل.. لكن إذا أُريدت يكون لها وقت، إما قبل الدروس ، أو
بعد الدروس، أو في أثناء الدرس، إذا كان في هناك فائدة، تتعلق بالمصلحة الإسلامية،
على ما يُوجّه اللجنة، لجنة العلماء، على توجيه اللجنة التي تختص بهذا الشيء، تنظر
فيه، إما أن تقول تُفعل، أو لا تُفعل، أو تكون في وقت كذا، أو في خمس دقائق، أو في
عشر دقائق، أو في أقل أو في أكثر..[ثم انقطع الصوت] ثم قال الشيخ ابن باز: إذا
كانت إسلامية فهي إسلامية، وإذا كانت ليست إسلامية وهي مباحة فهي مباحة على حسب،
قد تكون أناشيد شيطانية
فقال سائل:لكن ياشيخ بالنسبة للتسجيلات
الإسلامية-جزاهم الله خير- عندهم الكثير منها وخالية من الموسيقى، وفي بعض منها شيء مختلط[غير متأكدة]
بالموسيقى، والموسيقى حرام؟
فقال الشيخ ابن باز-رحمه الله-: ما أدري والله،
أنا ما عندي خبر منها ، لكن القاعدة موافقة الشرع ومخالفته، الذي فيها موسيقى
تُمنع.
Syaikh Abdul
Aziz bin Abdullah bin Baz ditanya:
“Banyak
perbincangan seputar nasyid-nasyid Islam, manusia nampak kebingungan tentang
masalah ini, dan telah datang pertanyaan ini secara khusus sebagai tema yang
paling banyak ditanyakan, maka kami berharap kepada Anda untuk memberikan
penjelasan tentang persoalan ini?”
Syaikh menjawab:
“Nasyid-nasyid Islami ini, di dalamnya perlu ada perincian. Tidak mungkin
menjawabnya secara general (memukul rata). Harus dibahas secara rinci. Maka,
semua sya’ir atau nasyid, baik yang
dinamakan nasyid Islami atau selainnya, harus bersih dari hal-hal yang
bertentangan dengan syariat yang suci. Jika nasyid bersih dari hal-hal yang
bertentangan dengan syariat, berupa pujian terhadap akhlak yang terpuji,
seperti kedermawanan, anjuran untuk
berjihad fisabilillah, anjuran melindungi tanah air dari musuh, anjuran ikhlas
dalam beramal, anjuran berbakti kepada orang tua, memuliakan tetangga, dan
perilaku islami lainnya, dengan cara yang jelas
dan tidak ada di dalamnya pertentangan dengan syariat, maka hal itu tidak mengapa. Sebagaimana komentar
Imam Asy Syafi’i –rahimahullah- tentang sya’ir, dan ucapan beliau ini
adalah mutiara yang bagus, katanya: “kebaikannya adalah baik, dan keburukannya
adalah buruk.”
Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa
Sallam bersabda: “Sesungguhnya di antara sya’ir itu terdapat hikmah.”
Allah Ta’ala berfirman:
“Dan penyair-penyair itu diikuti oleh orang-orang yang sesat. tidakkah kamu
melihat bahwasanya mereka mengembara di tiap- tiap lembah, dan bahwasanya
mereka suka mengatakan apa yang mereka sendiri tidak mengerjakan(nya)? kecuali
orang-orang (penyair-penyair) yang beriman dan beramal saleh dan banyak
menyebut Allah .... (QS. Asy Syu’ara (26): 224-227)
Mereka inilah yang mendapatkan pengecualian, jika sya’irnya baik, maka itu
termasuk amal shalih, maka mereka inilah yang dikecualikan.
Tetapi jika sya’irnya tidak termasuk yang seperti ini, lantaran mengajak
kepada hal-hal yang bertentangan dengan syariat, maka itu bukanlah perkara yang
baik, dan tidak seharusnya bertoleransi dengannya, bahkan wajib meninggalkannya
hingga sya’ir tersebut sesuai dengan syariat Allah Ta’ala.
Hendaknya setiap nasyid diserahkan
kepada ulama atau lembaga ulama untuk menilai dan mengoreksinya. Maka, jika
sudah dikoreksi, dan mereka membolehkan untuk disampaikan di sekolah atau selain sekolah ... Janganlah
diserahkan kepada tiap orang untuk menilai nasyid ini, tetapi hendaknya dinilai
oleh lembaga. Jika yang menilai adalah dari lembaga ilmu pengetahuan umum maka
mereka menilai dengan sudut pandangnya itu, jika yang menilai dari lembaga
pesantren maka mereka juga akan menilai dengan sudut pandangnya. .. dari sudut
apa pun cara pandang menilai nasyid-nasyid ini: tidaklah diberi kelapangan
sampai dikembalikan kepada lembaga ahli ilmu dan pengetahuan, yang sudah diketahui
keistiqamahannya terhadap syariat, karena menggampangkan masalah ini akan
membawa kepada keburukan yang banyak .. maka harus dikembalikan kepada ulama
yang mereka dikenal keilmuan, keutamaan, dan kecemburuannya terhadap Islam ...
(ucapan tidak jelas) .. mereka menjelaskan cacat apa saja yang ada padanya,
lalu mengarahkan para penasyid kepada apa yang lebih afdhal ..
Lalu Penanya berkata: Tentu ..,
diantara pendapat Anda janganlah berlebihan terhadap nasyid-nasyid ini, hingga
memalingkan dari mendengarkan Al Quran, karena sebagian ikhwah ada yang
mengeluh, bahwa nasyid telah memalingkan mereka dari mendengarkan Al Qran dan
dzikir?
Syaikh bin Baz menjawab: “Dia semestinya memiliki waktu khusus yang sedikit
saja, jangan sampai nasyid menyibukkan mereka dari hal yang lebih penting, baik
dibanding pelajaran mereka, dibanding Al
Quran, dan dibanding dzikir, maka hendaknya nasyid itu porsinya sedikit saja ..
tetapi jika engkau menghendaki waktu khusus untuknya, baik sebelum belajar,
atau setelahnya, atau ketika belajar, jika hal itu ada manfaat yang terkait
dengan maslahat islam yang telah diarahkan oleh lembaga ulama yang secara
khusus memberikan perhatian dalam masalah ini. Baik yang dikatakan oleh
mereka untuk dilakukan atau tidak
dilakukan, atau pada waktu sekian , atau
selama lima menit atau sepuluh menit, atau lebih sedikit atau juga lebih lama
.. “ (lalu suara terputus).
Kemudian, Syaikh bin Baz berkata: “Nasyid yang Islami maka dia islami, yang
tidak islami maka dia boleh pada kadar tertentu, jika berlebihan maka menjadi
nasyid syaithani.”
Berkata penanya: “Tetapi Ya Syaikh, kaitannya dengan perusahaan rekaman Islam –semoga Allah
memberikan balasan kebaikan kepada mereka- banyak di antara nasyid-nasyid
yang tanpa musik, dan sebagiannya sudah dicampur
dengan musik ... (suara tidak kuat), dan musik itu haram?
Syaikh menjawab: “Saya tidak tahu, demi Allah, saya tidak punya info
tentang itu. Tetapi, yang jadi kaidah adalah: ‘sesuai dengan syariat dan
bertentangan dengan syariat’, jika pakai musik maka itu terlarang.” (selesai
fatwa ketiga)
Fatwa 4:
سماحة الشيخ عبدالعزيز بن باز
س: يقول ابنتي تذهب إلى الروضة رياض الأطفال ولكن من بين الأشياء التي يؤدونها في الروضة أن المدرسة تفتح لهم المسجل وتسمعهم الأناشيد الغير مبتذلة مثلا عن الأم والوطن وما شابه ذلك ولكن تلك الأناشيد تكون مصحوبة بالموسيقي فهل يجوز لي أن أدع ابنتي تذهب وهل يكون على ذنب إذا استمعت لمثل ذلك؟
ج- هذا غلط من المدرسة أما سماع الطفلة الأناشيد السليمة فلا حرج في ذلك وهكذا الطفل وهكذا غيرهما من الأناشيد التي ليس فيها محرم إنما هي للتشجيع على الأخلاق الفاضلة أو ما يتعلق بواجب الوطن عليهم وواجب دولتهم ونحو ذلك أما اصطحابها بالموسيقي فهذا غلط ولا يجوز والواجب على القائم على الروضات منع ذلك حتى لا يبقى هناك مانع من مجيء الأطفال إليهم فعليك أنت وإخوانك أن تتصلوا بالمسئولين عن هذه الروضات حتى يمنعوا هذا الشيء لأن هذا لا حاجة إليه ويربى الأطفال الصغار على حب الموسيقي والتلذذ بها واستماعها بعد ذلك فالطفل على ما ربي عليه فعليكم أن تتصلوا بالمسئولين بهذا عن المدارس حتى يمنعوا ذلك وحتى تسلم هذه الروضات مما يخالف شرع الله سبحانه وتعالى.
Penanya berkata:
“Anak putri saya pergi ke
taman sekolah TK, tetapi di sana
sekolah menyambutnya dengan berbagai sambutan diantaranya adalah rekaman nasyid
yang diperdengarkan kepada mereka,
bertemakan semangat berkorban kepada ibu dan tanah air misalnya, dan
sejenisnya. Tetapi pada nasyid tersebut diiringi dengan musik, apakah boleh
bagi saya membiarkan anak saya pergi ke sana, dan apakah berdosa jika dia
mendengarkan hal seperti itu?”
Jawab Syaikh:
“Itu merupakan kesalahan sekolah. Ada pun bagi
anak-anak puteri mendengarkan nasyid-nasyid yang baik maka tidak mengapa hal
itu. Begitu pula tidak mengapa bagi anak-anak putera dan selain mereka, yakni
nasyid-nasyid yang tidak mengandung keharaman.
Nasyid yang menggelorakan
terbentuknya akhlak yang mulia, dan apa-apa yang terkait dengan
kewajiban mereka terhadap tanah air dan negara. Ada pun iringan musik, maka itu
kesalahan dan tidak boleh, dan wajib bagi
penjaga taman untuk mencegahnya, sampai tidak ada lagi hal-hal yang
menghalangi anak-anak untuk datang ke sana. Maka, anda dan saudara anda wajib
menyampaikan kepada penanggung jawab taman-taman ini, sampai mereka menceah hal
ini, sebab hal ini tidak dibutuhkan untuk mendidik mereka agar mencintai musik,
menikmati, dan mendengarkannya setelah itu. Maka, hendaknya anak-anak
mendapatkan apa-apa yang bisa mendidiknya, maka anda sampaikan hal ini kepada
pihak penanggung jawab sekolah tentang hal
ini, sehingga mereka mencegahnya sampai TK ini bersih dari apa-apa yang
berselisihan dengan syariat Allah Ta’ala.” (selesai fatwa keempat)
2.
Al ‘Allamah Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albani Rahimahullah
محدّث الديار
الشاميّة الشيخ محمد ناصر الدين الألباني رحمه الله
إذا كانت هذه الأناشيد ذات معانٍ إسلامية ، و ليس معها شيء من المعازف و آلات الطرب كالدفوف و الطبول و نحوِها ، فهذا أمرٌ لا بأس به ، و لكن لابد من بيان شرطٍ مهم لجوازها ، وهو أن تكون خالية من المخالفات الشرعية ؛ كالغلوّ ، و نَحوِه ، ثم شرط آخر ، و هو عدم اتخاذها دَيدَناً ، إذ ذلك يصرِفُ سامعيها عن قراءة القرآن الذي وَرَدَ الحضُّ عليه في السُنَّة النبوية المطهرة ، و كذلك يصرِفُهُم عن طلب العلم النافع ، و الدعوة إلى الله سبحانه
]العدد الثاني من مجلة الأصالة ، الصادر بتاريخ 15 جمادى الآخرة 1413هـ ، ص : 73 [
إذا كانت هذه الأناشيد ذات معانٍ إسلامية ، و ليس معها شيء من المعازف و آلات الطرب كالدفوف و الطبول و نحوِها ، فهذا أمرٌ لا بأس به ، و لكن لابد من بيان شرطٍ مهم لجوازها ، وهو أن تكون خالية من المخالفات الشرعية ؛ كالغلوّ ، و نَحوِه ، ثم شرط آخر ، و هو عدم اتخاذها دَيدَناً ، إذ ذلك يصرِفُ سامعيها عن قراءة القرآن الذي وَرَدَ الحضُّ عليه في السُنَّة النبوية المطهرة ، و كذلك يصرِفُهُم عن طلب العلم النافع ، و الدعوة إلى الله سبحانه
]العدد الثاني من مجلة الأصالة ، الصادر بتاريخ 15 جمادى الآخرة 1413هـ ، ص : 73 [
Beliau berkata:
“Jika nasyid-nasyid ini
memiliki muatan-muatan islami, dan tidak diiringi dengan alat-alat musik
seperti dufuf (gendang), dan semisalnya, maka ini sesuatu yang
tidak mengapa. Tetapi harus dijelaskan syarat penting untuk
kebolehannya. Hendaknya tidak bertentangan dengan syariat, seperti ghuluw (melampaui batas) dan semisalnya, kemudian
syarat lainnya, yaitu tidak menjadikannya sebagai kebiasaan, ingatlah, hal itu
bisa mengalihkannya dari membaca Al
Quran yang telah diperintahkan dengan tegas dalam sunah nabi, dan juga
mengalihkannya dari menuntut ilmu yang bermanfaat, dan da’wah ilallahu
Subhanahu wa Ta’ala .(Majalah Ashalah, edisi 2, tanggal 15 Jumadil Akhir
1413H, Hal. 73)
3.
Al ‘Allamah Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin Rahimahullah
الشيخ محمد بن صالح العثيمين رحمه الله
ما رأى فضيلتكم فى الأناشيد الاسلامية ؟
الأناشيد الإسلامية كثر الكلام عليها
وأنا لم أستمع إليها إلا من مدة طويلة، وهي أول ما خرجت لا بأس بها، ليس فيها
دفوف، وتؤدى تأدية ليس فيها فتنة ، وليست على نغمات الأغاني المحرمة، لكن تطورت في
الواقع وصارت يسمع منها قرع يمكن أن يكون غير الدف، ثم تطورت باختيار ذوي الأصوات
الجميلة الفاتنة، ثم تطورت أيضا إلى أنها تؤدى على صفة الأغاني المحرمة، لذلك بقي
في النفس منها شيء وقلق، ولا يمكن للإنسان أن يفتي بأنها جائزة على كل حال ولا
محرمة على كل حال، وإذا كانت خالية من الأشياء التي ذكرتها فهي جائزة، أما إذا
كانت مصحوبة بدف، أو كان مختارا لها ذوي الأصوات الجميلة التي تفتن ، أو أديت على
نغمات الأغاني الهابطة فإنه لا يجوز السماع لها
“Banyak perbincangan tentang nasyid-nasyid Islami, dan saya tidak lagi
mendengarkannya sudah sejak lama. Ketika awal keluarnya nasyid tidaklah
mengapa. Tidak pakai dufuf (rebana), ditampilkan dengan tanpa
hal-hal yang mengandung fitnah, tidak diperindah dengan nyanyian yang
diharamkan, tetapi perkembangan
realitanya, mendengarkan sebagian nasyid menjadi sesuatu yang berbahaya,
mungkin bukan cuma memakai rebana, lalu berkembang lagi dengan memakai
suara-suara yang indah mengandung fitnah, lalu berkembang lagi ditampilkan
seperti penampilan lagu-lagu yang diharamkan, karena itu nasyid telah
menyisakan sesuatu yang menggelisahkan, maka tidak mungkin manusia
memfatwakan, bahwa nasyid itu boleh pada
semua keadaan, dan haram dalam semua keadaan. Jika nasyid tersebut tidak
terdapat halhal yang saya sebutkan, maka boleh saja mendnegarkannya. Ada pun
jika diiringi dengan rebana, atau
memakai suara - suara indah dan mengandung fitnah, dan ditampilkan dengan dihiasi cara-cara
penyanyi rendahan, maka tidak boleh mendengarkannya.” (Selesai fatwa Syaikh
Ibnu Utsaimin)
- Syaikh Abdullah bin Abdurrahman Al Jibrin hafizhahullah
الشيخ عبدالله بن عبدالرحمن الجبرين
النشيد هو قراءة القصائد إما بصوت واحد أو بترديد جماعتين، وقد كرهه بعض المشايخ، وقالوا: إنه من طرق الصوفية، وأن الترنم به يشبه الأغاني التي تثير الغرائز، ويحصل بها نشوة ومحبة لتلك النغمات. ولكن المختار عندي: جواز ذلك- إذا سلمت من المحذور- وكانت القصائد لا محذور في معانيها، كالحماسية والأشعار التي تحتوي على تشجيع المسلمين على الأعمال، وتحذيرهم من المعاصي، وبعث الهمم إلى الجهاد، والمسابقة في فعل الخيرات، فإن مصلحتها ظاهرة، وهي بعيدة عن الأغاني، وسالمة من الترنم ومن دوافع الفساد.
“Nasyid adalah bacaan qasidah, baik dengan satu suara atau dua kelompk yang
saling bersahutan, sebagian masyayikh ada yang memakruhkannya, mereka
mengatakan itu merupakan jalan sufi, dan sesungguhnya melantunkannya merupakan
penyerupaan dengan nyanyian yang berdampak bagi gharizah (instink), yang
akan menghasilkan mabuk cinta lantaran keindahannya. Tetapi pendapat yang
dipilih menurutku adalah hal itu boleh, jika bersih dari hal-hal yang harus
diwaspadai. Qasidah yang makna-maknanya baik, seperti semangat atau
syi’ar-syi’ar yang bisa menyemangati kaum musimin untuk beramal, dan
memperingatkan mereka dari maksiat, dan membangkitkan semangat jihad,
berlomba-lomba dalam melakukan kebajikan, maka maslahatnya jelas, dan jauh dari
sifat nyanyian, bersih dan terhindar dari lantunan yang merusak.” (selesai
fatwa Syaikh Abdullah bin Abdurrahman Al Jibrin)
5.
Fatwa Lajnah Daimah Lil Ifta’
Saudi Arabia
اللجنةُ
الدائمةُ للإفتاءُ
اعتَبَرَت اللجنةُ الدائمةُ للإفتاءُ الأناشيدَ بديلاً شرعيّاً عن الغناء المحرّم ، إذ جاء في فتاواها
يجوز لك أن تستعيض عن هذه الأغاني بأناشيد إسلامية ، فيها من الحِكَم و المواعظ و العِبَر ما يثير الحماس و الغيرة على الدين ، و يهُزُّ العواطف الإسلامية ، و ينفر من الشر و دواعيه ، لتَبعَثَ نفسَ من يُنشِدُها ومن يسمعُها إلى طاعة الله ، و تُنَفِّر من معصيته تعالى ، و تَعَدِّي حدوده ، إلى الاحتماءِ بحِمَى شَرعِهِ ، و الجهادِ في سبيله .
لكن لا يتخذ من ذلك وِرْداً لنفسه يلتزمُه ، و عادةً يستمر عليها ، بل يكون ذلك في الفينة بعد الفينة ...
اعتَبَرَت اللجنةُ الدائمةُ للإفتاءُ الأناشيدَ بديلاً شرعيّاً عن الغناء المحرّم ، إذ جاء في فتاواها
يجوز لك أن تستعيض عن هذه الأغاني بأناشيد إسلامية ، فيها من الحِكَم و المواعظ و العِبَر ما يثير الحماس و الغيرة على الدين ، و يهُزُّ العواطف الإسلامية ، و ينفر من الشر و دواعيه ، لتَبعَثَ نفسَ من يُنشِدُها ومن يسمعُها إلى طاعة الله ، و تُنَفِّر من معصيته تعالى ، و تَعَدِّي حدوده ، إلى الاحتماءِ بحِمَى شَرعِهِ ، و الجهادِ في سبيله .
لكن لا يتخذ من ذلك وِرْداً لنفسه يلتزمُه ، و عادةً يستمر عليها ، بل يكون ذلك في الفينة بعد الفينة ...
Lajnah Daimah Lil Ifta’ telah menjelaskan, nasyid-nasyid Islami
sebagai alternatif pengganti yang syar’i
terhadap nyanyian-nyayian yang haram. Demikianlah fatwanya.
“Boleh bagimu menggantikan nyanyian tersebut dengan nasyid-nasyid Islami,
di dalamnya terdapat hikmah, pelajaran, dan ‘ibrah yang memberikan
pengaruh bagi semangat dan kecemburuan terhadap agama, menggerakkan belas
kasih Islami, menjauh dari keburukan dan
ajakannya, untuk membangkitkan ketaatan kepada Allah baik bagi yang
menyenandung dan yang mendengarkannya, menjauh dari maksiat kepadaNya, melanggar
batasNya, menjaga diri dengan syariatNya, serta berjihad di jalanNya.
Tetapi hendaknya tidak menjadikannya sebagai sebuah kelaziman dan kebiasaan
terus menerus, melainkan sesekali saja.... dan seterusnya.”
Semua fatwa ini kami kutip dari:
Wallahu A’lam
No comments:
Post a Comment