Berikut ini
adalah gambaran yang ada tentang posisi musik menurut ulama Islam. Bukan
menurut pemusik dan penikmatnya yang awam terhadap syariat. Telah terjadi
perselisihan panjang yang terjadi sejak dahulu di antara ulama, walau nyatalah
bahwa mayoritas mereka mengharamkan. Wara’ adalah sikap terbaik dalam hal ini.
Di sini kita tidak membahas nyanyian, tetapi hanya alat-alat musik.
Kedua kelompok itu sepakat dalam
satu hal, yaitu musik-musik yang dibarengi dengan kegiatan yang haram, seperti
mabuk, atau tarian wanita di depan laki-laki non mahram, atau untuk mengiringi syair-syair cabul, adalah haram, dan inilah
mayoritas musik dan lagu yang ada saat ini.
Ada pun musik-musik yang bebas dari hal-hal di atas, mereka berbeda
pendapat antara yang mengharamkan juga secara mutlak karena alat musik adalah haram secara zat
walau sebelumnya dia dibuat dari benda yang baik dan suci, ada pula yang
mengharamkan jika musik-musik itu menyerupai dan biasa dipakai oleh ahli
maksiat, ada pun musik yang tidak terasosiasikan ke ahli maksiat tidak apa-apa,
sebaliknya ada juga yang membolehkan secara mutlak sebab menurut mereka tidak
ada dalil dalam Al Quran dan As Sunnah Ash Shahihah yang mengharamkannya, dan
mendengarkannya tidak ubahnya seperti mendengarkan suara gemericik air di
pancurannya, sama saja, selama bersih dan bebas dari hal-hal yang diharamkan
Allah Ta’ala seperti zina, khamr, judi, tarian yang diharamkan, dan semisalnya.
Bersama
Pihak Yang Mengharamkan
Hadits-hadits yang terkait
musik. Di antaranya:
1. Dari Abu Umamah Radhiallahu ‘Anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu
‘Alaihi wa Sallam bersabda:
إِنَّ اللهَ بَعَثَنِي
رَحْمَةً لِلْعَالَمِينَ وَهُدًى لِلْعَالَمِينَ، وَأَمَرَنِي رَبِّي بِمَحْقِ الْمَعَازِفِ
وَالْمَزَامِيرِ وَالْأَوْثَانِ وَالصُّلُبِ ….
“Sesungguhnya Allah mengutusk
sebagai rahmat dan petunjuk bagi alam semesta, Rabbku memerintahkan aku untuk
membinasakan Al Ma’azif (alat-alat musik)
dan seruling, berhala, dan salib ….” (HR. Ahmad No. 22307, dengan tahqiq Syaikh
Syu’aib Al Arnauth, dibantu oleh Syaikh Adil Mursyid, Syaikh Muhammad
Ridhwan, dan kawan-kawan)
Dalam tahqiq pada Musnad Ahmad
disebutkan: sanadnya dhaif jiddan.
Faraja –yaitu Ibnu Fudhalah bin An Nu’man
At Tanukhi- adalah seorang yang dhaif. Ali bin Yazid juga seorang
yang dhaif. Al Qasim bin Abu Abdirrahman adalah Ibnu Abdirrahman Ad
Dimasyqi, sahabat Abu Umamah.
Juga diriwayatkan oleh Ahmad bin Mani’ dalam Ittihaf Al Khairah
(No. 5107), dari Yazid bin Harun, dengan sanad yang sama. Dikeluarkan juga oleh
Ath Thayalisi (No. 1134), Ath Thabarani (No. 7803), dari berbagai jalan, dari
Faraj bin Fudhalah, dengan sanad ini.
Lalu, hadits ini juga
terdapat dalam Musnad Ahmad (No. 22218), dengan matan agak sedikit
berbeda: “ …. Dia memerintahkan aku untuk membinasakan seruling, Al
Kannaraat yakni Al Baraabith (alat
musik), Al Ma’azif, juga berhala yang dahulu disembah pada masa jahiliyah…”
Syaikh Syu’aib Al Arnauth juga mengatakan dhaif jiddan,
lantaran sanadnya terdapat Faraja dan Ali bin Yazid pula, yang diketahui
kedhaifannya.
Selain itu hadits ini juga terdapat Musnad Ahmad no. 22169,
secara ringkas, juga No. 22280 secara ringkas juga.
Juga diriwayatkan oleh Al Bazzar dari Anas, (No. 2939, 3002),
tentang kisah seorang yang meninggalkan
khamr, dan dia menumpahkannya di tembok Al Quds. Al Mundziri mengatakan
dalam At Targhib: sanadnya hasan. (Shahih At Targhib wat Tarhib No.
2375, Syaikh Al Albani menshahihkannya, tetapi kisah ini tidak membicarakan
alat musik)
Imam
Al Haitsami juga mengisyaratkan kelemahan hadits Abu Umamah ini, lantaran
kedhaifan Ali bin Yazid. . (Majma’ Az Zawaid, 5/69), dan
juga telah didhaifkan oleh Syaikh Al Albani. (Misykah Al Mashabih,
No. 3654)
2. Dari Abu Malik Al Asy’ari Radhiallahu ‘Anhu, bahwa Rasulullah
Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
ليشربن ناس من أمتي الخمر. يسمونها بغير اسمها. يعزف على رءوسهم
بالمعازف والمغنيات، يخسف الله بهم الأرض. ويجعل منهم القردة والخنازير
“Manusia dari umatku akan benar-benar meminum khamr, mereka menamakannya bukan
dengan namanya. Mereka bernyanyi dengan alat-alat musik dan penyanyi wanita.
Allah menenggelamkan mereka ke bumi dan menjadikan sebagian mereka menjadi kera
dan babi.” (HR. Ibnu Majah No. 4020)
Syaikh Al Albani menshahihkan hadits ini. (Misykah Al Mashabih,
No. 4292). Imam Abu Daud
dalam Sunannya juga meriwayatkan, ketika ditanya kepada Nabi Shallallahu
‘Alaihi wa Sallam tentang Ad
Daadzi, beliau menjawab : umatku akan benar-benar meminum khamr dan
menamakannya dengan bukan namanya. (No. 3689). Hanya sampai ini nash-nya,
tidak menyebut musik dan lainnya. Sufyan Ats Tsauri mengatakan: Ad Daadzi
adalah minuman orang fasiq. (Ibid)
Sementara Imam Ibnu Hazm mendhaifkan hadits ini. Tertulis dalam Rasail
Ibni Hazm:
لم يقبله
ابن حزم لأن فيه معاوية بن صالح وهو ضعيف، وفيه مالك بن أبي مريم ولا يدرى من هو (وأيده
في ذلك الذهبي وقال ابن حبان إنه من الثقات)
“Ibnu Hazm tidak menerimanya,
karena di dalamnya terdapat Mu’awiyah bin Shalih, dia dhaif. Dan, juga ada
Malik bin Abi Maryam, dia tidak mengetahui siapa dia. (Adz Dzahabi mendukung
hal ini, dan berkata Ibnu Hibban: dia termasuk tsiqat).” (Rasail
Ibni Hazm, 1/425. Mawqi’ Ruh Al Islam)
Imam
Adz Dzahabi menukil dari Ibnu Ghanam, tentang Malik bin Abi Maryam, katanya: tidak
dikenal, dia meriwayatkan dari Hatim bin Huraits hadits tentang khamr.
(yaitu hadits ini) (Mizanul I’tidal, 3/428, No. 7028)
Ada pun Muawiyah bin Shalih, dia adalah
Muawiyah bin Shalih Al Hadhrami Al Himshi, dia adalah seorang tokoh dan qadhi
di Andalusia. Para imam berselisih tentang dia.
Ja’far Ath Thayalisi dari
Yahya bin Ma’in mengatakan; tsiqah. Abu Thalib berkata dari Imam Ahmad bin
Hambal: dahulu dia keluar dari Himsh
sebagai seorang yang tsiqah. Abu Khaitsamah dan Ad Dauri menyebutkan dalam Tarikh mereka berdua, dari Ibnu
Ma’in bahwa Yahya bin Said tidak meridhai Muawiyah bin Shalih. Abu Khaitsamah
menyebutkan dari Ibnu Ma’in: dia shalih. Sedangkan Ad Dauri menyebutkan
dari Ibnu Ma’in: bukan orang yang diridhai (haditsnya). Demikian ini juga
dinukil oleh Ibnu Abi Hatim dari Ad Dauri, tetapi bukan dari Tarikhnya.
Al Laits bin ‘Ubadah mengatakan, bahwa Yahya bin Ma’in mengatakan:
jika Ibnu Mahdi membicarakan hadits Muawiyah bin Shalih maka Yahya bin
Sa’id membentaknya (mencegahnya). Ali
Al Madini mengatakan, bahwa Yahya bin Sa’id mengatakan; saya tidak mengambil
hadits darinya. Sedangkan Abdurrahman bin Mahdi, An Nasa’i, Abu Zur’ah
menilainya tsiqah. (Lihat Al Hafizh Ibnu Hajar, Tahdzibut Tahdzib,
10/209-210)
Kebanyakan ulama menyatakan bahwa musik-musik yang biasa digunakan
oleh pelaku maksiat adalah haram, walau yang menggunakannya adalah orang baik
dan untuk mengiringi syair-syair yang baik, sebab itu merupakan wujud dari tasyabbuh
dengan mereka.
Berikut ini keterangannya:
وَالْمُعْتَمَدُ
عِنْدَ أَكْثَرِهِمْ أَنَّهُ يَحْرُمُ اسْتِعْمَال آلَةٍ مِنْ شِعَارِ الشَّرَبَةِ
كَطُنْبُورٍ وَعُودٍ ، وَجَدَكٍ وَصَنْجٍ وَمِزْمَارٍ عِرَاقِيٍّ وَسَائِرِ أَنْوَاعِ
الأَْوْتَارِ وَالْمَزَامِيرِ ؛ لأَِنَّ اللَّذَّةَ الْحَاصِلَةَ مِنْهَا تَدْعُو إِلَى
فَسَادٍ كَشُرْبِ الْخَمْرِ لاَ سِيَّمَا مَنْ قَرُبَ عَهْدُهُ بِهَا ؛ وَلأَِنَّهَا
شِعَارُ الْفَسَقَةِ وَالتَّشَبُّهُ بِهِمْ حَرَامٌ ، وَخَرَجَ مَنْ سَمِعَهَا بِغَيْرِ
قَصْدٍ
“Pendapat yang mu’tamad
(resmi) bagi kebanyakan ulama adalah diharamkan menggunakan alat-alat (musik)
yang menjadi simbol bagi para pemabuk, seperti tamborin dan ‘aud (gitar/alat
musik gambus), jadak, simbal (sejenis alat musik), seruling Irak, dan
semua macam alat musik senar dan tiup, karena kenikmatan mendengarkannya
membawa manusia kepada kerusakan seperti minum khamr, apalagi bagi orang yang berkawan dekat dengan pemakainya, karena itu merupakan simbol
kefasikan dan menyerupai mereka adalah haram, tapi keluar dari pengertian ini
adalah orang yang tidak bermaksud mendengarkannya (alias tidak sengaja). (Hasyiah
Ibnu Abidin, 4/382, Jawahirul Iklil, 2/238/11, Nihayatul Muhtaj,
8/281, Al Mughni, 9/175-176)
Jadi, mendengarkan atau
memainkan alat-alat musik yang biasa dimainkan oleh pelaku maksiat adalah
haram, yaitu karena hal itu dapat membawa pelakunya dalam perbuatan haram.
Sekali pun aman dari hal itu, tetap itu haram karena dia tidak selamat
dari keharaman lain, yakni penyerupaan
terhadap perilaku ahli masiat dan kefasikan.
No comments:
Post a Comment