وَعَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ - رضي الله
عنه - قَالَ: - جَاءَ أَعْرَابِيٌّ فَبَالَ فِي طَائِفَةِ اَلْمَسْجِدِ,
فَزَجَرَهُ اَلنَّاسُ, فَنَهَاهُمْ اَلنَّبِيُّ - صلى الله عليه وسلم - فَلَمَّا
قَضَى بَوْلَهُ أَمَرَ اَلنَّبِيُّ - صلى الله عليه وسلم - بِذَنُوبٍ مِنْ مَاءٍ;
فَأُهْرِيقَ عَلَيْهِ. - مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ
Dari Anas bin Malik Radhiallahu ‘Anhu,
katanya: “Datang seorang A'rabi (orang pedalaman) lalu dia kencing pada
dinding masjid, maka manusia mencegahnya, namun Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa
Sallam melarang mereka (untuk mencegah kencing si Badui, pen).
Ketika orang itu sudah selesai kencing, maka Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa
Sallam memerintahkan untuk membawa air yang banyak, lalu menyiramkan air
kencing tersebut. (HR. Muttafaq ‘Alaih)
Takhrij Hadits:
-
Imam Bukhari
dalam Shahih-nya, Kitabul Wudhul Bab Shabbil Maa’i ‘alal Bawli fil
Masjid No. 219, dan ini adalah
menurut lafaz Imam Bukhari
-
Imam Muslim
dalam Shahih-nya, Kitabuth Thaharah Bab Wujubi Ghaslil Bawli wa
Ghairihi minal Najasaat idza Shalat fil Masjid No. 284
-
Musnad
Syafi’i, Kitabuth Thaharah Bab
Ats Tsaani fil Anjaas wa Tathhiruha No. 52, disusun oleh Syaikh Muhammad Abid As
Sindi
-
Imam Al
Baghawi dalam Syarhus Sunnah, Kitabuth Thaharah Bab Al Bawl Yushibul
Ardh No. 291
-
Imam Al
Baihaqi dalam Ma’rifatus Sunan, Kitabush Shalah Bab Yathharul Ardh
No. 1369
-
Dll
Makna dan Kandungan
Hadits:
Hadits ini memiliki beberapa pelajaran:
1.
Tentang
sahabat nabi yang meriwayatkan hadits ini, Anas bin Malik Radhiallahu ‘Anhu,
siapakah dia?
Imam
Adz Dzahabi bercerita tentangnya. Nama aslinya adalah Anas bin Malik bin An
Nadhr bin Dhamdham bin Zaid bin Haram bin Jundub bin ‘Aamir bin Ghanam bin ‘Adi
bin An Najar. Dia seorang mufti, qari’, muhaddits, riwayatul Islam, Al
Anshariy, Al Khazrajiy, An Najaariy, Al
Madiniy, pelayan Rasulullah Shallallahu ‘Alahi wa Sallam merupakan
kerabat nabi, muridnya, pengikutnya, dan termasuk sahabat yang wafatnya
terakhir.
Beliau mengambil ilmu dari Nabi Shallallahu ‘Alaihi
wa Sallam, juga dari Abu Bakar,
Umar, Utsman, Usaid bin Hudhair, Abu Thalhah, Ibunya Ummu Sulaim binti Milhan,
bibinya Ummu Haram, dan suami Ummu Haram yaitu ‘Ubadah bin Ash Shaamit, Abu
Dzar, Malik bin Sha’sha’ah, Abu Hurairah, Fathimah anak Nabi, dan banyak lagi.
Dia menghasilkan
tokoh-tokoh besar, di antaranya Al Hasan Al Bashri, Ibnu Sirin, Asy
Sya’bi, Abu Qilabah, Mak-hul, Umar bin
Abdul ‘Aziz, Tsabit Al Banani, Bakr bin Abdullah Al Muzani, Az Zuhri, Qatadah,
Ibnu Al Munkadir, Ishaq bin Abdullah bin Abu Thalhah, Abdul Aziz bin Shuhaib, Syu’aib bin Al
Habhaab, ‘Amru bin ‘Aamir Al Kufiy, Sulaiman At Taimi, Hamid Ath Thawil, Yahya
bin Sa’id Al Anshari, Katsir bin Salim, ‘Isa bin Thahman, dan ‘Isa bin Syaakir.
Pengarang At Tahdzib menyebutkan bahwa ada 200 orang yang
meriwayatkan dari Anas. Anas bin Malik
menceritakan, ketika Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam sampai di
Madinah, beliau baru berusia sepuluh
tahun, dan ketika Nabi wafat beliau berusia dua puluh tahun. Imam Adz
Dzahabi menguatkan bahwa Anas bin Malik lahir sepuluh tahun sebelum hijrah.
Sejak Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam sampai di Madinah
hingga wafat, Anas selalu bersamanya dengan pertemanan yang begitu sempurna.
Beliau ikut berjihad bersamanya, dan ikut pula berbai’at di bawah pohon.
Al Anshari menceritakan bahwa ketika Nabi Shallallahu
‘Alaihi wa Sallam keluar menuju Badr, Anas menjadi pelayannya saat masih
kanak-kanak.
Manusia berbeda pendapat kapan tahun wafatnya. Ma’mar, dari Humaid, mengataka bahwa Anas
wafat tahun 91 Hijriyah. Demikian juga menurut catatan Qatadah, Al Haitsam bin
‘Adi, Al Haitsam bin ‘Adi, Sa’id bin ‘Ufair, dan Abu ‘Ubaid.
Ma’an bin ‘Isa meriwayatkan dari anaknya Anas bin Malik, bahwa beliau wafat tahum 92
Hijriyah. Yang lain mengatakan 93 Hijriyah, dan inilah yang benar.
(Lengkapnya Siyar A’lamin Nubala, 3/395-406)
2. Terdapat kata-kata penting yang perlu dijelaskan.
-
Al A’rabiy, siapakah dia? Syaikh Abdul Aziz bin Marzuq Ath
Thuraifi berkata:
هو من سكن البادية سواء كان عربياً أو
عجمياً .فساكن البادية حتى وإن كان أعجميا فيسمى اعرابيا
Dia
adalah orang yang tinggal di pedalaman gurun, sama saja apakah dia orang Arab
atau non Arab ('Ajami). Maka, orang yang tinggal dipedalaman walau pun dia seorang non Arab, maka dia
dinamakan A'rabiy. (Syarh
Li Bulughil Maram, Hal. 72. Mawqi' Multaqa Ahlul Hadits)
Lalu,
siapakah orang A’rabiy yang kencing ini? Imam Ash Shan’ani
Rahimahullah menjelaskan:
وقد ورد تسميته: أنه ذو الخويصرة اليماني
وكان رجلاً جافياً
Telah
warid (datang) berita tentang penamaan orang itu: dia adalah Dzul
Khuwaishirah Al Yamani, seorang kali-laki berperangai keras. (Subulus
Salam, 1/24)
Dzul
Khuwaisirah ini dianggap dalam sejarah sebagai nenek moyang firqah
khawarij. Imam Muslim Rahimahullah
menulis dalam Shahih-nya, pada Kitabuz Zakah ada sebuah bab yang
berjudul Bab Dzikril Khawarij wa Shifatihim. Dalam bab tersebut
Beliau menyebutkan hadits dari Abu Sa’id Al Khudri Radhiallahu ‘Anhu,
katanya:
بَيْنَمَا
نَحْنُ عِنْدَ رَسُولِ اللهِ صلى الله عليه وسلم، وَهُوَ يَقْسِمُ قَسْمًا،
أَتَاهُ ذُو الْخُوَيْصِرَةِ، وَهُوَ رَجُلٌ مِنْ بَنِي تَمِيمٍ فَقَالَ: يَا
رَسُولَ اللهِ اعْدِلْ فَقَالَ: وَيْلَكَ وَمَنْ يَعْدِلُ إِذَا لَم أَعْدِلْ قَدْ
خِبْتَ وَخَسِرْتَ إِنْ لَمْ أَكُنْ أَعْدِلُ فَقَالَ عُمَرُ: يَا رَسُولَ اللهِ
ائْذَنْ لِي فِيهِ، فَأَضْرِبَ عُنَقَهُ فَقَالَ: دَعْهُ، فَإِنَّ لَهُ أَصْحَابًا
يَحْقِرُ أَحَدُكُمْ صَلاَتَهُ مَعَ صَلاَتِهِمْ، وَصِيَامهُ مَعَ صِيَامِهِمْ،
يَقْرَءُونَ الْقُرْآنَ، لاَ يُجَاوِزُ تَرَاقِيَهُمْ، يَمْرُقُونَ مِنَ الدِّينِ
كَمَا يَمْرُقُ السَّهْمُ مِنَ الرَّمِيَّة
Ketika kami bersama Rasulullah Shallallahu
‘Alaihi wa Sallam dan Beliau sedang membagi-bagikan zakat, datang kepadanya
Dzul Khuwasihirah, dia adalah laki-laki dari Bani Tamim. Lalu dia berkata:
“Wahai Rasulullah, berbuat adil-lah!” maka Beliau bersabda: “Celaka kamu, siapa
yang bisa berbuat adil jika aku tidak adil, kau telah merugi dan menyesal jika
aku tidak berbuat adil.” Lalu Umar berkata: “Wahai Rasulullah, izinkan aku menebas
lehernya.” Beliau bersabda: “Biarkan dia, sesungguhnya dia memiliki para
pengikut, niscaya kalian akan meremehkan shalat kalian dibanding shalat mereka
dan puasanya dibanding puasa mereka,
mereka membaca Al Quran tetapi tidak sampai melewati tulang selangka mereka,
mereka melesat dari agama seperti melesatnya panah dari busurnya.” (HR.
Muslim No. 1064, Bukhari juga meriwayatkan dalam Shahihnya No. 3610)
Abu
Sa’id Al Khudri Radhiallahu ‘Anhu menceritakan penampilan orang
tersebut:
رَجُلٌ غَائِرُ الْعَيْنَيْنِ مُشْرِفُ الْوَجْنَتَيْنِ
نَاشِزُ الْجَبْهَةِ كَثُّ اللِّحْيَةِ مَحْلُوقُ الرَّأْسِ مُشَمَّرُ الْإِزَارِ
Laki-laki
yang cekung kedua matanya, dua pipinya kempot, jidatnya menonjol (jenong),
jenggotnya lebat, kepalanya botak, kainnya disingsingkan (diangkat). (HR.
Bukhari No. 4351 dan Muslim No. 1064)
-
Thaa-ifatul
Masjid (طائفة المسجد)
Imam Ash Shan'ani Rahimahullah menjelaskan tentang maknanya:
أي في ناحيته، والطائفة: القطعة من الشيء
Yaitu pada tepinya, dan Ath
Thaa-ifah artinya potongan dari sesuatu. (Ibid)
Jadi, orang A’rabiy itu kencing di dalah satu bagian tepi masjid.
-
Bidzanuub
min maa’ (بِذَنُوبٍ مِنْ مَاءٍ)
Imam
Ibnu Abdil Bar Rahimahullah mengatakan: "Adz Dzanuub adalah
Ad Dalwu Al Kabiirah (timba yang besar). (At Tamhid, 24/14)
Jadi, air yang diambil cukup banyak
untuk membersihkan kencing Arab pedalaman tersebut.
3. Pada hadits ini menunjukkan aksi cepat tanggap
para sahabat Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam terhadap kemungkaran dan
keburukan. Ini merupakan cermin dari bagusnya iman mereka, yang dengannya
mereka disebut khairu ummah (umat terbaik), karena aksi amar ma’ruf nahi
munkar dan iman mereka kepada Allah Ta’ala.
Allah Ta’ala berfirman:
كُنْتُمْ خَيْرَ أُمَّةٍ أُخْرِجَتْ لِلنَّاسِ تَأْمُرُونَ
بِالْمَعْرُوفِ وَتَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَتُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ
Kamu adalah umat yang terbaik yang
dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma'ruf, dan mencegah dari yang
munkar, dan beriman kepada Allah. (QS. Ali 'Imran (3): 110)
Para ulama telah membuat kaidah:
الضَّرَرُ يُزَالُ
Adh
Dhararu Yuzaal – kerusakan mesti dihilangkan. (Imam As Suyuthi, Al
Asybah wan Nazhair, Al Kitabul Awwal, Kaidah keempat, Hal. 83. Imam
Tajuddin As Subki, Al Asybah wan Nazhair, Kaidah kedua, 1/51. Imam Ibnu Nujaim, Al Asybah wan
Nazha-ir, Kaidah kelima, Hal. 85. Syaikh Zakariya bin Ghulam Qadir Al
Bakistani, Min Ushul Al Fiqh ‘Ala Manhaj Ahlil Hadits, Hal. 190)
4. Hadits ini juga mengajarkan bahwa menghilangkan
kemungkaran ada metodologinya, yaitu dengan hikmah dan mau’izhah
hasanah. Oleh karenanya, Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam melarang
para sahabat yang mencegah orang Badui kencing di tepi masjid, sebab ketika
sudah kencing tentu sulit
dihentikan. Sikap para sahabat yang
melakukan az zajr (pencegahan dengan keras), tentu dikhawatirkan
melahirkan keburukan baru.
Oleh
karenanya lahir sebuah kaidah:
الضرر لا يزال بالضرر
Kerusakan tidak
dihilangkan dengan kerusakan yang lain. (Imam As Suyuthi, Al Asybah Wan Nazhair,
Hal. 86. Imam Ibnu Nujaim, Al Asybah Wan Nazhair, No. 87, Syaikh Abdullah bin Sa’d Muhammad ‘Abbadi Al
Hadhrami, Idhah Al Qawaid Al Fiqhiyah,
Hal. 45, dll)
5. Hadits ini menunjukkan kasih sayang Nabi Shallallahu
‘Alaihi wa Sallam kepada umatnya, khususnya bagi mereka yang masih jahil
terhadap agama.
Allah Ta’ala berfirman:
فَبِمَا رَحْمَةٍ مِنَ اللَّهِ لِنْتَ لَهُمْ وَلَوْ
كُنْتَ فَظًّا غَلِيظَ الْقَلْبِ لانْفَضُّوا مِنْ حَوْلِكَ فَاعْفُ عَنْهُمْ وَاسْتَغْفِرْ
لَهُمْ وَشَاوِرْهُمْ فِي الأَمْرِ
Maka
disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu Berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya
kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari
sekelilingmu. karena itu ma'afkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan
bermusyawaratlah dengan mereka dalam urusan itu. (QS. Al
'Imran (3): 159)
6. Kesalahan yang dilakukan orang yang belum tahu,
tentu tidak disikapi sama dengan kesalahan yang dilakukan oleh orang yang tahu.
Sebab
kesalahan orang yang belum tahu (baca: jaahil)
–seperti yang dipertontonkan oleh orang Badui ini- adalah kesalahan yang masih mungkin diberikan
pemakluman, sebagaimana kesalahan yang dilakukan anak-anak, orang gila, lupa,
terpaksa, dan tertidur. Kesalahan ini, bisa karena dia belum mendapatkan
ilmunya, atau mungkin sedikit pendidikan adabnya, apalagi dia orang pedalaman.
Allah
Ta’ala berfirman:
رَبَّنَا لا تُؤَاخِذْنَا إِنْ نَسِينَا
أَوْ أَخْطَأْنَا
"Ya Tuhan Kami, janganlah Engkau hukum Kami
jika Kami lupa atau Kami tersalah .." (QS. Al Baqarah (2): 286)
Dari Ali bin Abi Thalib Radhiallahu ‘Anhu,
bahwa Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
رُفِعَ
الْقَلَمُ عَنْ ثَلَاثَةٍ عَنْ النَّائِمِ حَتَّى يَسْتَيْقِظَ وَعَنْ الصَّبِيِّ
حَتَّى يَحْتَلِمَ وَعَنْ الْمَجْنُونِ حَتَّى يَعْقِلَ
Catatan pena diangkat dari kelompok manusia: 1. Orang
tidur sampai dia bangun, 2. Anak-anak sampai dia mimpi basah (baligh), 3. Orang
gila sampai dia berakal. (HR. Abu Daud No. 4403, Al Baihaqi dalam As
Sunan Al Kubra No. 4868. Imam Al Hakim menshahihkan hadits ini, menurutnya
sesuai syarat Imam Muslim. Lihat Imam Az Zaila’i, Nashbur Rayyah, 2/333)
Apa maksud qalam (pena) dalam hadits ini?
Imam Az Zaila’i Rahimahullah berkata:
قال ابن الجوزي: والجواب: أن المراد قلم الإثم، أو قلم الأداء. انتهى
Berkata Ibnul Jauzi: jawabnya bahwa maksudnya adalah pena catatan dosa, atau catatan
pelaksanaan kewajiban. Selesai. (Nashbur Rayyah, 2/333)
Dalam hadits lain, dari Abu Dzar Al Ghifari Radhiallahu
‘Anhu, bahwa Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
إِنَّ اللَّهَ تَجَاوَزَ عَنْ
أُمَّتِي الْخَطَأَ وَالنِّسْيَانَ وَمَا اسْتُكْرِهُوا عَلَيْهِ
Sesungguhnya Allah membiarkan dari umatku, 1.
Kesalahan (tidak sengaja), 2. Lupa, 3. Kesalahan yang terpaksa. (HR. Ibnu
Majah No. 2043, hadits juga diriwayatkan
banyak imam dari banyak jalur seperti Ibnu Umar, Ibnu Abbas, Al Hasan bin
Ali, Tsauban, ‘Uqbah bin ‘Amir. Imam
Ibnul Mulqin dalam Al Badrul Munir-nya menyebutkan bahwa hadits seperti ini
memiliki delapan jalur. Syaikh Al Albani menshahihkan hadits ini dalam berbagai
kitabnya, seperti Al Irwa, Misykah Al Mashabih, Shahih Ibni Majah, dan
Shahih wa Dhaif Sunan Ibni Majah)
7. Hadits ini juga menunjukkan bahwa hendaknya masjid
itu bersih dari segala macam najis,
kotoran, bau tidak sedap, dan gangguan lainnya.
Dari ‘Amir bin Sa’ad, dari ayahnya bahwa
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
إِذَا تَنَخَّمَ أَحَدُكُمْ فِي الْمَسْجِدِ، فَلْيُغَيِّبْ
نُخَامَتَهُ، أَنْ تُصِيبَ جِلْدَ مُؤْمِنٍ أَوْ ثَوْبَهُ فَتُؤْذِيَهُ
Jika salah seorang kalian mengeluarkan dahak di
masjid, maka pendamlah dahaknya itu, agar tidak menimpa kulit seorang mu’min
atau pakaiannya, lalu dia terganggu karenanya.
(HR. Ahmad No. 1543, Al Bazzar No. 1127, Abu Ya’la No. 808, 824, Ibnu
Khuzaimah no. 1311, Al Baihaqi dalam Syu’abul Iman No. 11179, Ibnu Abi
Syaibah dalam Al Mushannaf, 2/367. Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan:
hasan. Lihat Tahqiq Musnad Ahmad No. 1543. Syaikh Sayyid Sabiq
mengatakan: shahih. Lihat Fiqhus Sunnah, 1/250)
Umar bin Al Khathab Radhiallahu
‘Anhu berkata ketika khutbah Jumat:
يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّكُمْ تَأْكُلُونَ شَجَرَتَيْنِ لَا أُرَاهُمَا
إِلَّا خَبِيثَتَيْنِ هَذَا الثُّومُ وَهَذَا الْبَصَلُ وَلَقَدْ كُنْتُ أَرَى الرَّجُلَ
عَلَى عَهْدِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُوجَدُ رِيحُهُ مِنْهُ
فَيُؤْخَذُ بِيَدِهِ حَتَّى يُخْرَجَ إِلَى الْبَقِيعِ فَمَنْ كَانَ آكِلَهَا لَا بُدَّ
فَلْيُمِتْهَا طَبْخًا
Wahai manusia, kalian memakan dua macam tumbuhan
yang saya tidak melihatnya melainkan hal yang busuk yakni bawang putih dan
bawang merah. Saya telah melihat pada masa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa
Sallam seorang laki-laki yang jika ada aroma itu, maka dia akan diambil
tangannya sampai keluar menuju Baqi’ (untuk bersuci, pen), maka siapa
saja yang memakannya hendaknya dia melenyapkan baunya dengan memasaknya. (HR.
Muslim No. 567, Ibnu Majah No. 1014, Ahmad No. 16247)
Ibnu Umar Radhiallahu ‘Anhuma bercerita
bahwa ketika perang Khaibar Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
مَنْ أَكَلَ مِنْ هَذِهِ
الشَّجَرَة يَعْنِي الثَّوْم فَلَا يَقْرَبَنَّ الْمَسَاجِد
Barangsiapa
yang memakan tumbuhan ini (yakni bawang putih) maka jangan dekati masjid-masjid
kami. (HR. Muslim No. 561)
Berkata Imam An Nawawi Rahimahullah:
هَذَا تَصْرِيح
يَنْهَى مَنْ أَكَلَ الثَّوْم وَنَحْوه عَنْ دُخُول كُلّ مَسْجِد ، وَهَذَا مَذْهَب
الْعُلَمَاء كَافَّة إِلَّا مَا حَكَاهُ الْقَاضِي عِيَاض عَنْ بَعْض الْعُلَمَاء
: أَنَّ النَّهْي خَاصّ فِي مَسْجِد النَّبِيّ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لِقَوْلِهِ
صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي بَعْض رِوَايَات مُسْلِم : ( فَلَا يَقْرَبَنَّ
مَسْجِدنَا(
Ini adalah penjelasan tentang larangan bagi siapa
saja yang makan bawang putih dan semisalnya untuk memasuki setiap masjid,
inilah madzhab semua ulama, kecuali apa yang diceritakan oleh Al Qadhi ‘Iyyadh
dari sebagian ulama: bahwa larangan dikhususkan di masjid Nabi Shallallahu
‘Alaihi wa Sallam saja, karena Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam
menyebutkan dalam sebagian riwayat: “jangan dekati masjid kami.” (Al
Minhaj Syarh Shahih Muslim, 2/324)[1]
Imam As Suyuthi Rahimahullah menjelaskan
tentang kesalahan-kesalahan yang tidak boleh ada di dalam masjid:
ومن ذلك الرقص، والغناء في المساجد، وضرب الدف أو الرباب، أو غير ذلك
من آلات الطرب.
فمن فعل ذلك في المسجد، فهو مبتدع، ضال، مستحق للطرد والضرب؛ لأنه استخف
بما أمر الله بتعظيمه، قال الله تعالى: (في بيوت أذن الله أن ترفع " أي تعظم
" ويذكر فيها اسمه)، أي يتلى فيها كتابه. وبيوت الله هي المساجد؛ وقد أمر الله
بتعظيمها، وصيانتها عن الأقذار، والأوساخ، والصبيان، والمخاط، والثوم، والبصل، وإنشاد
الشعر فيها، والغناء والرقص؛ فمن غنى فيها أو رقص فهو مبتدع، ضال مضل، مستحق للعقوبة.
“Di
antaranya adalah menari, menyanyi di dalam masjid, memukul duf (rebana)
atau rebab (sejenis alat musik), atau selain itu dari jenis alat-alat
musik. Maka, barang siapa yang melakukan
itu di masjid maka dia mubtadi’ (pelaku bid’ah), sesat, patut baginya
diusir dan dipukul, karena dia
meremehkan perintah Allah untuk memuliakan masjid. Allah Ta’ala berfirman: “Bertasbih kepada Allah di masjid-masjid yang telah
diperintahkan untuk dimuliakan dan disebut nama-Nya di dalamnya.” Yaitu
dibacakan kitabNya di dalamnya. Rumah-rumah Allah adalah masjid-masjid, dan
Allah Ta’ala telah memerintahkan untuk memuliakannya, menjaganya dari kotoran,
najis, anak-anak, ingus (ludah), bawang
putih, bawang merah, nasyid-nasyid dan sya’ir di dalamnya, nyanyian dan tarian,
dan barang siapa yang bernyanyi di dalamnya atau menari maka dia adalah pelaku
bid’ah, sesat dan menyesatkan, dan berhak diberikan hukuman.” (Imam
Jalaluddin As Suyuthi, Al Amru bil Ittiba’ wan Nahyu ‘anil Ibtida’, Hal. 30. Mawqi’ Ruh Al Islam)
- Hadits ini juga menunjukkan kenajisan air kencing manusia, dan dalam
kenajisannya tidak ada perselisihan pendapat ulama.
Dari Abu Hurairah Radhiallahu
‘Anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
اتَّقُوا
اللَّاعِنَيْنِ قَالُوا وَمَا اللَّاعِنَانِ يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ الَّذِي
يَتَخَلَّى فِي طَرِيقِ النَّاسِ أَوْ ظِلِّهِمْ
“Takutlah kalian terhadap dua hal yang dilaknat.” Mereka bertanya: “Apakah
dua hal yang dilaknat itu?” Beliau bersabda: “Orang yang buang air di jalan
manusia atau di tempat mereka berteduh.” (HR. Muslim No. 269, Abu Daud No.
25, Abu Ya’la dalam Musnadnya No. 6473, Al Baihaqi dalam As Sunan Ash
Shughra No. 61, As Sunan Al Kubra No. 473)
Ini menunjukkan najisnya kotoran
manusia, ancaman yang ada menunjukkan hal itu. Dalam hadits lain bahkan disebut
sebagai suatu yang busuk.
Dari ‘Aisyah Radhiallahu ‘Anha:
aku mendengar Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
لَا صَلَاةَ بِحَضْرَةِ الطَّعَامِ
وَلَا هُوَ يُدَافِعُهُ الْأَخْبَثَانِ
Janganlah shalat ketika makanan
tersedia dan ketika menahan dua hal yang paling busuk. (HR. Muslim No. 560,
Abu Daud No. 89, Al Baihaqi dalam As Sunan Al Kubra No. 3805, dalam As
Sunan Ash Shughra No. 512, Ibnu Khuzaimah No. 933, Abu ‘Uwanah dalam Musnadnya
No. 744, Abu Ya’la No. 4804)
Dua hal yang paling busuk maksudnya
buang air besar (Al Ghaaith) dan buang air kecil (Al Baul),
sebagaimana disebut dalam Shahih Ibnu Hibban No. 2073. Ini menunjukkan
tinja manusia dan air kencingnya adalah najis.
Ada pun air kencing bayi laki-laki
yang belum makan makanan wajar, masih ASI ekslusif, maka diberikan keringan
bagi air kencingnya itu. Dibersihkannya tidak dengan cara dicuci tetapi
cukup dipercikan, tetapi kencing bayi
perempuan tetap dicuci.
Hal ini berdasarkan dari Ali bin
Thalib Radhiallahu ‘Anhu, katanya:
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ فِي بَوْلِ الْغُلَامِ الرَّضِيعِ يُنْضَحُ
بَوْلُ الْغُلَامِ وَيُغْسَلُ بَوْلُ الْجَارِيَةِ
Bahsanya Rasulullah Shallallahu
‘Alaihi wa Sallam berketa tentang air kencing anak laki-laki yang masih
menyusui: “Air kencing laki-laki dipercikan dan air kencing perempuan dicuci.”
(HR. At Tirmidzi No. 610, katanya: hasan shahih. Al Hafizh Ibnu Hajar
mengatakan: isnadnya shahih. Lihat Fathul Bari, 1/326)
Qatadah berkata:
وَهَذَا مَا لَمْ يَطْعَمَا فَإِذَا
طَعِمَا غُسِلَا جَمِيعًا
Ini untuk bayi yang belum makan makanan yang
wajar, apabila bayi tersebut sudah makan maka dicuci semuanya. (Ibid)
9. Terakhir,
hadits ini juga mengajarkan tata cara
membersihkan najis kencing manusia yaitu menyiramkannya dengan air yang mampu
mengalahkan keberadaan zat dan baunya. Bisa juga didiamkan dalam waktu tertentu
hingga hilang zat dan baunya karena angin yang terus menerus menghembusnya.
Sekian. Wallahu A’lam
ثُمَّ إِنَّ هَذَا
النَّهْي إِنَّمَا هُوَ عَنْ حُضُور الْمَسْجِد ، لَا عَنْ أَكْل الثَّوْم
وَالْبَصَل وَنَحْوهمَا ، فَهَذِهِ الْبُقُول حَلَال بِإِجْمَاعِ مَنْ يُعْتَدُّ
بِهِ ، وَحَكَى الْقَاضِي عِيَاض عَنْ أَهْل الظَّاهِر تَحْرِيمهَا ؛ لِأَنَّهَا
تَمْنَع عَنْ حُضُور الْجَمَاعَة وَهِيَ عِنْدهمْ فَرْض عَيْن
Lalu sesungguhnya larangan ini adalah untuk masuk
ke masjid, bukan larangan makan bawang merah, bawang putih, dan semisalnya.
Demikian yang dikatakan jumhur, sebab semua sayuran ini halal menurut ijma’.
Al Qadhi ‘Iyyadh menceritakan bahwa kalangan zhahiri mengharamkannya,
karena sayuran tersebut menghalangi shalat berjamaah, sedangkan shalat
berjamaah adalah fardhu ‘ain menurut mereka. (Ibid)
No comments:
Post a Comment