Mukadimah
Inilah salah salah
satu permainan terkenal sejagat, yang kebaradaannya sudah ada sejak belasan
abad silam. Ada yang sekedar mengisi waktu luang, ada yang sudah menjadi hobi,
ada pula diperlombakan dalam kompetisi baik sekala kecil hingga dunia, dan ada
juga yang dicampur dengan judi. Yang jelas, permainan ini dengan segala macam
jenis dan motivasinya adalah sama saja, yakni sama-sama lahwun wa la’ibun
(sesuatu yang melalaikan dan permainan), dan Allah Ta’ala menyebut segala
kesenangan dunia dengan sebutan mata’ul ghurur (kesenangan yang
menipu).
Ada pun Dinul Islam adalah agama yang mengecam segala bentuk
perbuatan yang melalaikan dan melupakan hal-hal yang lebih produktif bagi agama
dan kemakmuran dunia.
“Hai orang-orang beriman, janganlah hartamu dan anak-anakmu melalaikan kamu
dari mengingat Allah. Barangsiapa yang berbuat demikian Maka mereka Itulah
orang-orang yang merugi.” (QS. Al Munafiqun (63): 9)
“Ketahuilah, bahwa Sesungguhnya kehidupan dunia ini hanyalah permainan dan
suatu yang melalaikan, perhiasan dan bermegah- megah antara kamu serta
berbangga-banggaan tentang banyaknya harta dan anak, seperti hujan yang
tanam-tanamannya mengagumkan Para petani; kemudian tanaman itu menjadi kering
dan kamu Lihat warnanya kuning kemudian menjadi hancur. dan di akhirat (nanti)
ada azab yang keras dan ampunan dari Allah serta keridhaan-Nya. dan kehidupan
dunia ini tidak lain hanyalah kesenangan yang menipu.” (QS. Al Hadid (57):
20)
Lalu, apakah dengan demikian Islam mengharamkan segala bentuk permainan yang
diciptakan manusia untuk mereka atau untuk anak-anak mereka, walau dilakukan
hanya sesekali saja? Apakah ini hanyalah sesuatu yang baik jika isinya baik,
dan buruk jika isinya buruk?
Kaidah
Penting
Catur –bahasa Arabnya
Asy Syithranju- sebagaimana permainan lainnya adalah urusan
dunia. Perkara keduniaan pada dasarnya adalah halal kecuali ada
dalil yang jelas dan pasti tentang haramnya. Kerangka berpikir ini berasal dari
penggalian para ulama terhadap nash-nash syariat sebagai berikut:
“Dia-lah Allah, yang menjadikan segala yang ada di bumi untuk kamu
dan Dia berkehendak (menciptakan) langit, lalu dijadikan-Nya tujuh langit. dan
Dia Maha mengetahui segala sesuatu.” (QS. Al Baqarah (2): 29)
Berkata Imam Asy Syaukani Rahimahullah
dalam Fathul Qadir-nya tentang surat Al Baqarah ayat 29 ini:
قال ابن كيسان: "خلق
لكم" أي من أجلكم، وفيه دليل على أن الأصل في الأشياء المخلوقة الإباحة حتى
يقوم دليل يدل على النقل عن هذا الأصل، ولا فرق بين الحيوانات وغيرها مما ينتفع به
من غير ضرر، وفي التأكيد بقوله: "جميعاً" أقوى دلالة على هذا
Berkata Ibnu Kaisan (yakni Thawus, pen):
(Menjadikan untuk kalian) yaitu karena kalian. Di dalamnya ada dalil bahwa
hukum asal dari segala sesuatu ciptaan adalah mubah (boleh) sampai tegaknya
dalil yang menunjukkan perubahan hukum asal ini. Tidak ada perbedaan antara
hewan-hewan atau selainnya, dari apa-apa yang dengannya membawa manfaat, bukan
kerusakan. Hal ini dikuatkan lagi dengan firmanNya: (jami’an) “Semua”, yang
memberikan korelasi yang lebih kuat lagi dalam hal ini. “ (Imam Asy
Syaukani, Fathul Qadir, 1/ 64. Mauqi’ Ruh Al Islam)
Selain ayat di atas, kaidah ini juga dikuatkan
oleh hadits berikut:
الحلال ما احل الله في كتابه والحرام ما حرم الله في
كتابه وما سكت عنه وهو مما عفا عنه (رواه الترمذى)
“Yang halal adalah apa yang Allah halalkan
dalam kitabNya, yang haram adalah yang Allah haramkan dalam kitabNya, dan apa
saja yang di diamkanNya, maka itu termasuk yang dimaafkan.” (HR. At Tirmidzi
No. 1726, katanya: hadits ini gharib.
Syaikh Al Albani menghasankan dalam berbagai kitabnya. Shahihul Jami’ No.
3195, Shahih wa Dhaif Sunan At Tirmidzi No. 1726)
Dari sinilah, berkata Imam Muhammad bin Abdul Wahhab Rahimahullah:
أن كل شيء سكت عنه الشارع فهو عفو لا
يحل لأحد أن يحرمه أو يوجبه أو يستحبه أو يكره
“Bahwa segala sesuatu yang didiamkan oleh syari’
(pembuat syariat), maka hal itu dimaafkan (mubah), tidak boleh bagi seorang pun
untuk mengharamkan, atau mewajibkan, atau menyunnahkan, atau memakruhkan.” (Imam Muhammad bin Abdul Wahhab, Arba’u
Qawaid Taduru Al Ahkam ‘Alaiha, Hal. 3)
Maka dari itu, untuk menentukan haramnya
permainan catur ini, harus ada dalil syara’ yang tegak dalam
keharamannya.
Adakah
Dalil-Dalil Pengharaman Catur Secara Khusus?
Untuk lebih jelas akan kami paparkan beberapa
hadits tentang catur, seperti yang dipaparkan oleh Imam Asy Syaukani, sebagai
berikut:
1. Dari
Watsilah bin Al Asqa’ secara marfu’:
إن لله عز وجل فى كل يوم ثلاث مائة و ستين نظرة, ليس لصاحب الشاه منها نصيب
“Sesungguhnya Allah ‘Azza
wa Jalla setiap hari memberikan perhatian sebanyak 360 kali, namun tidak bagi para pemain catur.”
Syaikh Al Albani mengatakan maudhu’ (palsu). (Lihat
Irwa’ Al Ghalil, 8/428. No. 2671. Al Maktab Al Islami)
2. Dari Ibnu Abbas
secara marfu’:
ألا إن أصحاب الشاه في النار الذين
يقولون قتلت واللّه شاهك
“Ketahuilah sesungguhnya para pemain syah
(raja/catur) di dalam neraka, yakni orang-orang yang berkata: Demi Allah aku
telah bunuh rajamu.” (Riwayat Ad Dailami)
3. Dari Anas secara
marfu’:
ملعون من لعب بالشطرنج
“Terlaknat bagi orang yang main catur.” (Riwayat Ad
Dailami)
Syaikh Al Albani mengatakan maudhu’ (palsu). (As
SIlsilah Adh Dhaifah, 3/283, No. 1145) sementara Imam An Nawawi
mengatakan: tidak shahih. (Al Maqashid Al Hasanah, Hal. 223)
4. Dikeluarkan
oleh Ibnu Hazm dan ‘Abdan:
ملعون من لعب الشطرنج والناظر إليهم
كالآكل لحم الخنزير
“Terlaknat bagi orang yang main catur, dan memandang
catur sama dengan makan daging babi.”
Dalam sanadnya terdapat Hubbah bin Muslim, Ibnu Hazm
mengatakan: Hubbah adalah majhul (tidak dikenal identitasnya), dan
sanadnya munqathi’ (terputus). Ibnu Al Qaththan juga mengatakan: Hubbah
adalah majhul. Seandainya, dia adalah Hubbah bin Salamah saudara
dari Syaqiq bin Salamah, dia juga tidak dikenal. (Raudhatul Muhadditsin,
8/454, No. 3804) Syaikh Al Albani mengatakan sanadnya mursal dan munqathi’
(As Silsilah Adh Dhaifah, Ibid) maka hadits ini dhaif.
5. Dari Ali secara
marfu’:
يأتي على الناس زمان يلعبون بها ولا
يلعب بها إلا كل جبار والجبار في النار
“Akan datang kepada manusia zaman di mana manusia suka main catur, dan tidak
ada yang memainkannya melainkan orang yang berbuat sewenang-wenang
(diktator), dan para diktator berada di neraka.” (Riwayat Ad Dailami)
6. Dari Ali dia
berkata:
النرد والشطرنج من الميسر
“Dadu dan catur adalah termasuk judi.” (Riwayat Ibnu Abi Syaibah, 6/191, No.
10)
Dalam sanadnya terdapat Hatim bin Ismail, dia
diperbincangkan para ulama. Imam Adz Dzahabi mengatakan bahwa dia tsiqah
(terpercaya) dan shaduq (jujur). Segolongan ulama juga mentsiqah-kannya.
Sementara, Imam An Nasa’I mengatakan: laisa bil qawwi (tidak kuat). Imam
Ahmad mengatakan bahwa para ulama menilainya sebagai orang yang ghaflah
(lalai). (Mizanul I’tidal, 1/428). Seandai pun shahih, ini
hanyalah ucapan Ali Radhiallahu ‘Anhu, bukan Rasulullah Shallallahu
‘Alaihi wa Sallam.
7. Dari Ali dia berkata:
الشطرنج
هو ميسر الأعاجم
“Catur adalah judinya orang-orang non Arab.” Hadits ini mursal,
tetapi memiliki penguat. (Al Baihaqi, No. 20717)
Hadits mursal adalah salah satu
jenis dari hadits dhaif, sebagaimana menurut Imam Asy Syafi’I dan
lainnya. Sementara Imam Ibnu Katsir mengatakan bahwa hadits ini munqathi’
jayyid (terputus sanadnya namun bagus). (Nailul
Authar, 8/95). Hadits munqathi’ tidak bisa dijadikan hujjah.
8. Dari Ali
juga, ketika beliau melewati sekelompok kaum yang sedang bermain catur, maka
Ali menghardik mereka dan mengutip ayat:
مَا هَذِهِ التَّمَاثِيل الَّتِي
أَنْتُمْ لَهَا عَاكِفُونَ ؟
“Patung-patung apa ini yang membuat kalian I’tikaf untuknya?” (Al Baihaqi,
No. 20718. Lihat juga At Talkhish Al Habir, 4/493. Darul Kutub Al
‘Ilmiyah)
Syaikh Al Albani mengatakan bahwa sanad riwayat ini terputus (munqathi’).
Bahkan dia mengatakan:
و قد عجبت ممن صحح إسناده
“Aku
benar-benar heran terhadap orang yang menshahihkan sanad hadits ini.” (Irwa’
Al Ghalil, 8/430)
9. Dari Ali
juga, mirip dengan kisah hadits sebelumnya, bahwa beliau berkata kepada orang
yang sedang main catur:
فقال ما هذه التماثيل التي أنتم
لها عاكفون لأن يمس جمرا حتى يطفأ خير له من أن يمسها
“Patung-patung apa ini yang membuat kalian I’tikaf untuknya?,
sungguh menyentuh bara api hingga bara itu padam adalah lebih baik baginya
daripada menyentuh catur.” (Al Baihaqi, No. 20719)
Syaikh Al Albani mengatakan bahwa riwayat ini dhaif
jiddan (sangat lemah). (Irwa’ Al Ghalil, 8/430).
Dua riwayat dari Ali inilah (yakni No. 20718 dan 20719) yang oleh Imam Al Baihaqi sebagai sebagai
penguat (syawahid) hadits no. 20717, namun keduanya pun dhaif.
10. Dari Ibnu Umar, dia berkata:
جاء اعرابي إلى
النبي صلى الله عليه وسلم فقال يا نبي الله إني رأيت البارحة في المنام أنه ليس من
عبد يشهد أن لاإله إلا الله ويشهد أنك رسول الله إلا رفعه الله درجة في الجنة إلا
أصحاب الشاه وهي الشطرنج.
“Datang seorang A’rabi (Badui) kepada Nabi Shallallahu ‘Alaihi
wa Sallam, dan berkata: “Aku semalam melihat dalam mimpi, bahwa tidaklah
orang yang bersaksi bahwa Tiada Ilah selain Allah dan Sesungguhnya engkau
adalah Rasulullah, melainkan Allah akan angkat derajatnya di surga, kecuali
bagi pemain syah (raja) yaitu catur.” (HR. Ath Thabarani dalam Al
Awsath)
Imam Nuruddin Al Haitsami mengatakan, dalam sanadnya
terdapat Tsabit bin Zuhair, seorang yang dhaif. (Lihat Majma’ Az
Zawaid, 8/113)
Nah,
setelah menyebut riwayat-riwayat ini, Imam Asy Syaukani mengutip dari
Imam Ibnu Katsir sebagai berikut:
قال ابن كثير : والأحاديث المروية فيه
لا يصح منها شيء ويؤيد هذا ما تقدم من أن ظهوره كان في أيام الصحابة
“Berkata
Ibnu Katsir: hadits-hadits yang meriwayatkan tentang catur tak ada yang shahih
sama sekali. Hal ini didukung oleh fakta masa lalu bahwa catur baru ada pada
zaman sahabat (zaman nabi belum ada, pen).” (Imam Asy Syaukani, Nailul
Authar, 8/96. Darul Kutub Al ‘Ilmiyah)
Berkata Syaikh Sayyid Sabiq Rahimahullah
sebagai berikut:
ورد في الاحاديث تحريم لعب الشطرنج.
ولكن هذه الاحاديث لم يثبت منها شئ. قال الحافظ بن حجر العسقلاني: " لم يثبت
في تحريمه حديث صحيح ولا حسن ".
“Telah datang hadits-hadits tentang pengharaman bermain catur, tetapi
hadits-hadits tersebut tidak satu pun yang tsabit (kuat). Berkata Al
Hafizh Ibnu Hajar Al Asqalani: “Tidak ada yang tsabit tentang
pengharamannya, tidak dalam hadits shahih dan tidak pula hasan.” (Syaikh
Sayyid Sabiq, Fiqhus Sunnah, 3/513. Dar Al Kitab Al ‘Arabi)
Imam Ibnu Hajar Al Haitami dalam kitab Tuhfatul Muhtaj
mengatakan:
قَالَ الْحُفَّاظُ : لَمْ يَثْبُتْ
مِنْهَا حَدِيثٌ مِنْ طَرِيقٍ صَحِيحٍ وَلَا حَسَنٍ وَقَدْ لَعِبَهُ جَمَاعَةٌ
مِنْ أَكَابِرِ الصَّحَابَةِ وَمَنْ لَا يُحْصَى مِنْ التَّابِعِينَ وَمَنْ
بَعْدَهُمْ وَمِمَّنْ كَانَ يَلْعَبُهُ غِبًّا سَعِيدُ بْنُ جُبَيْرٍ رَضِيَ
اللَّهُ عَنْهُ
“Para hafizh berkata: Tidak ada satu pun hadits yang pasti, baik dengan jalan
yang shahih dan hasan, bahkan sekumpulan para sahabat senior ada yang
memainkannya, dan tidak terhitung dari kalangan tabi’in, dan manusia setelah
mereka. Dan di antara mereka yang kadang-kadang main catur adalah Said bin
Jubeir Radhiallahu ‘Anhu. (Imam Ibnu Hajar Al Haitami, Tuhfatul
Muhtaj fi Syarhil Minhaj, 43/474. Mawqi’ Al Islam)
Imam An
Nawawi berkata, ketika mengomentari hadits: Man la’iba bisy syithranj fahuwa
mal’uun (Barangsiapa yang bermain catur maka dia terlaknat):
لا يصح،
وهو كذلك بل لم يثبت من
المرفوع في هذا الباب شيء كما بينته في عمدة المحتج.
“Tidak shahih,
dan demiakian juga ini, bahkan sama
sekali tidak ada yang pasti baik riwayat marfu’ (sampai kepada
Rasulullah) tentang tema ini (catur), sebagaimana saya jelaskan dalam ‘Umdatul
Muhtaj. (Imam As Sakhawi, Al Maqashid Al Hasanah, Hal. 223)
Perlu
diketahui, di antara riwayat-riwayat tentang catur, perkataan Ali
bin Abi Thalib adalah yang paling baik sanadnya di antara yang lainnya.
Hal ini dikatakan oleh Imam ibnu Katsir berikut:
وأحسن ما روي فيه ما تقدم عن علي كرم
اللّه وجهه
“Dan yang paling bagus tentang riwayat catur adalah riwayat dari Ali Karramallahu
wajhah. (Nailul Authar, 8/96)
Imam Ibnu Qudamah mengutip dari Imam Ahmad sebagai berikut:
قَالَ أَحْمَدُ :
أَصَحُّ مَا فِي الشِّطْرَنْجِ ، قَوْلُ عَلِيٍّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ .
“Berkata Ahmad: riwayat paling shahih tentang catur adalah ucapan Ali Radhiallahu
‘Anhu.” (Al Mughni, 23/178)
Maksudnya bukan berarti ucapan Ali merupakan riwayat shahih tetapi
merupakan ucapan paling baik kualitas riwayatnya di antara yang
buruk. Dengan kata lain, riwayat Ali adalah yang paling sedikit kelemahannya di
antara yang lain. Sebab, riwayat Ali tentang catur termasuk yang
dimaksud oleh Imam Ibnu Katsir, Imam Ibnu Hajar, Imam As Sakhawi dan lainnya, “Tidak
ada sama sekali yang shahih atau hasan tentang pengharaman catur.” Dan,
memang terbukti bahwa riwayat-riwayat Ali tentang catur pun semuanya dhaif
(lemah), sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya.
Demikian. Jadi, tidak ditemukan nash tentang
pengharaman catur yang berasal dari Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam.
Maka, pihak yang mengharamkan pun tidak berdalil dengan riwayat-riwayat ini.
Mereka mengharamkan karena catur bisa melalaikan manusia dari mengingat Allah
dan shalat. Jika telah diketahui tidak ada dalil yang bisa
dipertanggungjawabkan –menurut golongan yang membolehkan-
maka tidak ada alasan untuk mengharamkannya.
Pendapat Para Ulama Madzhab dan Alasan Masing-Masing Golongan
Tertulis dalam Al Mausu’ah Al Fiqhiyah Al Kuwaitiyah – sebuah
kitab Ensiklopedi Fiqih setebal 45 Juz yang diterbitkan oleh Kementerian
Waqaf dan urusan Keislaman di Kuwait- sebagai berikut:
أَجْمَعَ الْمُسْلِمُونَ
عَلَى أَنَّ اللَّعِبَ بِالشِّطْرَنْجِ حَرَامٌ إِذَا كَانَ عَلَى عِوَضٍ أَوْ
تَضَمَّنَ تَرْكَ وَاجِبٍ مِثْل تَأْخِيرِ الصَّلاَةِ عَنْ وَقْتِهَا ، وَكَذَلِكَ
إِذَا تَضَمَّنَ كَذِبًا أَوْ ضَرَرًا أَوْ غَيْرَ ذَلِكَ مِنَ الْمُحَرَّمَاتِ .
“Kaum muslimin telah ijma’ (aklamasi/sepakat) bahwa bermain catur adalah
HARAM jika terdapat bayaran, atau sampai meninggalkan kewajiban semisal
mengakhirkan shalat dari waktunya, demikian juga jika mengandung kebohongan,
atau kerusakan, atau hal-hal haram lainnya.” (Al Mausu’ah Al Fiqhiyah Al
Kuwaitiyah, 35/269. Wizarah Al Awqaf wasy Syu’un Al Islamiyah – Kuwait)
Hanya
saja mereka berselisih pendapat, jika permainan catur tidaklah dibarengi dengan
judi, tidak melalaikan, dan hal-hal haram lainnya. Mereka terbagi atas tiga
kelompok.
Pertama. Golongan Yang Mengharamkan
Inilah golongan mayoritas di antara para imam kaum muslimin, sebagaimana
yang dikatakan oleh Imam Adz Dzahabi berikut:
وأما الشطرنج فأكثر العلماء على تحريم
اللعب بها سواء كان برهن أو بغيره
“Ada pun catur, maka kebanyakan ulama mengharamkan memainkannya, sama saja baik
itu dengan taruhan atau tidak.” (Imam Adz Dzahabi, Al Kabair, Hal.
31. Mawqi’ Ruh Al Islam)
Juga diisyaratkan oleh Syaikh Sayyid Sabiq
Rahimahullah berikut ini:
فمن حرمه: أبو حنيفة ومالك وأحمد.
“Di
antara yang mengharamkannya adalah Abu Hanifah, Malik, dan Ahmad (bin Hambal).”
(Fiqhus Sunnah, 3/513)
Namun,
kami menemukan dalam kitab Al Muwaththa’-nya Imam Malik, bahwa
Imam Malik ‘cuma’ memakruhkan. Berikut teksnya:
قال يحيى وسمعت مالكا يقول لا خير في الشطرنج
وكرهها وسمعته يكره اللعب بها وبغيرها من الباطل ويتلو هذه الآية { فماذا بعد الحق
إلا الضلال }
“Berkata Yahya, aku mendengar Malik berkata: “Tidak ada kebaikan dalam catur.”
Dia memakruhkannya. Aku mendengarnya memakruhkan bermain dengannya dan
selainnya, dan itu termasuk perbuatan batil (sia-sia), dia membaca ayat:
“Maka tidak ada sesudah kebenaran itu, melainkan kesesatan.” (Imam
Malik, Al Muwaththa’, No. 1720) Inilah yang bisa lebih dipercaya
dari Imam Malik, sebab bersumber dari kitabnya sendiri.
Tetapi
beda Imam Malik, beda pula dengan pengikutnya yakni Malikiyah (pengikut
Malik). Mereka memang mengharamkan catur sebagaimana yang dikatakan dalam Al
Mausu’ah Al Fiqhiyah Al Kuwaitiyah, sebagai berikut:
الْمَذْهَبُ عِنْدَ
الْمَالِكِيَّةِ وَالْحَنَابِلَةِ وَهُوَ اخْتِيَارُ الْحَلِيمِيِّ
وَالرُّويَانِيِّ مِنَ الشَّافِعِيَّةِ حُرْمَةُ اللَّعِبِ بِالشِّطْرَنْجِ
مُطْلَقًا .
“Menurut pengikut madzhab Maliki dan Hambali – dan ini juga dipilih oleh Al
Hulaimi dan Ar Ruyani dari pengikut Syafi’i- bahwa bermain catur adalah haram
secara mutlak.” (Al Mausu’ah Al Fiqhiyah Al Kuwaitiyah, 35/269)
Selain mereka, pihak yang mengharamkan catur diantaranya adalah Ali bin Abi
Thalib, Ibnu Umar, Ibnu Abbas, Said bin Al Musayyib, Al Qasim, Salim, ‘Urwah,
Muhammad bin Sirin, dan Mathar Al Warraq.” (Ibid)
Dari
nama-nama ini, ada beberapa nama yang simpang siur, seperti Ibnu Abbas
dan Ibnu Umar. Kami temukan dalam
Nailul Authar bahwa mereka berdua –juga beberapa sahabat lainnya-
cuma memakruhkan saja. Bahkan dalam Dhau’u An Nahar disebutkan
bahwa Ibnu Abbas membolehkannya. (Nailul Authar, 8/ 95). Juga Said
bin Al Musayyib dan Muhammad bin Sirin. Saya temukan dalam kitab
lainnya bahwa Said bin Al Musayyib justru membolehkan catur. (Fiqhus
Sunnah, 3/514. Nailul Authar, Ibid) dan dalam As
Sunan Al Kubra-nya Imam Al Baihaqi disebutkan bahwa Said bin Al Musayyib
mengatakan main catur adalah perbuatan batil (sia-sia/tidak bermanfaat) (Al
Baihaqi, No. 20726). Juga Muhammad bin Sirin yang justru pernah bermain
catur sebagaimana diceritakan oleh Imam Asy Syafi’i. (Al Baihaqi, No.
20712), tetapi Al Baihaqi sendiri mengelompokkan Muhammad bin Sirin dalam
golongan yang memakruhkan. (Lihat Al Baihaqi, 20729)
Selanjutnya,
dalil golongan ini adalah beberapa atsar yang diriwayatkan dari Ali bin Abi
Thalib Radhiallahu ‘Anhu bahwa beliau berkata;
الشطرنج هو ميسر الأعاجم
“Catur adalah judinya orang-orang non Arab.” Hadits ini mursal,
tetapi memiliki penguat. (Al Baihaqi, No. 20717)
Hadits mursal adalah salah satu
jenis dari hadits dhaif, sebagaimana menurut Imam Asy Syafi’I dan
lainnya. Sementara Imam Ibnu Katsir mengatakan bahwa hadits ini munqathi’
jayyid (terputus sanadnya lagi bagus). (Nailul
Authar, 8/95). Hadits munqathi’ tidak bisa dijadikan hujjah.
Dari Ali juga, ketika beliau melewati sekelompok
kaum yang sedang bermain catur, maka Ali menghardik mereka dan mengutip ayat:
مَا هَذِهِ التَّمَاثِيل الَّتِي
أَنْتُمْ لَهَا عَاكِفُونَ ؟
“Patung-patung apa ini yang membuat kalian I’tikaf untuknya?” (Al Baihaqi,
No. 20718. Lihat juga At Talkhish Al Habir, 4/493. Darul Kutub Al
‘Ilmiyah) hadits ini telah didhaifkan oleh Syaikh Al Albani
sebagaimana yang kami paparkan sebelumnya. Padahal riwayat-riwayat dari
Ali ini disebut yang terbaik (paling baik di antara yang lemah) dibanding
ucapan sahabat nabi lainnya! Lalu bagaimana riwayat selain dari Ali?
Selain dari Ali, ada beberapa sahabat nabi lainnya yang mencela catur. Seperti
Ibnu Umar Radhiallahu ‘Anhuma:
أنه سئل عن الشطرنج فقال هو شر من النرد
“Bahwa dia ditanya
tentang catur, beliau menjawab: “Itu lebih buruk dari dadu.” (Al Baihaqi,
No. 20723)
Abu Musa Al Asy’ari
Radhiallahu ‘Anhu mengatakan:
لا
يعلب الشطرنج إلا خاطئ
“Tidaklah memainkan catur melainkan orang yang salah.” (Al Baihaqi No.
20724)
Demikianlah
dalil-dalil pihak yang mengharamkan catur. Dalil-dalil golongan ini perlu
ditinjau lagi. Ada beberapa catatan.
Pertama, Dalil-dalil ini – seandainya shahih-
adalah bukan ucapan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam,
Ucapan bernadakan larangan yang berasal dari Rasulullah Shallallahu
‘Alaih wa Sallam saja belum tentu bermakna haram, bisa jadi
makruh atau memang sebagai manusia biasa beliau membencinya, maka
apalagi ucapan yang berasal dari selain Rasulullah Shallallahu
‘Alaihi wa Sallam. Tentu lebih tidak bisa lagi langsung dihukumi haram.
Ditambah lagi, ternyata hadits riwayat Ali tersebut munqathi’ (terputus
sanadnya), sehingga lebih tidak bisa lagi dijadikan hujjah. Dan riwayat sahabat
lainnya lebih buruk dari ini keadaannya.
Kedua, Dalil-dalil ini –seandainya shahih- lebih
tepat disebut sebagai pendapat sahabat yakni pendapat Ali bin Abi Thalib Radhiallahu
‘Anhu dan lainnya. Maka, pendapat sahabat nabi tidaklah lebih utama
dibanding sahabat nabi lainnya, kecuali mana yang lebih diunggulkan oleh dalil.
Lagi, pula yang diingkari oleh Ali adalah sikap menyibukkan diri dengan
permainan catur. Sebab jika catur haram, pastilah Ali tidak hanya mengingkari,
tetapi juga akan merubah dengan tangannya karena dia seorang pemimpin yang
memiliki tanggung jawab saat itu. Ini pun jika riwayat Ali adalah shahih,
ternyata dhaif sebagaimana penelitian Syaikh Al Albani.
Dalam hal ini justru ada sahabat nabi lainnya yang tidak
mengharamkan permainan catur seperti Abu Hurairah, bahkan beliau
pernah main catur . (Al Hafizh Ibnu Hajar, At Talkhish, 4/493)
Abu Said Al Khudri juga ‘cuma’ memakruhkannya. (Al
Baihaqi No. 20725).
Dalam
Al Fiqhul Islami wa Adillatuhu juga disebutkan bahwa diriwayatkan
dari Ibnu Abbas, Ibnu Zubeir, dan Abu Hurairah, mereka tidak
mengharamkan catur. (Syaikh Wahbah Az Zuhaili, Al Fiqhul Islami wa
Adillatuhu, 4/211. Maktabah Misykah)
Begitu pula dalam Nailul Authar, diriwayatkan
bahwa Ibnu Abbas, Ibnu Umar, Abu Musa, Abu Said, dan ‘Aisyah
mereka memakruhkan, tidak mengharamkan. (Imam Asy Syaukani, Nailul
Authar, 8/95. Maktabah Ad Da’wah Al Islamiyah)
Bahkan jika ditanya adakah keberadaan dalil
pengharamannya dari Rasulullah? maka pada pembahasan sebelumnya sudah
saya sebutkan perkataan Imam An Nawawi, Syaikh
Sayyid Sabiq, Al Hafizh Ibnu Hajar, Al Hafizh Ibnu Katsir, dan Imam Ibnu Hajar
Al Haitami, yang menyatakan tak ada satu
pun hadits, baik shahih atau hasan yang mengharamkan catur.
Maka, jelaslah bahwa tidak ada nash dalam Al Quran, As
Sunnah Ash Shahihah, dan tidak pula ijma’ (kesepakatan) sahabat nabi
tentang pengharaman catur. Tinggal-lah satu lagi dalil golongan ini yakni qiyas.
Mereka mengqiyaskan permainan catur dengan dadu (nardasyir). Hal ini
disebutkan oleh Imam Ibnu Qudamah Rahimahullah sebagai berikut:
"
فأما الشطرنج فهو كالنرد في التحريم.
إلا أن النرد آكد
منه في التحريم لورود النص في تحريمه لكن هذا في معناه فيثبت فيه حكمه قياسا عليه
".
“Adapun catur, maka dia sama dengan dadu dalam keharamannya.
Bedanya, bahwa dadu keharamannya ditegaskan dalam nash-nash tentang haramnya,
tetapi catur secara makna sama dengan dadu, maka penegasan hukum catur adalah
diqiyaskan dengan dadu.” (Imam Ibnu Qudamah, Al Mughni, 23/177.
Mawqi’ Al Islam. Syaikh Sayyid Sabiq, Fiqhus Sunnah, 3/514. Dar Al
Kitab Al ‘Arabi)
Qiyas ini pun tidak bisa diterima, sebab ada beberapa
perbedaan antara dadu dengan catur (istilahnya qiyas ma’al fariq).
Perbedaan ini pun telah ditegaskan para ulama, seperti Imam Ibnu Qudamah
sendiri dan lainnya. (Tetapi lucunya, Imam Ibnu Qudamah tetap mengikuti
pendapat madzhabnya yakni Hambali, bahwa catur adalah haram, walau dia sendiri
telah menyebutkan perbedaan prinsip antara catur dan dadu)
Perbedaannya adalah permainan catur merupakan
permainan otak. Syaikh Wahbah Az Zuhaili mengatakan:
وقيل: فيه تشحيذ الخواطر، وتذكية
الأفهام.
“Dikatakan: pada permainan catur terdapat upaya penajaman
pikiran dan mencerdaskan pemahaman.” (Syaikh Wahbah Az Zuhaili, Al Fiqhul
Islami wa Adillatuhu, 4/211. Maktabah Misykah)
Selain itu, ia juga permainan untuk melatih strategi
peperangan. Berkata Imam Ibnu Qudamah:
وَيُفَارِقُ الشِّطْرَنْجُ النَّرْدَ
مِنْ وَجْهَيْنِ ؛ أَحَدُهُمَا ، أَنَّ فِي الشِّطْرَنْجِ تَدْبِيرَ الْحَرْبِ ،
فَأَشْبَهَ اللَّعِبَ بِالْحِرَابِ ، وَالرَّمْيَ بِالنُّشَّابِ ،
وَالْمُسَابَقَةَ بِالْخَيْلِ .
وَالثَّانِي ،
أَنَّ الْمُعَوَّلَ فِي النَّرْدِ مَا يُخْرِجُهُ الْكَعْبَتَانِ ، فَأَشْبَهَ
الْأَزْلَامَ ، وَالْمُعَوَّلَ فِي الشِّطْرَنْجِ عَلَى حِذْقِهِ وَتَدْبِيرِهِ ،
فَأَشْبَهَ الْمُسَابَقَةَ بِالسِّهَامِ .
“Perbedaan catur dan dadu ada dua sisi: Pertama, catur
adalah pengaturan strategi perang, maka dia menyerupai permainan
perang-perangan, melempar anak panah, dan perlombaan kuda. Kedua, dalam
permainan dadu yang menjadi keyakinan adalah apa-apa yang keluar menurut dua
kubus, maka itu menyerupai mengundi nasib dengan panah, sedangkan catur adalah
mengandalkan kepintaran dan pengaturannya, maka ini menyerupai perlombaan
memanah.” (Al Mughni, 23/178. Lihat juga Al Mausu’ah Al Fiqhiyah
Al Kuwaitiyah, 35/270-271)
Jadi, tidak cukup alasan mengharamkan catur dengan
mengqiyaskannya dengan dadu. Sebab, catur merupakan permainan yang
membutuhkan ketajaman analisa, selain sebagai sarana berlatih mengatur perang,
dan membutuhkan waktu untuk memainkannya. Menang atau kalah sangat ditentukan
oleh hal-hal ini, bukan karena untung-untungan atau spekulasi. Sedangkan dadu,
tidak menggunakan analisa, cukup mengkocok dan melempar dadu, lalu menunggu
‘nasib’ dan apa yang terjadi, tanpa menunggu waktu lama. Jelaslah perbedaan
keduanya, maka qiyas ini pun juga batal. Wallahu A’lam
Demikian pandangan pihak yang mengharamkan dan komentar kami
atasnya.
Kedua,
Golongan Yang Memakruhkan
Diriwayatkan dari para sahabat, tabi’in, Imam Malik, dan Imam Asy Syafi’i bahwa
mereka memakruhkan catur. Disebutkan dalam Fiqhus Sunnah sebagai
berikut:
وقال الشافعي وبعض
التابعين بكره ولا يحرم: فقد لعبه جماعة من الصحابة ومن لا يحصى من التابعين.
“Berkata Asy Syafi’i dan sebagian tabi’in bahwa catur adalah makruh dan tidak
haram: sekelompok sahabat nabi pernah main catur, dan tidak terhitung dari
kalangan tabi’in yang memainkannya.” (Syaikh Sayyid Sabiq, Fiqhus Sunnah,
3/513. Dar Al Kitab Al ‘Arabi)
Dalam kitab Al Muwaththa’-nya Imam
Malik, bahwa Imam Malik memakruhkan. Berikut teksnya:
قال
يحيى وسمعت مالكا يقول لا خير في الشطرنج وكرهها وسمعته يكره اللعب بها وبغيرها من
الباطل ويتلو هذه الآية { فماذا بعد الحق إلا الضلال }
“Berkata Yahya, aku mendengar Malik berkata: “Tidak ada kebaikan dalam catur.”
Dia memakruhkannya. Aku mendengarnya memakruhkan bermain dengannya dan selainnya,
dan itu termasuk perbuatan batil (sia-sia), dia membaca ayat: “Maka
tidak ada sesudah kebenaran itu, melainkan kesesatan.” (Imam Malik, Al
Muwaththa’, No. 1720)
Makna
batil tidaklah menunjukkan haram, tetapi sia-sia dan tidak bermanfaat, tentu
hal tersebut adalah perbuatan yang dibenci oleh syariat. Allah Ta’ala
berfirman:
رَبَّنَا مَا خَلَقْتَ هَذا بَاطِلاً
"Ya
Tuhan Kami, Tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia ..” (QS. Ali ‘Imran
(3); 191)
Disebutkan dalam Al Mausu’ah:
وَالْمَذْهَبُ
عِنْدَ الْحَنَفِيَّةِ وَالشَّافِعِيَّةِ وَهُوَ قَوْلٌ عِنْدَ الْمَالِكِيَّةِ
أَنَّ اللَّعِبَ بِالشِّطْرَنْجِ مَكْرُوهٌ .
“Pendapat madzhab pengikut Abu Hanifah, Syafi’i, dan ini pendapat pengikut
Malik, bahwa bermain catur adalah makruh.” (Al Mausu’ah Al Fiqhiyah Al
Kuwaitiyah, 35/270)
Imam Asy Syafi’i Rahimahullah berkata dalam kitabnya Al Umm:
يكره من وجه الخبر اللعب بالنرد أكثر
مما يكره اللعب بشئ من الملاهي ولا نحب اللعب بالشطرنج وهو أخف من النرد
“Dimakruhkannya – lantaran adanya khabar- bermain dadu lebih banyak dibanding
kemakruhan permainan lainnya. Aku tidak menyukai permainan catur dan hal itu
lebih ringan dibanding dadu.” (Imam Asy Syaf’I, Al Umm, 6/224. Darul
Fikr)
Dari sini kita dapat mengetahui bahwa, tidak satu pun di antara imam
empat madzhab yang membolehkan catur, mereka antara mengharamkan dan
memakruhkan. Ada pun pengikutnya tidak sedikit yang mengatakan mubah
seperti kalangan Malikiyah dan Syafi’iyah, serta Al Qadhi Abu Yusuf, kawan dan
murid Imam Abu Hanifah .
Imam Adz Dzahabi menyebutkan dalam kitabnya, Al Kabair:
وسئل النووي رحمه
الله عن اللعب بالشطرنج أحرام أم جائز فأجاب رحمه الله تعالى هو حرام عند أكثر أهل
العلم. وسئل أيضاً رحمه الله عن لعب الشطرنج هل يجوز أم لا وهل يأثم اللاعب بها أم
لا أجاب رحمه الله إن فوت به صلاة عن وقتها أو لعب بها على عوض فهو حرام وإلا
فمكروه عند الشافعي وحرام عند غيره وهذا كلام النووي في فتاويه.
“An Nawawi Rahimahullah ditanya tentang bermain dengan catur, apakah
haram atau boleh? Maka beliau –Rahimahullah- menjawab: Itu adalah haram
menurut mayoritas ulama. Dia juga ditanya tentang bermain catur, apakah boleh
atau tidak? Apakah berdosa memainkannya atau tidak? Maka beliau –Rahimahullah-
menjawab: “Jika hal itu membuatnya luput waktu shalat, atau memainkannya dengan
bayaran (taruhan), maka itu haram, jika tidak demikian, maka makruh menurut Asy
Syafi’I, dan haram menurut selainnya. Inilah ucapan An Nawawi dalam
fatwanya.” (Al Kabair, Hal. 31)
Imam Al Baihaqi, dalam As Sunan Al Kubra-nya meriwayatkan dari
tokoh-tokoh besar Islam yang memakruhkan catur. Di antaranya, seorang sahabat
nabi, yakni Abu Said Al Khudri Radhiallahu ‘Anhu. Berikut ini teksnya:
وأبو سعيد الخدري يكره أن يلعب بالشطرنج
“Abu Said Al Khudri memakruhkan memainkan catur.” (Al Baihaqi, No. 20725)
Imam Asy Syaukani juga menyebutkan sederetan nama sahabat
nabi lainnya:
وروي عن ابن عباس وابن عمر وأبي موسى
الأشعري وأبي سعيد وعائشة أنهم كرهوا ذلك
“Diriwayatkan dari Ibnu Abbas, Ibnu Umar, Abu Musa Al Asy’ari, Abu Said Al
Kudri, dan ‘Aisyah bahwa mereka memakruhkan catur.” (Imam Asy Syaukani, Nailul
Authar, 15/192. Maktabah Ad Da’wah Al Islamiyah)
Selain itu Imam Al
Baihaqi juga menyebutkan para tabi’in:
وروينا في كراهية اللعب بها عن يزد بن أبي حبيب
ومحمد بن سيرين وإبراهيم النخعي ومالك بن أنس
“Kami meriwayatkan
tentang kemakruhan bermain dengan catur, dari Yazd bin Abi Habib, Muhammad bin
Sirin, Ibrahim An Nakha’i, dan Malik bin Anas.” (Al Baihaqi, No. 20729)
Adapun dalil golongan yang memakruhkan adalah hadits dari Jabir bin
‘Umair Radhiallahu ‘Anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa
Sallam bersabda:
كُل شَيْءٍ لَيْسَ مِنْ ذِكْرِ
اللَّهِ عَزَّ وَجَل فَهُوَ لَهْوٌ أَوْ سَهْوٌ إِلاَّ أَرْبَعَ خِصَالٍ : مَشْيُ
الرَّجُل بَيْنَ الْغَرَضَيْنِ ، وَتَأْدِيبُهُ فَرَسَهُ ، وَمُلاَعَبَةُ أَهْلِهِ
، وَتَعَلُّمُ السِّبَاحَةِ
“Segala hal selain dzikir kepada Allah ‘Azza wa Jalla adalah termasuk
perminan dan kelalaian kecuali empat hal: berlatih panah, melatih kuda, bergurau
dengan isteri, dan belajar berenang.” (HR. Ath Thabarani No. 1760. Imam
Nuruddin Al Haitsami mengatakan para perawinya adalah perawi shahih, kecuali
Abdul Wahab bin Bakht, dia tsiqah (bisa dipercaya). Majma’ Az Zawaid,
5/269. Darul Kutub Al ‘Ilmiyah. Syaikh Al Albani menshahihkan dalam Shahih
At Targhib wat Tarhib, No. 1282. Maktabah Al Ma’arif)
Dalam hadits ini
hanya dibatasi empat macam permainan, seakan-akan selain empat hal ini adalah
perbuatan yang lalai dan batil. Sebenarnya, berdalil dengan hadits ini adalah
tidak tepat. Sebab pada kenyataannya masih ada permainan lain yang tidak
disebutkan dalam hadits ini, dan itu diriwayatkan dalam Shahih Bukhari
yakni kisah tentang orang orang Habasyah yang bermain tarian pedang di
masjid nabawi ketika hari raya dan saat itu Rasulullah dan ‘Aisyah pun
melihatnya. Jelas sekali, permainan Habasyah ini adalah selain empat hal
di atas. Maka, hadits ini sama sekali tidaklah menunjukkan terlarang atau
tercelanya permainan selain empat jenis itu.
Hal ini sama halnya dengan amalan Bani Adam setelah mati adalah terputus
kecuali tiga yakni sedekah jariyah, ilmu bermanfaat, dan doa anak yang shalih.
Hadits ini shahih riwayat Imam Muslim. Walau pun hadits ini membatasi hanya
tiga hal yang masih sampai ke mayit, ternyata para ulama telah ijma’
–sebagaimana kata Ibnu Qudamah- bahwa orang yang masih hidup bisa
memberikan amal dan pahala kepada mayit selain tiga hal itu seperti
menghajikan, sedekah untuknya, dan doa (walau bukan anaknya, sebagaimana doa
nabi kepada sahabatnya, Abu Salamah, dalam riwayat Muslim). Sementara, mengirim
pahala bacaan Al Quran mereka berbeda pendapat.
Maka, jelaslah bahwa sikap membatasi empat aktifitas saja, dan menganggap
tercela diluar empat aktifitas itu, adalah tidak benar. Ternyata, dari sisi
dalil pun tidak ada satu pun yang sah tentang pelarangan catur. Oleh karena
itu, wajib mengembalikan kepada hukum asal segala sesuatu urusan dunia yakni
boleh.
Ada baiknya kami ingatkan kembali ucapan Imam Muhammad bin Abdul Wahhab
berikut;
أن كل شيء سكت عنه الشارع فهو عفو لا
يحل لأحد أن يحرمه أو يوجبه أو يستحبه أو يكره
“Bahwa segala sesuatu yang didiamkan oleh syari’
(pembuat syariat), maka hal itu dimaafkan (mubah), tidak boleh bagi seorang pun
untuk mengharamkan, atau mewajibkan, atau menyunnahkan, atau memakruhkan.” (Imam Muhammad bin Abdul Wahhab, Arba’u
Qawaid Taduru Al Ahkam ‘Alaiha, Hal. 3)
Ada pun potensi yang ada pada permainan catur bahwa dia permainan yang dapat
melalaikan manusia dari dzikir dan shalat, maka ini sifatnya sangat pribadi (personally),
dan tergantung manusianya. Sebab masih banyak yang mampu mengendalikan diri dan
hanya sesekali saja (sa’atan sa’atan). Bukan hanya catur, hal-hal
yang disebutkan dalam hadits tersebut seperti berlatih panah, melatih kuda,
bersenda gurau dengan isteri dan belajar berenang, jika semua dilakukan sampai
melupakan waktu yang lebih utama seperti shalat, maka ini semua juga dilarang.
Ketiga.
Golongan Yang Membolehkan
Telah diriwayatkan bahwa segolongan sahabat nabi dan tabi’in –dalam jumlah yang
tak terhitung- yang bermain catur. Hal ini menunjukkan bahwa
mereka berpendapat bolehnya catur, sebab mereka adalah generasi yang amat
takut dengan perkara haram dan dibenci (makruh) oleh syariat.
Disebutkan dalam Dhau’un Nahar bahwa Ibnu Abbas Radhiallahu
‘Anhu membolehkannya. (Nailul Authar,
8/ 95). Tetapi dalam riwayat lain
disebutkan bahwa beliau memakruhkannya.
Al Hafizh Ibnu Hajar menyebutkan tentang Ibnu Az Zubeir dan Abu
Hurairah, bahwa mereka berdua pernah main catur. (Imam Ibnu Hajar, At
Talkhish Al Habir, 4/493, No. 2134. Darul Kutub Al ‘Ilmiyah)
Tetapi
menurut Ibnu Hajar, yang dimaksud Ibnu Az Zubeir di sini adalah Hisyam bin
‘Urwah bin Az Zubeir (seorang tabi’in) bukan sahabat nabi, Abdullah bin Az
Zubeir (anaknya Zubeir bin Awwam).
Syaikh Sayyid Sabiq juga memberikan keterangan demikian:
وروي عن أبي هريرة وسعيد بن المسيب
وسعيد بن جبير اباحته.
“Dan diriwayatkan dari Abu Hurairah, Said bin Al Musayyib, dan
Said bin Jubeir, tentang kebolehannya.” (Fiqhus Sunnah, 3/514)
Secara ringkas, kami sebutkan para ulama zaman tabi’in
yang pernah bermain catur, sebagaimana diriwayatkan oleh Imam Al Baihaqi
dalam As Sunan Al Kubra, yakni Said bin Jubeir, Muhammad bin
Sirin, Hisyam bin ‘Urwah bin Zubeir, Asy Sya’bi, Bahz bin Hakim, dan
Ibrahim Al Hajari. (Semua ini ada dalam hadits No. 20711, 20712, 20713,
20715, dan 20716)
Sementara tentang tokoh besar tabi’in, Al Hasan Al Bashri,
pernah ada orang ditanya tentang sikap Al Hasan terhadap catur,
orang itu menjawab: Kaana laa yaraa biha ba’san (Beliau memandang
hal itu tidak apa-apa). (Al Baihaqi, No. 20714)
Dalam Al Mausu’ah juga disebutkan demikian:
وَنُقِل الْقَوْل بِالإِْبَاحَةِ عَنْ
أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ وَسَعِيدِ بْنِ الْمُسَيَّبِ وَسَعِيدِ
بْنِ جُبَيْرٍ وَمُحَمَّدِ بْنِ الْمُنْكَدِرِ وَمُحَمَّدِ بْنِ سِيرِينَ
وَعُرْوَةَ بْنِ الزُّبَيْرِ وَابْنِهِ هِشَامٍ وَسُلَيْمَانَ بْنِ يَسَارٍ
وَالشَّعْبِيِّ وَالْحَسَنِ الْبَصْرِيِّ وَرَبِيعَةَ وَعَطَاءٍ
“Telah dinukil pendapat yang membolehkan catur dari Abu Hurairah
Radhiallahu ‘Anhu, Said bin Al Musayyib, Said bin Jubeir, Muhamamd bin
Al Munkadir, Muhammad bin Sirin, ‘Urwah bin Az Zubeir dan anaknya (Hisyam),
Sulaiman bin Yasar, Asy Sya’bi, Al Hasan Al Bashri, Rabi’ah, dan ‘Atha. “ (Al
Mausu’ah Al Fiqhiyah Al Kuwaitiyah, 35/271)
Tokoh-tokoh ini adalah ahli ilmu yang amat disegani. Said
bin Al Musayyib adalah menantu Abu Hurairah. Beliau menjadi imamnya para
ahli fiqih pada zamannya. Imam Ahmad mengatakan bahwa Said bin Al Musayyib
adalah tabi’in terbaik.
Said bin Jubeir
adalah ahli tafsir, kawan sekaligus murid dari Ibnu Abbas, bahkan Ibnu Abbas
menjadikannya andalan untuk permasalahan yang tidak bisa dijawabnya.
Muhammad bin Sirin adalah orang yang paling tahu masalah kehakiman, tegas
terhadap pemimpin yang zalim, dan muridnya –yakni Ibnu ‘Aun- menyebutkan bahwa
Ibnu Sirin adalah orang yang sangat ketat terhadap dirinya sendiri namun memberikan
toleransi bagi orang lain.
Asy Sya’bi
adalah ahli fiqih-nya daerah Kufah, dan seorang imam hadits pada masanya.
Sedangkan Bahz bin Hakim adalah ahli hadits terpercaya. Ahmad bin Basyir
berkata: Aku sampai di Bashrah, dalam rangka menutut (mencari) hadits, aku
datangi Bahz bin Hakim, ternyata dia sedang bermain catur dengan sebuah kaum. (Al
Baihaqi, No. 20715)
Urwah bin Az Zubeir adalah anak dari Az Zubeir bin Awwam seorang sahabat nabi
yang dijamin masuk surga. Urwah adalah ahli fiqih, ahli hadits terpercaya, ahli
ibadah, dan luas wawasannya, sebagaimana yang dikatakan oleh para imam
zamannya.
‘Atha bin Rabbah adalah ahli hadits, fiqih, tafsir dan ahli ibadah, sederhana
dan zuhud terhadap dunia. Demikianlah manusia mulia generasi awal Islam.
Sementara itu, Imam Adz Dzahabi menceritakan tentang Imam
Asy Syafi’i:
وحكي إباحته في رواية عن الشافعي إذا
كان في خلوة ولم يشغل عن واجب ولا عن صلاة في وقته
“Dan diceritakan tentang kebolehan catur dari Asy Syafi’i,
jika tidak ada hal yang jelek, dan tidak membuatnya sibuk meninggalkan
kewajiban, dan tidak meninggalkan shalat dari waktunya.” (Al Kabair,
Hal. 31. Mawqi’ Ruh Al Islam)
Untuk kalangan madzhab, disebutkan dalam Al Mausu’ah
sebagai berikut:
وَذَهَبَ أَبُو يُوسُفَ وَهُوَ قَوْلٌ
عِنْدَ الشَّافِعِيَّةِ وَقَوْلٌ عِنْدَ الْمَالِكِيَّةِ إِلَى إِبَاحَةِ
اللَّعِبِ بِالشِّطْرَنْجِ لِمَا فِيهِ مِنْ شَحْذِ الْخَوَاطِرِ وَتَذْكِيَةِ
الأَْفْهَامِ
“Pendapat Abu Yusuf -dan ini pendapat Syafi’iyah (para
pengikut Imam Asy Syafi’i) dan Malikiyah (para pengikut Imam Malik)- adalah
bolehnya bermain catur karena didalamnya terdapat manfaat untuk menajamkan
pikiran dan mencerdaskan pemahaman.” (Al Mausu’ah Al Fiqhiyah Al
Kuwaitiyah, 35/270)
Pihak yang membolehkan berdalil pada beberapa hal.
Pertama.
Hukum asal segala sesuatu adalah mubah. Alasan ini disebutkan dibeberapa kitab
berikut alasannya:
واحتجوا بأن الاصل الاباحة. ولم يرد
بتحريمها نص ولا هي في معنى المنصوص عليه فتبقى على الاباحة.
“Mereka
beralasan bahwa hukum asalnya adalah mubah. Tidak ada nash (teks) yang
mengharamkannya, tidak ada pula secara makna tentang nash yang mengharamkannya.
Maka, yang tersisa adalah kembali pada kebolehannya.” (Syaikh Sayyid Sabiq, Fiqhus
Sunnah, 3/514. Darul Kitab Al ‘Arabi. Lihat pula Al Mausu’ah Al Fiqhiyah
Al Kuwaitiyah, 35/270. Wizarah Al Awqaf wasy Syu’un Al Islamiyah)
Kedua. Tidak
ditemukan satu pun riwayat dari Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam
yang shahih atau hasan tentang catur sebagaimana yang dikatakan oleh para Imam
Ahli Hadits dan Fiqih seperti Imam An Nawawi, Al Hafizh Ibnu Hajar, Al Hafizh
Ibnu Katsir, Imam Ibnu Hajar Al Haitami,
dan Syaikh Sayyid Sabiq. Faktanya –sebagaimana kata Imam Ibnu Katsir- catur
belum ada pada masa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam masih
hidup. Riwayat yang datangnya dari sahabat pun, yang paling baik dari yang
lain adalah ucapan Ali Radhiallahu ‘Anhu. Ini pun juga
terbukti kelemahannya sebagaimana penjelasan yang telah lalu.
Ketiga. Alasan bahwa catur merupakan permainan yang lahwun (melalaikan)
dan batil (sia-sia/tidak ada manfaatnya) sehingga dia layak diharamkan
adalah alasan yang lemah. Sebab, bukan hanya catur yang melalaikan, tetapi
dunia ini adalah melalaikan. Maka, seharusnya bukan hanya catur yang diharamkan
dan dibenci, tetapi seluruh kehidupan dunia juga harus diharamkan. Allah Ta’ala
berfirman:
“Ketahuilah, bahwa
Sesungguhnya kehidupan dunia ini hanyalah permainan dan suatu yang melalaikan
..” (QS. Al Hadid (57): 20)
Selain itu melalaikan atau tidak, sifatnya sangat pribadi (personally)
sebagaimana yang sudah kami jelaskan. Jika ada orang yang melalaikan shalat
karena main catur, maka di tempat lain ada orang shalih dan mulia, yang tidak
lalai dari mengingat Allah Ta’ala walau dia bermain catur, sebagaimana yang
dilakukan oleh para tabi’in.
Sedangkan jika catur disebut permainan yang batil, sebagaimana disebutkan oleh
para tabi’in dalam kitab As Sunan Al Kubra-nya Al Baihaqi, maka
makna batil tersebut adalah sia-sia dan tidak bermanfaat, bukan
bermakna haram. Bahkan Abu Darda Radhiallahu ‘Anhu pernah berkata:
“Sesungguhnya aku menghibur diriku dengan sesuatu yang batil
untuk menguatkan hatiku kepada kebenaran.” Tentunya batil di sini adalah
sesuatu yang tidak ada manfaatnya, tidak bisa dikatakan haram, makruh,
wajib atau sunah.
Allah Ta’ala berfirman:
رَبَّنَا مَا خَلَقْتَ هَذا بَاطِلاً
"Ya
Tuhan Kami, Tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia ..” (QS. Ali ‘Imran
(3); 191)
Demikianlah dalil-dalil kelompok yang membolehkan, dan nampaknya inilah
pendapat yang lebih kuat. Wallahu A’lam
Rambu-Rambu Yang Harus Diperhatikan
Pembolehan ini bukanlah tanpa syarat. Sebab permainan apa pun memiliki potensi
membuat manusia lupa kepada hal-hal yang lebih utama. Oleh karena itu para
ulama yang membolehkan pun tetap memberikan rambu-rambu. Syaikh Sayyid Sabiq Rahimahullah
menyampaikan hal tersebut sebagai berikut:
(1)
أن لا يشغل عن واجب من واجبات الدين.
(2) أن لا يخالطه قمار
(3)
أن لا يصدر أثناء اللعب ما يخالف شرع الله.
Pertama. Tidak membuatnya sibuk sehingga lupa dari kewajiban-kewajiban
agama.
Kedua. Tidak dicampur dengan taruhan.
Ketiga. Ketika bermain tidak terjadi hal-hal yang berselisihan dengan syariat
Allah Ta’ala. (Fiqhus Sunnah, 3/514)
Bukan hanya
rambu-rambu ini, ada tambahan sebagai berikut:
Keempat. Tidak dilakukan secara berlebihan dan sering sebab akan membuat candu
dan ketergantungan.
Kelima. Tidak sampai melupakan pekerjaan yang lebih bermanfaat.
Keenam. Tidak dicampur dengan perkataan kasar, sumpah serapah, dan bohong.
Ketujuh. Dilakukan di tempat pantas, bukan tempat yang menurunkan martabat.
Jika satu saja tidak terpenuhi maka permainan catur sudah jatuh pada keharaman.
Celaan
Permainan Catur Dari Para Ulama
Walau alasan-alasan pengharaman catur itu lemah lantaran tak ada dalam Al
Quran, As Sunnah, ijma’ sahabat, dan tidak pula qiyas yang benar, namun kami
pun akan sampaikan celaan para ulama terhadap permainan catur dan
pemainnya. Sebab, bersikap hati-hati adalah lebih utama, dan sebenarnya celaan
terhadap permainan catur bukan hanya datangnya dari ulama yang mengharamkan,
tetapi juga ulama yang memakruhkan, bahkan yang membolehkan pun sebenarnya juga
mencela permainan catur.
Imam
Sufyan Ats Tsauri dan Imam Waki’ bin Al Jarrah
Allah Ta’ala
befirman:
وَأَن تَسْتَقْسِمُواْ بِالأَزْلاَمِ
ذَلِكُمْ فِسْقٌ
“ … dan (diharamkan juga) Al Azlam (mengundi nasib dengan anak
panah), dan itu bagi kalian adalah kefasikan.” (QS. Al Maidah (5):
3)
Imam Sufyan Ats Tsauri dan Imam Waki’ menafsirkan makna bil azlam pada
ayat ini adalah catur. (Imam Adz Dzahabi, Al Kabair, Hal 31)
Maka, dari sini kita mengetahui bahwa kedua imam ini menyamakan antara catur
dengan permainan mengundi nasib dengan panah (Al Azlam) yang jelas
haram, dan dalam ayat lain disebutkan bahwa Al Azlam
termasuk rijs (kotor) dan perbuatan syetan, maka jauhilah. (QS. Al
Maidah (5): 90)
Imam
Ishaq bin Rahawaih
Beliau ditanya tentang catur, “Apakah menurutmu pada permainan catur itu ada keburukan?”
Beliau menjawab:
البأس كله فيه.
“Semua keburukan ada di dalamnya.”
Lalu, Imam Ishaq ditanya pula: Sesungguhnya ahluts tsughur (mujahidin)
memainkan catur karena itu merupakan strategi perang. Beliau menjawab: Huwa
fujur (itu adalah kedurhakaan/berdosa). (Ibid)
Imam
Ibrahim An Nakha’i
Beliau ditanya sebagai berikut:
ما تقول في اللعب
بالشطرنج فقال: إنها ملعونة.
“Apa pendapatmu tentang catur? Beliau menjawab: “Sesungguhnya hal itu terlaknat.”
(Ibid)
Imam
Ahmad bin Hambal
Beliau termasuk yang sangat keras sikapnya dengan orang yang bermain catur.
Berikut ini beberapa bukti sikap beliau:
وَقَالَ أَبُو دَاوُد سَمِعْتُ
أَحْمَدَ سُئِلَ عَنْ رَجُل مَرَّ بِقَوْمٍ يَلْعَبُونَ بِالشِّطْرَنْجِ
فَنَهَاهُمْ فَلَمْ يَنْتَهُوا فَأَخَذَ الشِّطْرَنْج فَرَمَى بِهِ فَقَالَ قَدْ
أَحْسَن
“Berkata Abu Daud, Aku mendengar Ahmad ditanya tentang seseorang yang melewati
sebuah kaum yang sedang bermain catur lalu dia mencegahnya tetapi mereka tidak
peduli, lalu orang tersebut mengambil catur tersebut dan melemparnya. Ahmad
menjawab: “Itu lebih baik.” (Imam Syamsuddin bin Muflih, Al Adab Asy
Syar’iyyah, 1/212. Mauqi’ Al Islam)
Beliau berpendapat
bahwa pemain catur tidak berhak diberikan ucapan salam (Assalamu ‘Alaikum ..).
Berikut ini teksnya:
وَقَال أَحْمَدُ فِيمَنْ يَلْعَبُ بِالشِّطْرَنْجِ
: مَا هُوَ أَهْلٌ أَنْ يُسَلَّمَ عَلَيْهِ
“Berkata Imam Ahmad tentang orang yang sedang bermain catur: “Bukanlah termasuk
yang berhak diberikan salam atasnya.” (Al Mausu’ah Al Fiqhiyah Al Kuwaitiyah,
25/168)
Bahkan, sebagian
ulama memakruhkan mengucapkan salam untuk orang yang sedang bermain catur. Imam
Ibnu Muflih menyebutkan dalam kitab Al Adab Asy Syar’iyyah:
يُكْرَهُ لِكُلِّ مُسْلِمٍ مُكَلَّفٍ أَنْ
يُجَالِسَ مَنْ يَلْعَبُ بِشِطْرَنْجٍ أَوْ نَرْدٍ وَأَنْ يُسَلِّمَ عَلَيْهِ بَلْ
يُنْكِرُ عَلَيْهِ ذَلِكَ وَيَهْجُرُهُ إنْ لَمْ يَنْزَجِرْ عَنْهُمَا . وَحَكَى
الشَّيْخُ تَقِيُّ الدِّينِ أَنَّ أَبَا حَنِيفَةَ وَأَحْمَدَ وَغَيْرَهُمَا
قَالُوا إنَّهُ لَا يُسَلِّمُ عَلَى لَاعِبِ الشِّطْرَنْجِ لِأَنَّهُ مُظْهِرٌ
لِلْمَعْصِيَةِ
“Dimakruhkan bagi
setiap muslim duduk bersama orang yang bermain catur dan dadu dan mengucapkan
salam atasnya, bahkan mesti diingkari perbuatan itu, dan mesti diboikot jika
dua hal ini belum dijauhkannya. Syaikh Taqiyuddin menceritakan bahwa Abu
Hanifah, Ahmad, dan lainnya mengatakan: bahwa tidaklah diberi salam orang
yang bermain catur karena hal itu adalah menampakkan maksiat.” (Al Adab
Asy Syar’iyyah, 4/52)
Pandangan Objektif Syaikh Sayyid Rasyid Ridha
Sebagai penutup ada baiknya kami sampaikan pandangan jernih dari seorang ulama
mujaddid, Al ‘Allamah Syaikh Sayyid Rasyid Ridha dari kitab tafsirnya, Al
Manar, kami dapatkan pendapatnya yang tidak fanatik dan sangat
seimbang. Berikut ini teksnya:
إِنَّ اللَّعِبَ
بِالشِّطْرَنْجِ إِذَا كَانَ عَلَى مَالٍ دَخَلَ فِي عُمُومِ الْمَيْسِرِ وَكَانَ
مُحَرَّمًا بِالنَّصِّ كَمَا تَقَدَّمَ ، وَإِذَا لَمْ يَكُنْ كَذَلِكَ فَلَا وَجْهَ
لِلْقَوْلِ بِتَحْرِيمِهِ قِيَاسًا عَلَى الْخَمْرِ وَالْمَيْسِرِ إِلَّا إِذَا
تَحَقَّقَ فِيهِ كَوْنُهُ رِجْسًا مِنْ عَمَلِ الشَّيْطَانِ ، مُوقِعًا فِي
الْعَدَاوَةِ وَالْبَغْضَاءِ ، صَادًّا عَنْ ذِكْرِ اللهِ وَعَنِ الصَّلَاةِ ،
بِأَنْ كَانَ هَذَا شَأْنَ مَنْ يَلْعَبُ بِهِ دَائِمًا أَوْ فِي الْغَالِبِ ،
وَلَا سَبِيلَ إِلَى إِثْبَاتِ هَذَا وَإِنَّنَا نَعْرِفُ مِنْ لَاعِبِي
الشِّطْرَنْجِ مَنْ يُحَافِظُونَ عَلَى صَلَوَاتِهِمْ وَيُنَزِّهُونَ أَنْفُسَهُمْ
عَنِ اللَّجَاجِ وَالْحَلِفِ الْبَاطِلِ ، وَأَمَّا الْغَفْلَةُ عَنِ اللهِ
تَعَالَى فَلَيْسَتْ مِنْ لَوَازِمِ الشِّطْرَنْجِ وَحْدَهُ ، بَلْ كُلِّ لَعِبٍ
وَكُلِّ عَمَلٍ فَهُوَ يَشْغَلُ صَاحِبَهُ فِي أَثْنَائِهِ عَنِ الذِّكْرِ
وَالْفِكْرِ فِيمَا عَدَاهُ إِلَّا قَلِيلًا ، وَمِنْ ذَلِكَ مَا هُوَ مُبَاحٌ
وَمَا هُوَ مُسْتَحَبٌّ أَوْ وَاجِبٌ ، كَلَعِبِ الْخَيْلِ
وَالسِّلَاحِ وَالْأَعْمَالِ الصِّنَاعِيَّةِ الَّتِي تُعَدُّ مِنْ فُرُوضِ
الْكِفَايَاتِ ، وَمِمَّا وَرَدَ النَّصُّ فِيهِ اللَّعِبُ; لَعِبُ الْحَبَشَةِ
فِي مَسْجِدِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِحَضْرَتِهِ ،
وَإِنَّمَا عِيبَ الشِّطْرَنْجُ مِنْ أَنَّهُ أَشَدُّ الْأَلْعَابِ إِغْرَاءً
بِإِضَاعَةِ الْوَقْتِ الطَّوِيلِ ، وَلَعَلَّ الشَّافِعِيَّ كَرِهَهُ لِأَجْلِ
هَذَا ، وَنَحْمَدُ اللهَ الَّذِي عَافَانَا مِنَ اللَّعِبِ بِهِ وَبِغَيْرِهِ ،
كَمَا نَحْمَدُهُ حَمْدًا كَثِيرًا أَنْ عَافَانَا مِنَ الْجُرْأَةِ عَلَى
التَّحْرِيمِ وَالتَّحْلِيلِ ، بِغَيْرِ حُجَّةٍ وَلَا دَلِيلٍ .
“Sesungguhnya bermain catur jika disertai dengan uang maka dia masuk kategori
keumuman judi, maka hukumnya haram menurut nash sebagaimana penjelasan lalu.
Jika tidak demikian, maka tidak ada alasan bagi yang mengharamkannya secara
qiyas, karena tidak bisa diqiyaskan dengan khamr dan judi, kecuali jika
jelas-jelas permainan tersebut adalah kotor dan termasuk perbuatan syetan, yang
bisa menciptakan permusuhan dan kebencian, serta membuatnya terbentur dari
mengingat Allah dan shalat. Jika bagi yang memainkannya terdapat kondisi ini
yang selalu ada atau biasanya seperti itu maka tidak ada jalan untuk menetapkan
kebolehannya. Sesungguhnya kami mengetahui diantara pemain catur ada yang masih
menjaga shalat mereka, dan jiwa mereka bersih dari keributan dan sumpah yang
batil.
Ada pun lalai mengingat Allah Ta’ala bukan hanya karena kebiasaan bermain catur
saja, tetapi semua permainan dan semua pekerjaan. Hal itu bisa membuat
pelakunya lalai dari dzikir dan memikirkan hal lainnya kecuali hanya
sedikit. Dari situlah, maka ini terjadi tidak hanya pada yang mubah, yang sunah
dan wajib, seperti bermain kuda, pedang, dan amal perbuatan yang termasuk
fardhu kifayah. Di antara permainan yang memiliki nash adalah permainannya
orang Habasyah di masjid nabawi dan nabi hadir saat itu. Tercelanya
catur disebabkan karena dia adalah permainan yang banyak menyita waktu, oleh
karena inilah Ays Syafi’I memakruhkannya.
Kami memuji Allah Ta’ala yang telah menjaga kami dari permainan catur dan
lainnya dan kami banyak memujiNya, karena Dia telah menjaga kami dari mengharamkan
dan menghalalkan tanpa hujjah dan dalil.” (Syaikh Rasyid Ridha, Al Manar,
7/53. Al Hai’ah Al Mishriyah Al ‘Amah Lil Kitab)
Wallahu
A’lam
No comments:
Post a Comment