Pertanyaan:
Assalamu'alaikum
1.setahu saya mati sudah tetapkan Allah,ndak bisa diubah,tapi ada hadis yg menyatakan bahwa silaturahmi memanjangkan umur.terus apakah penyebab mati bisa diubah?mhn penjelasan
1.setahu saya mati sudah tetapkan Allah,ndak bisa diubah,tapi ada hadis yg menyatakan bahwa silaturahmi memanjangkan umur.terus apakah penyebab mati bisa diubah?mhn penjelasan
2.mohon komentar tentang ini ustad: http://www.ustsarwat.com/web/berita-44-anti-mazhab--bidah-paling-merusak.html
Apakah Syeikh Albani yg ahli hadis mrpkan pembawa bid'ah? (dari Tyono)
Apakah Syeikh Albani yg ahli hadis mrpkan pembawa bid'ah? (dari Tyono)
Jawaban:
Wa ‘Alaikum Salam wa Rahmatullah wa Barakatuh.
Bismillah wal hamdulillah wash shalatu was salamu ‘Ala Rasulillah wa ‘Ala
Aalihiwa ashhabihi wa man waalah, wa ba’d:
Saudara Tyono yang
dirahmati Allah Ta’ala ...
Saya akan jawab satu
persatu pertanyaan antum,
- Kematian adalah salah satu rahasia Allah
Ta’ala, bersama rezeki, amal, susah dan senangnya hidup manusia sudah
Allah Ta’ala ciptakan sejak di alam kandungan ibunya.
Hal ini sesuai riwayat berikut:
عَنْ عَبْدِ
اللهِ بنِ مَسْعُوْدْ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ: حَدَّثَنَا رَسُوْلُ اللهِ صلى الله
عليه وسلم وَهُوَ الصَّادِقُ المَصْدُوْقُ: إِنَّ أَحَدَكُمْ يُجْمَعُ خَلْقُهُ فِيْ
بَطْنِ أُمِّهِ أَرْبَعِيْنَ يَوْمَاً نُطْفَةً، ثُمَّ يَكُوْنُ عَلَقَةً مِثْلَ ذَلِكَ،ثُمَّ
يَكُوْنُ مُضْغَةً مِثْلَ ذَلِكَ،ثُمَّ يُرْسَلُ إِلَيْهِ المَلَكُ فَيَنفُخُ فِيْهِ
الرٌّوْحَ،وَيَؤْمَرُ بِأَرْبَعِ كَلِمَاتٍ: بِكَتْبِ رِزْقِهِ وَأَجَلِهِ وَعَمَلِهِ
وَشَقِيٌّ أَوْ سَعِيْدٌ.
Dari Abdullah bin Mas’ud Radhiallahu ‘Anhu,
dia berkata: telah berkata kepada kami Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa
Sallam, dan dia adalah orang yang
jujur lagi dipercaya:
“Sesungguhnya tiap kalian dikumpulkan
ciptaannya dalam rahim ibunya, selama 40 hari berupa nutfah (air mani
yang kental), kemudian menjadi ‘alaqah (segumpal darah) selama itu juga,
lalu menjadi mudghah (segumpal daging) selama itu, kemudian diutus
kepadanya malaikat untuk meniupkannya ruh,
dan dia diperintahkan mencatat empat
kata yang telah ditentukan: rezekinya, ajalnya, amalnya, kesulitan atau
kebahagiannya. (HR.
Bukhari No. 3208, 3332, 7454, Muslim No. 2643, At Tirmidzi No. 2137, Imam Al Baihaqi dalam As Sunan Al Kubra
No. 15198, 21069, Ahmad No. 3624)
Hadits ini secara mutlak menyebutkan bahwa rezeki,
ajal, amal, susah dan senangnya manusia sudah ada ketetapannya sejak dahulu.
Namun, dalil mutlak (umum) ini harus dibawa dan diikat oleh dalil lain yang
membatasinya. Istilahnya Hamlul muthlaq ilal muqayyad (membawa dalil
yang masih umum kepada dalil yang membatasinya).
Syariat telah
menetapkan bahwa ajal dan rezeki adalah sudah ada ketentuannya, ini informasi
umum, namun syariat juga menginformasikan bahwa ada faktor yang menyebabkan
umur manusia bisa menjadi panjang sesuai izin dan kehendakNya, inilah informasi
yang mengecualikan dan membatasinya. Sehingga dengan memahaminya seperti ini,
kita tidak memandang adanya pertentangan antara hadits yang menyebut bahwa ajal
dan rezeki sudah ada ketentuannya, dengan hadits yang menyebut umur dan rezeki
bisa bertambah dengan silaturahim, atau
kebaikan lainnya. Dipanjangkan atau tidak, sudah Allah Ta’ala tetapkan sesuai
iradahNya.
Justru
hal itu, sudah Allah
Ta’ala isyaratkan dalam firmanNya:
يَمْحُوا
اللَّهُ مَا يَشَاءُ وَيُثْبِتُ وَعِنْدَهُ أُمُّ الْكِتَابِ
Allah menghapuskan apa yang Dia kehendaki dan
menetapkan (apa yang Dia kehendaki), dan di sisi-Nya-lah terdapat Ummul-Kitab
(Lauh mahfuzh). (QS. Ar Ra’du (13) : 39)
Manshur berkata:
سألت مجاهدًا فقلت: أرأيت دعاءَ
أحدنا يقول:"اللهم إن كان اسمي في السعداء فأثبته فيهم، وإن كان في الأشقياء
فامحه واجعله في السعداء"، فقال: حَسنٌ .
Aku bertanya
kepada Mujahid: “Apa pendapat anda tentang doa dari salah seorang kami yang
berkata: “Ya Allah jika namaku ada pada deretan orang-orang bahagia maka
tetapkanlah bersama mereka, dan jika berada pada deretan orang-orang sulit maka
hapuslah dan jadikanlah bersama orang-orang bahagia.” Mujahid menjawab:
“Bagus.” (Imam Abu Ja’far bin Jarir
Ath Thabari, Jami’ Al Bayan fi
Ta’wilil Quran, Juz. 16, Hal. 480. Cet. 1. 1420H-2000M. Tahqiq: Syaikh
Ahmad Syakir. Muasasah Ar Risalah)
Kaum salaf –seperti Syaqiq dan Abu Wa-il- juga
berdoa:
اللهم إن كنت كتبتنا أشقياء، فامحنَا واكتبنا سعداء، وإن كنت كتبتنا
سعداء فأثبتنا، فإنك تمحو ما تشاءُ وتثبت وعندَك أمّ الكتاب
“Ya Allah, jika
Engkau menetapkan kami bersama orang-orang yang sengsara, maka hapuskanlah
kami, dan tulislah kami bersama orang-orang yang bahagia. Jika Engkau tetapkan
kami bersama orang-orang yang bahagia, maka tetapkanlah, sesungguhnya Engkau
menghapus apa-apa yang Kau kehendaki, dan menetapkannya, dan pada sisiMu
terdapat Ummul Kitab.” (Ibid)
Diriwayatkan dari Abu Utsman Al Hindi, bahwa Umar bin
Al Khathab Radhiallahu ‘Anhu berdoa –dan dia sedang thawaf di baitullah
sambil menangis:
اللهم إن كنت كتبت علي شِقْوة أو
ذنبًا فامحه، فإنك تمحو ما تشاء وتثبت . وعندك أم الكتاب، فاجعله سعادةً ومغفرةً
“Ya Allah, jika Engkau
menetakan atasku kesulitan atau dosa maka hapuslah, sesungguhnya Engkau
menghapuskan apa-apa yang Engkau kehendaki dan menetakannya. Dan pada sisiMu
ada Ummul Kitab, maka jadikanlah dia menjadi bahagia dan ampunan.” (Ibid)
Sementara Ibnu Mas’ud Radhiallahu ‘Anhu berdoa:
اللهم إن كنت كتبتني في [أهل] الشقاء فامحني وأثبتني في أهل السعادة
“Ya Allah, jika Engkau
tetapkan aku pada kelompok orang yang
malang, maka hapuskanlah aku, dan tetapkanlah aku pada golongan orang yang
bahagia.” (Ibid, Juz. 16, Hal. 483)
Apa yang dilakukan para salaf, bukanlah tanpa dalil,
karena Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam sendiri menegaskan:
لَا
يَرُدُّ الْقَضَاءَ إِلَّا الدُّعَاءُ وَلَا يَزِيدُ فِي الْعُمْرِ إِلَّا الْبِرُّ
“Tidaklah ketetapan Allah
dapat ditolak kecuali dengan doa, dan tidaklah menambahkan usia kecuali berbuat kebaikan.” (HR.
At Tirmidzi no. 2139, katanya: hasan gharib. Syaikh Al Albani mengatakan
hasan, Shahih wa Dhaif Sunan At Tirmidzi No. 2139. Lihat Juga
Shahihul Jami’ No. 7687. Lihat juga Shahih At Targhib wat Tarhib
No.1639, 2489. Lihat juga As Silsilah Ash Shahihah No. 154)
Oleh karena itu, Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa
Sallam pun mengajarkan doa sebagai berikut: Dari Anas bin Malik
Radhiallahu ‘Anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam
bersabda:
لَا
يَتَمَنَّيَنَّ أَحَدُكُمْ الْمَوْتَ مِنْ ضُرٍّ أَصَابَهُ فَإِنْ كَانَ لَا بُدَّ
فَاعِلًا فَلْيَقُلْ اللَّهُمَّ أَحْيِنِي مَا كَانَتْ الْحَيَاةُ خَيْرًا لِي
وَتَوَفَّنِي إِذَا كَانَتْ الْوَفَاةُ خَيْرًا لِي
“Janganlah kalian mengharapkan kematian lantaran buruknya musibah yang menimpa,
sekali pun ingin melakukannya, maka berdoalah: “Allahumma Ahyini Maa Kaanat
Al Hayatu Khairan Liy, wa Tawaffani Idza Kaanat Al Wafaatu Khairan Liy (Ya
Allah, hidupkanlah aku selama kehidupan itu adalah baik bagiku, dan wafatkanlah
aku jika memang wafat itu baik bagiku).” (HR. Bukhari No. 5990, Muslim No.
2680, At Tirmidzi No. 970, Ibnu Hibban No. 968, Abu Ya’la No. 3799, 3891, Ahmad No. 13579 )
- Dalam masalah gerakan anti madzhab, lalu
mereka menyerang para imam madzhab dan yang mengikutinya, jelas itu adalah
perbuatan yang tidak terpuji.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah Rahimahullah telah
mengkritik para penggiat anti madzhab ini dengan menyusun kitab: Raf’ul
malam an a’immatil a’lam. Beliau telah melucuti pihak-pihak yang telah
berlaku kasar dan sombong terhadap para imam-imam madzhab, dan Beliau telah
berhasil mengembalikan madzhab dan para pendirinya pada kedudukan yang
seharusnya mereka terima.
Sejak dahulu hingga kini selalu ada golongan yang
selalu menyerukan kembali kepada Al Quran dan As Sunnah. Seruan ini baik dan
patut didukung, tetapi ternyata dibalik mulia seruan ini ada azab di dalamnya.
Meminjam istilah Ali bin Abi Thalib Radhiallahu ‘Anhu, “Kalimatul haq
yuradu bihal baathil.” Kalimat yang benar untuk dimaksudkan pada hal yang
batil. Dibalik seruan ini mereka hendak mengubur dalam-dalam warisan pemikiran
para imam kaum muslimin, dengan slogan “Cukup Al Quran dan As Sunnah,” dan
lemparlah ke tong sampah pemikiran Abu Hanifah, Malik, Syafi’i, dan Ahmad bin
Hambal. Inilah golongan Hasyawiyah yang selalu ada setiap zaman, mereka
hendak memposisikan dirinya sebagai mujtahid yang setara dengan para imam
tersebut bahkan melebihinya, sehingga mereka tidak butuh mengutip, menimbang,
mengkaji, dan menganalisa, dari istimbath
para imam-imam ini. Bagi mereka, “Kami adalah laki-laki dan mereka juga
laki-laki, kami juga bisa menggali langsung dari Al Quran dan As Sunnah!”
Mereka justru terjebak pada keadaan yang mereka tidak benarkan sendiri, yakni
mendirikan madzhab baru, “madzhab tanpa madzhab.”
Ini adalah sikap ekstrim yang tidak dibenarkan
syariat, akal, dan adat manusia. Bagaimana pun, manusia yang hidup zaman ini
tidak bisa lepas dari para pendahulunya. Ulama yang hidup masa modern juga
tidak bisa melepas total dengan para ulama terdahulu (salaf). Sebab, para ulama
masa lalu menyiapkan kaidah ilmu dan
tonggak-tonggak dalam memahami dasar-dasar agama adalah diperuntukkan anak dan
cucu mereka seperti kita yang hidup masa kini. Saat ini kita sudah dimudahkan
dengan rumusan berbagai kaidah dan ilmu yang mereka buat, itu adalah warisan
yang sangat mahal, yang belum tentu kita mampu menciptakan seperti mereka.
Namun, di mata orang yang picik, para
imam-imam ini dianggap pemecah belah agama, dan kita tidak boleh taklid kepada
mereka. Wallahul Musta’an!
Di sisi lain, ada pula golongan lain yang menjadi
lawannya. Mereka bersikap ekstrim pula dalam mengkultuskan pendapat madzhab.
Mereka begitu fanatik dengan pendapat madzhabnya dan mengingkari pendapat
madzhab lain. Akhirnya, mereka menjadi junudul madzhab (tentara-tentara
madzhab) bukan junudullah (tentara-tentara Allah). Marahnya mereka
karena madzhab, ridha pun karena madzhab. Pedang mereka siap terhunus dan
taring mereka siap menerkam siapa-siapa saja yang mengkritik pendapat imam
madzhabnya. Kuat lemahnya hujjah tidak lagi menjadi ukuran, tapi ukuran itu
dilihat dari “Setiap orang yang
berbeda dengan madzhab kami maka dia sesat dan menempuh bukan jalan kaum
beriman.”
Sikap ini juga tidak benar dan tercela, bahkan
sama sekali bukan cerminan akhlak dari para imam madzhab, tidak Hanafi, tidak
Maliki, tidak Syafi’i, dan tidak pula Hambali. Para bintang dunia ini, tidak
pernah mengajak orang lain untuk selalu mengkultuskan pendapatnya, salah dan
benar harus diikuti.
Maka, sikap anti
madzhab di satu sisi dan kultus madzhab di sisi lain, keduanya sama-sama keliru
dan berbahaya. Bahkan para imam dan tokoh madzhab seperti Imam Abu Yusuf
(Hanafi), Imam Al Ghazali (Syafi’i), Imam An Nawawi (syafi’i), Imam Ibnul
‘Arabi (Maliki), Imam Ibnu Taimiyah
(Hambali), mereka adalah sebaik-baiknya imam pengikut madzhab, terbuka dengan
pihak lain, tidak fanatik, dan berjalan bersama dalil-dalil.
Allah
Ta’ala mengajarkan kita untuk menempuh jalan tengah, adil, dan seimbang:
وَكَذَلِكَ
جَعَلْنَاكُمْ أُمَّةً وَسَطًا
“Dan demikianlah
Kami jadikan kamu umat pertengahan ..” (QS. Al Baqarah (2): 143)
Ayat lain:
أَلا تَطْغَوْا فِي الْمِيزَانِ (8)
وَأَقِيمُوا الْوَزْنَ بِالْقِسْطِ وَلا تُخْسِرُوا الْمِيزَانَ (9)
Supaya kamu jangan melampaui batas tentang neraca
itu. Dan tegakkanlah timbangan itu dengan adil dan
janganlah kamu mengurangi neraca itu. (QS. Ar Rahman (55): 8-9)
Ada
pun tentang Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albani Rahimahullah, dia
adalah seorang ulama hadits masa kini yang telah menghabiskan hampir semua
umurnya untuk berkhidmat kepada sunah nabi. Telah banyak pengakuan dan
penghargaan baginya, baik yang datang dari kawan dan lawan.
Telah ada kritikan baginya seperti yang
dilakukan oleh Syaikh Hammud At Tuwaijiri Rahimahullah dalam beberapa
masalah, padahal secara garis pemikiran mereka berdua tidak
berbeda. Syaikh Al Qaradhawi pun –yang
pernah memuji Syaikh Al Albani- pernah mengkritiknya dalam hal pengingkarannya
terhadap zakat pertanian, dan banyak lagi dari para ulama lainnya, termasuk
kritik dari Syaikh Said Ramadhan Al Buthi Hafizhahullah. Namun, saling
kritik dalam dunia ilmu adalah hal yang biasa dan sudah terjadi sejak masa
lalu. Dan, hal itu sama sekali tidak menjatuhkan nama dan kehormatan Syaikh Al
Albani Rahimahullah dan ulama lainnya.
Dalam konteks gerakan
anti madzhab, maka jalan yang ditempuh oleh Syaikh Al Albani tidaklah demikian.
Bagi orang yang akrab dengan karya-karyanya, akan menyimpulkan bahwa metode
beliau adalah madzhabnya Ahlul Hadits atau Ashhabul Hadits, itu pun
tidak mutlak, sebab dalam berbagai pembahasan Beliau juga mengikuti pendapat
para imam madzhab. Madzhab Ahlul Hadits ini pun sudah ada sejak masa
lalu dan mesti tetap diberikan peluang dan ruang hidup sebagaimana lainnya.
Bagi yang dekat dengan karya-karya para fuqaha, mereka akan sering mendapatkan
informasi, “menurut malikiyah begini, hambali begitu, ada pun ahli hadits
mereka begini .... .”
Sebagai misal dalam
hal turun sujud, apakah lutut dahulu atau tangan dahulu? Saya akan kutipkan
paparan Syaikh Sayyid Sabiq Rahimahullah sebagai berikut:
ذهب الجمهور إلى استحباب وضع الركبتين قبل
اليدين، حكاه ابن المنذر عن عمر النخعي ومسلم بن يسار وسفيان الثوري وأحمد وإسحاق
وأصحاب الرأي قال: وبه أقول، انتهى.
وحكاه أبو الطيب عن عامة الفقهاء.
وقال ابن القيم: وكان صلى الله عليه وسلم يضع ركبتيه قبل يديه ثم يديه بعدهما
ثم جبهته وأنفه هذا هو الصحيح الذي رواه شريك عن عاصم بن كليب عن أبيه.
عن وائل بن حجر قال: رأيت رسول الله صلى الله عليه وسلم إذا سجد وضع
ركبتيه قبل يديه، وإذا نهض رفع يديه قبل ركبتيه ولم يرو في فعله ما يخالف ذلك،
انتهى.
وذهب مالك والاوزاعي وابن حزم إلى استحباب وضع اليدين قبل الركبتين، وهو
رواية عن أحمد.
قال الاوزاعي: أدركت الناس يضعون أيديهم قبل ركبهم.
وقال ابن أبي داود: وهو قول أصحاب الحديث.
“Menurut madzhab jumhur ulama, disunahkan meletakkan kedua lutut
sebelum kedua tangan. Demikian itu diceritakan Ibnul Mundzir dari Umar, An
Nakha’i, Muslim bin Yasar, Sufyan Ats Tsauri , Ahmad, Ishaq dan ashabur ra’yi (pengikut Abu Hanifah). Dia berkata: “Aku juga berpendapat
demikian.” Abu Thayyib menceritakan hal ini dari umumnya para fuqaha.
Ibnul
Qayyim mengatakan: Dahulu Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam
meletakkan lututnya sebelum tangannya, kemudian tangannya, lalu diikuti dengan
keningnya dan hidungnya. Inilah yang shahih yang diriwayatkan oleh Syarik dari
‘Ashim bin Kulaib dari ayahnya, dari Wail bin Hujr, dia berkata: “Aku
melihat Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, jika dia sujud dia meletakkan
lututnya sebelum tangannya, dan jika dia akan bangkit, dia mengangkat tangannya
sebelum lututnya. Dan tidak ada riwayat yang
bertentangan dengan apa yang dilakukannya itu.”
Selesai.
Sedangkan madzhab Imam Malik, Al
Auza’i , dan Ibnu Hazm,
menyunnahkan meletakkan tangan sebelum lutut, itu juga merupakan satu riwayat
dari Ahmad. Berkata Al Auza’i: “Aku melihat manusia meletakkan tangan mereka
sebelum lututnya.”
Berkata Ibnu Abi Daud: “Ini
adalah pendapat para ahli hadits.” (Fiqhus Sunnah, 1/164. Darul Kitab Al
‘Arabi)
Telah masyhur bahwa Syaikh Al Albani mengikuti
pendapat ahli hadits dalam hal ini sebagaimana yang kita lihat dalam Shifat
Shalat Nabi.
Contoh lain adalah
dalam menyikapi penguasa yang zalim dan menyimpang. Para ulama berbeda pendapat
antara yang memilih untuk bersabar saja sebagaimana pendapat Ahli Hadits, atau
yang menurunkan pemimpin tersebut sebagaimana pendapat Imam Al Ghazali, Imam
Ibnu Hazm, Imam Al Mawardi, dan lainnya.
Jadi, madzhab ahli
hadits sudah ada sejak lama. Bahkan tidak sedikit kitab yang secara khusus
menempatkan pendapat para ahli hadits dalam bidang aqidah, seperti Al
Intishar Li Ashhabil Hadits karya Imam Abu Muzhaffar As Sam’ani, lalu I’tiqad Ahl As Sunnah Syarh Ashhab Al
Hadits karya Syaikh Muhammad bin Abdurrahman Al Khamis.
Syaikh Al Albani juga
sering menyandarkan pendapatnya pada pendapat imam madzhab. Ketika Beliau
membahas “membaca Al fatihah bagi makmum” beliau memilih pendapat Imam
Ahmad dan Imam Malik, bahwa membaca Al
Fatihah bagi Makmum adalah wajib ketika shalat sirr, namun tidak
membacanya ketika shalat dijaharkan, tetapi mesti mendengarkan bacaan imam.
Dalam mengharamkan
alat-alat musik (lihat kitab Tahrim Alat Ath Tharb) beliau mengikuti dan
mengulang-ulang bahwa imam empat madzhab mengharamkan musik.
Kesimpulan, Syaikh Al
Albani juga bermadzhab yakni madzhab Ahli Hadits, dan kadang Beliau
mengikuti pendapat imam madzhab yang dipandangnya kuat dalilnya. Pengingkaran
beliau lakukan kepada orang yang fanatik madzhab, bukan kepada madzhabnya.
Inilah yang bisa kita lihat jika langsung membaca karya-karyanya. Hanya
saja, Syaikh Al Albani kerap menggunakan
pilihan kata yang pedas kepada orang-orang yang dikritiknya. Bisa kita lihat
dalam muqadimah Tahrim Alat Ath Tharb, beliau begitu pedas dalam
mengkritik tiga ulama sekaligus, yakni Syaikh Abu Zahrah, Syaikh Muhammad Al
Ghazali, dan Syaikh Al Qaradhawi, seakan tiga ulama ini benar-benar bodoh
dihadapannya. Juga antara beliau dengan Syaikh Hammud At Tuwaijiri, yang
keduanya sama-sama pedas dalam mengkritik, tapi dalam kehidupan nayata keduanya
baik-baik saja.
Belum lagi kritikan
beliau terhadap Syaikh Hasan As Saqqaf (pengarang kitab Tanaqudhat Al Albani
– Kontradiksinya Al Albani), atau Syaikh Habiburrahman Al A’zhami, atau
Syaikh Abdul Fattah Abu Ghuddah, dan masih banyak lainnya. Sehingga
hampir-hampir saja kita katakan bahwa
mereka adalah ulama yang saling bermusuhan dan membenci satu sama lain.
Wallahu A’lam
No comments:
Post a Comment