Pertanyaan:
Assalamu ‘Alaikum wa Rahmatullah wa Barakatuh.
Ust. Mau tanya apakah benar
menggulingkan pemerintahan muslim meskipun zalim itu haram seperti yang terjadi
di Mesir sekarang? (Dari 083899369xxx)
Jawaban:
Wa ‘Alaikum salam wa
Rahmatullah wa Barakatuh
Bismillah wal hamdulillah wash shalatu was salamu ‘ala rasulillah wa ‘ala
aalihi wa ashhabihi wa man waalah, wa ba’d:
Penguasa yang zalim lantaran ia banyak penyimpangan dan pelanggaran, fasiq,
korup, otoriter, kesesatan, kufur, menentang hukum Allah Azza wa Jalla.
Selalu ada sejak pasca masa-masa khulafa’ur rasyidin hingga
sekarang. Mereka memusuhi ulama dan para da’i Islam, bahkan mengejar, mengirim
mata-mata, memenjarakan dan membunuhnya, namun ada pula yang justru ‘dibeli’
untuk kepentingan status quonya. Para ulama dan da’i tersebut menjadi
skrup penguat kedudukan penguasa tersebut. Namun, pada umumnya para ulama dan
da’i selalu berseberangan dan menjadi penentang utama penguasa yang zalim,
bahkan manusia secara umum tidak akan sejalan dengan penguasa seperti itu.
Bagaimana Islam menyikapi penguasa yang zalim? Paling tidak, ada tiga
tahapan yang bisa dilakukan untuk menyikapinya. Pertama, menasehatinya dengan
hikmah dan pelajaran yang baik agar ia kembali kepada Allah ‘Azza wa Jalla.
Kedua, tidak mentaatinya sampai penguasa itu taat kembali kepada Allah dan
rasulNya. Ketiga, mencopotnya dari jabatannya. Namun yang terakhir ini
diperselisihkan legalitasnya. Bahkan ada yang tega menuduh upaya mencopot
penguasa yang zalim merupakan perilaku khawarij, yang dahulu pernah
memberontak kepada Ali radhiallahu ‘anhu.
Sikap-sikap ini akan kita lihat paparannya menurut Al Qur’an, As Sunnah AS
Shahihah, dan pandangan ulama ternama masa lalu dan
kontemporer.
Sikap Pertama. Memberikan Nasihat
Memberikan nasihat kepada penguasa zalim merupakan perintah klasik Allah Jalla
wa ‘ Ala kepada Nabi Musa dan Nabi Harun ‘alaihimas salam untuk
meluruskan kezaliman Fir’aun. Ini menunjukkan bahwa nasihat dan ajakan kepada kebaikan
merupakan upaya penyembuhan pertama bagi penguasa zalim, bahkan bagi siapa saja
yang menyimpang. Para fuqaha’ sepakat bahwa hukuman di dunia bagi orang
yang meninggalkan shalat secara sengaja baru bisa ditegakkan bila ia enggan
bertaubat setelah diperintahkan untuknya bertaubat. Memerangi orang kafir pun
baru dimulai ketika da’wah telah ditegakkan, namun mereka membangkang.
Allah Ta’ala berfirman:
“Pergilah
engkau (Musa) kepada Fir’aun karena ia telah thagha”
(QS. Thaha:24, Qs. An Nazi’at: 17)
“Pergilah
engkau berdua (Musa dan Harun) kepada Fir’aun karena ia telah thagha” (QS. Thaha: 43)
Thagha (طغى ) adalah melampaui batas dalam kesombongan dan
melakukan penindasan (diktator) (Khalid Abdurrahman Al ‘Ak, Shafwatul
Bayan li Ma’anil Qur’anil Karim, hal. 313) juga berarti menyimpang dan
sesat (ibid, hal. 314) dan kufur kepada Allah ‘Azza wa Jalla (Ibid,
hal. 584)
Berkata Imam Ibnu Katsir -rahimahullah “Maksudnya (Fir’aun) telah
melakukan penindasan dan menyombongkan diri.” (Ibnu Katsir, Tafsir Al
Qur’anul Azhim, 4/ 468)
Beliau juga berkata, “Pergilah engkau (Musa) kepada Fir’aun, penguasa
Mesir, yang telah mengusir dan memerangimu, ajaklah ia untuk ibadah kepada
Allah satu-satunya, tiada sekutu bagiNya, dan hendaknya ia berbuat baik kepada
Bani Israel, jangan menyiksa mereka. Sesungguhnya ia telah melampaui batas dan
membangkang, dan lebih mengutamakan kehidupan dunia dan melupakan Rabb yang
Maha Tinggi.” (Ibid, 3/146)
Jadi, ada alasan yang jelas kenapa Fir’aun harus diluruskan karena ia
melampaui batas, sombong, menindas, sesat, kufur dan membangkang kepada Allah Ta’ala.
Inilah ciri khas penguaza zalim, bisa terjadi pada siapa saja, di mana saja dan
kapan saja.
Mengutarakan
nasihat dan kalimat yang haq kepada penguasa yang zalim merupakan amal
mulia, bahkan disebut sebagai afdhalul jihad (jihad paling utama) (HR. Abu Daud No. 4344. At
Tirmidzi No hadits. 2265. Katanya: hadits ini hasan gharib. An Nasa’i
No. 4209, Ibnu Majah, No. 4011. Ahmad
No. 10716. Dalam riwayat Ahmad tertulis Kalimatul haq (perkataan yang
benar). Syaikh Al Albani menshahihkan
hadits ini dalam berbagai kitabnya, seperti Shahihul Jami’ No. 1100,
2209, Shahih wa Dhaif Sunan At Tirmidzi No. 2174, Shahih wa Dhaif
Sunan Abi Daud No. 4344, Shahih wa Dhaif Sunan Ibni Majah No. 4011,
dan Shahih wa Dhaif Sunan An Nasa’i No. 4209)
Bahkan jika ia mati terbunuh karena amar
ma’ruf nahi munkar kepada penguasa yang zalim maka ia termasuk penghulu
para syuhada, bersama Hamzah bin Abdul Muthalib. (HR. Al Hakim No. 4884. Ia nyatakan shahih, tetapi Bukhari-Muslim
tidak meriwayatkannya. Adz Dzahabi
menyepakatinya. Syaikh Al Albany mengatakan hasan, dia memasukkannya
dalam kitabnya As Silsilah Ash Shahihah, Juz. No. 374)
Dari Abu Ruqayyah Tamim bin Aus ad Dari radhiallahu ‘anhu, bahwa
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda: “Agama itu nasihat”,
Kami bertanya, “Bagi siapa?”, beliau menjawab, “Bagi Allah, KitabNya, RasulNya,
Imam-Imam kaum muslimin dan orang-orang umumnya. “ (HR. Muslim No. 55, At Tirmidzi No. 1990,
Ad Darimi No. 2754, Ibnu Hibban
No. 4574)
Nasihat
yang bagaimana?
Nasihat berasal dari kata nashaha ( ( نصحyang biasa diterjemahkan menasehati. Dalam Lisanul ‘Arab disebutkan
Nashaha Syai’ adalah Khalasha (memurnikan/membersihkan). (Ibnu
Manzhur, Lisanul ‘Arab, 2/615. Dar Shadir). Jadi, nasihat merupakan upaya pembersihan terhadap kotoran, kesalahan, dan
dosa, yang harus dilakukan dengan cara bersih pula.
Tentang da’wah terhadap Fir’aun Allah Ta’ala berfirman:
“Pergilah kalian berdua kepada Fir’aun karena ia telah melampaui batas.
Lalu katakanlah untuknya kalimat yang lemah lembut, agar ia ingat dan takut.” (QS. Thaha: 43-44)
Subhanallah! Terhadap fir’aun yang super zalim,
Allah Tabaraka wa Ta’ala memerintahkan dua orang utusanNya menda’wahi
dengan kata-kata yang lemah lembut (qaulan layyinan), bukan dengan
menghardik dan merendahkannya. Sebab -pada hakikatnya- dengan kezaliman yang
diperbuatnya, posisinya sudah rendah di mata rakyatnya, dan Allah pun telah
merendahkannya. Adapun menda’wahi dengan kekasaran ucapan dan sikap, justru
semakin membuatnya keras dan sombong, bahkan ia memiliki bala tentara untuk memberangus
lawan-lawannya. Tentunya ini tidak membawa kebaikan bagi da’wah.
Apa tujuannya? ..agar ia ingat dan takut.
Ya, agar ia ingat untuk kembali (taubat) dan meninggalkan kesesatannya (Shafwatul
Bayan, hal. 314) bukan agar binasa dan berakhir kekuasaannya. Sebab
bila masih ada kesempatan untuk menjadi orang baik, maka upaya menasihati
dengan bijak adalah lebih utama.
Imam Ibnu Qudamah meriwayatkan dari Imam Ahmad bin Hambal radhiallahu
‘anhu ucapannya, “Janganlah sekali-kali engkau menentang penguasa, karena
pedangnya selalu terhunus. Tentang apa yang dilakukan orang-orang salaf
(terdahulu) yang berani menentang para penguasa, karena para penguasa itu
enggan kepada ulama. Jika para ulama itu datang, maka mereka akan menghormati
dan tunduk kepada mereka.” (Minhajul Qashidin, hal. 160. Pustaka Al
Kautsar, cet. 1. Oktober 1997)
Namun demikian, betapapun lemah lembutnya menda’wahi penguasa yang zalim,
konsistensi terhadap kebenaran, tidak basa-basi dengan penyimpangan, adalah
sikap yang harus terus dijaga. Sebab biasanya bila sudah memasuki pintu-pintu
penguasa maka keberanian manusia jauh berkurang, terjadi banyak pemakluman
terhadap kedurhakaannya, dan tidak enak hati, itulah sebabnya Nabi Musa ‘Alaihis
salam berdo’a ketika hendak menda’wahi Fir’aun, Rabbisyrahli shadri wa
yassirli amri (Tuhanku lapangkan dadaku, mudahkan urusanku)…dst dan ia juga
minta kepada Allah Jalla wa ‘Ala berupa bantuan saudaranya, Nabi Harun ‘Alaihis
salam, agar kekuatannya bertambah.
Sangat banyak kisah salafus shalih yang enggan mendekati pintu-pintu istana
khawatir fitnah yang dilahirkannya. Namun tidak sedikit pula salafus shalih
yang berani amar ma’ruf nahi munkar kepada penguasa.
Beberapa kisah nasihat untuk para
Penguasa
Said bin Amir pernah berkata kepada khalifah Umar bin al Khathab radhiallahu
‘anhu, “Sesungguhnya aku akan memberimu nasihat, berupa kata-kata Islam dan
ajaran-ajarannya yang luas maknanya: Takutlah kepada Allah dalam urusan manusia
dan janganlah takut kepada manusia dalam urusan Allah, janganlah perkataanmu
berbeda dengan perbuatanmu, karena sebaik-baik perkataan adalah yang dibenarkan
perbuatan. Cintailah orang-orang muslim yang dekat dan jauh seperti engkau
cintai bagi dirimu dan anggota keluargamu. Tuntunlah kebodohan kepada kebenaran
selagi engkau mengetahuinya. Janganlah takut celaan orang-orang yang suka
mencela.”
Umar bertanya, “Lalu siapa orang yang bisa berbuat seperti itu wahai Abu
Said?”
Dia menjawab,”Siapa yang bisa memanggul di atas pundaknya seperti siapa
yang memanggul di atas pundakmu.”
Ada seorang tua renta dari Al Azd yang memasuki tempat tinggal khalifah
Mu’awiyah, lalu dia berkata kepadanya, “Bertakwalah kepada Allah wahai
Mu’awiyah, dan ketahuilah setiap hari ada yang keluar dari dirimu dan setiap
malam ada yang dating kepadamu, yang tidak memberi tambahan bagi dunia
melainkan semakin jauh dan tidak menambahkan bagi akhirat melainkan semakin
dekat. Di belakangmu ada yang mencari dan engkau tidak bisa mengelak darinya.
Engkau telah mendapatkan ilmu yang tidak bisa engkau lewatkan. Betapa cepat ilmu
yang engkau dapat. Betapa cepat yang mencarimu akan menghampirimu. Apa yang ada
pada dirimu akan segera berlalu, sementara yang akan kita datangi tetap abadi.
Kebaikan pasti akan dibalas kebaikan dan kejelekan pasti akan dibalas dengan
kejelekan pula.”
Suatu kali khalifah Umar bin Abdul Aziz berkata kepada Abu Hazim, “Berilah
aku nasihat!”
Abu Hazim berkata, “Kalau begitu tidurlah telentang, kemudian anggaplah
seakan-akan kematian ada di dekat kepalamu, lalu pikirkanlah sesuatu yang
engkau inginkan saat itu, maka ambillah sekarang juga, sedangkan apa yang
engkau benci pada saat itu, buanglah!” (Ibid, hal. 160-165)
Pada bulan Rajab 1366H Imam Syahid Hasan Al Banna Radhiallahu ‘Anhu
mengirim surat kepada raja Faruq I (Penguasa Mesir dan Sudan), juga kepada
Musthafa an Nuhas Pasya kepala pemerintahan (perdana menteri) saat itu, juga
ditujukan kepada raja-raja, penguasa, pemimpin negeri-negeri Islam lainnya, dan
juga kepada orang-orang yang berpengaruh dalam urusan agama dan dunia. Inilah
mukaddimah surat itu:
Bismillahirrahmanirahim
Segala puji
bagi Allah, dan selawat dan salam atas sayyidina Muhammad dan keluarganya,
beserta para sahabatnya. “Wahai Tuhan kami berikanlah rahmat kepada kami dar
sisiMu dan sempurnakanlah bagi kami petunjuk yang lurus dalam urusan kami.” (QS.
Al Kahfi:10)
Kairo, Rajab
1336H
Kepada Yang
Terhormat
……….
Assalamu
‘Alaikum Wr. Wb.
Wa ba’du, Kami persembahkan surat ini kehadapan
Tuan yang mulia, dengan keinginan yang kuat untuk memberi bimbingan kepada
umat, yang urusan mereka telah Allah Subhanahu wa Ta’ala telah bebankan
ke pundak Anda saat ini. Suatu bimbingan yang semoga dapat mengarahkan umat di
atas jalan yang terbaik. Sebuah jalan yang dibangun oleh sistem hidup terbaik,
bersih dari keguncangan yang tidak pasti, dan telah teruji dalam sejarah hidup
yang panjang.
Kami tidak mengharap apa pun dari Anda, melainkan bahwa dengan ini kami
telah menunaikan kewajiban dan menyampaikan nasihat untuk Anda. Dan Pahala dari
Allah adalah yang lebih baik dan kekal. (Al Imam Asy Syahid Hasan Al Banna, Majmu’ah Rasail, hal.63-67. Risalah Nahwan nur, Al
Maktabah At Taufiqiyah, tanpa tahun)
Demikianlah cuplikan beberapa nasihat para ulama untuk para penguasa, baik
penguasa adil atau yang yang zalim.
Saat ini nasihat untuk penguasa bisa dilakukan melalui surat terbuka di
media massa, surat langsung untuk presiden, bisa melalui parlemen, open
hause, bahkan demonstrasi. Untuk ini (demo) para ulama kontemporer berbeda
pendapat, ada yang membolehkan dan ada pula yang melarangnya. Wallahu A’lam
Menasihati Pemimpin Secara
Diam-Diam
Menasihati pemimpin secara diam-diam,
memang dianjurkan oleh syariat. Namun, hal itu tidaklah menunjukkan larangan
dengan cara terangan-terangan. Hal ini hanyalah masalah pilihan uslub
(metode). Kedua cara ini pada kondisi dan jenis kesalahan tertentu, memiliki
efektifitas dan keunggulannya sendiri. Oleh karena itu, tidak dibenarkan saling
meremehkan satu cara dibanding cara yang lain. Tidak seperti prasangkaan
sebagian manusia, bahwa hadits tentang anjuran menasihati pempimpin secara
diam-diam, merupakan petunjuk satu-satunya cara nasihat kepada pemimpin, dan
haram cara lainnya. Prasangkaan ini tidak benar, dan bertentangan dengan Al
Quran serta contoh para nabi, salafush shalih, dan para ulama rabbani.
Dari ‘Iyadh bin Ghanm Radhiallahu
‘Anhu bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
مَنْ أَرَادَ أَنْ يَنْصَحَ
لِسُلْطَانٍ بِأَمْرٍ فَلَا يُبْدِ لَهُ عَلَانِيَةً وَلَكِنْ لِيَأْخُذْ بِيَدِهِ
فَيَخْلُوَ بِهِ فَإِنْ قَبِلَ مِنْهُ فَذَاكَ وَإِلَّا كَانَ قَدْ أَدَّى الَّذِي
عَلَيْهِ لَهُ
“Barangsiapa yang hendak menasihati
pemimpin terhadap suatu urusan, maka janganlah menampakkannya
terang-terangan, tetapi hendaknya dia meraih tangannya lalu dia menasihatinya
berduaan. Jika dia menerima nasihatnya, maka bagimu akan mendapat ganjaran,
jika dia tidak menerima, maka dia telah menunaikan apa-apa yang layak bagi
sultan tersebut.” (HR. Ahmad, No. 15369, Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan: shahih
lighairih. Lihat juga Al Musnad Al Jami’, 34/35)
Hadits ini sering dijadikan alasan oleh
sebagian kaum muslimin agar jangan menasihati
pemimpin secara terang-terangan bahkan mereka mengharamkan demonstrasi dengan
alasan hadits ini pula. Anjuran dalam hadits ini adalah agar
kita menasihati pemimpin secara face to face atau empat mata.
Anjuran yang ada dalam
hadits ini, tidaklah
sama sekali menunjukkan pembatasan bahwa inilah satu-satunya cara, melainkan
hadits ini berbicara tentang salah satu bentuk cara nasihat terhadap pemimpin. Tak ada korelasi apa pun dalam hadits ini yang menunjukkan
bahwa terlarangnya menasihati pemimpin secara terbuka. Sebab, sejarah menunjukkan bahwa para Nabi dan Rasul, sebagian sahabat, tabi’in, dan para
imam kaum muslimin, pernah menasihati pemimpin secara terang-terangan
sebagaimana yang akan kami paparkan nanti.
Menasihati, Menegur, dan Mengkritik
Pemimpin Secara Terang-Terangan
Berikut ini adalah
bukti bahwa cara ini juga pernah dilakukan oleh manusia mulia. Baik yang
melakukannya di istana penguasa atau di tempat selain istana. Sekaligus paparan
di bawah ini sebagai koreksi bagi pihak-pihak yang melarang menasihati dan
menegur kesalahan penguasa secara terang-terangan.
Zaman Para Nabi ‘Alaihim Shalatu was
Salam
Metode ini pun
pernah terjadi pada umat-umat terdahulu. Di antaranya adalah nasihat terbuka
yang dilakukan oleh Nabi Ibrahim ‘Alaihissalam, bahkan bukan hanya
nasihat, beliau melakukan aksi nyata dengan menghancurkan berhala-berhala saat
itu. Bahkan beliau berdialog dengan Namrudz dari Babilonia yang disaksikan oleh
para pembesar dan pengawalnya. Sebagaimana yang Allah Ta’ala ceritakan dalam Al
Quran:
“Apakah kamu tidak
memperhatikan orang yang mendebat Ibrahim tentang Tuhannya (Allah) karena Allah
telah memberikan kepada orang itu pemerintahan (kekuasaan). ketika Ibrahim
mengatakan: "Tuhanku ialah yang menghidupkan dan mematikan," orang
itu berkata: "Saya dapat menghidupkan dan mematikan".Ibrahim berkata:
"Sesungguhnya Allah menerbitkan matahari dari timur, Maka terbitkanlah Dia
dari barat," lalu terdiamlah orang kafir itu; dan Allah tidak memberi
petunjuk kepada orang-orang yang zalim.” (QS. Al Baqarah (2): 258)
Tentang ayat ini,
Zaid bin Aslam mengatakan, bahwa raja pertama yang diktator di muka bumi adalah
Namrudz. Manusia keluar rumah serta menjejerkan makanan di depan Namrudz.
Begitu pula Ibrahim pun ikut melakukannya bersama manusia. Masing-masing mereka
dilewati oleh Namrudz dan dia bertanya; “Siapakah Tuhanmu?” Mereka menjawab:
“Engkaulah!” hingga giliran Ibrahim, Namrudz bertanya: “Siapakah Tuhanmu?”
Ibrahim menjawab: “Tuhanku adalah yang menghidupkan dan mematikan.” Namrudz
menjawab: “Aku bisa menghidupkan dan mematikan.” Ibrahim berkata: “Sesungguhnya
Allah menerbitkan matahari di Timur dan menenggelamkannya di Barat.” Maka
bungkamlah orang kafir itu.” (Imam Abu Ja’far bin Jarir Ath Thabari,
Jami’ Al Bayan fi Ta’wilil Quran, 5/433. Muasasah Ar Risalah, Tahqiq:
Syaikh Ahmad Muhammad Syakir)
Ayat ini, dengan
gamblang menjelaskan Nabi Ibrahim mengkritik dan mendebat raja zalim, Namrudz,
secara terang-terangan di depan banyak manusia. Bukti lain bahwa Nabi Ibrahim
mengkritik dan mendebat secara terang-terangan di depan kaumnya adalah
isyarat yang Allah Ta’ala sebutkan dalam ayatNya:
“Dan Itulah hujjah Kami yang Kami berikan kepada Ibrahim untuk menghadapi
kaumnya.” (QS. Al An’am 96): 83)
Juga yang
dilakukan oleh Nabi Musa dan Nabi Harun ‘Alaihimassalam, mereka berdua
menasehati Fir’aun di depan para pembesar istananya. Bahkan Nabi Musa
mempermalukan Fir’aun di depan pasukannya sendiri di istana dengan mengalahkan
para ahli sihirnya dengan mukjizat yang Allah Ta’ala berikan kepadanya. Bahkan
akhirnya ahli sihir Fir’aun bertobat dan beriman kepada Allah Ta’ala.
Semua ini terekam di dalam Al Quran, surat Thaha ayat 43-76.
Para Sahabat Nabi Shallallahu
‘Alaihi wa Sallam
Metode ini pun
juga ada pada masa sahabat. Ketika Umar bin Al Khathab Radhiallahu ‘Anhu
menyampaikan khutbah di atas mimbar, dia menyampaikan bahwa Umar hendak
membatasi Mahar sebanyak 400 Dirham, sebab nilai itulah yang dilakukan oleh
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, jika ada yang lebih dari itu
maka selebihnya dimasukkan ke dalam kas negara. Hal ini diprotes langsung oleh
seorang wanita, di depan manusia saat itu, dengan perkataannya: “Wahai Amirul
mu’minin, engkau melarang mahar buat wanita melebihi 400 Dirham?” Umar
menjawab: “Benar.” Wanita itu berkata: “Apakah kau tidak mendengar firman
Allah:
“ .... sedang kamu
telah memberikan kepada seseorang di antara mereka harta yang banyak, Maka
janganlah kamu mengambil kembali dari padanya barang sedikitpun. Apakah kamu
akan mengambilnya kembali dengan jalan tuduhan yang Dusta dan dengan
(menanggung) dosa yang nyata ?.” (QS. An Nisa (4): 20)
Umar menjawab; “Ya
Allah ampunilah, semua manusia lebih tahu dibanding Umar.” Maka umar pun
meralat keputusannya. (Tafsir Al Quran Al ‘Azhim, 2/244. Imam Ibnu katsir
mengatakan: sanadnya jayyid qawi (baik lagi kuat). Sementara Syaikh Abu
Ishaq Al Huwaini menyatakan hasan li ghairih)
Inilah Umar
bin Al Khathab. Beliau menerima kritikan terbuka wanita tersebut, dengan jiwa
besar dia mengakui kesalahannya, serta tidak mengatakan: “Engkau benar, tapi
caramu menasihatiku salah, seharusnya engkau nasihatiku secara diam-diam, tidak
terang-terangan!” Tidak. Umar tidak sama sekali mengingkari cara wanita itu
menasihatinya di depan banyak manusia. Bukan hanya itu, para sahabat yang
melihatnya pun tidak pula mengingkari wanita tersebut. Jikalau wanita itu
salah dalam penyampaiannya, maka tentunya serentak dia akan diingkari oleh
banyak manusia saat itu. Faktanya tidak ada pengingkaran itu. Ini disebabkan
karena keputusan khalifah Umar, akan membawa dampak bagi rakyatnya, maka
meralatnya pun dilakukan secara terbuka.
Metode ini juga
dijalankan oleh para tabi’in serta generasi selanjutnya. Hal ini terekam dalam
kitab-kitab para ulama. Jika, mereka menasihati pemimpin secara empat mata dan
sembunyi-sembunyi, tentunya dari mana manusia bisa tahu peristiwa-peristiwa
ini? Jika ada manusia meriwayatkan Imam Fulan telah menashati khalifah, atau
gubernur, maka ini sudah tidak bisa disebut diam-diam atau empat mata, sebab
ada orang lain yang mendengarkan atau melihat, lalu orang tersebut meriwayatkan
ke generasi selanjutnya hingga ke tangan kita.
Syaikhan (Bukhari-Muslim) meriwayatkan tentang
perilaku gubernur Madinah di mushalla (lapangan tempat shalat Id), Marwan bin
Hakam, yang telah merubah tata cara salat Id. Beliau ingin mendahulukan khutbah
dahulu, lalu shalat Id. Beliau naik mimbar sebelum shalat, lalu Katsir bin
Shalt menegurnya: “Ghayyartum Wallahi!” (Demi Allah kau telah merubah agama!).
Nah, kisah ini amat jelas merupakan nasihat tegas kepada pemimpin di depan umum
yakni jamaah shalat Id saat itu. Dan, tak ada yang mengatakan hal itu ‘keliru’
apalagi khawarij kepada Katsir bin Shalt. Ya, ini sangat jelas!
Katsir bin Shalt tidak menegur Marwan
dengan mendatanginya ke istana, lalu menasihatinya diam-diam. Tidak
demikian.
Berikut ini
adalah beberapa contoh para Imam kaum muslimin.
Sa’id bin Jubeir Radhiallahu ‘Anhu
terhadap Al Hajjaj bin Yusuf Ats Tsaqafi
Tentang kecaman keras
Said bin Jubeir Radhiallahu ‘Anhu terhadap gubernur zalim di Madinah,
sangat terkenal. Beliau berkata tentang Hajjaj bin Yusuf dan pasukannya,
sebagai berikut:
عن أبي
اليقظان قال: كان سعيد بن جبير يقول يوم دير الجماجم وهم يقاتلون: قاتلوهم على
جورهم في الحكم وخروجهم من الدين وتجبرهم على عباد الله وإماتتهم الصلاة
واستذلالهم المسلمين. فلما انهزم أهل دير الجماجم لحق سعيد بن جبير بمكة فأخذه
خالد بن عبد الله فحمله إلى الحجاج مع إسماعيل بن أوسط البجلي
“Dari Abu Al
Yaqzhan, dia berkata: Said bin Jubeir pernah berkata ketika hari Dir Al
Jamajim, saat itu dia sedang berperang (melawan pasukan Hajjaj):
“Perangilah mereka karena kezaliman mereka dalam menjalankan pemerintahan,
keluarnya mereka dari agama, kesombongan mereka terhadap hamba-hamba Allah,
mereka mematikan shalat dan merendahkan kaum muslimin.” Ketika penduduk Dir
Al Jamajim kalah, Said bin Jubeir melarikan diri ke Mekkah. Kemudian dia
dijemput oleh Khalid bin Abdullah, lalu dbawanya kepada Hajjaj bersama Ismail
bin Awsath Al Bajali.” (Imam Muhammad bin Sa’ad, Thabaqat Al Kubra,
6/265. Dar Al Mashadir, Beirut)
Demikianlah salah satu kecaman keras terhadap pemimpin Madinah, oleh seorang
ulama fiqih dan tafsir, salah satu murid terbaik Abdullah bin Abbas Radhiallahu
‘Anhuma, yakni Al Imam Sa’id bin Jubeir Rahiallahu ‘Anhu. Dia adalah
imamnya para imam pada zamannya, dan manusia paling ‘alim saat itu. Dia
tidak mengatakan: “Aku akan pergi ke Hajjaj dan akan menasihatinya empat mata!”
Tidak, dan tak satu pun ulama saat itu dan setelahnya, menjulukinya khawarij.
Imam Amr Asy Sya’bi Radhiallahu ‘Anhu
terhadap Al Hajjaj bin
Yusuf Ats Tsaqafi
Beliau
sezaman dengan Sa’id bin Jubeir, dan juga berhadapan dengan Hajjaj bin Yusuf
Ats Tsaqafi, hanya saja dia tidak sampai melakukan perlawanan fisik.
Imam Adz Dzahabi juga menceritakan, bahwa Imam Amr Asy Sya’bi telah mengkritik
penguasa zalim, Hajjaj bin Yusuf dan membeberkan aibnya di depan banyak
manusia. Dari Mujalid, bahwa Asy Sya’bi berkata:
فأتاني قراء أهل الكوفة، فقالوا: يا أبا عمرو، إنك
زعيم القراء، فلم يزالوا حتى خرجت معهم، فقمت بين الصفين أذكر الحجاج وأعيبه
بأشياء، فبلغني أنه قال: ألا تعجبون من هذا الخبيث ! أما لئن أمكنني الله منه،
لاجعلن الدنيا عليه أضيق من مسك جمل
“Maka, para Qurra’ dari Kufah datang menemuiku. Mereka berkata: “Wahai
Abu Amr, Anda adalah pemimpin para Qurra’.” Mereka senantiasa merayuku
hingga aku keluar bersama mereka. Saat itu, aku berdiri di antara dua barisan
(yang bertikai). Aku menyebutkan Al Hajaj dan aib-aib yang telah
dilakukannya.” Maka sampai kepadaku (Mujalid), bahwa dia berkata:
“Tidakkah kalian heran dengan keburukan ini?! Ada pun aku, kalaulah Allah
mengizinkan mengalahkan mereka, niscaya dunia ini akan aku lipat lebih kecil
dari kulit Unta membungkusnya.” (Ibid, 4/304)
Demikianlah Imam Amr Asy Sya’bi. Beliau mengkritik Al Hajjaj secara
terang-terangan, di antara dua pasukan yang bertikai. Dia tidak mengatakan:
“Aku akan temui Al hajjaj secara empat mata, lalu aku akan beberkan aib-aibnya
dan menasihati dia secara sembunyi.” Tidak demikian.
Imam Muhammad bin Sirin Radhiallahu ‘Anhu terhadap
Ibnu Hubairah
Beliau dikenal
sebagai orang yang paling tegas terhadap Ahli bid’ah dan penguasa yang
zalim. Dia pun secara terang-terangan menegur penguasa zamannya –yakni
Ibnu Hubairah- di depan orang lain. Sebenarnya, Ibnu hubairah adalah salah satu
pejabat tinggi dalam pemerintahan Khalifah Marwan.
Berikut ini yang diceritakan Imam Abu Nu’aim Al Ashbahani:
جعفر بن مرزوق، قال: بعث ابن هبيرة
إلى ابن سيرين والحسن والشعبي، قال: فدخلوا عليه، فقال لابن سيرين: يا أبا بكر
ماذا رأيت منذ قربت من بابنا، قال: رأيت ظلماً فاشياً، قال: فغمزه ابن أخيه بمنكبه
فالتفت إليه ابن سيرين، فقال: إنك لست تسأل إنما أنا أسأل، فأرسل إلى الحسن بأربعة
آلاف وإلى ابن سيرين بثلاثة آلاف، وإلى الشعبي بألفين؛ فأما ابن سيرين فلم يأخذها.
Ja’far bin Marzuq berkata, “Ibnu Hubairah pernah memanggil Ibnu Sirin, Al Hasan
(Al Bashri), dan Asy Sya’bi, dia berkata: “Masuklah kalian.” Maka dia bertanya
kepada Ibnu Sirin: “Wahai Abu Bakar, apa yang kau lihat sejak kau mendekat
pintu istanaku?” Ibnu Sirin menjawab: “Aku melihat kezaliman yang merata.”
Perawi berkata: Maka saudaranya menganggukan tengkuknya, dan Ibnu Sirin pun
menoleh kepadanya. Lalu dia berkata (kepada Ibnu Hubairah): “Bukan kamu yang
seharusnya bertanya, tetapi akulah yang seharusnya bertanya.” Maka, Ibnu
Hubairah akhirnya memberikan Al Hasan empat ribu dirham, Ibnu Sirin tiga ribu
dirham, dan Asy Sya’bi dua ribu. Ada pun Ibnu Sirin dia tidak mengambil hadiah itu.” (Hilyatul
Auliya’, 1/330. Mauqi’ Al Warraq)
Imam Adz Dzahabi mengatakan:
قال هشام: ما رأيت أحدا عند السلطان أصلب من ابن سيرين
“Berkata Hisyam: Aku belum pernah melihat orang yang paling tegas terhadap
penguasa dibanding Ibnu Sirin.” (Siyar A’lam An Nubala, 4/615)
Inilah Imam
Muhammad bin Sirin Radhiallahu ‘Anhu, dia menegur kezaliman yang ada
dalam istana, di depan banyak orang dan ulama. Mereka seperti Al Hasan
dan Asy Sya’bi, pun tidak mengingkarinya. Ibnu Sirin tidak mengatakan kepada
Ibnu Hubairah: “Aku ingin katakan kepadamu secara rahasia, bahwa kezaliman di
istanamu telah merata!” Tidak demikian.
Lagi pula, tahu dari mana Hisyam, kalau Ibnu Sirin adalah manusia paling tegas
terhadap penguasa jika dia menegurnya secara sembunyi-sembunyi?
Sufyan Ats Tsauri Radhiallahu ‘Anhu
terhadap Khalifah Al Mahdi
Siapa yang tidak
kenal dengan nama ini? Imam Ahlus Sunnah, muara para ulama pada zamannya. Di
depan para sahabatnya, dia pun pernah secara terang-terangan menegur dan
menasihati Khalifah Al Mahdi yang sedang bersama pengawalnya, bahkan membuatnya
marah. Berikut ini ceritanya, sebagaimana diceritakan oleh Imam Abu
Nu’aim Al Ashbahani.
Dari ‘Ubaid bin Junad, katanya:
عطاء بن مسلم، قال: لما
استخلف المهدي بعث إلى سفيان، فلما دخل خلع خاتمه فرمى به إليه، فقال: يا أبا عبد
الله هذا خاتمي فاعمل في هذه الأمة بالكتاب والسنة، فأخذ الخاتم بيده، وقال: تأذن
في الكلام يا أمير المؤمنين. قال عبيد: قلت لعطاء: يا أبا مخلد قال له: يا أمير
المؤمنين. قال: نعم، قال: أتكلم علي أني آمن. قال: نعم، قال: لا تبعث إلي حتى
آتيك، ولا تعطني شيئاً حتى أسألك، قال: فغضب من ذلك وهم به فقال له كاتبه: أليس قد
أمنته يا أمير المؤمنين. قال: بلى، فلما خرج حف به أصحابه، فقالوا: ما منعك يا أبا
عبد الله وقد أمرك أن تعمل في هذه الأمة بالكتاب والسنة؟ قال: فاستصغر عقولهم ثم
خرج هارباً إلى البصرة.
’Atha bin Muslim berkata: “Ketika masa kekhalifahan Al Mahdi, dia
berkunjung ke rumah Sufyan. Ketika dia masuk, dia melepaskan dan melemparkan
cincinnya kepada Sufyan. Lalu dia berkata: “Wahai Abu Abdillah, inilah cincinku
maka berbuatlah terhadap umat ini dengan Al Quran dan As Sunnah.” Maka Sufyan
mengambil cincin itu dengan tangannya, lalu berkata: “Izinkan aku berbicara
wahai amirul mu’minin.” Berkata ‘Ubaid: Aku berkata kepada ‘Atha bin Muslim:
“Hai Abu Makhlad, dia (Sufyan) berkata kepada Al Mahdi: “Wahai Amirul
mu’minin?” ‘Atha menjawab: “Ya.”
Sufyan berkata: “Apakah aku akan aman jika aku bicara?” Al Mahdi menjawab:
:Ya.” Sufyan berkata: “Jangan kau kunjungi aku hingga akulah yang
mendatangimu, dan janganlah memberiku apa-apa sampai aku yang memintanya
kepadamu.” ‘Atha berkata: “Maka marahlah Al Mahdi karena itu, dan dia
berangan ingin memukulnya karenanya. Maka, berkatalah sekretarisnya kepadanya:
“Bukankah kau sudah mengatakan bahwa dia aman wahai Amirul Mu’minin?” Al Mahdi
menjawab: “Tentu.” Maka, ketika dia keluar, maka para sahabat Sufyan
mengelilinginya dan bertanya: “Apa yang dia larang kepadamu wahai Abu
Abdillah, apakah dia memerintahkanmu untuk memperlakukan umat ini dengan Al
Quran dan As Sunnah?” Sufyan menjawab: “Remehkanlah akal mereka.” Lalu
Sufyan Ats Tsauri melarikan diri ke Bashrah.” (Hilyatul Auliya’,
3/166. Mauqi’ Al Warraq)
Demikianlah Imam Sufyan Ats Tsauri, memberikan
teguran yang mendalam, bahkan meminta agar para sahabatnya meremehkan
akal/kecerdasan Al Mahdi dan pengikutnya. Dia tidak mengatakan: “Biarkanlah
dia, aku akan menasihatinya secara empa mata.” Tidak. Dia langsung menegurnya,
walau di depan orang yang bersangkutan dan para pengawalnya. Inilah Imam Ahlus
Sunnah.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah Rahimahullah
Selain seorang
ulama yang agung, beliau juga seorang mujahid. Tidak seperti prasangka sebagian
kecil manusia, yang menuduhnya tidak pernah ikut berperang bersama kaum
muslimin. Justru beliau adalah bintangnya dan pemimpin mereka.
Beliau juga sangat
tegas dengan penyimpangan penguasa walau pun penguasa itu muslim. Hal itu
dia buktikan dengan nasihatnya yang berani dan secara terbukan kepada Sultan
Ibnu Ghazan. Syaikh Ahmad Farid menceritakan:
“Tatkala Sultan Ibnu Ghazan berkuasa di Damaskus, Raja Al Karaj datang
kepadanya dengan membawa harta yang banyak agar Ibnu Ghazan memberikan
kesempatakan kepadanya untk menyerang kaum musimin Damaskus.”
(Demikianlah rencana jahat Sultan, ingin bekerja sama dengan raja musuh untuk
menyerang kaum muslimin). Lalu Syaikh Ahmad Farid melanjutkan:
“Namun berita ini sampai ke telinga Syaikh Ibnu Taimiyah. Sehingga ia langsung
bertindak menyulut api semangat kaum muslimin untuk menentang rencana tersebut
dan menjanjikan kepada mereka suatu kemenangan, keamanan, kekayaan, dan rasa
takut yang hilang. Lalu bangkitlah para pemuda, orang-orang tua dan
para pembesar mereka menuju sultan Ghazan.”
(Inilah Syaikhul
Islam Ibnu Taimiyah, ia bersama umat Islam lainnya menuju istana Sultan
untuk menentang kebijakan dan rencana jahatnya bersama Raja Al Karaj untuk
menyerang kaum muslimin Damaskus. Inilah yang orang sekarang bilang
demonstrasi. Imam Ibnu Taimiyah tidak mengatakan: “Aku akan nasihati Sultan
Ghazan secara empat mata.” Justru ia melakukannya bersama umat Islam secara
terang-terangan. Apa yang akan dikatakan dan dilakukan oleh Imam Ibnu
Taimiyah, jika saat ini dia melihat ada sebuah negara muslim yang meminta
pertolongan Amerika Serikat untuk menyerang kaum muslimin Iraq? Atau Presiden
yang bermesraan dengan Zionist Yahudi dan menutup jalur bantuan menuju Gaza, atau
mengizinkan tentara kafir membuka pangkalan militer di negeri muslim agar
mereka mudah mengendalikan negeri-negeri muslim? Dahulu ada Sultan Ibnu Ghazan
dan Raja Al Karaj yang bermesraan, namun masih ada Imam Ibnu Taimiyah. Saat
ini, ada pemimpin negeri muslim bermesraan dengan pemimpin kolonialisme modern,
AS, namun, saat ini tidak ada yang seperti Imam Ibnu taimiyah!)
Selanjutnya Syaikh
Ahmad Farid mengatakan:
“Tatkala Sultan
Ghazan melihat Syaikh Ibnu Taimiyah, Allah menjadikan hati Sultan Ghazan
mengalami ketakutan yang hebat terhadapnya sehingga ia meminta Syaikh Ibnu
Taimiyah agar mendekat dan duduk bersamanya.
Kesempatan
tersebut digunakan Syaikh Ibnu Taimiyah untuk menolak rencananya, yaitu
memberikan kesempatan keada Raja Al Karaj yang hina untuk menghabisi umat Islam
Damaskus. Ibnu Taimiyah memberitahu Sultan Ibnu Ghazan tentang kehormatan darah
muslimin, mengingatkan dan memberi nasihat kepadanya. Maka Ibnu Ghazan menurut
nasihat Ibnu Tamiyah tersebut. Dari situ, terselamatkanlah darah-darah umat
Islam, terjaga isteri-isteri mereka, dan terjaga budak-budak perempuan
mereka.” (Selengkapnya lihat 60 Biografi Ulama Salaf, Hal.
797-798)
Imam Izzuddin bin Abdissalam Rahimahullah
Beliau dijuluki Shulthanul ‘Ulama (pemimpinnya para ulama) pada masanya.
Dialah ulama yang sangat pemberani terhadap kesewenangan penguasa. Ia
menegur pemimpin yang menyimpang langsung di depannya dan dihadapan banyak
manusia, bahkan juga di mimbar khutbah Jumat.
Kami akan kutipkan sebuah peristiwa heroik beliau berikut ini:
Syaikh Al Baji (murid Imam Izzudn bin Abdisalam) mengatakan: “Syaikh kami,
Izzuddin pergi kepada Sultan Najmuddin Ayyub pada hari ‘Id di Qal’ah (benteng
Shalahuddin).
Di sana ia menyaksikan para prajurit yang berbaris di depan Sultan Najmuddin
dan dewan kerajaan saat itu. Suasana kerajaan saat itu sangat megah. Sultan
Najmuddin keluar kepada mereka dengan memakai perhiasan sebagaimana adat para
Sultan di Mesir. Para pejabat saat itu pun sujud mencium tanah di depan sang
Sultan.
Melihat peristiwa tersebut Syaikh Izzuddin menoleh kepada Sultan Najmuddin dan
berteriak memanggilnya, Wahai Ayyub! Apa hujjahmu di hadapan Allah ketika Dia
berkata kepadamu,”Aku telah berikan kerajaan Mesir kepadamu lalu kamu
memperbolehkan khamr!” Sultan Najmuddin Ayyub berkata, “Apakah ini terjadi?”
Syaikh Izzuddin menjawab, “Ya, di toko seorang perempuan telah dijual minuman
khamr dan hal-hal lain yang munkar, sementara kamu bergelimang dalam kenikmatan
kerajaan ini.”
Syaikh Izzuddin memanggilnya (sultan) dengan suara sangat keras, sementara itu
para prajuritnya membisu dan keheranan. Lalu Sultan Najmuddin Ayyub berkata,
:Wahai Tuanku, itu bukan perbuatanku, ini sudah ada sejak zaman ayahku.” Syaikh
Izzuddin berkata: “Kamu termasuk golongan orang yang mengatakan:
"Sesungguhnya
Kami mendapati bapak-bapak Kami menganut suatu agama,..” (QS. Az Zukhruf (43):
22)
Lalu Sultan Ayyub
merencanakan meusnahkan toko tersebut.” (Ibid, 747-748)
Inilah Imam Al
‘Izz bin Abdissalam, dengan suara lantang dia mengkritik sultan di depan banyak
manusia, dan hal itu efektif sebagai presure (tekanan) agar sultan mau
menerima nasihatnya.
Bahkan, lebih
berani lagi Imam Izzuddin bin Abdissalam menganggap bahwa para sultan saat itu
masih terjerat hukum perbudakan sehingga para sultan adalah milik baitul mal
kaum muslimin. Para sultan ini boleh dijual untuk kemaslahatan kaum muslimin.
Hingga wakil sultan marah dan berkata: “Bagaimana Syaikh ini memanggil kami dan
ingin menjual kami? Sementara kami adalah raja-raja dunia. Demi Allah, aku akan
penggal kepalanya!”
Namun yang terjadi
ketika wakil sultan datang ke rumah Imam Izzuddin bin Abdissalam, justru
pedangnya terjatuh, badannya gemetar karena kewibawaan Imam Izzuudin. Wakil
sultan berkata: “Wahai Tuanku, apa yang kau inginkan?” Syaikh Izzuddin
menjawab: “Aku memanggil dan menjual kalian.” Wakil sultan bertanya: “Untuk apa
kau menjual kami?” Syaikh Izzuddin menjawab: “Demi kemaslahatan umat Islam.”
Wakil sultan bertanya lagi: “Siapa yang menerimanya?” Syaikh Izzuddin menjawab:
“Akulah yang menerimanya.” Lalu para pejabat pemerintah dipanggil satu persatu
dan dijual dengan harga mahal. Hasil penjualan mereka digunakan untuk
kemaslahatan umat Islam. Ini adalah peristiwa yang belum pernah terjadi
sebelumnya.” (Ibid, Hal. 749-750)
Ada peristiwa yang
mirip dengan masa Imam Ibnu Tamiyah. Ibnu As Subki menceritakan tentang
penguasa Damaskus bernama Shalih Ismail, panggilannya Abu Al Khaisy. Dia
berkolaborasi dengan pasukan Eropa untuk menyerahkan kota Shida dan beneng Asy
Syaqif kepada Eropa. Tindaka ini dikecam oleh Syaikh Izzuddin sehingga dia
tidak mendoakannya dalam khutbah. Beliau tidak sendiri dalam hal ini. Beliau
ditemani oleh Abu Amr bin Al Hajib Al Maliki. Pengecaman tersebut telah membaut
sultan marah. (Ibid, Hal. 750)
Inilah Al Imam Al
‘Izz bin Abdissalam, salah satu Imam Ahlus Sunnah bermadzhab syafi’i. Imam Ad
Dzahabi menyebutnya sebagai seorang yang sudah taraf mujtahid, dan Imam As
Suyuhi juga menyebukan di akhir hayatnya dia tidak lagi terika madzhab, sudah
berfatwa dengan fatwanya sendiri.
Demikianlah.
Sebenarnya masih banyak contoh lain dari para ulama. Namun, nampaknya ini sudah
cukup menggambarkan bahwa menasihati penguasa secara terbuka, bukanlah hal yang
tercela dan bukan pula barang baru. Justru ini adalah perbuatan mulia
yang membutuhkan keberanian sebagaimana Imam Ibnu Taimiyah dan Imam Izzuddin
bin Abdissalam.
Menasihati
pemimpin, baik secara sembunyi atau terbuka, tidaklah kita melihat dari sisi
benar-salah. Melainkan dari sisi mana di antara keduanya yang lebih tepat guna
dan efektif dalam merubah penyimpangan penguasa. Tentu hal ini perlu kejelian
dan analisa. Bisa jadi ada penguasa yang hanya bisa berubah dengan tekanan dari
rakyatnya, ada juga yang sudah bisa berubah walau di nasihati oleh orang
terdekatnya secara rahasia. Oleh karena itu, ketenangan dan kejelian sangat
diperlukan dalam memutuskan masalah ini.
Dan, yang jelas
tak satu pun para ulama Islam mengatakan, bahwa menasihati pemimpin secara
terbuka adalah bentuk pemberontakan bahkan khawarij. Ini adalah pengertian yang
amat jauh. Tidak pantas menyamakan pemberontakan dengan nasihat. Sebab yang
satu berdosa, dan yang lain berpahala dan mulia. Tak pantas pla hal itu
disamakan dengan keluarnya kaum khawarij terhadap pemerintahan Ali.
Sebab, yang kita bahas adalah tentang penguasa atau pemimpin yang zalim, bukan
pemimpin yang adil seperti Ali bin Abi Thalib Radhiallahu ‘Anhu.
Demikianlah sikap pertama, menasihati
penguasa zalim, baik dengan diam-diam, atau terang-terangan. Kedua cara ini
tergantung kesalahan yang dibuat oleh penguasa tersebut, dan tingkat
efektifitasnya. Wallahu A’lam
Sikap Kedua. Tidak Mentaatinya
Tidak mentaati penguasa yang telah keluar dari tuntunan syara’, baik
perilakunya, keputusannya, dan undang-undangnya, telah dikemukakan Al Qur’an
dan As Sunnah yang suci. Al Qur’an dan As Sunnah tidak pernah memberikan
ketaatan mutlak kepada makhluk. Ketaatan mutlak hanya kepada Allah dan
RasulNya. Ini telah menjadi kesepakatan ulama sejak dahulu hingga kini, dan tak
ada perselisihan di antara mereka.
Allah ‘Azza wa Jalla berfirman:
“Hai orang-orang beriman, taatlah kepada Allah dan taatlah kepada RasulNya,
dan Ulil Amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang
sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Qur’an) dan Rasul (As Sunnah),
jika kamu beriman kepada Allah dan hari akhir …” (QS. An Nisa: 59)
Syaikh Abdurrahman bin Nashir As Sa’di dalam tafsirnya berkata, “Perintah taat kepada Ulil Amri terdiri
dari para penguasa, pemimpin, dan ahli fatwa.” Ia mengatakan ini bukanlah
perkara yang mutlak, “tetapi dengan syarat bahwa ia tidak memerintahkan maksiat
kepada Allah. Sebab jika mereka diperintah berbuat demikian, maka tidak ada
ketaatan seorang makhluk dalam kemaksiatan terhadap Khaliq. Mungkin
inilah rahasia peniadaan fiil amr (kata kerja perintah) untuk mentaati
mereka (athi’u), yang tidak disebutkan sebagaimana layaknya ketaatan
pada Rasul. Karena Rasul hanya memerintah ketaatan kepada Allah, dan
barangsiapa yang mentaatinya, ia telah taat kepada Allah. Sedangkan Ulil Amri,
maka perintah mentaati mereka terikat syarat, yaitu sebatas tidak melanggar
atau bukan maksiat.” (Tafsirul Karim Ar Rahman fi Tafsir
Kalam Al Manan, 1/183. Cet. 1. 2000M-1420H. Muasasah Ar Risalah)
Imam Ibnu Katsir berkata, tentang makna Ulil Amri, “Ahli fiqh dan Ahli
Agama, demikian juga pendapat Mujahid, ‘Atha, Hasan Al Bashri, dan Abul ‘Aliyah.” Ibnu Katisr
juga mengatakan Ulil Amri bisa bermakna umara. Lalu ia berkata: (Taatlah
kepada Allah) maksudnya ikuti kitabnya, (taatlah kepada Rasul) maksudnya
ambillah sunahnya, (dan ulil amri di antara kalian) yaitu dalam hal yang
engkau diperintah dengannya berupa ketaatan kepada Allah dan bukan maksiat
kepada Allah, karena tidak ada ketaatan kepada makluk dalam maksiat kepada
Allah. Sebagaimana dalam hadits shahih “Sesungguhnya ketaatan hanya dalam
hal yang ma’ruf” (HR. Bukhari). dan imam Ahmad meriwayatkan dari Imran bin
Hushain bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda, “Tidak
ada ketaatan dalam maksiat kepada Allah.” (Tafsir Al Qur’anul Azhim, 2/345.
Cet. 2. 1999M-1420H. Dar Ath Thayyibah Lin Nasyr wat Tauzi’)
Imam Nashiruddin Abul Khair Abdullah bin Umar bin
Muhammad, biasa dikenal Imam Al Baidhawi, berkata dalam tafsirnya,
ketika mengomentari surat An Nisa’, ayat 59 (Athi’ullaha wa athi’ur rasul wa
ulil amri minkum), bahwa yang dimaksud dengan ‘pemimpin’ di sini adalah
para pemimpin kaum muslimin sejak zaman Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa
Sallam dan sesudahnya, seperti para khalifah, hakim, panglima perang, di
mana manusia diperintah untuk mentaati mereka setelah diperintah untuk berbuat
adil, wajib mentaati mereka selama mereka di atas kebenaran (maa
daamuu ‘alal haqqi). (Anwarut Tanzil wa Asrarut Ta’wil, 1/466)[1]
Imam Ar Razi mengatakan, taat kepada
Allah, Rasul, dan Ahli ijma’ adalah pasti (qath’i), ada pun terhadap
pemimpin dan penguasa, tidaklah taat secara pasti, bahkan kebanyakan adalah
haram, karena mereka tidaklah memerintah melainkan dengan kezaliman (li
annahum Laa ya’muruuna illa bizh zhulmi). (Mafatihul
Ghaib, 5/250)
Masih banyak ayat lain yang memerintahkan tidak mentaati manusia (penguasa)
yang zalim. Di antaranya firman Allah Ta’ala:
“Dan janganlah kamu taati orang-orang yang melampuai batas.(yaitu) mereka
yang membuat kerusakan di bumi dan tidak mengadakan perbaikan.” (QS. Asy Syu’ara: 151-152)
Berkata Abul A’la Al Maududi dalam Al Hukumah Al Islamiyah,
“Janganlah engkau semua mentaati perintah para pemimpin dan panglima yang
kepemimpinannya akan membawa kerusakan terhadap tatanan kehidupan kalian.”
Ayat lain:
“Dan janganlah kalian taati orang yang Kami lupakan hatinya untuk mengingat
Kami dan ia mengikuti hawa nafsu dan perintahnya yang sangat berlebihan.” (QS. Al Kahfi: 28)
Taat kepada penguasa yang zalim merupakan bentuk
ta’awun (tolong menolong) dalam dosa dan kesalahan, padahal Allah Ta’ala
berfirman: “Dan janganlah kalian saling tolong menolong dalam dosa dan
kesalahan.” (QS. Al Maidah:2)
Dalam hadits juga tidak sedikit tentang larangan mentaati perintah
kemaksiatan, di antaranya:
Dari Abdullah bin Umar radhiallahu ‘anhuma, bahwa Rasulullah Shallallahu
‘Alaihi wa Sallam bersabda: “Dengar dan taat atas seorang muslim dalam hal
yang ia sukai dan ia benci, selama ia tidak diperintah untuk maksiat. Jika
diperintah untuk maksiat, maka jangan dengar dan jangan taat.” (HR. Bukhari.
Al Lu’lu’ wal Marjan, no. 1205)
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda, “Sesungguhnya
taat itu hanya dalam hal yang ma’ruf” (HR. Bukhari dari Ali radhiallahu
‘anhu. Al lu’lu’ wal Marjan, no. 1206)
Abu bakar Ash Shidiq Radhiallahu ‘Anhu berkata pasca pengangkatannya menjadi khalifah, “Taatlah
kalian kepadaku selama aku taat kepada Allah dan RasulNya, apabila aku
melanggar Allah dan RasulNya, maka jangan taat kepadaku.” Ibnu
Katsir mengatakan sanadnya shahih. (Al Bidayah
wa An Nihayah, 5/269. Cet. 1. 1988M-1408H. Dar Ihya
Ats Turats)
Khalifah Umar Al Faruq radhiallahu ‘anhu juga berkata dalam salah
satu khutbahnya, “Sesungguhnya tidak ada hak untuk ditaati bagi orang yang
melanggar perintah Allah.”
Ringkasnya, Al Qur’an, As Sunnah, atsar sahabat, mufasirin dan fuqaha,
semua sepakat bahwa taat kepada pemimpin hanya jika ia di atas kebenaran, jika
dalam pelanggaran maka tidak boleh ditaati.
Sikap Ketiga: Mencopot Pemimpin Zalim
dari Jabatannya
Pemimpin merupakan representasi dari umat, merekalah yang mengangkatnya
melalui wakilnya (Ahlul Halli wal Aqdi), maka mereka juga berhak
mencopotnya jika ada alasan yang masyru’ dan logis.
Bapak sosiolog Islam, Ibnu
Khaldun juga mengatakan tidak boleh dikatakan ‘memberontak’ bagi orang
yang melakukan perlawanan terhadap pemimpin yang fasiq. Beliau memberikan
contoh perlawanan Al Husein terhadap Yazid, yang oleh Ibnu Khaldun disebut
sebagai pemimpin yang fasiq. Apa yang dilakukan oleh Al Husein adalah benar,
ijtihadnya benar, dan kematiannya adalah syahid. Tidak boleh dia disebut bughat
(memberontak/makar) sebab istilah memberontak hanya ada jika melawan pemimpin
yang adil. (Muqaddimah, Hal. 113)
Ketahuilah, yang dilawan oleh kaum khawarij
adalah pemimpin yang sah dan adil, yaitu Ali bin Abi Thalib radhiallahu
‘anhu. Sedangkan yang kita bincangkan adalah perlawanan terhadap penguasa
yang zalim dan tiran, sebagaimana yang banyak dilakukan aktifis gerakan Islam
di banyak negara saat ini. Tentu nilai perlawanan ini tidak sama.
Ternyata pandangan ini dibenarkan oleh banyak ulama (sebenarnya para ulama
berselisih pendapat tentang pencopotan penguasa yang zalim).
Imam At Taftazani dalam Syarah al Aqaid an
Nafsiyah meriwayatkan bahwa Imam Asy Syafi’i radhiallahu ‘anhu
berpendapat bahwa Imam bisa dicopot karena kefasikan dan pelanggarannya, begitu
juga setiap hakim dan pemimpin lainnya.
Imam Abdul Qahir Al Baghdadi
mengatakan, “Jika pemimpin menjauhkan diri dari penyimpangan, maka
kepemimpinannya dipilih karena keadilannya, sehingga kesalahannya tertutup oleh
kebenaran. Jika ia menyimpang dari jalan yang benar, maka harus dilakukan
pergantian, mengadilinya, dan mengambil kekuasaannya. Dengan demikian, ia telah
diluruskan oleh umat atau ditinggalkan sama sekali.”
Imam Al Mawardi menyatakan ada dua hal
seorang Imam telah keluar dari kepemimpinannya, yaitu ia tidak adil dan cacat
fisiknya. Cacat keadilannya bisa bermakna mengikuti hawa nafsu dan melakukan syubhat.
Ketidakadilan bisa juga bersifat individu seperti meninggalkan shalat, minum khamr,
atau urusan umum seperti menyalahgunakan jabatan. (Imam Al Mawardi, Al Ahkam As
Sulthaniyah, Hal. 28).
Imam Al Ghazali berkata, “Seorang penguasa
yang zalim hendaknya dicopot dari kekuasaannya; baik dengan cara ia
mengundurkan diri atau diwajibkan untuk dicopot. Dengan itu ia tidak dapat
berkuasa.”
Imam Al Ijli mengatakan, “Umat berhak mencopot Imam tatkala ada sebab yang
mengharuskannya, atau sebagaimana yangdikatakan pensyarah, sebab yang
membahayakan umat dan agama.”
Imam Ibnu Hazm berkata, “Imam Ideal wajib kita taati, sebab ia mengarahkan
manusia dengan kitabullah dan sunah rasulNya. Jika ada menyimpang dari
keduanya, maka harus diluruskan, bahkan jika perlu diberi hukuman had .
jika hal itu tidak membuatnya berubah, maka ia harus dicopot dari jabatannya
dan diganti orang lain.”
Sebenarnya para ulama ini berbeda pendapat Menurut tentang alasan pencopotannya. Imam Syafi’i dan Imam Al Haramain mensyaratkan jika penguasa itu fasik dan melanggar. Imam Asy
Syahrustani mengatakan; kebodohan, pelanggaran, kesesatan, dan kekufuran. Imam Al
Baqillani menyebutkan jika Imam telah kufur, meninggalkan shalat wajib, fasik,
mengambil harta orang lain, mengajak ke yang haram, mempersempit hak sosial,
dan membatalkan hukum-hukum syariat. Imam Al Mawardi menyatakan; ketidak adilan
dan cacat fisik.
Sementara Ulama
lain (pandangan ahli hadits) yang
berpendapat agar kita bersabar terhadap pemimpin yang zalim, ini juga pendapat
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, ada juga ulama yang membenarkan keduanya, antara
bersabar atau memberikan perlawanan agar ia dicopot dari jabatannya. Wallahu
A’lam wa Lillahil ‘Izzah
[1] Apa yang dikatakan Imam Al
Baidhawi juga bantahan bagi pihak yang membatasi makna Ulil Amri
hanyalah pemimpin negara (umara) dan khalifah. Mereka menolak jika surat An
Nisa (4): 59 ini dijadikan dalil ketaatan kepada qiyadah
dakwah. Cukuplah apa yang dikatakan Imam Al Baidhawi ini untuk mereka. Pembatasan
makna Ulil Amri seperti yang mereka katakan jelas kecerobohannya. Para Salaf
seperti Ibnu Abbas mengartikan Ulil Amri adalah Ahlul Fiqh wad Din (Ahli
fiqih dan agama). Sedangkan Atha’, Mujahid, Hasan Al Bashri, Abul ‘Aliyah
mengatakan, maksudnya adalah ulama, sebagaimana tertera dalam tafsir Ibnu
Katsir di atas.
No comments:
Post a Comment