Mukadimah
Gonjang-ganjing
perkara Ahmadiyah telah menyita perhatian masyarakat Indonesia, khususnya umat
Islam. Ahmadiyah terpecah menjadi dua kelompok yakni Ahmadiyah Qadiyani dan
Lahore. Ahmadiyah Qadiyani inilah yang mendaulat pendiri sekaligus Imam pertama
mereka, Mirza Ghulam Ahmad Al
Kadzdzab, sebagai nabi setelah Rasulullah Shallallahu
‘Alaihi wa Sallam. Sedangkan Ahmadiyah Lahore tidak menganggapnya sebagai
nabi, hanya sebagai pembaharu dan imam mahdi. Namun, kitab suci mereka sama,
yakni At
Tadzkirah, yaitu campuran antara Al Quran dengan
ucapan Mirza Ghulam Ahmad al Kadzdzab.
Sebenarnya, sejak awal
keberadaannya (kurang lebih akhir abad 19),
para ulama Islam telah membantah pemikiran mereka yang batil. Baik dari Ahlus
Sunnah atau Syi’ah pun telah mengcounter aqidah mereka. Namun, karena dukungan
penjajah Inggris saat itu, akhirnya keberadaan mereka bisa eksis sampai hari
ini, termasuk di negeri nusantara.
Mirza Ghulam Ahmad Al Kadzdzab bukanlah yang
pertama, bukan pula yang terakhir. Ketika masa-masa akhir kehidupan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi
wa Sallam sudah ada nabi palsu bernama Musailimah Al Kadzdzab di
Yamamah, yang baru sempat diperangi pada masa khalifah Abu Bakar Ash Shiddiq Radhiallahu ‘Anhu
dalam perang besar di Yamamah. Masih pada akhir zaman Rasulullah juga,
ada nabi palsu bernama Al Aswad Al ‘Ansi di Yaman lalu dibunuh oleh para
sahabat sebelum wafatnya Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Lalu pada masa kekhalifahan Abu Bakar ada Thulaihah
bin Khuwalid dari bani Asad bin Khuzaimah, akhirnya tobat dan dia mati
dalam keadaan Islam yang baik. Begitu pula Sijah at Tamimiyah dari Bani At Tamimi yang nikahi oleh
Musailimah, dia pun mengaku nabi, namun bertobat setelah matinya Musailamah Al Kadzdzab. Ada pula Al
Mukhtar bin Abi Ubaid Ats
Tsaqafi, ia menampakkan cintanya kepada Ahlul Bait serta
menuntut darah Husein, yang berhasil mendominasi Kufah pada awal pemerintahan
Ibnu Zubeir. Kemudian dia diperdaya syetan dan mengaku menjadi nabi dan
menyangka Jibril mendatanginya. Ya’qub bin Sufyan meriwayatkan dengan sanad
hasan, dari Asy Sya’bi bahwa Al Ahnaf bin Qais pernah melihat Al Mukhtar dengan kitabnya yang menyebut dirinya sebagai
nabi. Abu Daud meriwayatkan dalam As Sunan dari Ibrahim An Nakha’i, bahwa beliau bertanya
kepada ‘Ubaidah bin Amru, “Apakah Al Mukhtar termasuk mereka (nabi-nabi
palsu)?” ‘Ubaidah menjawab: “Dia termasuk pemimpinnya.” Al Mukhtar berhasil
dibunuh sekitar tahun enam puluhan (hijriyah). Lalu ada pula Al Harits Al
Kadzdzab, nabi palsu pada masa khalifah Abdul Malik bin Marwan, dan juga
terbunuh saat itu. Juga pada masa pemerintahan Al ‘Abbas
juga ada para pembohong. (Imam Ibnu Hajar, Fathul Bari, Kitab Al
Manaqib Bab ‘Alamat an Nubuwah fil Islam, 6/617. Darul Fikr)
Demikianlah sekelumit nabi palsu
masa-masa klasik, yang jumlahnya sangat banyak, ada pun yang tertulis namanya
hanyalah yang terkenal, ada pun selebihnya sangat banyak bahkan tak terhitung.
Di Indonesia pun telah ada Lia Aminuddin dan
Ahmad Moshadeq. Sampai saat ini belum menampakkan tobatnya, bahkan Lia
Aminuddin (Lia Eden) semakin menjadi-jadi kesesatannya, dia mencampurkan
berbagai agama dan keyakinan.
Rasulullah
Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam sebagai
nabi dan rasul terakhir adalah pasti
Keyakinan
bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam adalah nabi dan rasul
terakhir adalah berdasarkan Al Quran dan As Sunnah, serta ijma’ (kesepakatan)
kaum muslimin sejak dahulu sampai hari ini.
Dalil Al
Quran
Allah ‘Azza wa Jalla
berfirman:
مَا كَانَ مُحَمَّدٌ أَبَا أَحَدٍ مِنْ رِجَالِكُمْ
وَلَكِنْ رَسُولَ اللَّهِ وَخَاتَمَ النَّبِيِّينَ وَكَانَ اللَّهُ بِكُلِّ
شَيْءٍ عَلِيمًا
“Muhammad itu sekali-kali
bukanlah bapak dari seorang laki-laki di antara kamu, tetapi Dia adalah
Rasulullah dan penutup nabi-nabi. dan adalah Allah Maha mengetahui
segala sesuatu.” (QS. Al Ahzab (33): 40)
Ayat ini secara sharih (jelas)
menegaskan bahwa Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam adalah
penutup para nabi alias nabi terakhir.
Imam Ibnu Katsir
Rahimahullah, setelah ia mengutarakan berbagai hadits
tentang kedudukan Rasulullah sebagai penutup para nabi, beliau berkata:
وقد أخبر تعالى في
كتابه، ورسوله في السنة المتواترة عنه: أنه لا نبي بعده؛ ليعلموا أن كل مَنِ ادعى
هذا المقام بعده فهو كذاب أفاك، دجال ضال مضل، ولو تخرق وشعبذ، وأتى بأنواع السحر والطلاسم
والنَيرجيَّات ، فكلها محال وضلال عند
أولي الألباب
“Allah
Ta’ala telah mengabarkan melalui KitabNya, begitu pula RasulNya telah
menyampaikan secara mutawatir (pasti benar) darinya: bahwa tidak ada nabi
setelahnya. Agar manusia mengetahui bahwa setiap manusia yang mengaku memiliki
kedudukan sebagai nabi setelah beliau,
maka orang itu adalah pendusta, dajjal yang sesat dan menyesatkan, walau dia
memiliki kemampuan di luar kebiasaan dan mampu menipu penglihatan manusia,
mendatangkan berbagai sihir dan kekuatan. Semuanya adalah tipuan dan kesesatan
di mata Ulil Albab (orang-orang yang berpikir). “ (Imam Ibnu Katsir, Tafsir
Al Quran Al ‘Azhim, Juz. 6, Hal. 431. Daru Thayyibah Lin Nasyr wat Tauzi’, Cet. 2.
1999M-1420H. Tahqiq: Sami bin Muhammad Salamah)
Para
pengikut agama Ahmadiyah, dengan hawa nafsu mereka
yang busuk mengartikan Khaataman nabiyyin
adalah cincinnya para nabi. Sementara para ulama Islam mengartikannya sebagai
penutup para nabi (jika dibaca khaatiman nabiyyin) atau nabi yang
terakhir (jika dibaca khaataman nabiyyin sebagai mana teks di
atas). Jadi mau dibaca Khaatiman atau Khaataman, maknanya adalah sama yaitu tak
ada nabi lagi setelahnya, karena dia sebagai penutup (khaatiman) dan
nabi yang terakhir (khaataman).
Hal
di atas dijelaskan oleh Imamul Mufassirin, Abu Ja’far bin Jarir ath
Thabari, beliau berkata:
واختلفت القراء في قراءة
قوله(وَخَاتَمَ النَّبِيِّينَ) فقرأ ذلك قراء الأمصار سوى الحسن وعاصم بكسر التاء
من خاتم النبيين، بمعنى: أنه ختم النبيين. ذُكر أن ذلك في قراءة عبد
الله(وَلَكِنَّ نَبِيًّا خَتَمَ النَّبيِّينَ) فذلك دليل على صحة قراءة من قرأه
بكسر التاء، بمعنى: أنه الذي ختم الأنبياء صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّم وعليهم،
وقرأ ذلك فيما يذكر الحسن وعاصم(خَاتَمَ النَّبِيِّينَ) بفتح التاء، بمعنى: أنه
آخر النبيين
Para
Qurra (Ahli Pembaca Al Quran) berbeda pendapat tentang bacaan terhadap ayat Khaataman nabiyyin. Para
Qurra dari Al Amshar (kota besar) kecuali Al Hasan dan ‘Ashim,
mereka mengkasrahkan huruf ta’ menjadi (Khaatim
an Nabiyyin) yang bermakna khataman nabiyyin penutup para
nabi (huruf kha’ pendek). Disebutkan bahwa itulah cara baca Abdullah bin Mas’ud
(walakin nabiyyan khataman nabiyyin – tidak memanjangkan kha’
menjadi khaataman). Ini adalah
dalil atas benarnya pihak yang membaca dengan mengkasrahkan huruf ta’,
maknanya: “Bahwa dia adalah penutup para nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam wa
‘Alaihim. Adapun yang membaca dengan memfathahkan (Khaatam an Nabiyyin)
sebagaimana yang telah disebutkan yakni Al Hasan dan ‘Ashim, maknanya: “Bahwa
dia adalah akhir dari nabi - nabi.” (Imam Abu Ja’far bi Jarir ath Thabari, Jami’
al Bayan fii Ta’wil Al Quran, Juz. 20, Hal. 279. Mu’asasah Ar Risalah, Cet. 1. 2000M –
1420H. Tahqiq: Ahmad Muhammad Syakir.)
Imam
Al Qurthubi Rahimahullah berkata:
وقرأ الجمهور بكسر
التاء بمعنى أنه ختمهم، أي جاء آخرهم.
“Mayoritas
membaca dengan mengkasrahkan huruf ta’, bermakna bahwa dia adalah penutup
mereka (para nabi) yaitu yang akhir datangnya di antara mereka.” (Imam Al
Qurthubi, Jami’ Li Ahkam Al Quran, Juz. 14, Hal. 196. Dar Ihya ats
Turats Al ‘Araby, Beirut –
Libanon. 1985M-1405H)
Imam
Abu Muhammad Al Husein bin Mas’ud Al
Baghawi Rahimahullah
berkata dalam tafsirnya:
ختم الله به
النبوة، وقرأ عاصم: "خاتم" بفتح التاء على الاسم، أي: آخرهم، وقرأ
الآخرون بكسر التاء على الفاعل، لأنه ختم به النبيين فهو خاتمهم.
“Dengannya
Allah telah menutup kenabian. ‘Ashim membacanya ‘Khaatam’
dengan fathah pada huruf ta’menjadi isim, yakni, “Akhirnya mereka
(nabi-nabi).” Sedangkan yang lain
membaca dengan mengkasrahkan ta’ menjadi faa’il, karena
dengannyalah menutup para nabi, dan dia penutup mereka.” (Imam Al Baghawi, Ma’alimut Tanzil,
Juz. 6 Hal. 358. Cet. 4, 1997M-1417H,
Dar Thayyibah Lin Nasyr wat Tauzi’)
Imam
Abul Hasan Ali bin Muhammad bin Ibrahim bin ‘Umar asy Syihi biasa disebut Al
Khazin berkata dalam tafsirnya:
ختم الله به النبوة فلا نبوة بعده أي
ولا معه
“Dengannya
Allah telah menutup kenabian, maka tidak ada kenabian setelahnya, yaitu tidak
pula bersamanya.” (Imam Al
Khazin, Lubab at Ta’wil fii Ma’ani at Tanzil, Juz. 5, Hal. 199)
Demikian penjelasan para mufassir Islam dari zaman ke
zaman. Oleh karenanya, kami tuntut kepada Ahmadiyah dan yang semisalnya, untuk
menunjukkan .... adakah sebelum kalian ulama yang mengatakan khataman nabiyyin
adalah cincin para nabi? Dan itu
hanyalah bualan semata.
Dalil-dalil
As Sunnah
Dari Abu Hurairah Radhiallahu ‘Anhu,bahwa
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
وَلَا
تَقُومُ السَّاعَةُ حَتَّى يُبْعَثَ دَجَّالُونَ كَذَّابُونَ قَرِيبًا مِنْ
ثَلَاثِينَ كُلُّهُمْ يَزْعُمُ أَنَّهُ رَسُولُ اللَّهِ
“Kiamat
tidak akan datang sampai datangnya para dajjal pendusta jumlahnya hampir tiga
puluh, semuanya mengklaim dirinya sebagai Rasulullah.” (HR. Bukhari,
Kitab Al Manaqib Bab ‘Alamat An Nubuwah fil Islam, No. 3609. Muslim, Kitab Al
Fitan wal Asyratus Sa’ah Bab Laa taquumus Sa’ah hatta yamurru ar rajul biqabri
ar rajul …, No. 157)
Jadi, adanya orang-orang yang
mengaku nabi merupakan bagian dari tanda-tanda datangnya kiamat, dan mereka merupakan dajjal-dajjal kecil sebelum
datangnya dajjal besarnya. Hal itu sudah sinyalkan oleh
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam sejak empat belas abad silam.
Namun selalu ada para ulama garda depan yang selalu siap mengcounter kebohongan
pengakuan mereka.
Imam An Nawawi Rahimahullah berkata:
وَقَدْ وُجِدَ مِنْ
هَؤُلَاءِ خَلْق كَثِيرُونَ فِي الْأَعْصَار ، وَأَهْلَكَهُمْ اللَّه تَعَالَى ،
وَقَلَعَ آثَارهمْ ، وَكَذَلِكَ يُفْعَل بِمَنْ بَقِيَ مِنْهُمْ .
“Mereka selalu ada pada
masing-masing zaman, tetapi Allah Ta’ala binasakan mereka, dan Allah hilangkan
pengaruhnya, hal itu juga terjadi pada sisa pengikut mereka.” (Imam An
Nawawi, Al Minhaj Syarah Shahih Muslim,
Kitab Al Fitan wal Asyratus Sa’ah Bab Laa taquumus Sa’ah hatta yamurru ar
rajul biqabri ar rajul …, 9/309. Mawqi’ Ruh Al Islam)
Maka, dengan keyakinan yang
mendalam zaman ini pun Allah Ta’ala akan membinasakan siapa saja yang mengaku
sebagai nabi, juga pengikut mereka, walau media massa dan kaum liberal
membelanya.
Imam Ibnu Hajar Al Asqalani Rahimahullah
berkata:
وَلَيْسَ الْمُرَاد بِالْحَدِيثِ مَنْ
اِدَّعَى النُّبُوَّة مُطْلَقًا فَإِنَّهُمْ لَا يُحْصَوْنَ كَثْرَة لِكَوْنِ
غَالِبهمْ يَنْشَأ لَهُمْ ذَلِكَ عَنْ جُنُون أَوْ سَوْدَاء وَإِنَّمَا الْمُرَاد
مَنْ قَامَتْ لَهُ شَوْكَة وَبَدَتْ لَهُ شُبْهَة كَمَنْ وَصَفْنَا ، وَقَدْ
أَهْلَكَ اللَّه تَعَالَى مَنْ وَقَعَ لَهُ ذَلِكَ مِنْهُمْ وَبَقِيَ مِنْهُمْ
مَنْ يُلْحِقهُ بِأَصْحَابِهِ وَآخِرهمْ الدَّجَّال الْأَكْبَر
“Maksud hadits itu tidaklah
berarti secara mutlak jumlahnya (mereka adalah tiga puluh), sebenarnya para
nabi palsu ini tak terhitung jumlahnya, namun yang dimaksudkan dengan pembatasan jumlah itu adalah mereka
itulah yang mengaku nabi, memiliki kekuatan dan ajaran menyimpang, dan punya pengikut
yang banyak serta terkenal di antara manusia. Lalu Allah Ta’ala binasakan
mereka temasuk pengikutnya, hingga akhirnya datangnya dajjal besar.” (Imam
Ibnu Hajar, Fathul Bari, 6/617)
Hadits lainnya, dari Abu
Hurairah Radhiallahu ‘Anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa
Sallam bersabda:
كَانَتْ بَنُو إِسْرَائِيلَ تَسُوسُهُمْ
الْأَنْبِيَاءُ كُلَّمَا هَلَكَ نَبِيٌّ خَلَفَهُ نَبِيٌّ وَإِنَّهُ لَا
نَبِيَّ بَعْدِي
“Dahulu Bani Israel dipimpin
oleh para nabi, ketika wafatnya seorang nabi maka datanglah nabi setelahnya, namun
tidak ada nabi lagi setelahku.” (HR. Bukhari, Kitab Ahadits al Anbiya
Bab Maa dziku ‘an Bani Israil, No. 3455.
Muslim, Kitab Al Imarah Bab Wujub al Wafa’ bibai’ati al Khulafa’ wal Awal
fal Awal, No. 1842
)
Hadits
lainnya, dari Tsauban Radhiallahu ‘Anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu
‘Alaihi wa Sallam bersabda:
وَإِنَّهُ سَيَكُونُ فِي أُمَّتِي كَذَّابُونَ
ثَلَاثُونَ كُلُّهُمْ يَزْعُمُ أَنَّهُ نَبِيٌّ وَأَنَا خَاتَمُ النَّبِيِّينَ
لَا نَبِيَّ بَعْدِي
“Sesungguhnya akan datang pada
umatku tiga puluh pembohong, semuanya mengaku sebagai nabi, padahal akulah
penutup para nabi (khaatam an nabiyyin), tak ada lagi nabi setelahku.”
(HR. Abu Daud, Kitab Al Fitan wal Malahim Bab Dzikru Al Fitan wa
Dalailuha, No. 4252. At Tirmidzi, Kitab
Al Fitan ‘an Rasulillah Bab Maa Ja’a Laa Taqumus Sa’ah hatta Yahkruju Kadzdzabun,
No. 2219.
Katanya: Hasan Shahih. Syaikh Al
Abany mengatakan: Shahih. Lihat Misykah al Mashabih, No. 5406 )
Hadits
ini membantah pemikiran Ahmadiyah yang menafsirkan Khaatam an nabiyyin adalah
cincinnya para nabi. Sebab, dalam hadits ini ada penegas setelah kalimat
khaatam an nabiyyin, yaitu kalimat laa nabiyya ba’diy (tak ada lagi
nabi setelahku). Jika memang itu bermakna cincin para nabi,
buat apa selanjutnya disebut “tidak ada
lagi nabi setelahku”?
Hadits lainnya:
عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ
اللَّهِ
أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لِعَلِيٍّ أَنْتَ مِنِّي بِمَنْزِلَةِ هَارُونَ
مِنْ مُوسَى إِلَّا أَنَّهُ لَا نَبِيَّ بَعْدِي
Dari Jabir bin Abdullah, bahwa
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda kepada Ali: “Engkau
bagiku, seperti posisi Harun terhadap Musa, hanya saja tidak ada nabi lagi
setelahku.” (HR. At Tirmidzi, Kitab Al Manaqib ‘an Rasulillah Bab Al
Manaqib ‘Ali bin Abi Thalib Radhiallahu ‘Anhu, No. 3730.
Katanya: hasan gharib. Tetapi pada hadits yang sama bunyinya no. 3731 dari jalur Sa’ad bin Abi Waqash,
Imam At Tirmidzi berkata: hasan
shahih. Ibnu Majah, Kitab Al Muqaddimah Bab Fadhlu ‘Ali bin Abi Thalib,
No. 161, dari jalur Sa’ad bin Abi
Waqash)
Sedangkan dalam hadits shahih
lain juga disebutkan:
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ
اللَّهُ عَنْهُ
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ إِنَّ مَثَلِي وَمَثَلَ الْأَنْبِيَاءِ مِنْ
قَبْلِي كَمَثَلِ رَجُلٍ بَنَى بَيْتًا فَأَحْسَنَهُ وَأَجْمَلَهُ إِلَّا مَوْضِعَ
لَبِنَةٍ مِنْ زَاوِيَةٍ فَجَعَلَ النَّاسُ يَطُوفُونَ بِهِ وَيَعْجَبُونَ لَهُ
وَيَقُولُونَ هَلَّا وُضِعَتْ هَذِهِ اللَّبِنَةُ قَالَ فَأَنَا اللَّبِنَةُ
وَأَنَا خَاتِمُ النَّبِيِّينَ
“Dari
Abu Hurairah Radhiallahu ‘Anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi
wa Sallam bersabda: “Sesungguhnya perumpamaan diriku di antara para nabi
sebelumku, seperti perumpamaan seorang yang sedang membangun rumah dia
memperbaikinya dan memperindahnya kecuali satu bata sebelah sudut yang kosong.
Maka manusia mengitari rumah itu, mereka heran dengannya, dan mereka berkata:
“Kenapa yang ini tidak?” Akhirnya diletakkanlah batu bata di bagian tersebut.”
Dia bersabda: “Akulah batu bata tersebut, dan aku adalah penutup para nabi.” (HR.
Bukhari, Kitab Al Manaqib Bab Khatim an Nabiyyin, No. 3535. Muslim, Kitab Al Fadhail
Bab Dzikru Kaunuhu Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam wa Khatim an Nabiyyin, No. 2286)
Imam Ibnu Hajar berkata:
وَفِي الْحَدِيث
ضَرْب الْأَمْثَال لِلتَّقْرِيبِ لِلْأَفْهَامِ وَفَضْل النَّبِيّ صَلَّى اللَّه
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَى سَائِر النَّبِيِّينَ ، وَأَنَّ اللَّه خَتَمَ بِهِ
الْمُرْسَلِينَ ، وَأَكْمَلَ بِهِ شَرَائِع الدِّين .
Hadits
ini memberikan perumpamaan dalam rangka
memudahkan pemahaman dan menunjukkan keutamaan Rasulullah Shallalalhu ‘Alaihi
wa Sallam di atas nabi – nabi lainnya dan Allah ta’ala menutup kerasulan
dengannya serta menyempurnakan syariatNya dengannya
pula.” (Imam Ibnu Hajar, Fathul Bari, Kitab Al Manaqib Bab Khatim an
Nabiyyin, Juz. 11, Hal. 336, No hadits. 3270)
Maka, tak ada lagi nabi setelah dirinya, dan tak ada lagi
syariat setela syariat yang dibawanya.
Fatwa
Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baaz Rahimahullah:
Beliau telah menyebutkan
kafirnya pihak yang mengaku sebagi nabi dan para pengikutnya:
...لإجماع أهل العلم على كفر الطائفة القاديانية ؛ لأن من معتقداتهم أن
مرزا غلام أحمد القادياني نبي يوحى إليه، وقد دل الكتاب والسنة وإجماع أهل العلم
من أصحاب النبي صلى الله عليه وسلم ومن بعدهم على أن كل من ادعى النبوة بعد نبينا
محمد صلى الله عليه وسلم كافر، وأن من صدقه فهو مثله
... karena ulama telah ijma’
(sepakat) atas kafirnya kelompok Al Qadianiyah, sebab keyakinan mereka
bahwa Mirza Ghulam Ahmad Al Qadiyani sebagai nabi yang mendapatkan wahyu.
Dan, Al Quran, As Sunnah, dan ijma’
ulama dari para sahabat Nabi Shallallahu
‘Alaihi wa Sallam dan generasi setelah mereka menunjukkan bahwa siapa saja
yang mengaku sebagai nabi setelah Nabi kita Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa
Sallam maka dia adalah kafir, dan orang yang membelanya adalah semisal
dengannya. (Majmu’ Fatawa, 21/79,
No. 41)
Beliau juga berkata:
وهكذا من كذب
الرسول محمدا صلى الله عليه وسلم , أو غيره من الرسل والأنبياء عليهم الصلاة
والسلام , أو شك في رسالته , أو قال إنه للعرب دون العجم , أو قال إنه ليس خاتم
النبيين بل بعده نبي , كل هذا كفر أكبر , وضلال , ونقض للإسلام , نسأل الله
العافية .
ومن ذلك يعلم كفر القاديانية لإيمانهم
بنبوة : الميرزا غلام أحمد وهو بعد النبي محمد صلى الله عليه وسلم بقرون كثيرة , فلا بد
من الإيمان بأن محمدا صلى الله عليه وسلم هو رسول الله حقا إلى جميع الثقلين الجن
والإنس , ولا بد من الإيمان بأنه خاتم الأنبياء والمرسلين ليس بعده نبي ولا رسول ,
وأن من ادعى النبوة بعده كمسيلمة الكذاب فهو كافر بالله كذاب , وهكذا الأسود
العنسي في اليمن , وسجاح التميمية , والمختار بن أبي عبيد الثقفي وغيرهم ممن ادعى
النبوة بعده عليه الصلاة والسلام , فقد أجمع الصحابة رضي الله عنهم وأرضاهم على
كفرهم وقاتلوهم بأنهم كذبوا معنى قوله سبحانه : { مَا كَانَ مُحَمَّدٌ أَبَا
أَحَدٍ مِنْ رِجَالِكُمْ وَلَكِنْ رَسُولَ اللَّهِ وَخَاتَمَ النَّبِيِّينَ
وَكَانَ اللَّهُ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمًا } وقد تواترت الأحاديث عن
رسول الله صلى الله عليه وسلم أنه قال : « أنا خاتم النبيين لا نبي بعدي » عليه
الصلاة والسلام .
“ ... demikian juga orang yang mendustakan Rasul Muhammad
Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, atau
nabi-nabi lain selain Beliau –alaihish shalatu was salam, atau meragukan
risalahnya, atau mengatakan bahwa Beliau hanya untuk orang Arab bukan untuk ‘ajam
(selain Arab), atau mengatakan Beliau bukan nabi terakhir tetapi masih ada nabi
setelahnya, semua ini adalah kafir
akbar, sesat, dan membatalkan keislaman. Nas’alullahal ‘aafiyah.
Dengan demikian kita tahu
kafirnya Al Qadiyaniyah, karena mereka telah meyakini kenabian Mirza
Ghulam Ahmad, dia hidup jauh setelah masa Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam,
maka wajib mengimani kenabian Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam
dan dia adalah utusan Allah yang haq untuk semua jin dan manusia, dan wajib
meyakininya bahwa Beliau adalah penutup para nabi dan rasul, maka tidak ada
lagi nabi dan rasul setelahnya. Dan, bahwasanya siapa saja mengaku-ngaku adanya
kenabian setelahnya seperti Musailimah Al Kadzdzab, maka dia kafir kepada Allah
dan pendusta, begitu juga Al Aswad Al ‘Ansi di Yaman, juga Sijah At Tamimiyah,
Al Mukhtar bin Abi Ubaid Ats Tsaqafi, dan selain mereka yang telah mengklaim
sebagai nabi setelah Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Telah ijma’
para sahabat Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam atas kafirnya mereka itu dan juga memerangi
mereka karena mereka telah mendustakan firmanNya: ( Muhammad itu sekali-kali bukanlah bapak dari seorang
laki-laki di antara kamu, tetapi Dia adalah Rasulullah dan penutup nabi-nabi.
dan adalah Allah Maha mengetahui segala sesuatu), dan telah mutawatir
hadits-hadits dari Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam yang mengatakan: (Aku
adalah penutup para nabi dan tidak ada nabi lagi setelahku). (Ibid,
7/36)
Adapun Syaikh Muhammad bin Ibrahim Alu Asy Syaikh Rahimahullah
(guru Syaikh Ibnu Baaz), mengatakan bahwa Mirza Ghulam Ahmad adalah gila (majnun),
kalau pun tidak gila maka dia lebih kafir dari Yahudi dan Nasrani, harus
dimintakan tobatnya, jika tidak maka wajib ditebas lehernya karena dia murtad. (Fatawa wa Rasaail Muhammad bin Ibrahim
Ali Asy Syaikh, 1/225)
Masih banyak fatwa-fatwa lain yang berasal dari
perorangan atau lembaga keulamaan tingkat dunia dan lokal, yang menyebut Ahmadiyah baik Qadiyani dan
Lahore, adalah kafir dan murtad, seperti yang dikeluarkan oleh Lajnah Daimah,
Majma’ Buhuts, Rabithah ‘Alam Islami, Nahdhatul Ulama (NU), MUI, dan
sebagainya.
Ada pun komentar para ruwaibidhah (orang bodoh
tapi berlagak membicarakan masalah umat) yang berseliweran di TV, dan media
massa lainnya, yang membela membabi buta Ahmadiyah seakan mereka ini adalah
pahlawan HAM, pahlawan Demokrasi, pahlawan nasionalisme, adalah komentar rapuh
dan kosong yang tidak memiliki pijakan apa pun kecuali kebodohan dan hawa nafsu.
Oleh karenanya, wajib bagi waliyyul amri di negara
ini bersikap tegas kepada Ahmadiyah yang telah melalukan kekerasan terhadap
aqidah Islam. Agar tidak terjadi kekerasan dari akar rumput kepada mereka. Jika mereka telah mati tiga orang, lalu
mengiba untuk dikasihani, maka jauh sebelum
itu mereka telah membunuh aqidah ribuan kaum muslimin dengan agama mereka yang
rusak.
Sejarah telah
membuktikan bahwa tiap kali ada nabi palsu, maka waliyyul amri yang
memerangi mereka, ada pun rakyat memberikan dukungan saja. Dahulu ada
Musailimah Al Kadzdzab yang diperangi oleh Abu Bakar, namun saat ini ada
Ahmadiyah tapi tidak ada Abu Bakar-nya! Akhirnya peran Abu Bakar dimainkan oleh
masyarakat yang tidak puas melihat bancinya waliyyul amri terhadap
Ahmadiyah. Lalu terjadilah yang sudah
terjadi ...........
Saat
ini memerangi mereka secara fisik bisa jadi bukan solusi yang elegan, tetapi
membubarkan mereka adalah cara yang lebih ringan untuk dilakukan. Ini, jika
memang para pemimpin negeri ini, memiliki keberanian dan tidak takut cacian
orang yang suka mencaci, baik dari golongan kafirin, munafiqin, dan ‘almaniyin
(sekuleris).
Wallahu A’lam wa lillahil
‘izzah .........
No comments:
Post a Comment