Pertanyaan:
Assalamu ‘Alaikum wa Rahmatullah wa Barakatuh.
Ust, ada saya baca hadits pada kalimat terakhir: barang siapa yang
meninggal dunia tanpa pernah berbai’at, ia meninggal secara jahiliyah. (HR.
Muslim). Apa makna hadits ini?
(Efendi – 085245014xxx)
Jawab:
Wa ‘Alaikum salam wa Rahmatullah wa Barakatuh.
Bismillah wal hamdulillah wash shalatu was salamu ‘ala rasulillah wa ‘ala
aalihi wa ashhabihi wa man waalah, wa ba’d:
Pak Efendi yang dirahmati Allah ...
Hadits tersebut, Dari
Ibnu Umar Radhiallahu ‘Anhuma, bahwa Rasulullah Shallalalhu ‘Alaihi wa
Sallam bersabda:
وَمَنْ مَاتَ وَلَيْسَ فِي عُنُقِهِ بَيْعَةٌ مَاتَ مِيتَةً
جَاهِلِيَّةً
“Barangsiapa yang
mati dan dilehernya tidak ada bai’at maka dia mati dalam keadaan jahiliyah.” (HR.
Muslim No. 1851, Ath Thabarani dalam Al Kabir No. 769,
dari Muawiyah, Alauddin Al Muttaqi Al Hindi dalam Kanzul ‘Ummal No.
14810, Al Baihaqi dalam As Sunan Al Kubra No. 16389)
Hadits ini menunjukkan
kewajiban berbai’at jika telah ada imamatul ‘uzhma yakni khalifah bagi
seluruh umat Islam, bukan amir sebuah jamaah yang umat Islam secara umum tidak
mengenalnya.
Mati tidak berbai’at
= Jahiliyah
/ Kafir?
Banyak
manusia dan kelompok Islam teracuni pemikiran takfir (mudah
mengkafirkan) gara-gara permasalahan ini. Hal ini terjadi karena penafsiran
mereka yang keliru dan
menyimpang terhadap makna hadits tersebut, dan tidak merujuk kepada penafsiran
para Ahli, yakni para ulama, tapi merujuk tafsiran guru ngaji mereka dan bujuk
rayuan yang membius, serta kepentingan jamaahnya.
Kita
lihat, apa sih makna miitatan jahiliyah (mati dalam keadaan
jahiliyah) dalam hadits tersebut. Apakah orang yang belum berbai’at lalu dia
mati, matinya terhukum kafir dan jahiliyah.
Sebagaimana sangkaan sebagian kelompok?
Saya
akan kutip syarah (penjelasan) yang dilakukan bebeapa imam terpercaya umat ini,
di antaranya Al Imam An Nawawi dalam
Syarah-nya atas Shahih Muslim, tentang makna miitatan jahiliyah berikut:
هِيَ بِكَسْرِ الْمِيم ، أَيْ : عَلَى صِفَة مَوْتهمْ مِنْ حَيْثُ هُمْ فَوْضَى لَا إِمَام لَهُمْ
Dengan huruf mim dikasrahkan
(jadi bacanya miitatan bukan maitatan), artinya kematian mereka disifati
sebagaimana mereka dahulu tidak memiliki imam (pada masa jahiliyah). (Al Minhaj Syarh Shahih Muslim, Juz. 6, Hal. 322, Mawqi’ Ruh Al Islam)
Sekarang penjelasan Imam Asy
Syaukani dalam Nailul Authar ,sebagai berikut:
وَالْمُرَادُ بِالْمِيتَةِ الْجَاهِلِيَّةِ وَهِيَ بِكَسْرِ الْمِيمِ أَنْ يَكُونَ حَالُهُ فِي الْمَوْتِ كَمَوْتِ أَهْلِ الْجَاهِلِيَّةِ عَلَى ضَلَالٍ وَلَيْسَ لَهُ إمَامٌ مُطَاعٌ لِأَنَّهُمْ كَانُوا لَا يَعْرِفُونَ ذَلِكَ ، وَلَيْسَ الْمُرَادُ أَنْ يَمُوتَ كَافِرًا بَلْ يَمُوتَ عَاصِيًا .
Dan
yang dimaksud dengan miitatan jahiliyah dengan huruf mim yang
dikasrahkan adalah dia mati dalam keadaan seperti matinya ahli jahiliyah yang
tersesat di mana dia tidak memiliki imam yang ditaati karena mereka tidak
mengenal hal itu, dan bukanlah yang dimaksud matinya kafir tetapi mati
sebagai orang yang bermaksiat. (Imam Asy Syaukani, Nailul Authar, 7/171. Maktabah Ad Da’wah Al Islamiyah)
Saya kutipkan Fatwa Lajnah Da’imah
(Komisi Tetap Fatwa) di Saudi Arabia, tentang makna hadits di atas:
ومعنى الحديث: أنه لا يجوز الخروج على الحاكم (ولي الأمر) إلا أن يرى منه كفرًا بواحًا، كما جاء ذلك في الحديث الصحيح، كما أنه يجب على الأمة أن يؤمروا عليهم أميرًا يرعى مصالحهم ويحفظ حقوقهم.
“Makna hadits tersebut: bahwa tidak boleh keluar
dari kepemimpinan Al hakim (waliyul amri - pemimpin) kecuali jika dilihat dari
pemimpin itu perilaku kufur yang jelas, sebagaimana diterangkan hal itu dalam
hadits shahih, sebagaimana wajib pula bagi umat untuk mengangkat amir
(pemimpin) bagi mereka supaya terjaga maslahat mereka dan hak-hak mereka.” (Al
Fatawa Al Lajnah Ad Da’imah Lil Buhuts wal Ifta’, No fatwa. 8225)
Maka, kematian orang
yang tidak berbai’at kepada khalifah –jika dia ada- bermakna:
-
Matinya seperti orang yang mati pada zaman jahiliyah
-
Bukan dia-nya yang jahiliyah dan kafir
-
Dihitung sebagai orang yang bermaksiat.
Para sahabat dan
tabi’in ada yang tidak berbai’at
Ada pun tidak berbai’at kepada khalifah al ‘uzhma, telah terjadi pada
masa-masa awal Islam. Imam Ath Thabari menceritakan, bahwa Ali Radhiallah
‘Anhu berkata pada Sa’ad bin Abi Waqqash Radhiallahu ‘Anhu:
“Berbai’atlah Engkau!” Sa’ad menjawab: “Aku tidak akan berbai’at sebelum orang-orang semua
berbai’at. Tapi demi Allah tidak ada persoalan apa-apa bagiku.” Mendengar itu
Ali berkata: “Biarkanlah dia.”
Lalu Ali menemui Ibnu Umar dan berkata yang sama, maka jawab Ibnu Umar Radhiallahu
‘Anhuma: “Aku tidak akan berbai’at sebelum orang-orang semua berbai’at.” Jawab Ali: “Berilah aku
jaminan.” Jawab Ibnu Umar : “Aku tidak punya orang yang mampu memberi jaminan.”
Lalu Al Asytar berkata: “Biar kupenggal lehernya!” Jawab Ali : “Akulah
jaminannya, biarkan dia.” (Imam Ibnu Hazm, Al Fashl fil Milal wal Ahwa’
An Nihal, 4/103)
Imam Al Waqidi mencatat ada 7 orang kibarus shahabah yang tidak memberikan bai’at pada Khalifah Ali
Radhiallahu ‘Anhu yaitu: Sa’ad bin
Abi Waqqash, AbdullaH bin Umar, Shuhaib bin Sinan, Zaid bin Tsabbit, Muhammad
bin Maslamah, Salamah bin Aqwa’ dan Usamah bin Zaid Radhiallahu ‘Anhum. (Tarikh Ar
Rusul, 4/429)
Para sahabat ini, tidak ada satu pun manusia yang
mengatakan mereka sebagai pemberontak, tidak pula dikatakan khawarij, apalagi
kafir, walau mereka menolak berbai’at kepada khalifah. Kenyataan Ini
menunjukkan kesalahan pihak atau kelompok yang mengkafirkan kaum muslimin
yang tidak berbai’at kepada amir kelompok mereka.
Wallahu A’lam
No comments:
Post a Comment