Pertanyaan:
Ust .., kan banyak ustadz-ustadz yang
mencalonkan jadi pemimpin daerah, emangnya boleh? Bukannya dulu nabi menolak
Abu Dzar ketika meminta jabatan? Syukron. (Abdullah, pertanyaan semisal ini
juga ditanyakan beberapa orang lainnya)
Jawaban:
Bismillah wal Hamdulillah
wash Shalatu was Salamu ‘Ala Rasulillah wa ‘Ala Aalihi wa Shahbihi wa man
waalah, wa ba’d:
Kepada
para penanya a’azzaniyallah wa iyyakum jami’an ..
Kewajiban
da’wah adalah pasti, dan da’wah itu mesti masuk ke semua lini kehidupan,
termasuk di pusat kekuasaan. Jangan sampai da’wah Islam jalan di tempat, dia
hanya ada di dalam masjid, majalah Islam, dan bulletin Jumat. Sementara di
pusat kekuasaan masih tenang dan nyaman dikuasai oleh orang-orang yang memusuhi
Islam, atau orang yang belum jelas keberpihakannya kepada agama dan da’wah. Oleh karenanya, pandanglah para da’i yang
mencalonkan dirinya pada pusat dan puncak kekuasaan adalah dalam rangka ini.
Kalau pun di puncak kekuasaan itu sudah ada orang Islamnya, dan dia pun sudah
berbuat banyak bagi Islam dan umat, maka pandanglah ini sebagai upaya ta’awun
‘alal birri wat taqwa (saling membantu dalam kebaikan dan taqwa) dan fastabiqul
khairaat (berlomba-lomba dalam kebaikan).
Kemudian
.......
Mencalonkan
diri, atau meminta jabatan –baik jabatan negara, kemasyarakatan, dan kegamaan
seperti imam masjid, imam shalat, ketua rt/rw, lurah, dan sebagainya- dalam budaya aktifis muslim yang dididik
dalam bingkai tawadhu, zuhud,
ikhlas, dan wara’, memang dirasa hal yang tabu, dan tidak biasa. Tetapi,
pemahaman seperti ini boleh saja ditata
ulang lagi, benarkah mencalonkan diri untuk menjadi pejabat dan pemimpin pasti
dan tidak bisa tidak, adalah bermakna ambisius, tidak tawadhu, dan
lainnya? Apakah mencalonkan diri pasti menodai keikhlasan? Pada sebagian orang
bisa jadi benar, tetapi apakah semuanya
seperti itu? Jika sudah seperti ini, maka yang dipermasalahkan adalah sifat personally-nya.
Jika permasalahan berputar pada ketakutan rasa tidak ikhlas, kurang tawadhu,
tidak zuhud, .. maka yang terlarang bukan hanya meminta jabatan, semua amal baik jika dilakukan tidak ikhlas juga salah. Cobalah
anggap, orang yang meminta jabatan sebagai inisiatif darinya untuk beramal
shalih, setelah kita menyepakati bahwa memang jabatan sebagai alat untuk
beramal shalih.
Jabatan
dan harta memiliki potensi yang sama; fitnah dan manfaat sekaligus. Keduanya
menjadi fitnah jika dipegang oleh orang-orang yang memiliki niat jahat yang dengannya dia bisa
melakukan kejahatan, atau punya niat baik, tetapi tidak punya kecakapan
mengelola keduanya. Sebaliknya, keduanya menjadi manfaat yang besar bagi umat
manusia jika dikuasai oleh orang-orang berhati mulia, shalih, dan cakap dalam
mengelolanya.
Rasulullah
Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam berkata kepada Amr bin Al ‘Ash Radhiallahu
‘Anhu:
يا عمرو نعم المال الصالح للمرء الصالح
Wahai Amr, sebaik-baiknya
harta adalah harta yang ada pada orang shalih. (HR. Bukhari dalam Adabul
Mufrad No. 299, Ahmad No. 17763, Al Baihaqi dalam Syu’abul Iman No.
1248, Ibnu Hibban No. 3210. Abu Nu’aim dalam Ma’rifatush Shahabah No.
4455, Syaikh Al Albani mengatakan: shahih. Lihat Shahih Adabil Mufrad
No. 299. Juga dishahihkan oleh Syaikh Syu’aib Al Arnauth dalam Taliq Musnad
Ahmad No. 17763)
Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam
membolehkan
Banyak manusia menggunakan
hadits Abu Dzar dalam melarang meminta jabatan, tetapi kenapa mereka tidak mau
melihat hadits berikut ini?
Utsman
bin Abu Al ‘Ash Radhiallahu ‘Anhu berkata:
يَا رَسُولَ اللَّهِ اجْعَلْنِي إِمَامَ قَوْمِي قَالَ
أَنْتَ إِمَامُهُمْ وَاقْتَدِ بِأَضْعَفِهِمْ وَاتَّخِذْ مُؤَذِّنًا لَا يَأْخُذُ عَلَى
أَذَانِهِ أَجْرًا
Wahai Rasulullah jadikanlah
aku sebagai pemimpin bagi kaumku! Beliau bersabda: “Engkau adalah pemimpin bagi
mereka, perhatikanlah orang yang paling lemah di antara mereka, dan angkatkah
seorang muadzin dan jangan upah dia karena azannya.” (HR. Abu Daud
No. 531, Ahmad No. 17906, Ath Thabarani dalam Al Mu’jam Al Kabir No.
8365, An Nasa’i dalam As Sunan Al Kubra No. 1636, Al Hakim No. 715,
katanya: shahih sesuai syarat Imam Muslim. Syaikh Syu’aib Al Arnauth
mengatakan: shahih. Ta’liq Musnad Ahmad No. 17906)
Jelas
sekali seorang sahabat nabi, Utsman bin Abu Al ‘Ash Radhialahu ‘Anhu
meminta kedudukan sebagai pemimpin bagi kaumnya -yakni dalam konteks hadits ini
adalah pemimpin shalat- dan nabi pun
menunjuknya sebagai seorang pemimpin bagi kaumnya itu. Para pensyarah hadits
juga menjelaskan bahwa hadits ini dalil kebolehan meminta jabatan kepemimpinan,
sebagaimana yang nanti kami paparkan.
Bersama para imam dan ulama
Sebagian
fuqaha berpendapat boleh-boleh saja meminta jabatan, sama sekali bukan hal yang
dibenci. Tentunya jika dia benar-benar ingin berjuang untuk agama,
berkhidmat untuk umat, dan memiliki
kecakapan terhadap jabatan tersebut. Bukan untuk memperkaya diri dan
ambisi-ambisi pribadi apalagi lagi menyalahgunakannya. Inilah kuncinya.
Berikut
ini pendapat para ulama tentang meminta jabatan dan juga kepemimpinan.
- Imam Abul Hasan Al
Mawardi Rahimahullah berkata:
فَقَدْ قَالَ بَعْضُ الْفُقَهَاءِ إنَّ التَّنَازُعَ فِيهَا لَا يَكُونُ
قَدْحًا مَانِعًا وَلَيْسَ طَلَبُ
الْإِمَامَةِ مَكْرُوهًا
“Sebagian fuqaha mengatakan bahwa memperebutkan
jabatan kepepimpinan tidaklah tercela dan
terlarang, dan mengincar jabatan imamah bukan suatu yang dibenci.” (Al Ahkam As Sulthaniyah, Hal. 7)
- Imam Ash Shan’ani Rahimahullah
mengomentari:
الحديث يدل على جواز طلب الإمامة
في الخير وقد ورد في أدعيت عباد الرحمن الذين وصفهم الله بتلك الأوصاف أنهم يقولون
{وََاجْعَلْنَا لِلْمُتَّقِينَ إِمَاماً} وليس من طلب الرياسة المكروهة
Hadits ini menunjukkan
kebolehan meminta jabatan kepemimpinan dalam kebaikan. Telah ada di antara
doa-doa para ibadurrahman, di mana Allah Ta’ala mensifati mereka dengan
sifat tersebut, bahwa mereka berkata (Dan
jadikanlah kami sebagai pemimpin bagi orang-orang bertaqwa), dan meminta jabatan itu bukanlah merupakan hal
yang dibenci. (Subulus Salam, 1/128)
- Syaikh Said bin ‘Ali
bin Wahf Al Qahthani Hafizhahullah juga mengutip perkataan Imam Ash
Shan’ani di atas, lalu dia melanjutkan:
فإن ذلك فيما يتعلق برياسة الدنيا التي لا يُعَانُ
مَنْ طلبها، ولا يستحق أن يُعْطَاهَا مَنْ سأله، فإذا صَلحت النية وتأكدت الرغبة في
القيام بالواجب والدعوة إلى الله - عز وجل - فلا حرج من طلب ذلك.
Sesungguhnya hal ini
terkait dengan jabatan dunia yang tidak usah ditentang orang yang memintanya,
dan tidak pula berhak diberikan kepada yang memintanya, namun jika dia niatnya
bagus dan diperkuat oleh keinginan untuk menjalankan kewajiban dan da’wah ilallah
‘Azza wa Jalla, maka tidak apa-apa meminta jabatan itu. (Al Imamah
fish Shalah, Hal. 4)
- Syaikh Abdul Aziz bin
Abdullah bin Baaz Rahimahullah berkata:
فطلب رضي الله عنه إمامة قومه
للمصلحة الشرعية، ولتوجيههم للخير وتعليمهم وأمرهم بالمعروف، ونهيهم عن المنكر، مثلما
فعل يوسف عليه الصلاة والسلام .
قال العلماء : إنما نهي عن طلب
الإمرة والولاية ، إذا لم تدع الحاجة إلى ذلك؛ لأنه خطر ، كما جاء في الحديث: النهي
عن ذلك ، لكن متى دعت الحاجة والمصلحة الشرعية إلى طلبها جاز ذلك ، لقصة يوسف عليه
الصلاة والسلام ، وحديث عثمان رضي الله عنه المذكور
Beliau (Utsman) Radhiallahu
‘Anhu meminta jabatan sebagai pemimpin karena pertimbangan maslahat syar’i,
dalam rangka mengantarkan manusia kepada kebaikan, mengajarkan mereka, dan
memerintahkan yang baik, dan mencegah kemungkaran, sebagaimana yang dilakukan
Yusuf ‘Alaihissalam.
Berkata para ulama:
bahwasanya meminta jabatan adalah perkara yang terlarang, jika memang tidak ada
keperluan untuk itu karena hal itu berbahaya sebagaimana diterangkan dalam
hadits yang menyebutkannya. Tetapi jika karena didorong oleh keperluan dan
maslahat yang syar’i untuk memintanya maka hal itu dibolehkan, berdasarkan
kisah Nabi Yusuf ‘Alaihis Salam dan hadits ‘Utsman (bin Abu Al ‘Ash) Radhiallahu
‘Anhu tersebut. (Majmu’ Fatawa Ibni Baaz, 7/232)
- Berkata Syaikh Abdul
Muhsin Al ‘Abbad Al Badr Hafizhahullah:
فهل يجوز طلب الإمامة؟ والجواب: إذا كان يترتب على ذلك مصلحة فلا بأس
به؛ لأن الإمامة قربة وعبادة
Maka, bolehkah meminta
menjadi seorang pemimpin? Jawabannya: jika hal itu membawa kepada maslahat
tidaklah apa-apa, karena kepemimpinan adalah termasuk qurbah
(mendekatkan diri kepada Allah) dan ibadah. (Syarh Sunan Abi Daud,
3/404)
- Fatwa Al Lajnah Ad
Daimah Lil Buhts Al ‘Ilmiyah wal Ifta di kerajaan Saudi Arabia
يجوز لك طلب الإمامة للمسجد
الذي بنيته، إذا توفرت فيك شروط الإمامة، ولك أن تأخذ عليها أجرة من بيت المال ولا
ينقص ذلك من أجرك
Boleh bagi Anda meminta
jabatan sebagai ketua masjid yang telah
Anda jelaskan, jika memang pada diri Anda memiliki banyak syarat menjadi
pemimpin, dan Anda juga berhak mendapatkan honor atas hal itu yang berasal dari
Baitul Maal, dan hal itu tidaklah
mengurangi pahala Anda. (Fatawa Al Lajnah Ad Daimah – Majmu’atul Ulaa,
Fatwa No. 8949)
Bersama Nabi Yusuf ‘Alaihissalam
Allah
Ta’ala berfirman tentang Nabi Yusuf ‘Alaihissalam yang meminta kepada
raja agar dirinya dijadikan penanggungjawab keuangan negerinya:
قَالَ اجْعَلْنِي عَلَى خَزَائِنِ
الأَرْضِ إِنِّي حَفِيظٌ عَلِيمٌ
Berkata Yusuf:
"Jadikanlah aku bendaharawan negara (Mesir); Sesungguhnya aku adalah orang
yang pandai menjaga, lagi berpengetahuan". (QS. Yusuf: 55)
Ayat
ini menerangkan dua hal, yaitu pertama, meminta jabatan, kedua, syarat menjadi pejabat yakni hafizhun
‘alim - pandai menjaga amanah dan berpengetahuan. Jika syarat ini tidak
terpenuhi, maka tidak selayaknya
seseorang meminta-minta jabatan. Seseorang harus jujur atas dirinya
sendiri, jujur atas niat dan kemampuan dirinya. Ayat ini sering dijadikan
dasar para ulama tentang kebolehan meminta jabatan dengan syarat seperti di
atas.
Tertulis
dalam Tafsir Al Muyassar sebagai berikut:
وأراد يوسف أن ينفع العباد، ويقيم العدل بينهم، فقال
للملك: اجعلني واليًا على خزائن "مصر"، فإني خازن أمين، ذو علم وبصيرة بما
أتولاه.
Yusuf
bermaksud bisa memberikan manfaat bagi manusia, dan menegakkan keadilan di
antara mereka, lalu dia berkata kepada raja: “Jadikanlah aku pemimpin
(penanggungjawab) atas perbendaharaan negeri Mesir, sesungguhnya aku orang yang
amanah terhadap harta, dan memiliki ilmu serta bashirah (kepandaian)
terhadap apa-apa yang menjadi tanggunjawabku.” (Tafsir Al Muyassar,
4/155)
Hadits Larangan Meminta Jabatan
Pihak
yang melarang manusia meminta jabatan biasanya mendasarkan pendapatnya pada
hadits-hadits berikut.
Pertama, Abu Dzar Radhiallahu
‘Anhu berkata:
يَا رَسُولَ اللَّهِ أَلَا تَسْتَعْمِلُنِي قَالَ فَضَرَبَ
بِيَدِهِ عَلَى مَنْكِبِي ثُمَّ قَالَ يَا أَبَا ذَرٍّ إِنَّكَ ضَعِيفٌ وَإِنَّهَا
أَمَانَةُ وَإِنَّهَا يَوْمَ الْقِيَامَةِ خِزْيٌ وَنَدَامَةٌ إِلَّا مَنْ أَخَذَهَا
بِحَقِّهَا وَأَدَّى الَّذِي عَلَيْهِ فِيهَا
Wahai
Rasulullah, tidakkah engkau memperkerjakan aku? Lalu dia menepuk tangannya ke
pundakku, lalu bersabda: “Wahai Abu Dzar, kamu ini lemah, sedangkan tugas itu
adalah amanah, dan pada hari kiamat hal itu akan menjadi kehinaan dan
penyesalan, kecuali bagi orang yang
mengambilnya sesuai haknya dan menjalankannya dengan baik.” (HR.
Muslim No. 1725)
Hadits ini
menunjukkan sebab larangan meminta jabatan, yakni kelemahan dari Abu Dzar Al
Ghifari Radhiallahu ‘Anhu. Kelemahan itu dapat membuat seseorang tidak becus
menjalankan amanahnya sehingga akan membawa malapetaka dan penyesalan di
akhirat. Sehingga larangan ini adalah khusus bagi mereka yang lemah. Ada pun
bagi yang mampu menjalankan dengan baik dan sesuai haknya, maka ini diluar
larangan tersebut dan tidak akan mengalami penyesalan yang dimaksud. Oleh
karenanya Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam mengatakan: “ ... kecuali bagi orang yang mengambilnya sesuai haknya dan menjalankannya
dengan baik.” Pengecualian ini harus diperhatikan, jangan hanya melihat
larangannya saja. Namun, di sisi lain pengecualian ini juga menunjukkan betapa
hanya sedikit manusia yang mampu menjalankannya, sehingga dia dijadikan
pengecualian, dan biasanya pengecualian selalu lebih sedikit dibanding umumnya.
Imam Abu Ja’far Ath Thahawi
Rahimahullah mengatakan:
وهو إلا من أخذها بحقها وأدى الذي عليه فيها أن من
كان كذلك فليس ممن لحقه في ذلك نهى ولا لحقته فيه كراهة وأن الكراهة لذلك إنما تلحق
المتعرضين له الطالبين لولايته
Dan “dikecualikan bagi
yang mengambilnya sesuai haknya dan menjalankannya dengan baik”, bahwasanya
siapa saja yang seperti itu maka dia bukanlah termasuk yang dilarang dan bukan
termasuk yang dibenci, sesungguhnya dibencinya itu adalah jika melekat padanya
ketamakan untuk meminta jabatannya itu. (Bayan Musykil Al Aatsar,
1/26)
Imam An Nawawi menjelaskan
bahwa penyesalan yang dihasilkan dari
jabatan pada hari kiamat nanti adalah besar, tetapi pahalanya juga besar bagi
yang benar menjalankannya. Beliau mengatakan:
هذا الحديث أصل عظيم في اجتناب الولايات لا سيما لمن
كان فيه ضعف عن القيام بوظائف تلك الولاية وأما الخزي والندامة فهو في حق من لم يكن
أهلا لها أو كان أهلا ولم يعدل فيها فيخزيه الله تعالى يوم القيامة ويفضحه ويندم على
ما فرط وأما من كان أهلا للولاية وعدل فيها فله فضل عظيم تظاهرت به الأحاديث الصحيحة
كحديث سبعة يظلهم الله
Hadits ini merupakan dasar
yang agung dalam hal menjauhi dari jabatan kepemimpinan, apalagi bagi mereka
yang lemah dalam menjalankan tugas-tugas kepemimpinan itu. Ada pun kehinaan dan
penyesalan itu adalah hak bagi siapa yang bukan ahlinya (tidak memiliki
kapasitas, pen), atau dia ahli tapi tidak menjalankannya secara adil,
maka Allah Ta’ala akan membuatnya hina pada hari kiamat, dan akan membuka
kejelekannya serta menyesali atas apa yang dia lalaikan. Sedangkan bagi orang
yang ahli dan adil, maka baginya keutamaan yang agung, seperti yang nampak dalam berbagai hadits
shahih seperti hadits tujuh golongan manusia yang akan Allah Ta’ala berikan naungan kepada mereka. (Al
Minhaj Syarh Shahih Muslim, 12/211)
Kedua,
Abdurrahman bin Sammurah Radhiallahu
‘Anhu berkata, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam
bersabda:
يَا عَبْدَ الرَّحْمَنِ بْنَ
سَمُرَةَ لَا تَسْأَلْ الْإِمَارَةَ فَإِنَّكَ إِنْ أُوتِيتَهَا عَنْ مَسْأَلَةٍ وُكِلْتَ
إِلَيْهَا وَإِنْ أُوتِيتَهَا مِنْ غَيْرِ مَسْأَلَةٍ أُعِنْتَ عَلَيْهَا
Wahai
Abdurrahman bin Samurah, janganlah kamu minta jabatan, sesungguhnya jika kamu
memperolehnya dari meminta maka kamu akan menjadi lemah binasa karenanya, dan
jika kamu diberikan jabatan tanpa memintanya maka kamu akan mendapat pertolongan. (HR. Bukhari No. 6622, Muslim No. 1652)
Imam Ibnu Baththal mengutip dari Al Muhallab,
katanya:
فيه دليل على أنه من تعاطى أمرًا
وسولت له نفسه أنه قائم بذلك الأمر أنه يخذل فيه فى أغلب الأحوال ؛ لأنه من سأل الإمارة
لم يسألها إلا وهو يرى نفسه أهلا لها
Pada hadits ini merupakan
dalil bahwa orang yang sibuk mengerjakan tugas yang didapatkan melalui
minta-minta, dan dia menjalankan tugas itu, maka dia akan terlantar dibanyak
keadaan, karena orang yang meminta jabatan tidaklah dia memintanya melainkan
dia melihat dirinya dalam keadaan mampu menjalankannya. (Syarh Shahih Al
Bukhari, 8/217)
Syaikh Abdullah bin
Abdurrahman bin Abdullah bin Jibrin menjelaskan hakikat jabatan, yang
akhirnya tidak pantas untuk diminta-minta:
والمراد بها الولاية على مجموعة والرئاسة عليهم، فالأمير
هو الذي يكون والياً على أهل بلد أو والياً وأميراً ورئيساً على قسم أو على جهة أو
على أسرة أو قبيلة أو نحو ذلك يرجعون إليه ويطيعونه، ويأمرهم بما يراه صالحاً لهم ونحو
ذلك، والإمارة يُختار لها الأكفاء الذين فيهم الأهلية، ويبتعد عن اختيار من ليس كفؤاً
لها، والإنسان لا يحرص عليها، وذلك لما فيها من المسئولية، ولما فيها من التعب والعمل
الذي يناط بذلك الأمير، ولأن الناس يتعلقون به ويطلبون منه أن يفعل كذا وكذا، فيكون
ذلك قدحاً في عدالته إذا اتهم وألصقت به التهم، أو عمل وليس من أهل العمل أو نحو ذلك،
فلأجل هذا ينهى عن أن يسألها.
Yang dimaksud dengan
kepemimpinan di sini adalah semua bentuk kepemimpinan, jadi dia adalah pemimpin
bagi penduduk sebuah negeri, atau sebagai penguasa, pemimpin, kepala, baik
kepala bagian, seksi, keluarga, kabilah, atau semisalnya, di mana mereka
merujuk kepadanya dan mentaatinya, dan dia memerintahkan mereka kepada apa-apa
yang menurutnya baik untuk mereka dan semisalnya. Kekuasaan diperuntukan bagi
mereka yang punya kompetensi dan hendaknya dijauhkan dari mereka yang tidak
punya kemampuan, dan manusia tidak boleh rakus kepadanya, karena di dalamnya
terdapat tanggung jawab, kerja keras, dan pekerjaan yang dibebankan kepada
penguasa, karena manusia menggantungkan diri kepadanya dan menuntutnya untuk
melakukan ini dan itu, namun dia ternyata mengalami cacat dalam keadilannya
maka dia akan dituduh dan dicurigai, atau dia disebut melakukan pekerjaan yang
bukan ahlinya, atau semisalnya. Nah, karena inilah dilarang untuk meminta jabatan.
(Syarh ‘Umdatul Ahkam, 71/4)
Maka, kami kira penjelasan
para imam ini sudah cukup mewakili dan jelas, bahwa larangan meminta jabatan
adalah bagi orang yang lemah, atau pekerjaan itu begitu berat dan kekuatannya
tidak cukup, atau dia bukan ahlinya,
jadi bukan larangan bagi semua orang.
Ada pun bagi yang punya kemampuan dan kekuatan maka dia tidak termasuk
dilarang, bahkan jika dia adil, maka keutamaan besar sedang menanti dirinya.
Dan, hadits ini nampak jelas tidak bertentangan dengan hadits Utsman bin Abu Al
‘Ash yang membolehkan meminta kedudukan sebagai pemimpin, dan kisah Nabi Yusuf ‘Alaihissalam,
justru semuanya saling menguatkan. Makna
“orang lemah” di sini bisa dikonversi ke zaman ini yakni lemah iman, kemampuan
manajerial, lemah fisiknya, kemauan, dan
sebagainya.
Demikian.
Wallahu A’lam
Wa
Shallallahu ‘Ala Nabiyyina Muhammadin wa ‘Ala Aalihi wa Shahbihi ajmain.
No comments:
Post a Comment