Sewaktu kami kecil, sering para
penceramah mengkisahkan sahabat nabi bernama Tsa’labah. Mereka menceritakan
bahwa Tsa’labah dulunya seorang yang miskin dan taat ibadah, tapi ketika Allah Ta’ala memberikannya kekayaaan dengan banyaknya ternak
peliharaannya akhirnya dia durhaka kepada Allah Ta’ala hingga wafatnya. Banyak
orang menceritakan dari mulut ke mulut, juga disebarkan dalam buku-buku, dan
situs-situs Islam. Tetapi, benarkah kisah ini?
Berikut ini selengkapnya kisah
Tsa’labah bin Haathib:
دثنا أبو يزيد القراطيسي ثنا أسد بن موسى ثنا الوليد بن مسلم ثنا
معان بن رفاعة عن علي بن يزيد عن القاسم عن أبي أمامة أن ثعلبة بن حاطب الأنصاري : أتى رسول الله صلى الله عليه و سلم فقال يا رسول الله
أدع الله أن يرزقني الله قال : ويحك يا ثعلبة قليل تؤدي شكره خير من كثير لا تطيقه
ثم رجع إليه فقال : يا رسول الله أدع الله أن يرزقني مالا قال ويحك يا ثعلبة أما
تريد أن تكون مثل رسول الله صلى الله عليه و سلم ؟ والله لو سألت أن يسيل لي
الجبال ذهبا وفضة لسالت ثم رجع إليه فقال : يا رسول الله أدع الله أن يرزقني مالا
والله لئن أتاني الله مالا لأوتين كل ذي حق حقه فقال رسول الله صلى الله عليه و
سلم : اللهم ارزق ثعلبة مالا فاتخذ غنما فنمت كما ينمو الدود حتى ضاقت عنها أزقة
المدينة فتنحى بها وكان يشهد الصلاة مع رسول الله صلى الله عليه و سلم ثم يخرج
إليها ثم نمت حتى تعذرت عليه مراعي المدينة فتنحى بها فكان يشهد الجمعة مع رسول
الله صلى الله عليه و سلم ثم يخرج إليها ثم نمت فتنحى بها فترك الجمعة والجماعات
فيتلقى الركبان ويقول ماذا عندكم من الخبر ؟ وما كان من أمر الناس ؟ فأنزل الله عز
و جل على رسوله صلى الله عليه و سلم { خذ من أموالهم صدقة تطهرهم وتزكيهم بها }
قال : فاستعمل رسول الله صلى الله عليه و سلم على الصدقات رجلين رجل من الأنصار
ورجل من بني سليم وكتب لهما سنة الصدقة وأسنانها وأمرهما أن يصدقا الناس وإن يمرا
بثعلبة فيأخذا من صدقة ماله ففعلا حتى ذهبا إلى ثعلبة فأقرآه كتاب رسول الله صلى
الله عليه و سلم فقال : صدقا الناس فإذا فرغتما فمرا بي ففعلا فقال : والله ما هذه
إلا أخية الجزية فانطلقا حتى لحقا رسول الله صلى الله عليه و سلم وأنزل الله عز و
جل على رسوله صلى الله عليه و سلم { ومنهم من عاهد الله لئن آتانا من فضله } إلى
قوله { يكذبون } قال : فركب رجل من الأنصار قريب لثعلبة راحلة حتى أتى ثعلبة فقال
ويحك يا ثعلبة هلكت أنزل الله عز و جل فيك القرآن كذا فأقبل ثعلبة ووضع التراب على
رأسه وهو يبكي ويقول : يا رسول الله يا رسول الله فلم يقبل منه رسول الله صلى الله
عليه و سلم صدقته حتى قبض الله رسول الله صلى الله عليه و سلم ثم أتى أبا بكر رضي
الله عنه بعد رسول الله صلى الله عليه و سلم فقال : يا أبا بكر قد عرفت موقعي من
قومي ومكاني من رسول الله صلى الله عليه و سلم فاقبل مني فأبى أن يقبله ثم أتى عمر
رضي الله عنه فأبى أن يقبل منه ثم أتى عثمان رضي الله عنه فأبى أن يقبل منه ثم مات
ثعلبة في خلافة عثمان رضي الله عنه
Telah bercerita
kepada kami Abu Yazid Al Qarathisy, bercerita kepada kami Asad bin Musa,
bercerita kepada kami Al Walid bin Muslim, bercerita kepada kami Mu’aan
bin Rifa’ah, dari Ali bin Yazid, dari Al Qasim, dari Abu
Umamah, bahwa Tsa’labah bin
Hathib Al Anshari mendatangi Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dan berkata:
“Ya Rasulullah, berdoalah kepada Allah agar aku diberikan harta.” Lalu
Rasulullah Shallallahu ‘Alahi wa Sallam bersabda: “Celaka engkau wahai Tsa’labah! Sedikit yang engkau syukuri itu lebih
baik dari harta banyak yang engkau tidak sanggup mensyukurinya.” Kemudian Tsa’labah kembali kepadanya, dan
berkata: “Wahai Rasulullah, berdoalah kepada Allah agar saya diberikan
harta.” Nabi bersabda: “Apakah
engkau tidak suka menjadi seperti Nabi Allah? Demi yang
diriku di tangan-Nya, seandainya aku mau gunung-gunung mengalirkan perak dan
emas, niscaya akan mengalir untukku. ”
Kemudian ia (Tsa’labah) berkata: “Demi Dzat yang
mengutusmu dengan benar, seandainya engkau meminta kepada Allah agar aku
dikaruniai harta (yang banyak) sungguh aku akan memberikan haknya kepada yang berhak menerimanya.”
Lalu Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam
berdo’a: “Ya Allah, berikankanlah harta kepada Tsa’labah.” Kemudian ia
mendapatkan seekor kambing, lalu kambing itu tumbuh beranak, sebagaimana
tumbuhnya ulat. Kota Madinah terasa sempit baginya.
Sesudah itu, Tsa’labah menjauh dari Madinah dan
tinggal di satu lembah. Karena kesibukannya, ia hanya berjama’ah pada shalat zhuhur dan ‘ashar saja, dan tidak pada
shalat-shalat lainnya. Kemudian kambing itu semakin
banyak, maka mulailah ia meninggalkan shalat berjama’ah sampai shalat Jum’at juga ia tinggalkan.
Suatu saat Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa
Sallam bertanya kepada para Shahabat: “Apa yang dilakukan Tsa’labah?” Mereka
menjawab: “Ia mendapatkan seekor kambing, lalu kambingnya bertambah banyak
sehingga kota Madinah terasa sempit baginya.”
Maka Rasulullah Shallallahu ‘Alahi wa Sallam
mengutus dua orang untuk mengambil zakatnya seraya bersabda: “Pergilah kalian
ke tempat Tsa’labah dan tempat fulan dari Bani Sulaiman, ambillah zakat mereka
berdua.” Lalu keduanya pergi mendatangi Tsa’labah untuk
meminta zakatnya. Sesampainya disana dibacakan surat dari Rasulullah Shallallahu
‘Alaihi
wa Sallam. Dengan serta merta Tsa’labah berkata: “Apakah yang kalian minta
dari saya ini, pajak atau semisalnya? Aku mengerti apa sebenarnya
yang kalian minta ini!”
Lalu keduanya pulang dan menghadap Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Tatkala beliau melihat kedua-nya (pulang tidak membawa hasil),
sebelum mereka berbicara, beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Celaka engkau, wahai Tsa’labah! Lalu turun ayat:
“Dan di antara mereka ada yang telah berikrar
kepada Allah: ‘Sesungguhnya jika Allah memberikan sebahagian karunia-Nya kepada
kami, pastilah kami akan bersedekah dan pastilah kami termasuk orang-orang yang
shalih.’ Maka, setelah Allah mem-berikan kepada mereka
sebahagian dari karunia-Nya, mereka kikir dengan karunia itu dan berpaling, dan
mereka memanglah orang-orang yang selalu membelakangi (kebenaran).” (QS. At Taubah (9): 75-76)
Setelah ayat ini turun, Tsa’labah datang kepada Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, ia mohon agar diterima zakatnya.
Beliau Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam langsung
menjawab: “Allah telah melarangku menerima zakatmu.” Hingga Rasul Shallallahu
‘Alaihi
wa Sallam wafat, beliau tidak mau menerima sedikit pun dari zakatnya. Dan Abu Bakar,
‘Umar, serta ‘Utsman pun tidak menerima zakatnya di masa kekhilafahan mereka. Tsa’labah wafat pada masa kekhilafahan Utsman bin
‘Affan.
* * * * *
Kisah ini diriwayatkan oleh:
- Imam Abu Nu’aim
dalam Ma’rifatush Shahabah No. 1310
- Imam Al Baihaqi
dalam Syu’abul Iman No. 4357
- Imam Ath Thabarani
dalam Al Mu’jam Al Kabir No. 7873
- Imam Abu Bakar Asy
Syaibani dalam Al Aahad wal Matsani No. 687
- Imam Ibnu Jarir Ath
Thabari dalam Jami’ul Bayan, No. 16987
- Imam Ibnu Abi Hatim
Ar Razi dalam Tafsirnya No. 10638
- Imam Al Qurthubi
dalam Al Jami’ Li Ahkam Al Quran, 8/208
- Imam Al Baghawi
dalam Ma’alim At Tanzil, 4/76
- Imam Ibnu Katsir
dalam Tafsir Al Quran Al ‘Azhim, 4/183-184
- Imam Ibnu Hazm dalam
Al Muhalla, 11/207-208
- Imam Abul Husein
Abdul Baqi bin Qani’, Mu’jam Ash Shahabah, No. 127
- Dan lainnya.
Kisah ini tidak sah dari Nabi Shallallahu
‘Alaihi wa Sallam. Sebab diriwayatkan oleh beberapa rawi yang dhaif, yakni:
1.
Mu’aan
bin Rifa’ah As Sulami
Mayoritas imam jarh wa ta’dil mendhaifkannya.
Yahya mengatakan: dhaif. Ar Razi dan As Sa’di mengatakan: laisa
bihujjah (bukan hujjah). Ibnu Hibban mengatakan: “haditsnya tidak serupa
dengan hadits-hadits yang kuat maka mesti ditinggalkan.” Al Azdi mengatakan:
“haditsnya tidak bisa dijadikan hujjah.” (Imam Ibnul Jauzi, Adh Dhu’afa wal Matrukin, No.
3353. Lihat juga Imam Ibnu Hibban, Al Majruhin, 3/36)
Al Jauzajaani mengatakan: bukan
hujjah. Ya’qub bin Sufyan mengatakan: layyinul hadits – lemah haditsnya.
Imam Ibnu Hibban mengatakan: munkarul hadits. Ibnu ‘Adi
mengatakan: “kebanyakan hadits darinya tidak bisa diikuti.” (Imam Ibnu Hajar,
Tahdzibut Tahdzib, 10/182)
Imam Ibnu Hajar mengatakan: “Saya
telah membaca tulisan Adz Dzahabi, bahwa Mu’aan wafat sekitar bersamaan dengan
Al Auza’i, dan dia (Mu’aan) adalah pemilik hadits yang tidak teliti (mutqin).” (Ibid. Lihat juga Imam Adz Dzahabi, Mizanul
I’tidal, No. 8619)
Abu Hatim mengatakan: haditsnya boleh
ditulis tapi tidak bisa dijadikan hujjah. Yahya mengatakan: dhaif. (Imam Adz Dzahabi, Al Kasyif No. 5513)
Hanya sedikit yang mentsiqahkan,
Duhaim mengatakan: tsiqah. (Ibid),
begitu pula
Ali bin Al Madini. (Imam Adz Dzahabi, Al
Mughni fi Adh Dhuafa, No. 6309), Imam Ahmad mengatakan: laa ba’sa
bihi – tidak apa-apa. (Imam
Ibnu Al Mubarrad, Bahr Ad Dam, Hal. 152), Muhammad bin ‘Auf dan Abu Daud
mengatakan: tidak apa-apa. (Imam
Ibnu Hajar, Tahdzibut Tahzib, 10/182)
Lalu bagaimana menilai Mu’aan bin Rifa’ah ini? Di tengah badai
kritikan baginya namun ada pula yang memujinya. Kaidahnya adalah: jarh
mufassar muqaddamun ‘ala ta’dilil ‘aam – kritikan yang terperinci lebih
diutamakan dibanding pujian yang masih umum. Maka, dia tetap seorang perawi
yang dhaif, sebab kritikan (jarh) yang diterimanya telah dirinci
sebagaimana rincian Ibnu Hibban,ada pun pujiannya (ta’dil) masih
bersifat umum. Wallahu A’lam
2.
Ali bin Yazid Abu Abdul Malik
Imam An Nasa’i mengatakan: matrul
hadits – haditsnya ditinggalkan.
Imam Bukhari mengatakan: munkarul hadits – haditsnya munkar. (Imam Al Muqrizi, Al Mukhtashar Al Kamil fi Adh Dhuafa,
No. 1338, Lihat juga Al ‘Uqaili dalam Adh Dhuafa, No. 1259)
Imam Ad Daruquthni memasukannya dalam
kitabnya Adh Dhuafa wa Matrukin. (No. 408), selain itu beliau juga didhaifkan
oleh Imam Ahmad, Imam Abu Hatim, dan
Imam Abu Zur’ah. (Imam Abdurrahman bin Abi
Hatim, Al Jarh wa At Ta’dil, No. 1142)
Imam Ibnu Hazm mengatakan: “Mu’aan bin
Rifa’ah, Al Qasim bin Abdurrahman, dan Ali bin Yazid, semuanya adalah dhaif.” (Al Muhalla, 11/208)
Oleh karena itu, segenap para ulama pun telah
mendhaifkan hadits ini.
Imam Ibnu Hazm mengatakan: “Hadza Baathil, li anna tsa’labah badriy
ma’ruuf- hadits ini batil, karena
Tsa’labah adalah dikenal sebagai Ahli Badar. ” (Lihat Al Muhalla,
11/208)
Imam Ibnu Hajar
mengatakan: “Dhaif jiddan – lemah sekali.” (Takhrij Ahadits Al
Kasyaaf, Hal. 77), juga didhaifkan oleh Imam As Suyuthi. (Asbabun
Nuzul, Hal. 121), Imam Al
‘Iraqi. (Takhrij Ahadits Al Ihya’, 3/338), Imam Al Qurthubi. (Al
Jami’ Li Ahkamil Quran, 8/210)
Syaikh Ali Hasyisy
mengatakan dhaif jiddan. (Lihat Silsilah Al Ahadits Al Wahiyah,
Hal. 248, No. 158), Syaikh Al Albani juga mengatakan: dhaif jiddan.
(As Silsilah Adh Dhaifah No. 1607)
Catatan:
Hadits
ini selain dhaif riwayatnya, tapi juga buruk secara makna, yakni telah
menjadikan salah satu sahabat nabi yang mulia, bernama Tsa’labah bin Haathib
seorang Ahli Badar dan golongan Anshar, sebagai sosok yang durhaka. Hal ini
merupakan tuduhan yang berat kepadanya, dan dusta terhadapnya. Padahal Ahli
Badar telah Allah Ta’ala maafkan dan diampuni dosa-dosanya, dan dijamin masuk
surga, sebagaimana diriwayatkan oleh hadits-hadits shahih.
Dari
Jabir Radhiallahu ‘Anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa
Sallam bersabda:
لَنْ يَدْخُلَ
النَّارَ رَجُلٌ شَهِدَ بَدْرًا وَالْحُدَيْبِيَةَ
Tidak akan pernah
masuk ke neraka seorang yang ikut perang
Badar dan Hudaibiyah. (HR. Ahmad No. 15297, Syaikh Syu’aib Al Arnauth
mengatakan: hasan. Lihat Tahqiq Musnad Ahmad No. 15297. Alauddin
Al Muttaqi Al Hindi dalam Kanzul ‘Ummal No. 33894, Syaikh Al Albani
mengatakan: shahih. Lihat As
Silsilah Ash Shahihah No. 2160)
Dahulu
ada sahabat nabi, Hatib bin Abi Baltha’ah Radhiallahu ‘Anhu dan dia seorang Ahli Badar, yang telah membocorkan
rahasia negara ketika menjelang penaklukan kota Mekkah (Fathul Makkah). Beliau
mengirim utusan seorang wanita untuk membawa surat ke Mekkah kepada sanak
familinya perihal penaklukan itu. Namun Rasulullah mengetahui rencana Hatib
ini, Beliau mengutus Ali, Az Zubeir, dan Miqdad untuk mengejar utusan tersebut,
dan akhirnya terkejar.
Para
sahabat pun marah kepada Hatib bin Abi Baltha’ah, bahkan Umar mengatakan: “Ya
Rasulullah, Da’ni adhribu ‘unuqa haadzal munaafiq – Ya Rasulullah, biarkan
saya memenggal leher si munafiq ini.”
Lalu
Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
إِنَّهُ قَدْ شَهِدَ بَدْرًا وَمَا
يُدْرِيكَ لَعَلَّ اللَّهَ أَنْ يَكُونَ قَدْ اطَّلَعَ عَلَى أَهْلِ بَدْرٍ
فَقَالَ اعْمَلُوا مَا شِئْتُمْ فَقَدْ غَفَرْتُ
Dia
telah ikut perang Badar, apakah engkau tidak tahu bahwa barang kali Allah
Ta’ala telah memandang Ahli Badar, lalu Dia berkata: lakukan apa yang kalian
mau, kalian telah Aku ampuni. (HR. Bukhari No. 3007 dan Muslim No. 2494)
Demikian
mulia kedudukan Ahli Badar, dan Tsa’labah bin Haathib juga termasuk Ahli Badar.
Selain itu, kisah dalam riwayat ini menunjukkan
bahwa Allah Ta’ala menolak amal shalih dan maaf hambaNya. Ini juga
bertentangan dengan sifat Allah Ta’ala
sebagai Al Ghafur (Maha Pengampun) dan Ar Rahim (Maha Penyayang).
Kemudian riwayat ini
juga mengandung makna bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam
tidak memaafkan Tsa’labah sampai dirinya wafat. Ini jelas bertentangan dengan
akhlak Beliau yang asyidda’u ‘alal kuffar wa ruhama’u bainahum – keras
terhadap orang kafir dan berkasih sayang terhadap mereka (orang-orang
mukmin/para sahabatnya).
Maka,
hendaknya kita –khususnya para penceramah-
hati-hati menyebarkan kisah ini, sebab
akan membawa dampak pembunuhan karakter terhadap sahabat Nabi
Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, dan itu pun menjadi dusta atas nama sahabat
nabi dan merupakan celaan terhadap mereka.
Dan, mencela sahabat nabi tidaklah sama dengan mencela manusia
kebanyakan. Wal ‘Iyadzu billah.
Wallahu
A’lam
No comments:
Post a Comment