Assalamu ‘Alaikum Wr Wb. Ust, ana
mewakili teman-teman dari beberapa propinsi mau bertanya beberapa hal:
- Bolehkah
uang syubhat digunakan untuk membangun masjid? Karena masjid termasuk
kepentingann umum.
- Kalau
untuk anak yatim atau fakir miskin gimana? Karena mereka termasuk rakyat.
Dari Heru (081354511xxx – Pegawai BPS - Sulawesi Tengah)
Jawab:
Bismillah,
walhamdulillah wash Shalatu wassalamu ‘Ala Rasulillah, wa ba’du:
Dalam
sebuah hadits disebutkan:
عَنْ أَبِيْ عَبْدِ
اللهِ النُّعْمَانِ بْنِ بِشِيْر رضي الله عنهما قَالَ: سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ
صلى الله عليه وسلم يَقُوْلُ: (إِنَّ الحَلالَ بَيِّنٌ وَإِنَّ الحَرَامَ بَيِّنٌ
وَبَيْنَهُمَا أُمُوْرٌ مُشْتَبِهَات لاَ يَعْلَمُهُنَّ كَثِيْرٌ مِنَ النَّاس،ِ فَمَنِ
اتَّقَى الشُّبُهَاتِ فَقَدِ اسْتَبْرأَ لِدِيْنِهِ وعِرْضِه، وَمَنْ وَقَعَ فِي
الشُّبُهَاتِ وَقَعَ فِي الحَرَامِ كَالرَّاعِي يَرْعَى حَوْلَ الحِمَى يُوشِكُ
أَنْ يَقَعَ فِيْهِ. أَلا وَإِنَّ لِكُلِّ مَلِكٍ حِمَىً . أَلا وَإِنَّ حِمَى
اللهِ مَحَارِمُهُ، أَلا وإِنَّ فِي الجَسَدِ مُضْغَةً إِذَا صَلَحَتْ صَلَحَ
الجَسَدُ كُلُّهُ وإذَا فَسَدَت فَسَدَ الجَسَدُ كُلُّهُ أَلا وَهيَ
القَلْبُ) رواه البخاري ومسلم .
Dari Abu Abdullah An Nu’man bin Basyir Radhiallahu
‘Anhuma, dia berkata: Aku mendengar Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa
Aalihi wa Sallam bersabda:
“Sesungguhnya yang halal adalah jelas dan
yang haram juga jelas dan di antara keduanya terdapat perkara yang samar,
kebanyakan manusia tidak mengetahuinya. Barangsiapa yang menghindar dari
yang samar maka dia telah menjaga agamanya dan kehormatannya. Dan barangsiapa
yang terjatuh dalam perkara yang samar maka dia telah terjatuh dalam perkara
yang haram, seperti penggembala yang berada dekat di pagar milik orang lain
dikhawatiri dia masuk ke dalamnya. Ketahuilah setiap raja memeliki pagar
(aturan), aturan Allah adalah larangan-laranganNya. Sesungguhnya di dalam
tubuh terdapat segumpal daging jika dia baik maka baiklah seluruh jasad itu,
jika dia rusak maka rusak pula seluruh jasad. Ketahuilah itu adalah hati.”
(HR. Bukhari No.52, 1946,
Muslim No. 1599, At Tirmidzi
No. 1221, Ibnu Majah No. 3984, Abu
Daud No. 3329 ,
Ad Darimi No. 2531, Al Baihaqi dalam As Sunan Al Kubra No.
10180)
Selanjutnya kita fokus pada:
وَبَيْنَهُمَا أُمُوْرٌ مُشْتَبِهَات : dan
di antara keduanya terdapat perkara yang samar
Bainahuma - Di antara keduanya yakni diantara halal dan haram, artinya secara asal dia
bukan termasuk haram, dan juga bukan termasuk halal.
Umuurun Musytabihaat – perkara yang
samar yakni perkara yang belum jelas
hukum halal haramnya. (Syaikh Ismail bin Muhammad Al Anshari, At Tuhfah
Ar Rabbabiyah, No. 6. Maktabah Al Misykah)
Menurut Syaikh Al ‘Utsaimin,
ketidak jelasan ini disebabkan beberapa hal:
1.
Ketidak jelasan dalil; jika dalilnya dari hadits, apakah haditsnya shahih atau
tidak?
2.
Kalau pun shahih, apakah hadits tersebut secara makna memang mengarah pada
hukum perkara tersebut atau tidak? (Syarhul Al Arba’in, Hal.
107. Mawqi’ Ruh Al Islam)
Secara Bahasa (Lughah) arti syubhat
adalah Al Mitsl (serupa, mirip) dan iltibas (samar,
kabur, tidak jelas, gelap, sangsi). Maka, sesuatu yang dinilai syubhat belum
memiliki hukum yang sama dengan haram atau sama dengan halal. Sebab mirip halal
bukanlah halal, dan mirip haram bukanlah haram. Maka, tidak ada kepastian
hukum halal atau haramnya, masih samar dan gelap.
Imam Ibnu Daqiq Al ‘Id Radhiallahu
‘Anhu menyebutkan bahwa para ulama berbeda pendapat dalam mengkategorikan
perkara syubhat:
1.Kelompok yang memasukan syubhat sebagai perkara
yang haram. Alasan mereka adalah ucapan Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa
Sallam: “Barangsiapa yang menghindar dari yang samar maka dia telah
menjaga agamanya dan kehormatannya. Dan barangsiapa yang terjatuh dalam perkara
yang samar maka dia telah terjatuh dalam perkara yang haram.”
2. Kelompok yang memasukan syubhat sebagai perkara
yang halal. Alasan mereka adalah ucapan Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam:
“seperti penggembala yang berada dekat di pagar milik orang lain.” Ini
menunjukkan dia belum masuk keharaman, namun sebaiknya kita
bersikap wara’ (hati-hati) untuk meninggalkannya.
3. Kelompok yang mengatakan bahwa syubhat bukanlah
halal dan bukan pula haram, dan Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam telah
menyebutkan bahwa halal dan haram adalah jelas, maka hendaknya kita bersikap
seperti itu. Tetapi meninggalkannya adalah lebih baik, dan hendaknya bersikap wara’.
(Imam Ibnu Daqiq Al ‘Id, Syarh Al Arbain An Nawawiyah, Hal. 44.
Maktabah Al Misykah)
Pendapat kelompok ketiga inilah yang
nampaknya lebih kuat. Hal ini diperkuat lagi oleh ucapan Nabi:
لاَ
يَعْلَمُهُنَّ كَثِيْرٌ مِنَ النَّاس : Banyak manusia yang tidak mengetahuinya
Berkata
Imam Ibnu Daqiq Al ‘Id Rahimahullah:
وفيه دليل على أن الشبهة لها حكم خاص
بها يدل عليه دليل شرعي يمكن أن يصل إليه بعض الناس.
“Hal ini menunjukkan bahwa masalah syubhat
mempunyai hukum tersendiri yang diterangkan oleh syari’at sehingga sebagian
orang ada yang berhasil mengetahui hukumnya dengan benar.” (Syarhul
Arba’in An Nawawiyah, Hal. 47)
Contoh Perkara Syubhat:
Dalam Shahih Bukhari dan Shahih
Muslim disebutkan sebuah hadits dari ‘Aisyah, ia berkata : “Sa’ad bin Abu
Waqash dan ‘Abd bin Zam’ah mengadu kepada Rasulullah tentang seorang anak
laki-laki. Sa’ad berkata : Wahai Rasulullah anak laki-laki ini adalah anak
saudara laki-lakiku.’Utbah bin Abu Waqash. Ia (‘Utbah) mengaku bahwa anak
laki-laki itu adalah anaknya. Lihatlah kemiripannya” sedangkan ‘Abd bin Zam’ah
berkata; “ Wahai Rasulullah, Ia adalah saudara laki-lakiku, Ia dilahirkan ditempat
tidur ayahku oleh budak perempuan milik ayahku”, lalu Rasulullah memperhatikan
wajah anak itu (dan melihat kemiripannya dengan ‘Utbah) maka beliau Rasulullah
bersabda : “Anak laki-laki ini untukmu wahai ‘Abd bin Zam’ah, anak itu milik
laki-laki yang menjadi suami perempuan yang melahirkannya dan bagi orang yang
berzina hukumannya rajam. Dan wahai Saudah, berhijablah kamu dari anak
laki-laki ini” sejak saat itu Saudah tidak pernah melihat anak laki-laki itu
untuk seterusnya.
Abd bin Zam’ah adalah Saudara laki-laki
dari Saudah (istri Nabi). Dan, Rasulullah menetapkan bahwa anak laki-laki
tersebut adalah hak (saudara) dari Abd bin Zam’ah. Tetapi, ternyata Rasulullah
memerintahkan Saudah untuk berhijab (menutup aurat) di depan laki-laki
tersebut, padahal Saudah juga saudara dari Abd bin Zam’ah. Perintah ini
disebabkan kesamaran (syubhat) pada masalah ini dan ini menunjukan
kehati-hatian Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam.
Contoh lain:
Pada Hadits ‘Adi bin Hatim, ia berkata
: “Wahai Rasulullah, saya melepas anjing saya dengan ucapan Bismillah untuk
berburu, kemudian saya dapati ada anjing lain yang melakukan perburuan”
Rasulullah bersabda, “Janganlah kamu makan (hewan buruan yang kamu dapat)
karena yang kamu sebutkan Bismillah hanyalah anjingmu saja, sedang anjing yang
lain tidak”. Rasulullah memberi fatwa semacam ini dalam masalah syubhat karena
beliau khawatir bila anjing yang menerkam hewan buruan tersebut adalah anjing
yang dilepas tanpa menyebut Bismillah. Jadi seolah-olah hewan itu disembelih dengan
cara diluar aturan Allah. Allah berfirman, “Sesungguhnya hal itu adalah
perbuatan fasiq” (QS. Al An’am (6):121)
Dalam fatwa ini Rasulullah menunjukkan
sifat kehati-hatian terhadap hal-hal yang masih samar tentang halal atau
haramnya, karena sebab-sebab yang masih belum jelas. Inilah yang dimaksud
dengan sabda Rasulullah , “Tinggalkanlah sesuatu yang meragukan kamu untuk
berpegang pada sesuatu yang tidak meragukan kamu.”
Firman Allah
Ta’ala:
يَا
أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ أَنفِقُواْ مِن طَيِّبَاتِ مَا كَسَبْتُمْ وَمِمَّا
أَخْرَجْنَا لَكُم مِّنَ الأَرْضِ وَلاَ تَيَمَّمُواْ الْخَبِيثَ مِنْهُ
تُنفِقُونَ وَلَسْتُم بِآخِذِيهِ إِلاَّ أَن تُغْمِضُواْ فِيهِ وَاعْلَمُواْ أَنَّ
اللّهَ غَنِيٌّ حَمِيدٌ
“Hai orang-orang yang
beriman, nafkahkanlah (di jalan Allah) sebagian dari hasil usahamu yang
baik-baik dan sebagian dari apa yang Kami keluarkan dari bumi untuk kamu. dan
janganlah kamu memilih yang buruk-buruk lalu kamu menafkahkan daripadanya,
Padahal kamu sendiri tidak mau mengambilnya melainkan dengan memincingkan mata
terhadapnya. dan ketahuilah, bahwa Allah Maha Kaya lagi Maha Terpuji.” (QS. Al
Baqarah : 267)
Ayat lainnya:
يَا أَيُّهَا
الرُّسُلُ كُلُوا مِنَ الطَّيِّبَاتِ وَاعْمَلُوا صَالِحًا إِنِّي بِمَا
تَعْمَلُونَ عَلِيمٌ
“Hai rasul-rasul, makanlah dari makanan yang
baik-baik, dan kerjakanlah amal yang saleh. Sesungguhnya Aku Maha mengetahui
apa yang kamu kerjakan.” (QS. Al Mu'minun(23) : 51)
Firman-Nya:
يَا
أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ كُلُواْ مِن طَيِّبَاتِ مَا رَزَقْنَاكُمْ ...
“Hai orang-orang yang beriman, makanlah di
antara rezki yang baik-baik yang Kami berikan kepadamu.” (QS. Al Baqarah (2) :
172)
Sedangkan, dari Abu Hurairah Radhiallahu ‘Anhu,
bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّ اللَّهَ طَيِّبٌ
لَا يَقْبَلُ إِلَّا طَيِّبًا
“Wahai manusia, sesungguhnya Allah itu baik, tidak akan menerima kecuali
yang baik-baik.” (HR. Muslim No. 1015.
At Tirmidzi No. 4074, katanya: hasan gharib. Al Baihaqi, Syu’abul
Iman, No. 5497)
Maka, aktifitas ibadah maaliyah
(ibadah harta) seperti sedekah ke fakir miskin, ongkos haji, zakat, biaya
dakwah dan jihad, biaya daurah islamiyah, biaya pembangunan dan operasional
masjid, dan semisalnya, juga kebutuhan hidup pribadi seperti makan, minum,
pakaian, tempat tinggal, biaya kesehatan dan sekolah, listrik, dan lainnya,
hendaknya menggunakan harta yang PASTI halalnya. Sebab, Allah Ta'ala
memerintahkan memungutnya dari yang halal lagi baik, dan Dia hanya mau menerima
dari yang baik-baik. Dan, Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam juga
memerintahkan kita untuk menjaga diri dari yang syubhat.
Jadi,
jika seseorang mencegah hal-hal haram dan syubhat untuk kebutuhan dirinya
(makan, pakaian, tempat tinggal, uang listrik, SPP sekolah, dan semisalnya),
maka sudah selayaknya dia mencegahnya untuk kepentingan agamanya. Jika dia
mencegah dirinya dari perkara haram dan syubhat, maka sebuah keanehan jika dia
mempersembahkan untuk agama dan akhirat dengan uang haram dan syubhat. Jika dia
tidak rela memakannya, maka mengapa dia rela itu di makan fakir miskin dan anak
yatim? sama saja dia melemparkan api yang dia sendiri tidak menginginkannya.
Memahami Ini
dari Dua Perspektif
1. menurut sudut pandang si pemilik harta syubhat tersebut
(si pemberi), jika si pemberi TAHU itu sebagai uang haram dan syubhat.
Telah jelas menurut pandangan
berdasarkan nash, bahwa seseorang terlarang menggunakan harta haram dan syubhat
untuk kepentingan agama (dakwah, jihad, Haji, ta'lim, masjid, menyantuni anak
yatim, dan semisalnya). Inilah yang dipegang oleh Imam Ahmad bin Hambal dan
Syaikh Sayyi Sabiq, ketika dia memandang BATAL dan HARAM orang yang pergi haji
dengan harta yang tidak halal. Sekali pun ada ulama yang menyatakan SAH, tetapi
mereka pun mengatakan tetaplah itu perbuatan dosa.
Berkata Syaikh Sayyid Sabiq
Rahimahullah:
ويجزئ الحج وإن كان المال حراما ويأثم عند الاكثر من
العلماء. وقال الامام أحمد:
لايجزئ، وهو الاصح لما جاء في الحديث الصحيح: " إن الله طيب لا يقبل إلا طيبا
".
“Haji tetap sah walau dengan uang haram, namun pelakunya berdosa menurut
mayoritas ulama. Imam Ahmad berkata: hajinya tidak sah. Dan inilah pendapat
yang paling benar sesuai hadits shahih: Sesungguhnya Allah baik, tidaklah
menerima kecuali yang baik.” (Syaikh
Sayyid Sabiq, Fiqhus Sunnah, 1/640)
Syaikh Abdurrahman Al Mubarakfuri Rahimahullah berkata:
ومعنى الحديث أنه تعالى منزه عن العيوب فلا يقبل ولا ينبغي أن يتقرب إليه
إلا بما يناسبه في هذا المعنى. وهو خيار أموالكم الحلال كما قال تعالى: {لَنْ
تَنَالُوا الْبِرَّ حَتَّى تُنْفِقُوا مِمَّا تُحِبُّونَ}
“Makna hadits ini adalah bahwa Allah Ta’ala suci dari segala aib, maka
tidaklah diterima dan tidak sepatutnya mendekatkan diri kepadaNya kecuali
dengan apa-apa yang sesuai dengan makna ini. Yakni dengan sebaik-baik
hartamu yang halal, sebagaimana firmanNya: “Kamu selamanya belum mencapai
kebaikan sampai kamu menginfakan apa-apa yang kamu cintai ..” (Syaikh Abdurrahman Al
Mubarakfuri, Tuhfah Al Ahwadzi, Juz. 8, Hal. 333, No. 4074. Al Maktabah
As Salafiyah)
Ada pun jika si pemberi TIDAK TAHU
jika harta tsb berasal dari usaha yang haram, atau syubhatnya, maka dia
tidak dinilai salah menggunakannya untuk pribadi, atau infak, atau haji,
masjid, dan lainnya.
Sebab Allah Ta'ala berfirman:
"Ya Tuhan kami, janganlah Engkau hukum kami
jika kami lupa atau kami tersalah. .." (QS. Al Baqarah (2): 286)
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam juga bersabda:
تجاوز الله عن أمتي الخطأ ، والنسيان ، وما استكرهوا عليه
“Allah Ta’ala
membiarkan (memaafkan) dari umatnya: “Kesalahan yang tidak sengaja, lupa, dan
perbuatan yang dia terpaksa melakukannya.” (HR.
Al Hakim, Al Mustadrak ‘alash Shahihain, Juz. 6, Hal. 421, No. 2752.
Katanya: “Shahih sesuai syarat syaikhan (Bukhari-Muslim)”. Al
Haitsami berkata: “Diriwayatkan oleh Ath Thabarani dalam Al Awsath,
dalam sanadnya terdapat perawi bernama Muhammad bin Mushafa yang dinilai tsiqah
(bisa dipercaya) oleh Abu Hatim dan lainnya, dan pada dirinya ada pembicaraan
yang tidak membuatnya cacat. Sementara para perawi lainnya adalah perawi
shahih.” Majma’ az Zawaid, Juz. 3, Hal. 101)
2. Sudut Pandang Si Penerima Uang Haram
dan Syubhat (Yakni Masjid dan Anak Yatim)
Jika dia TAHU bahwa uang itu haram dan syubhat, maka hendaknya dia menolaknya, sebagaimana perilaku Abu Bakar Ash Shiddiq ketika dia memuntahkan barang syubhat dari kerongkongannya. Pada sebuah riwayat disebutkan, suatu hari pembantu Abu Bakar datang dengan membawa makanan. Maka, Abu Bakar mengambil dan memakannya. Sang Pembantu berkata, “Wahai Khalifah Rasululullah, biasanya setiap kali aku datang membawa makanan, Anda selalu bertanya dari mana asal makanan yang aku bawa. Kenapa sekarang Anda tidak bertanya?”
Jika dia TAHU bahwa uang itu haram dan syubhat, maka hendaknya dia menolaknya, sebagaimana perilaku Abu Bakar Ash Shiddiq ketika dia memuntahkan barang syubhat dari kerongkongannya. Pada sebuah riwayat disebutkan, suatu hari pembantu Abu Bakar datang dengan membawa makanan. Maka, Abu Bakar mengambil dan memakannya. Sang Pembantu berkata, “Wahai Khalifah Rasululullah, biasanya setiap kali aku datang membawa makanan, Anda selalu bertanya dari mana asal makanan yang aku bawa. Kenapa sekarang Anda tidak bertanya?”
Abu Bakar menjawab, “Sungguh hari ini aku sangat lapar
sehingga lupa untuk menanyakan hal itu. Kalau begitu ceritakanlah, dari mana
kamu mendapat makanan ini?”
Si Pembantu menjawab, “Dulu sebelum aku masuk Islam
pekerjaanku adalah sebagai dukun. Suatu hari aku pernah diminta salah satu suku
untuk membacakan mantra di daerah mereka. Mereka berjanji akan membalas jasaku
itu. Pada hari ini aku melewati daerah
itu dan mereka sedang mengadakan pesta,
maka mereka pun menyiapkan makanan untukku sebagai balasan atas jasaku yang
pernah kuberikan.”
Mendengar itu, Abu Bakar langsung memasukkan jari ke
kerongkongannya untuk dimuntahkan. Setelah muntah Abu Bakar berkata, “Jika
untuk mengeluarkan makanan itu aku harus menebus dengan nyawa, pasti akan
aku lakukan karena aku pernah mendengar Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam
bersabda, ‘Tidak ada daging yang tumbuh dari makanan yang haram melainkan
neraka layak untuk dirinya’.”
Jika si penerima (Pengurus
Masjid, Pengasuh Anak Yatim, Fakir Miskin) sudah tahu keharamannya namun masih
menerimanya, maka dia dosa. Jika barang itu syubhat, maka dia telah tidak
menjaga dirinya, masjid, dan orang yang berada dalam pengawasannya dari perkara
syubhat, yang seharusnya tetap dijauhkan.
Namun, jika mereka dalam keadaan
TIDAK TAHU, lalu mereka menerimanya, maka mereka tidak salah dan tidak
berdosa. Berdasarkan surat Al Baqarah
ayat 286, dan hadits riwayat Al Hakim di atas.
Bahkan, sebenarnya mereka tidak dituntut untuk tahu, walau demi kehati-hatian
sebaiknya mereka mencari tahu sebagaimana perilaku Abu Bakar Ash Shiddiq Radhiallahu
‘Anhu.
Dalam
hadits lain:
عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا
أَنَّ قَوْمًا قَالُوا يَا رَسُولَ
اللَّهِ إِنَّ قَوْمًا يَأْتُونَنَا بِاللَّحْمِ لَا نَدْرِي أَذَكَرُوا اسْمَ
اللَّهِ عَلَيْهِ أَمْ لَا فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ سَمُّوا اللَّهَ عَلَيْهِ وَكُلُوهُ
Dari Aisyah Radhiallahu ‘Anha,
bahwa ada segolongan manusia berkata: “Wahai Rasulullah, sesungguhnya ada kaum
yang medatangi kami sambil membawa
daging, kami tidak tahu apakah disebut nama Allah terhadap daging itu
atau tidak.” Rasulullah menjawab: “Sebutlah nama Allah atasnya, dan
makanlah.” (HR. Bukhari, Juz. 7, Hal. 211,
No. 1916. Ma’rifatus Sunan wal Atsar Lil baihaqi, Juz.15, Hal. 87, No.
5807. Syamilah)
Hadits ini dengan tegas
membolehkan makanan yang belum diketahui disembelih pakai bismillah atau
tidak, dan kita tidak dibebani untuk
mengorek-ngorek beritanya. Tetapi jika sudah diketahui bahwa hewan
tersebut tidak disembelih dengan membaca bismillah, maka hadits ini
tidak bisa dijadikan dalil, jadi harus
dikembalikan ke hukum hewan yang dipotong tidak membaca bismillah yakni haram.
Begitu pula hal di atas, jika
sudah ketahui bahwa itu haram dan syubhat, maka wajib menghindari yang haram
dan menjaga diri dari yang syubhat, dalam pembiayaan kepentingan agama (Infak
buat masjid), dan konsumsi hidup manusia (memberi makan anak yatim dan fakir
miskin).
Solusinya?
Telah jelas bahwa uang syubhat hendaknya tidak
digunakan untuk kepentingan agama dan konsumsi makanan kaum muslimin. Lalu
diapakan harta tersebut? Dibuangkah? Atau ….?
Sebagian ulama mengatakan
sebaiknya harta tersebut diabaikan (disia-siakan). Diantaranya menurut Imam
Fudhail bin ‘iyadh dan Imam Al Ghazali. Imam Fudhail bin Iyadh Radhiallahu ‘Anhu pernah mendapakan
dua keping dirham yang tidak halal, lalu ia melemparkannya di antara bebatuan.
Lantas ia berkata, “Aku tidaklah bersedekah kecuali dengan harta yang baik.
Demikian pula aku tidak rela orang selain aku memiliki harta yang aku tidak
rela diriku memilikinya.”
Sebagain lain mengatakan,
sebaiknya harta tersebut dibelanjakan (disedekahkan) untuk kebaikan yang
sifatnya kemanusiaan (bukan kepentingan agama), seperti menjaga fasilitas umum,
jalanan, jembatan, membangun, memberi makanan kepada tawanan orang kafir, dan
semisalnya, sebab pada hakikatnya harta haram bukanlah miliknya dan tidak
pantas seorang mukmin memilikinya. Inilah pandangan Imam Ahmad bin Hambal, Imam
Harits Al Muhasibi, termasuk Imam Abul Faraj Al Jauzi, Imam Ibnu Abdil Bar, dan
ulama kontemporer seperti Faqihul Islam
Asy Syaikh Al Qaradhawi, Syaikh Ibnu Baaz, dan Syaikh Shalih Fauzan. Namun
demikian pelakunya tidak boleh berharap pahala dari harta yang disalurkannya
tersebut, sebab secara umum Allah Ta’ala hanya mau menerima yang baik-baik.
Imam Ahmad dalam Musnadnya meriwayatkan, bahwa Rasulullah
Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam pernah dihidangkan daging untuk beliau.
Lalu diberitahukan bahwa daging itu haram, saat itu Beliau bersabda: ”Berikanlah
daging iu sebagai makanan para tawanan.” (tawanan tersebut adalah tawanan
kafir)
Alasan lain adalah apa yang diriwayatkan Imam Al
Baihaqi, ketika turun surat Ar Rum 1-3, tentang ramalan akan dikalahkannya
bangsa Romawi. Pada waktu itu kaum musyirikin tidak percaya. Lalu Abu Bakar bertaruh dengan mereka. Ketika Allah
Ta’ala membuktikan kebenaran Rasulullah Shallallahu
‘Alaihi wa Sallam atas ayat tersebut. Abu Bakar datang membawa uang
taruhan, lantas Rasulullah bersabda : ”Harta taruhan ini adalah haram. Bersedekahlah
dengan harta itu.” (Saat itu turunlah ayat tentang larangan bertaruh).
Dari
sini kita paham, ada dua cara menyikapi harta haram dan syubhat, yaitu:
- Disia-siakan
- Dibelanjakan/disedekahkan untuk kepentingan kemanusiaan/fasum
(fasilitas umum-publik), bukan
kepentingan agama dan ibadah khusus.
Namun, pendapat yang paling kuat dan berdasarkan dalil
adalah cara yang kedua yaitu harta tersebut jangan disia-siakan, tapi
sedekahkan untuk pembangunan/perbaikan jalan, jembatan, WC umum, taman kota,
makanan hewan, juga untuk makanan tawanan kafir.
Demikian jawaban saya. Wallahu A’lam wa Ilaihi
Musytaka …
Farid Nu’man Hasan
No comments:
Post a Comment