Monday, February 17, 2014

Memanfaatkan Uang Syubhat untuk Masjid dan Anak yatim

Assalamu ‘Alaikum Wr Wb. Ust, ana mewakili teman-teman dari beberapa propinsi mau bertanya beberapa hal:
  1. Bolehkah uang syubhat digunakan untuk membangun masjid? Karena masjid termasuk kepentingann umum.
  2. Kalau untuk anak yatim atau fakir miskin gimana? Karena mereka termasuk rakyat.
Dari Heru (081354511xxx – Pegawai BPS - Sulawesi Tengah)
Jawab:
                Bismillah, walhamdulillah wash Shalatu wassalamu ‘Ala Rasulillah, wa ba’du:
                Dalam sebuah hadits disebutkan:

عَنْ أَبِيْ عَبْدِ اللهِ النُّعْمَانِ بْنِ بِشِيْر رضي الله عنهما قَالَ: سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ صلى الله عليه وسلم يَقُوْلُ: (إِنَّ الحَلالَ بَيِّنٌ وَإِنَّ الحَرَامَ بَيِّنٌ وَبَيْنَهُمَا أُمُوْرٌ مُشْتَبِهَات لاَ يَعْلَمُهُنَّ كَثِيْرٌ مِنَ النَّاس،ِ فَمَنِ اتَّقَى الشُّبُهَاتِ فَقَدِ اسْتَبْرأَ لِدِيْنِهِ وعِرْضِه، وَمَنْ وَقَعَ فِي الشُّبُهَاتِ وَقَعَ فِي الحَرَامِ كَالرَّاعِي يَرْعَى حَوْلَ الحِمَى يُوشِكُ أَنْ يَقَعَ فِيْهِ. أَلا وَإِنَّ لِكُلِّ مَلِكٍ حِمَىً . أَلا وَإِنَّ حِمَى اللهِ مَحَارِمُهُ، أَلا وإِنَّ فِي الجَسَدِ مُضْغَةً إِذَا صَلَحَتْ صَلَحَ الجَسَدُ كُلُّهُ وإذَا فَسَدَت فَسَدَ الجَسَدُ كُلُّهُ أَلا وَهيَ القَلْبُ)  رواه البخاري ومسلم .
Dari Abu Abdullah An Nu’man bin Basyir Radhiallahu ‘Anhuma, dia berkata: Aku mendengar Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Aalihi wa Sallam bersabda:
“Sesungguhnya yang halal adalah jelas dan yang haram juga jelas dan di antara keduanya terdapat perkara yang samar, kebanyakan manusia tidak mengetahuinya. Barangsiapa yang menghindar dari yang samar maka dia telah menjaga agamanya dan kehormatannya. Dan barangsiapa yang terjatuh dalam perkara yang samar maka dia telah terjatuh dalam perkara yang haram, seperti penggembala yang berada dekat di pagar milik orang lain dikhawatiri dia masuk ke dalamnya.  Ketahuilah setiap raja memeliki pagar (aturan), aturan Allah adalah larangan-laranganNya. Sesungguhnya di  dalam tubuh terdapat segumpal daging jika dia baik maka baiklah seluruh jasad itu, jika dia rusak maka rusak pula seluruh jasad. Ketahuilah itu adalah hati.” (HR. Bukhari No.52, 1946, Muslim   No. 1599,  At Tirmidzi  No. 1221Ibnu Majah  No. 3984Abu Daud   No. 3329 ,  Ad Darimi   No. 2531,  Al Baihaqi dalam As Sunan Al Kubra No. 10180)
Selanjutnya kita fokus pada:

وَبَيْنَهُمَا أُمُوْرٌ مُشْتَبِهَات : dan di antara keduanya terdapat perkara yang samar
Bainahuma - Di antara keduanya yakni diantara halal dan haram, artinya secara asal dia bukan termasuk haram, dan juga bukan termasuk halal.
Umuurun Musytabihaat – perkara yang samar  yakni perkara yang belum jelas hukum halal haramnya. (Syaikh Ismail bin Muhammad Al Anshari, At Tuhfah Ar Rabbabiyah, No. 6. Maktabah Al Misykah)  
Menurut Syaikh Al ‘Utsaimin,  ketidak jelasan ini disebabkan beberapa hal:
1.       Ketidak jelasan dalil; jika dalilnya dari hadits, apakah haditsnya shahih atau tidak?
2.       Kalau pun shahih, apakah hadits tersebut secara makna memang mengarah pada hukum perkara  tersebut atau tidak? (Syarhul Al Arba’in, Hal. 107. Mawqi’ Ruh Al Islam)
Secara Bahasa (Lughah) arti syubhat adalah  Al Mitsl  (serupa, mirip) dan iltibas (samar, kabur, tidak jelas, gelap, sangsi). Maka, sesuatu yang dinilai syubhat  belum memiliki hukum yang sama dengan haram atau sama dengan halal. Sebab mirip halal bukanlah halal, dan mirip haram bukanlah haram.  Maka, tidak ada kepastian hukum halal atau haramnya, masih samar dan gelap.
Imam Ibnu Daqiq Al ‘Id Radhiallahu ‘Anhu menyebutkan bahwa para ulama berbeda pendapat dalam mengkategorikan perkara syubhat:
1.Kelompok yang memasukan syubhat sebagai perkara yang haram. Alasan mereka adalah ucapan Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam: “Barangsiapa yang menghindar dari yang samar maka dia telah menjaga agamanya dan kehormatannya. Dan barangsiapa yang terjatuh dalam perkara yang samar maka dia telah terjatuh dalam perkara yang haram.”
2. Kelompok yang memasukan syubhat sebagai perkara yang halal. Alasan mereka adalah ucapan Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam: “seperti penggembala yang berada dekat di pagar milik orang lain.”  Ini menunjukkan dia belum masuk keharaman, namun   sebaiknya kita bersikap wara’ (hati-hati)  untuk meninggalkannya.

3.  Kelompok yang mengatakan bahwa syubhat  bukanlah halal dan bukan pula haram, dan Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam telah menyebutkan bahwa halal dan haram adalah jelas, maka hendaknya kita bersikap seperti itu. Tetapi meninggalkannya adalah lebih baik, dan hendaknya bersikap wara’. (Imam Ibnu Daqiq Al ‘Id, Syarh Al Arbain An Nawawiyah, Hal. 44. Maktabah Al Misykah)  
Pendapat kelompok ketiga inilah yang nampaknya lebih kuat. Hal ini diperkuat lagi oleh ucapan Nabi:
 لاَ يَعْلَمُهُنَّ كَثِيْرٌ مِنَ النَّاس : Banyak manusia yang tidak mengetahuinya
Berkata Imam Ibnu Daqiq Al ‘Id Rahimahullah:
وفيه دليل على أن الشبهة لها حكم خاص بها يدل عليه دليل شرعي يمكن أن يصل إليه بعض الناس.
“Hal ini menunjukkan bahwa masalah syubhat mempunyai hukum tersendiri yang diterangkan oleh syari’at sehingga sebagian orang ada yang berhasil mengetahui hukumnya dengan benar.” (Syarhul Arba’in An Nawawiyah, Hal. 47)  
Contoh Perkara Syubhat:
Dalam Shahih Bukhari dan Shahih Muslim disebutkan sebuah hadits dari ‘Aisyah, ia berkata : “Sa’ad bin Abu Waqash dan ‘Abd bin Zam’ah mengadu kepada Rasulullah tentang seorang anak laki-laki. Sa’ad berkata : Wahai Rasulullah anak laki-laki ini adalah anak saudara laki-lakiku.’Utbah bin Abu Waqash. Ia (‘Utbah) mengaku bahwa anak laki-laki itu adalah anaknya. Lihatlah kemiripannya” sedangkan ‘Abd bin Zam’ah berkata; “ Wahai Rasulullah, Ia adalah saudara laki-lakiku, Ia dilahirkan ditempat tidur ayahku oleh budak perempuan milik ayahku”, lalu Rasulullah memperhatikan wajah anak itu (dan melihat kemiripannya dengan ‘Utbah) maka beliau Rasulullah bersabda : “Anak laki-laki ini untukmu wahai ‘Abd bin Zam’ah, anak itu milik laki-laki yang menjadi suami perempuan yang melahirkannya dan bagi orang yang berzina hukumannya rajam. Dan wahai Saudah, berhijablah kamu dari anak laki-laki ini” sejak saat itu Saudah tidak pernah melihat anak laki-laki itu untuk seterusnya.
Abd bin Zam’ah adalah Saudara laki-laki dari Saudah (istri Nabi). Dan, Rasulullah menetapkan bahwa anak laki-laki tersebut adalah hak (saudara) dari Abd bin Zam’ah. Tetapi, ternyata Rasulullah memerintahkan Saudah untuk berhijab (menutup aurat) di depan laki-laki tersebut, padahal Saudah juga saudara dari Abd bin Zam’ah. Perintah ini disebabkan kesamaran (syubhat) pada masalah ini dan ini menunjukan kehati-hatian Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam.
Contoh lain:
Pada Hadits ‘Adi bin Hatim, ia berkata : “Wahai Rasulullah, saya melepas anjing saya dengan ucapan Bismillah untuk berburu, kemudian saya dapati ada anjing lain yang melakukan perburuan” Rasulullah bersabda, “Janganlah kamu makan (hewan buruan yang kamu dapat) karena yang kamu sebutkan Bismillah hanyalah anjingmu saja, sedang anjing yang lain tidak”. Rasulullah memberi fatwa semacam ini dalam masalah syubhat karena beliau khawatir bila anjing yang menerkam hewan buruan tersebut adalah anjing yang dilepas tanpa menyebut Bismillah. Jadi seolah-olah hewan itu disembelih dengan cara diluar aturan Allah. Allah berfirman, “Sesungguhnya hal itu adalah perbuatan fasiq” (QS. Al An’am (6):121)
Dalam fatwa ini Rasulullah menunjukkan sifat kehati-hatian terhadap hal-hal yang masih samar tentang halal atau haramnya, karena sebab-sebab yang masih belum jelas. Inilah yang dimaksud dengan sabda Rasulullah , “Tinggalkanlah sesuatu yang meragukan kamu untuk berpegang pada sesuatu yang tidak meragukan kamu.”
Firman Allah Ta’ala:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ أَنفِقُواْ مِن طَيِّبَاتِ مَا كَسَبْتُمْ وَمِمَّا أَخْرَجْنَا لَكُم مِّنَ الأَرْضِ وَلاَ تَيَمَّمُواْ الْخَبِيثَ مِنْهُ تُنفِقُونَ وَلَسْتُم بِآخِذِيهِ إِلاَّ أَن تُغْمِضُواْ فِيهِ وَاعْلَمُواْ أَنَّ اللّهَ غَنِيٌّ حَمِيدٌ  
 “Hai orang-orang yang beriman, nafkahkanlah (di jalan Allah) sebagian dari hasil usahamu yang baik-baik dan sebagian dari apa yang Kami keluarkan dari bumi untuk kamu. dan janganlah kamu memilih yang buruk-buruk lalu kamu menafkahkan daripadanya, Padahal kamu sendiri tidak mau mengambilnya melainkan dengan memincingkan mata terhadapnya. dan ketahuilah, bahwa Allah Maha Kaya lagi Maha Terpuji.” (QS. Al Baqarah : 267)
 Ayat lainnya:
يَا أَيُّهَا الرُّسُلُ كُلُوا مِنَ الطَّيِّبَاتِ وَاعْمَلُوا صَالِحًا إِنِّي بِمَا تَعْمَلُونَ عَلِيمٌ 
 “Hai rasul-rasul, makanlah dari makanan yang baik-baik, dan kerjakanlah amal yang saleh. Sesungguhnya Aku Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (QS. Al Mu'minun(23) : 51)
Firman-Nya:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ كُلُواْ مِن طَيِّبَاتِ مَا رَزَقْنَاكُمْ ...
 “Hai orang-orang yang beriman, makanlah di antara rezki yang baik-baik yang Kami berikan kepadamu.” (QS. Al Baqarah (2) : 172)
            Sedangkan, dari Abu Hurairah Radhiallahu ‘Anhu, bahwa  Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
  أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّ اللَّهَ طَيِّبٌ لَا يَقْبَلُ إِلَّا طَيِّبًا
“Wahai manusia, sesungguhnya Allah itu baik, tidak akan menerima kecuali yang baik-baik.”  (HR. Muslim  No. 1015. At Tirmidzi  No. 4074, katanya: hasan gharib. Al Baihaqi, Syu’abul Iman, No. 5497)

Maka, aktifitas ibadah maaliyah (ibadah harta) seperti sedekah ke fakir miskin, ongkos haji, zakat, biaya dakwah dan jihad, biaya daurah islamiyah, biaya pembangunan dan operasional masjid, dan semisalnya, juga kebutuhan hidup pribadi seperti makan, minum, pakaian, tempat tinggal, biaya kesehatan dan sekolah, listrik, dan lainnya, hendaknya menggunakan harta yang PASTI halalnya. Sebab, Allah Ta'ala memerintahkan memungutnya dari yang halal lagi baik, dan Dia hanya mau menerima dari yang baik-baik. Dan, Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam juga memerintahkan kita untuk menjaga diri dari yang syubhat.
                Jadi, jika seseorang mencegah hal-hal haram dan syubhat untuk kebutuhan dirinya (makan, pakaian, tempat tinggal, uang listrik, SPP sekolah, dan semisalnya), maka sudah selayaknya dia mencegahnya untuk kepentingan agamanya. Jika dia mencegah dirinya dari perkara haram dan syubhat, maka sebuah keanehan jika dia mempersembahkan untuk agama dan akhirat dengan uang haram dan syubhat. Jika dia tidak rela memakannya, maka mengapa dia rela itu di makan fakir miskin dan anak yatim?   sama saja dia melemparkan api yang dia sendiri tidak menginginkannya.
Memahami Ini dari Dua Perspektif
1. menurut sudut pandang si pemilik harta syubhat tersebut (si pemberi), jika si pemberi TAHU itu sebagai uang haram dan syubhat.
Telah jelas menurut pandangan berdasarkan nash, bahwa seseorang terlarang menggunakan harta haram dan syubhat untuk kepentingan agama (dakwah, jihad, Haji, ta'lim, masjid, menyantuni anak yatim, dan semisalnya). Inilah yang dipegang oleh Imam Ahmad bin Hambal dan Syaikh Sayyi Sabiq, ketika dia memandang BATAL dan HARAM orang yang pergi haji dengan harta yang tidak halal. Sekali pun ada ulama yang menyatakan SAH, tetapi mereka pun mengatakan tetaplah itu perbuatan dosa.
Berkata Syaikh Sayyid Sabiq Rahimahullah:
  ويجزئ الحج وإن كان المال حراما ويأثم عند الاكثر من العلماء. وقال الامام أحمد: لايجزئ، وهو الاصح لما جاء في الحديث الصحيح: " إن الله طيب لا يقبل إلا طيبا ".
                “Haji tetap sah walau dengan uang haram, namun pelakunya berdosa menurut mayoritas ulama. Imam Ahmad berkata: hajinya tidak sah. Dan inilah pendapat yang paling benar sesuai hadits shahih: Sesungguhnya Allah baik, tidaklah menerima kecuali yang baik.”   (Syaikh Sayyid Sabiq, Fiqhus Sunnah, 1/640)
                Syaikh Abdurrahman Al Mubarakfuri Rahimahullah berkata:
ومعنى الحديث أنه تعالى منزه عن العيوب فلا يقبل ولا ينبغي أن يتقرب إليه إلا بما يناسبه في هذا المعنى. وهو خيار أموالكم الحلال كما قال تعالى: {لَنْ تَنَالُوا الْبِرَّ حَتَّى تُنْفِقُوا مِمَّا تُحِبُّونَ}
                “Makna hadits ini adalah bahwa Allah Ta’ala suci dari segala aib, maka tidaklah diterima dan tidak sepatutnya mendekatkan diri kepadaNya kecuali dengan apa-apa yang sesuai dengan makna ini. Yakni dengan sebaik-baik hartamu  yang halal, sebagaimana firmanNya: “Kamu selamanya belum mencapai kebaikan sampai kamu menginfakan apa-apa yang kamu cintai ..”  (Syaikh Abdurrahman Al Mubarakfuri, Tuhfah Al Ahwadzi, Juz. 8, Hal. 333, No. 4074. Al Maktabah As Salafiyah)
                Ada pun jika si pemberi TIDAK TAHU jika harta tsb berasal dari  usaha yang haram, atau syubhatnya, maka dia tidak dinilai  salah menggunakannya untuk pribadi, atau infak, atau haji, masjid, dan lainnya.
Sebab Allah Ta'ala berfirman:
"Ya Tuhan kami, janganlah Engkau hukum kami jika kami lupa atau kami tersalah. .." (QS. Al Baqarah (2): 286)

Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam juga bersabda:
تجاوز الله عن أمتي الخطأ ، والنسيان ، وما استكرهوا عليه
                “Allah Ta’ala membiarkan (memaafkan) dari umatnya: “Kesalahan yang tidak sengaja, lupa, dan perbuatan yang dia terpaksa melakukannya.” (HR. Al Hakim, Al Mustadrak ‘alash Shahihain, Juz. 6, Hal. 421, No. 2752. Katanya: “Shahih sesuai syarat syaikhan (Bukhari-Muslim)”. Al Haitsami berkata: “Diriwayatkan oleh Ath Thabarani dalam Al Awsath, dalam sanadnya terdapat perawi bernama Muhammad bin Mushafa yang dinilai tsiqah (bisa dipercaya) oleh Abu Hatim dan lainnya, dan pada dirinya ada pembicaraan yang tidak membuatnya cacat. Sementara para perawi lainnya adalah perawi shahih.” Majma’ az Zawaid, Juz. 3, Hal. 101)

2. Sudut Pandang Si Penerima Uang Haram dan  Syubhat (Yakni Masjid dan Anak Yatim)

Jika dia  TAHU bahwa uang itu haram dan syubhat, maka hendaknya dia menolaknya, sebagaimana perilaku Abu Bakar Ash Shiddiq ketika dia memuntahkan barang syubhat dari kerongkongannya.  Pada sebuah riwayat disebutkan, suatu hari pembantu Abu Bakar datang dengan membawa makanan.  Maka, Abu Bakar mengambil dan memakannya. Sang Pembantu berkata, “Wahai Khalifah Rasululullah, biasanya setiap kali aku datang membawa makanan, Anda selalu bertanya dari mana asal makanan yang aku bawa. Kenapa sekarang Anda tidak bertanya?”
Abu Bakar menjawab, “Sungguh hari ini aku sangat lapar sehingga lupa untuk menanyakan hal itu. Kalau begitu ceritakanlah, dari mana kamu mendapat makanan ini?”
Si Pembantu menjawab, “Dulu sebelum aku masuk Islam pekerjaanku adalah sebagai dukun. Suatu hari aku pernah diminta salah satu suku untuk membacakan mantra di  daerah  mereka. Mereka berjanji akan membalas jasaku itu. Pada hari ini aku melewati  daerah itu dan  mereka sedang mengadakan pesta, maka mereka pun menyiapkan makanan untukku sebagai balasan atas jasaku yang pernah kuberikan.”
Mendengar itu, Abu Bakar langsung memasukkan jari ke kerongkongannya untuk dimuntahkan. Setelah muntah Abu Bakar berkata, “Jika untuk mengeluarkan makanan itu aku harus menebus dengan nyawa, pasti akan aku lakukan karena aku pernah mendengar Rasulullah  Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda, ‘Tidak ada daging yang tumbuh dari makanan yang haram melainkan neraka layak untuk dirinya’.”
                Jika si penerima (Pengurus Masjid, Pengasuh Anak Yatim, Fakir Miskin) sudah tahu keharamannya namun masih menerimanya, maka dia dosa. Jika barang itu syubhat, maka dia telah tidak menjaga dirinya, masjid, dan orang yang berada dalam pengawasannya dari perkara syubhat, yang seharusnya tetap dijauhkan.
                Namun, jika mereka dalam keadaan TIDAK TAHU, lalu mereka menerimanya, maka mereka tidak salah dan tidak berdosa.  Berdasarkan surat Al Baqarah ayat 286, dan hadits riwayat Al Hakim di atas.
                Bahkan, sebenarnya  mereka tidak dituntut  untuk tahu, walau demi kehati-hatian sebaiknya mereka mencari tahu sebagaimana perilaku Abu Bakar Ash Shiddiq Radhiallahu ‘Anhu.
                 Dalam hadits lain:
عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا
أَنَّ قَوْمًا قَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّ قَوْمًا يَأْتُونَنَا بِاللَّحْمِ لَا نَدْرِي أَذَكَرُوا اسْمَ اللَّهِ عَلَيْهِ أَمْ لَا فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ سَمُّوا اللَّهَ عَلَيْهِ وَكُلُوهُ
               
Dari Aisyah Radhiallahu ‘Anha, bahwa ada segolongan manusia berkata: “Wahai Rasulullah, sesungguhnya ada kaum yang medatangi kami sambil membawa  daging, kami tidak tahu apakah disebut nama Allah terhadap daging itu atau tidak.” Rasulullah menjawab: “Sebutlah nama Allah atasnya, dan makanlah.”  (HR. Bukhari, Juz. 7, Hal. 211, No. 1916. Ma’rifatus Sunan wal Atsar Lil baihaqi, Juz.15, Hal. 87, No. 5807.  Syamilah)
                Hadits ini dengan tegas membolehkan makanan yang belum diketahui disembelih pakai bismillah atau tidak, dan kita tidak  dibebani untuk mengorek-ngorek beritanya. Tetapi jika sudah diketahui bahwa hewan tersebut tidak disembelih dengan membaca bismillah, maka hadits ini tidak bisa dijadikan dalil,  jadi harus dikembalikan ke hukum hewan yang dipotong tidak membaca bismillah yakni haram.
                Begitu pula hal di atas, jika sudah ketahui bahwa itu haram dan syubhat, maka wajib menghindari yang haram dan menjaga diri dari yang syubhat, dalam pembiayaan kepentingan agama (Infak buat masjid), dan konsumsi hidup manusia (memberi makan anak yatim dan fakir miskin).
Solusinya?
                Telah  jelas bahwa uang syubhat hendaknya tidak digunakan untuk kepentingan agama dan konsumsi makanan kaum muslimin. Lalu diapakan harta tersebut? Dibuangkah? Atau ….?
                Sebagian ulama mengatakan sebaiknya harta tersebut diabaikan (disia-siakan). Diantaranya menurut Imam Fudhail bin ‘iyadh dan Imam Al Ghazali.   Imam Fudhail bin Iyadh Radhiallahu ‘Anhu pernah mendapakan dua keping dirham yang tidak halal, lalu ia melemparkannya di antara bebatuan. Lantas ia berkata, “Aku tidaklah bersedekah kecuali dengan harta yang baik. Demikian pula aku tidak rela orang selain aku memiliki harta yang aku tidak rela diriku memilikinya.”
                Sebagain lain mengatakan, sebaiknya harta tersebut dibelanjakan (disedekahkan) untuk kebaikan yang sifatnya kemanusiaan (bukan kepentingan agama), seperti menjaga fasilitas umum, jalanan, jembatan, membangun, memberi makanan kepada tawanan orang kafir, dan semisalnya, sebab pada hakikatnya harta haram bukanlah miliknya dan tidak pantas seorang mukmin memilikinya. Inilah pandangan Imam Ahmad bin Hambal, Imam Harits Al Muhasibi, termasuk Imam Abul Faraj Al Jauzi, Imam Ibnu Abdil Bar, dan ulama kontemporer seperti   Faqihul Islam Asy Syaikh Al Qaradhawi,   Syaikh Ibnu Baaz, dan Syaikh Shalih Fauzan. Namun demikian pelakunya tidak boleh berharap pahala dari harta yang disalurkannya tersebut, sebab secara umum Allah Ta’ala hanya mau menerima yang baik-baik.
Imam Ahmad dalam Musnadnya meriwayatkan, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam pernah dihidangkan daging untuk beliau. Lalu diberitahukan bahwa daging itu haram, saat itu Beliau bersabda: ”Berikanlah daging iu sebagai makanan para tawanan.” (tawanan tersebut adalah tawanan kafir)

Alasan lain adalah apa yang diriwayatkan Imam Al Baihaqi, ketika turun surat Ar Rum 1-3, tentang ramalan akan dikalahkannya bangsa Romawi. Pada waktu itu kaum musyirikin tidak percaya. Lalu Abu Bakar   bertaruh dengan mereka.  Ketika Allah Ta’ala  membuktikan kebenaran Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam atas ayat tersebut. Abu Bakar datang membawa uang taruhan, lantas Rasulullah bersabda :  ”Harta taruhan ini adalah haram. Bersedekahlah dengan harta itu.” (Saat itu turunlah ayat tentang larangan bertaruh).

                        Dari sini kita paham, ada dua cara menyikapi harta haram dan syubhat, yaitu:
  1. Disia-siakan
  2. Dibelanjakan/disedekahkan untuk kepentingan kemanusiaan/fasum (fasilitas umum-publik),  bukan kepentingan agama dan ibadah khusus.

Namun, pendapat yang paling kuat dan berdasarkan dalil adalah cara yang kedua yaitu harta tersebut jangan disia-siakan, tapi sedekahkan untuk pembangunan/perbaikan jalan, jembatan, WC umum, taman kota, makanan hewan, juga untuk makanan tawanan kafir.

Demikian jawaban saya. Wallahu A’lam wa Ilaihi Musytaka …

Farid Nu’man Hasan


No comments:

Post a Comment