Mukadimah
Pada
masa belakangan, khususnya era reformasi, arus kebebasan di negeri ini begitu
terbuka bahkan melebihi batas yang tak terduga dan cenderung mengerikan.
Termasuk dalam hal hubungan antara rakyat (people) dan Negara (State). Dahulu
adalah hal yang tabu bahkan menakutkan jika ada yang memberikan kritik dan
nasihat kepada penguasa, sedangkan saat ini sudah tidak demikian. Ada yang
memanfaatkan momen kebebasan ini sesuai tuntunan syariah, ada pula yang
kebablasan membabi buta. Sedangkan sikap yang benar adalah sikap pertengahan
sebagaimana yang ditekankan oleh Islam.
“Dan
demikian (pula) Kami telah menjadikan kamu (umat Islam), umat yang wasathan
(pertengahan) dan pilihan agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan
agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kamu.” (QS. Al Baqarah (2): 143)
Diriwayatkan
dari Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam:
“Sebaik-baiknya
perbuatan (‘amal) adalah yang pertengahan.” (HR. Al Baihaqi,
Syu’abul Iman, 8/411/3730. As Sam’ani meriwayatkan dalam Dzail Tarikh
Baghdad secara marfu’ dari Ali, tetapi dalam sanadnya terdapat
periwayat yang majhul. Ad Dailami juga meriwayatkan tanpa sanad dari
Ibnu Abbas secara marfu’. Lihat Imam ‘Ajluni, Kasyful Khafa’,
1/391 dan Imam As Sakhawi, Al Maqashid Al Hasanah, Hal. 112. Imam As Suyuthi menyandarkan ucapan ini adalah
ucapan Mutharrif bin Abdillah dan Abu Qilabah, yakni sebaik-baiknya urusan (Al
Umur) adalah yang pertengahan. Lihat Ad Durul Mantsur, 6/333.)
Kita
menyaksikan, ada manusia yang mengkritik dan menasihati penguasa secara
terang-terangan dalam hal yang seharusnya disembunyikan, yakni kehidupan
pribadi dan kesalahan yang sifatnya pribadi yang tidak membawa dampak buruk kecuali
untuk diri penguasa itu sendiri. Sehingga terbukalah aibnya, tersingkaplah
kejelekan pribadinya.
Kita
juga menyaksikan, ada manusia yang banci dan sama sekali tidak melakukan
apa-apa terhadap kekeliruan penguasa, walaupun kekeliruan itu membawa mudharat
dan penderitaan bagi rakyatnya, dengan alasan menasihati penguasa harus
diam-diam, tidak boleh terbuka. Bahkan mereka menuduh bahwa yang melakukan
nasihat dengan terbuka adalah kaum khawarij. Akhirnya, fakta keadaan
mereka pun sekedar teori belaka, mereka tidak
melakukan apa-apa.
Kedua sikap ini tidaklah
benar dan sama-sama berlebihan. Tidak memperhatikan masalah secara utuh dan
menyeluruh. Hanya berpatokan pada sebagian dalil namun melupakan dalil lainnya.
Dua Jenis Kesalahan
Secara umum, manusia –termasuk
para pemimpin- akan melakukan dua jenis kesalahan, sebagai berikut:
- Kesalahan Yang Membawa Dampak
Bagi Pribadi Saja
Ini adalah aib pribadi
yang tidak boleh disebarkan ke khalayak ramai. Setiap orang memiliki aib
peribadi, baik perbuatannya atau berupa cacat tubuh. Semua ini sama sekali tidak merugikan
orang lain selain dirinya. Maka, tidak dibenarkan menasihatinya secara
terang-terangan, sebab sama saja hal itu menelanjangi kehormatan sesama
muslim. Justru, jika mengetahui kesalahan
yang sifatnya pribadi tersebut, kita dianjurkan untuk menutupinya.
Dari Abu Hurairah Radhiallahu
‘Anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
مَنْ سَتَرَ مُسْلِمًا سَتَرَهُ اللَّهُ فِي الدُّنْيَا وَالْآخِرَةِ
“Barangsiapa
yang menutupi (kesalahan) seorang muslim, maka Allah akan menutupi kesalahannya
di dunia dan akhirat.” (HR. Ibnu Majah, No. 2545. Ahmad, No.16346 dari
Maslamah bin Makhlad. Imam Al Haitsami mengatakan: “rijal hadits ini adalah
rijal hadits shahih.” Majma’ Az Zawaid, 6/246)
- Kesalahan Yang
Membawa Dampak Pada Orang Banyak
Kesalahan
jenis ini, baik dalam urusan dunia atau agama, maka dibolehkan dalam syariat
untuk ditegur secara terang-terangan. Baik yang dilakukan oleh orang biasa atau
pemimpin. Sebab, jika dinasihati secara diam-diam, padahal dia berbuat
kekeliruan secara terangan-terangan dan membawa dampak secara massal, maka
dikhawatiri tobatnya itu tidak diketahui dan diikuti orang lain yang mengalami dampak dari
kekeliruannya. Menasihatinya secara
terabg-terangan bukan termasuk kategori ghibah
yang diharamkan sebagaimana yang dikatakan oleh Imam An Nawawi Rahimahullah
dalam kitab Riyadh Ash Shalihin.
Keterangan Imam An Nawawi tentang ghibah
yang ditoleransi, akan saya ringkas sebagai berikut:
1.
Mengadukan kepada hakim, tentang kejahatan
orang yang menganiaya.
2.
Minta tolong supaya menasehati orang yang berbuat mungkar kepada orang yang
dianggap sanggup menasehatinya.
3.
Karena
minta fatwa: fulan menganiaya saya, bagaimana cara menghindarinya?
4.
Bertujuan menasehati, agar orang lain tidak terpedaya oleh orang tersebut.
5.
Terhadap orang yang terang-terangan melakukan kejahatan, maka yang demikian
bukan ghibah, sebab ia sendiri yang menampakannya.
6.
Untuk memperkenalkan orang dengan gelar yang sandangnya, seperti Al A’masy (buram
matanya), Al A’raj (Si Pincang), Al A’ma (Si Buta), Al ‘Asham
(Si Tuli), Al Ahwal (si Juling), semua ini adalah gelar yang pernah
disandang oleh sebagian ulama hadits. (Imam An Nawawi, Riyadhush Shalihin, Hal. 366-367. Maktabatul Iman. Al Manshurah)
Pemimpin juga Mesti Dinasihati
Tidak ada yang tidak membutuhkan nasihat, tidak
terkecuali bagi para pemimpin. Dari Tamim Ad Dari Radhiallahu ‘Anhu,
bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
الدِّينُ النَّصِيحَةُ قُلْنَا لِمَنْ قَالَ لِلَّهِ وَلِكِتَابِهِ وَلِرَسُولِهِ
وَلِأَئِمَّةِ الْمُسْلِمِينَ وَعَامَّتِهِمْ
“Agama adalah nasihat.” Kami
berkata: “Untuk siapa?” Beliau bersabda: “Untuk Allah, kitabNya, RasulNya, Imam
kaum muslimin, dan orang-orang kebanyakan.” (HR. Muslim, No. 55. Abu Daud, No. 4944)
Imam An Nawawi Rahimahullah
mengomentari makna ‘nasihat untuk imam kaum muslimin’:
وَأَمَّا
النَّصِيحَة لِأَئِمَّةِ الْمُسْلِمِينَ فَمُعَاوَنَتهمْ عَلَى الْحَقّ ، وَطَاعَتُهُمْ
فِيهِ ، وَأَمْرُهُمْ بِهِ ، وَتَنْبِيههمْ وَتَذْكِيرهمْ بِرِفْقٍ وَلُطْفٍ ، وَإِعْلَامهمْ
بِمَا غَفَلُوا عَنْهُ وَلَمْ يَبْلُغهُمْ مِنْ حُقُوق الْمُسْلِمِينَ ، وَتَرْك الْخُرُوج
عَلَيْهِمْ ، وَتَأَلُّف قُلُوب النَّاس لِطَاعَتِهِمْ
“Ada pun nasihat bagi para pemimpin kaum
muslimin, adalah dengan menolong dan
mentaati mereka di atas kebenaran, memerintahkan
mereka dengannya, memperingatkan dan menegur mereka dengan santun dan lembut,
memberi tahu mereka apa-apa yang mereka lalaikan, dan hak-hak kaum muslimin
yang belum mereka sampaikan, tidak keluar dari kepemimpinan mereka, menyatukan
hati manusia dengan mentaati mereka.” (Syarh Shahih Muslim, 1/144/82.
Mauqi’ Ruh Al Islam)
Bahkan menasihati pemimpin yang zalim termasuk jihad
yang paling afdhal. Dari Abu Said Al Khudri Radhiallahu ‘Anhu
bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
وَسَلَّمَ أَفْضَلُ الْجِهَادِ كَلِمَةُ عَدْلٍ
عِنْدَ سُلْطَانٍ جَائِرٍ أَوْ أَمِيرٍ جَائِرٍ
“Dari
Abu Said Al Khudri, dia berkata bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam
bersabda: “Jihad yang paling utama adalah mengutarakan perkataan yang ‘adil
di depan penguasa atau pemimpin yang
zhalim.” (HR.
Abu Daud, Kitab Al Malahim Bab Al Amru wan Nahyu, No.
4344. At Tirmidzi,
Kitab al Fitan ‘an Rasulillah Bab Maa Jaa’a Afdhalul Jihad …, No.
2265.
Katanya: hadits ini hasan gharib. Ibnu Majah, Kitab Al Fitan Bab Al
Amru bil Ma’ruf wan nahyu ‘anil Munkar,
No. 4011.
Ahmad, No hadits. 10716. Dalam riwayat Ahmad tertulis
Kalimatul haq- perkataan yang benar. Syaikh Al Albani menshahihkannya dalam Misykah Al Mashabih, No.
3705)
Bahkan jika seseorang mati karena dibunuh penguasa zalim
disebabkan amar ma’ruf nahi munkar, dia termasuk pemimpin para syuhada. Dari Jabir radhiallahu ‘anhu, Rasulullah Shallallahu
‘Alaihi wa Sallam bersabda,
سيد الشهداء حمزة بن عبد المطلب ، ورجل قال إلى إمام جائر فأمره ونهاه
فقتله
“Penghulu para syuhada
adalah Hamzah bin Abdul Muthalib, dan orang yang berkata melawan penguasa kejam, ia melarang
dan memerintah, namun akhirnya ia mati terbunuh.” (HR. Al Hakim, Al Mustdarak ‘Ala ash Shaihain, Juz. 11,
hal. 214, No hadits. 4872. Ia nyatakan shahih, tetapi Bukhari-Muslim
tidak meriwayatkannya. Adz Dzahabi
menyepakatinya. Syaikh Al Albany mengatakan hasan, dia memasukkannya
dalam kitabnya As Silsilah Ash Shahihah, No. 374)
Menasihati Pemimpin
Secara Diam-Diam
Menasihati pemimpin secara
diam-diam, memang dianjurkan oleh syariat. Namun, hal itu tidaklah menunjukkan
larangan dengan cara terangan-terangan. Hal ini hanyalah masalah pilihan uslub
(metode). Kedua cara ini pada kondisi dan jenis kesalahan tertentu, memiliki
efektifitas dan keunggulannya sendiri. Oleh karena itu, tidak dibenarkan saling
meremehkan satu cara dibanding cara yang lain. Tidak seperti prasangkaan
sebagian manusia, bahwa hadits tentang anjuran menasihati pempimpin secara
diam-diam, merupakan petunjuk satu-satunya cara nasihat kepada pemimpin, dan
haram cara lainnya. Prasangkaan ini tidak benar, dan bertentangan dengan Al
Quran serta contoh para nabi, salafush
shalih, dan para ulama rabbani.
Dari ‘Iyadh bin Ghanm Radhiallahu ‘Anhu
bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
مَنْ أَرَادَ أَنْ يَنْصَحَ لِسُلْطَانٍ بِأَمْرٍ فَلَا يُبْدِ لَهُ عَلَانِيَةً
وَلَكِنْ لِيَأْخُذْ بِيَدِهِ فَيَخْلُوَ بِهِ فَإِنْ قَبِلَ مِنْهُ فَذَاكَ وَإِلَّا
كَانَ قَدْ أَدَّى الَّذِي عَلَيْهِ لَهُ
“Barangsiapa
yang hendak menasihati pemimpin terhadap suatu urusan, maka janganlah menampakkannya terang-terangan, tetapi
hendaknya dia meraih tangannya lalu dia menasihatinya berduaan. Jika dia
menerima nasihatnya, maka bagimu akan mendapat ganjaran, jika dia tidak
menerima, maka dia telah menunaikan apa-apa yang layak bagi sultan tersebut.”
(HR. Ahmad, No. 14792. Lihat juga Al Musnad Al Jami’, 34/35)
Hadits ini sering dijadikan
alasan oleh sebagian kaum muslimin agar jangan menasihati pemimpin secara
terang-terangan bahkan mereka mengharamkan demonstrasi dengan alasan hadits ini
pula. Anjuran dalam hadits ini adalah agar kita
menasihati pemimpin secara face to face atau empat mata. Anjuran yang ada dalam hadits ini, tidaklah sama sekali menunjukkan
pembatasan bahwa inilah satu-satunya cara, melainkan hadits ini berbicara
tentang salah satu bentuk cara nasihat terhadap pemimpin. Tak ada korelasi apa pun dalam hadits
ini yang menunjukkan bahwa terlarangnya menasihati pemimpin secara terbuka. Sebab, sejarah menunjukkan
bahwa para Nabi dan Rasul, sebagian sahabat, tabi’in, dan para imam kaum muslimin,
pernah menasihati pemimpin secara terang-terangan sebagaimana yang akan kami paparkan
nanti.
Menasihati, Menegur, dan Mengkritik
Pemimpin Secara Terang-Terangan
Berikut ini
adalah bukti bahwa cara ini juga pernah dilakukan oleh manusia mulia. Baik yang
melakukannya di istana penguasa atau di tempat selain istana. Sekaligus paparan
di bawah ini sebagai koreksi bagi pihak-pihak yang melarang menasihati dan
menegur kesalahan penguasa secara terang-terangan.
Zaman Para Nabi ‘Alaihim Shalatu was
Salam
Metode ini pun
pernah terjadi pada umat-umat terdahulu. Di antaranya adalah nasihat terbuka
yang dilakukan oleh Nabi Ibrahim ‘Alaihissalam, bahkan bukan hanya
nasihat, beliau melakukan aksi nyata dengan menghancurkan berhala-berhala saat
itu. Bahkan beliau berdialog dengan Namrudz dari Babilonia yang disaksikan oleh
para pembesar dan pengawalnya. Sebagaimana yang Allah Ta’ala ceritakan dalam Al
Quran:
“Apakah kamu
tidak memperhatikan orang yang mendebat Ibrahim tentang Tuhannya (Allah) karena
Allah telah memberikan kepada orang itu pemerintahan (kekuasaan). ketika
Ibrahim mengatakan: "Tuhanku ialah yang menghidupkan dan mematikan,"
orang itu berkata: "Saya dapat menghidupkan dan mematikan".Ibrahim
berkata: "Sesungguhnya Allah menerbitkan matahari dari timur, Maka
terbitkanlah Dia dari barat," lalu terdiamlah orang kafir itu; dan Allah
tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zalim.” (QS. Al Baqarah (2):
258)
Tentang ayat
ini, Zaid bin Aslam mengatakan, bahwa raja pertama yang diktator di muka bumi
adalah Namrudz. Manusia keluar rumah
serta menjejerkan makanan di depan Namrudz. Begitu pula Ibrahim pun ikut
melakukannya bersama manusia. Masing-masing mereka dilewati oleh Namrudz dan
dia bertanya; “Siapakah Tuhanmu?” Mereka menjawab: “Engkaulah!” hingga giliran
Ibrahim, Namrudz bertanya: “Siapakah Tuhanmu?” Ibrahim menjawab: “Tuhanku
adalah yang menghidupkan dan mematikan.” Namrudz menjawab: “Aku bisa
menghidupkan dan mematikan.” Ibrahim berkata: “Sesungguhnya Allah menerbitkan
matahari di Timur dan menenggelamkannya di Barat.” Maka bungkamlah orang kafir
itu.” (Imam Abu Ja’far bin Jarir Ath Thabari, Jami’ Al Bayan fi Ta’wilil
Quran, 5/433. Muasasah Ar Risalah, Tahqiq: Syaikh Ahmad Muhammad Syakir)
Ayat ini, dengan
gamblang menjelaskan Nabi Ibrahim mengkritik dan mendebat raja Namrudz secara
terang-terangan di depan banyak manusia. Bukti lain bahwa Nabi Ibrahim
mengkritik dan mendebat secara terang-terangan
di depan kaumnya adalah isyarat yang Allah Ta’ala sebutkan dalam
ayatNya:
“Dan Itulah hujjah Kami yang Kami
berikan kepada Ibrahim untuk menghadapi kaumnya.” (QS. Al An’am 96): 83)
Juga yang dilakukan oleh Nabi Musa dan Nabi Harun
‘Alaihimassalam, mereka berdua menasehati Fir’aun di depan para pembesar
istananya. Bahkan Nabi Musa mempermalukan Fir’aun di depan pasukannya sendiri
di istana dengan mengalahkan para ahli sihirnya dengan mukjizat yang Allah
Ta’ala berikan kepadanya. Bahkan akhirnya ahli sihir Fir’aun bertobat dan
beriman kepada Allah Ta’ala. Semua ini
terekam di dalam Al Quran, surat Thaha ayat 43-76.
Para Sahabat Nabi Shallallahu ‘Alaihi
wa Sallam
Metode ini pun
juga ada pada masa sahabat. Ketika Umar bin Al Khathab Radhiallahu ‘Anhu
menyampaikan khutbah di atas mimbar, dia menyampaikan bahwa Umar hendak
membatasi Mahar sebanyak 400 Dirham, sebab nilai itulah yang dilakukan oleh
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, jika ada yang lebih dari itu
maka selebihnya dimasukkan ke dalam kas negara. Hal ini diprotes langsung oleh
seorang wanita, di depan manusia saat itu, dengan perkataannya: “Wahai Amirul
mu’minin, engkau melarang mahar buat wanita melebihi 400 Dirham?” Umar
menjawab: “Benar.” Wanita itu berkata: “Apakah kau tidak mendengar firman
Allah:
“ .... sedang
kamu telah memberikan kepada seseorang di antara mereka harta yang banyak, Maka
janganlah kamu mengambil kembali dari padanya barang sedikitpun. Apakah kamu
akan mengambilnya kembali dengan jalan tuduhan yang Dusta dan dengan
(menanggung) dosa yang nyata ?.” (QS. An Nisa (4): 20)
Umar menjawab;
“Ya Allah ampunilah, semua manusia lebih tahu dibanding Umar.” Maka umar pun
meralat keputusannya. (Tafsir Al Quran Al ‘Azhim, 2/244. Imam Ibnu katsir
mengatakan: sanadnya jayyid qawi (baik lagi kuat). Sementara Syaikh Abu
Ishaq Al Huwaini menyatakan hasan li ghairih)
Inilah Umar bin Al Khathab. Beliau menerima
kritikan terbuka wanita tersebut, dengan jiwa besar dia mengakui kesalahannya,
serta tidak mengatakan: “Engkau benar, tapi caramu menasihatiku salah,
seharusnya engkau nasihatiku secara diam-diam, tidak terang-terangan!” Tidak.
Umar tidak sama sekali mengingkari cara wanita itu menasihatinya di depan
banyak manusia. Bukan hanya itu, para sahabat yang melihatnya pun tidak pula
mengingkari wanita tersebut. Jikalau
wanita itu salah dalam penyampaiannya, maka tentunya serentak dia akan
diingkari oleh banyak manusia saat itu. Faktanya tidak ada pengingkaran itu. Ini
disebabkan karena keputusan khalifah Umar, akan membawa dampak bagi rakyatnya,
maka meralatnya pun dilakukan secara terbuka.
Metode ini juga
dijalankan oleh para tabi’in serta generasi selanjutnya. Hal ini terekam dalam
kitab-kitab para ulama. Jika, mereka menasihati pemimpin secara empat mata dan
sembunyi-sembunyi, tentunya dari mana manusia bisa tahu peristiwa-peristiwa
ini? Jika ada manusia meriwayatkan Imam Fulan telah menashati khalifah, atau
gubernur, maka ini sudah tidak bisa disebut diam-diam atau empat mata, sebab
ada orang lain yang mendengarkan atau melihat, lalu orang tersebut meriwayatkan
ke generasi selanjutnya hingga ke tangan kita.
Berikut ini adalah beberapa contoh para Imam
kaum muslimin.
Sa’id bin Jubeir Radhiallahu ‘Anhu
terhadap Al Hajjaj bin Yusuf Ats Tsaqafi
Tentang kecaman
keras Said bin Jubeir Radhiallahu ‘Anhu terhadap gubernur zalim di
Madinah, sangat terkenal. Beliau berkata tentang Hajjaj bin Yusuf dan
pasukannya, sebagai berikut:
عن أبي اليقظان قال: كان سعيد بن جبير يقول يوم دير
الجماجم وهم يقاتلون: قاتلوهم على جورهم في الحكم وخروجهم من الدين وتجبرهم على عباد
الله وإماتتهم الصلاة واستذلالهم المسلمين. فلما انهزم أهل دير الجماجم لحق سعيد بن
جبير بمكة فأخذه خالد بن عبد الله فحمله إلى الحجاج مع إسماعيل بن أوسط البجلي
“Dari Abu Al
Yaqzhan, dia berkata: Said bin Jubeir pernah berkata ketika hari Dir Al
Jamajim, saat itu dia sedang berperang (melawan pasukan Hajjaj):
“Perangilah mereka karena kezaliman mereka dalam menjalankan pemerintahan,
keluarnya mereka dari agama, kesombongan mereka terhadap hamba-hamba Allah,
mereka mematikan shalat dan merendahkan kaum muslimin.” Ketika penduduk Dir
Al Jamajim kalah, Said bin Jubeir melarikan diri ke Mekkah. Kemudian dia
dijemput oleh Khalid bin Abdullah, lalu dbawanya kepada Hajjaj bersama Ismail
bin Awsath Al Bajali.” (Imam Muhammad bin Sa’ad, Thabaqat Al Kubra,
6/265. Dar Al Mashadir, Beirut)
Demikianlah
salah satu kecaman keras terhadap pemimpin Madinah, oleh seorang ulama fiqih
dan tafsir, salah satu murid terbaik Abdullah bin Abbas Radhiallahu ‘Anhuma,
yakni Al Imam Sa’id bin Jubeir Rahiallahu ‘Anhu. Dia adalah imamnya para
imam pada zamannya, dan manusia paling ‘alim saat itu. Dia tidak
mengatakan: “Aku akan pergi ke Hajjaj dan akan menasihatinya empat mata!”
Tidak, dan tak satu pun ulama saat itu dan setelahnya, menjulukinya khawarij.
Tentang
Imam Sa’id bin Jubeir, berkata Abdussalam bin Harb, dari Khushaif, katanya:
كان أعلمهم بالقرآن مجاهد، وأعلمهم بالحج
عطاء، وأعلمهم بالحلال والحرام طاووس، وأعلمهم بالطلاق سعيد بن المسيب، وأجمعهم لهذه
العلوم سعيد بن جبير
“Yang
paling tahu tentang Al Quran adalah Mujahid, yang paling tahu tentang Haji
adalah ‘Atha, yang paling tahu tentang halal dan haram adalah Thawus, yang
paling tahu tentang thalaq adalah Sa’id bin Al Musayyib, dan yang mampu
mengkombinasikan semua ilmu-ilmu ini adalah Sa’id bin Jubeir.” (Imam Adz
Dzahabi, Siyar A’lam An Nubala, 4/341. Muasasah Ar Risalah, Beirut)
Sementara Ali Al
Madini berkata:
ليس في أصحاب ابن عباس مثل سعيد بن جبير. قيل: ولا طاووس ؟ قال: ولا طاووس
ولا أحد.
“Di antara sahabat-sahabat Ibnu Abbas tidak ada yang
seperti Sa’id bin Jubeir.” Ada yang berkata: “Tidak pula Thawus?” Ali Al Madini
menjawab: “Tidak pula Thawus, dan tidak pula yang lainnya.” (Ibid)
Imam Amr Asy Sya’bi Radhiallahu ‘Anhu terhadap
Al Hajjaj bin Yusuf Ats Tsaqafi
Beliau sezaman dengan Sa’id bin Jubeir, dan juga
berhadapan dengan Hajjaj bin Yusuf Ats Tsaqafi, hanya saja dia tidak sampai
melakukan perlawanan fisik.
Imam
Adz Dzahabi juga menceritakan, bahwa Imam Amr Asy Sya’bi telah mengkritik
penguasa zalim, Hajjaj bin Yusuf dan membeberkan aibnya di depan banyak
manusia. Dari Mujalid, bahwa Asy Sya’bi berkata:
فأتاني
قراء أهل الكوفة، فقالوا: يا أبا عمرو، إنك زعيم القراء، فلم يزالوا حتى خرجت معهم،
فقمت بين الصفين أذكر الحجاج وأعيبه بأشياء، فبلغني أنه قال: ألا تعجبون من هذا الخبيث
! أما لئن أمكنني الله منه، لاجعلن الدنيا عليه أضيق من مسك جمل
“Maka,
para Qurra’ dari Kufah datang menemuiku. Mereka berkata: “Wahai Abu Amr,
Anda adalah pemimpin para Qurra’.” Mereka senantiasa merayuku hingga aku
keluar bersama mereka. Saat itu, aku berdiri di antara dua barisan (yang
bertikai). Aku menyebutkan Al Hajaj dan aib-aib yang telah dilakukannya.”
Maka sampai kepadaku (Mujalid), bahwa dia berkata: “Tidakkah kalian heran
dengan keburukan ini?! Ada pun aku, kalaulah Allah mengizinkan mengalahkan
mereka, niscaya dunia ini akan aku lipat lebih kecil dari kulit Unta
membungkusnya.” (Ibid, 4/304)
Demikianlah
Imam Amr Asy Sya’bi. Beliau mengkritik Al Hajjaj secara terang-terangan, di
antara dua pasukan yang bertikai. Dia tidak mengatakan: “Aku akan temui Al
hajjaj secara empat mata, lalu aku akan beberkan aib-aibnya dan menasihati dia
secara sembunyi.” Tidak demikian.
Siapakah Imam Amr Asy Sya’bi? Dia adalah Imam
Fiqih dan hadits pada masa tabi’in. Banyak sanjungan manusia kepadanya. Berkata
Abu Usamah:
كان عمر في زمانه رأس الناس وهو جامع، وكان بعده ابن عباس في زمانه، وكان
بعده الشعبي في زمانه، وكان بعده الثوري في زمانه، ثم كان بعده يحيى بن آدم
“Umar
bin Al Khathab adalah pemimpin manusia pada zamannya, selanjutnya Ibnu Abbas
adalah pemimpin manusia pada zamannya, lalu Asy Sya’bi pada zamannya, kemudian
Sufyan Ats Tsauri pada masanya, lalu Yahya bin Adam pada masanya.” (Ibid,
4/302)
Daud bin Abi Hindi berkata:
ما جالست أحدا أعلم من الشعبي.
“Belum
pernah aku bermajelis dengan seorang pun yang lebih berilmu dibanding Asy
Sya’bi.” (Ibid)
Abu ‘Ashim bin Sulaiman berkata:
ما رأيت أحدا أعلم بحديث أهل الكوفة والبصرة والحجاز والآفاق من الشعبي
“Tidaklah
aku melihat seorang pun yang lebih tahu tentang hadits di Kufah, Bashrah, Hijaz
dan berbagai penjuru, dibandingkan Asy
Sya’bi.” (Ibid)
Dan masih banyak sanjungan lainnya.
Imam Muhammad bin Sirin Radhiallahu ‘Anhu terhadap
Ibnu Hubairah
Beliau dikenal
sebagai orang yang paling tegas terhadap Ahli bid’ah dan penguasa yang
zalim. Dia pun secara terang-terangan
menegur penguasa zamannya –yakni Ibnu Hubairah- di depan orang lain.
Sebenarnya, Ibnu hubairah adalah salah satu pejabat tinggi dalam pemerintahan
Khalifah Marwan.
Berikut
ini yang diceritakan Imam Abu Nu’aim Al Ashbahani:
جعفر بن مرزوق، قال: بعث ابن هبيرة إلى ابن سيرين والحسن والشعبي، قال:
فدخلوا عليه، فقال لابن سيرين: يا أبا بكر ماذا رأيت منذ قربت من بابنا، قال: رأيت
ظلماً فاشياً، قال: فغمزه ابن أخيه بمنكبه فالتفت إليه ابن سيرين، فقال: إنك لست تسأل
إنما أنا أسأل، فأرسل إلى الحسن بأربعة آلاف وإلى ابن سيرين بثلاثة آلاف، وإلى الشعبي
بألفين؛ فأما ابن سيرين فلم يأخذها.
Ja’far bin Marzuq berkata, “Ibnu Hubairah pernah
memanggil Ibnu Sirin, Al Hasan (Al Bashri), dan Asy Sya’bi, dia berkata:
“Masuklah kalian.” Maka dia bertanya kepada Ibnu Sirin: “Wahai Abu Bakar, apa
yang kau lihat sejak kau mendekat pintu istanaku?” Ibnu Sirin menjawab: “Aku
melihat kezaliman yang merata.” Perawi berkata: Maka saudaranya menganggukan
tengkuknya, dan Ibnu Sirin pun menoleh kepadanya. Lalu dia berkata (kepada Ibnu
Hubairah): “Bukan kamu yang seharusnya bertanya, tetapi akulah yang seharusnya
bertanya.” Maka, Ibnu Hubairah akhirnya memberikan Al Hasan empat ribu dirham,
Ibnu Sirin tiga ribu dirham, dan Asy Sya’bi dua ribu. Ada pun Ibnu Sirin dia mengambil
hadiah itu.” (Hilyatul Auliya’, 1/330. Mauqi’ Al Warraq)
Imam
Adz Dzahabi mengatakan:
قال هشام:
ما رأيت أحدا عند السلطان أصلب من ابن سيرين
“Berkata
Hisyam: Aku belum pernah melihat orang yang paling tegas terhadap penguasa
dibanding Ibnu Sirin.” (Siyar A’lam An Nubala, 4/615)
Inilah Imam
Muhammad bin Sirin Radhiallahu ‘Anhu, dia menegur kezaliman yang ada
dalam istana, di depan banyak orang dan ulama.
Mereka seperti Al Hasan dan Asy Sya’bi, pun tidak mengingkarinya. Ibnu
Sirin tidak mengatakan kepada Ibnu Hubairah: “Aku ingin katakan kepadamu secara
rahasia, bahwa kezaliman di istanamu telah merata!” Tidak demikian.
Lagi
pula, tahu dari mana Hisyam, kalau Ibnu Sirin adalah manusia paling tegas
terhadap penguasa jika dia menegurnya secara sembunyi-sembunyi?
Siapakah
Imam Muhammad bin Sirin Radhiallahu ‘Anhu? Pada masanya dia dikenal
orang yang sangat wara’, ahli fiqih, ahli tafsir mimpi, dan periang.
Berikut
ini parade pujian para ulama untuk Imam Ibnu Sirin Radhiallahu ‘Anhu.
Sebagaimana yang dicatat oleh Imam Adz Dzahabi dalam kitab As Siyar-nya:
قال ابن عون: كان محمد يأتي بالحديث على حروفه، وكان الحسن صاحب معنى.
عون بن عمارة: حدثنا هشام، حدثني أصدق من أدركت، محمد بن سيرين.
قال حبيب بن الشهيد: كنت عند عمرو بن دينار فقال: والله ما رأيت مثل طاووس،
فقال أيوب السختياني وكان جالسا: والله لو رأى محمد بن سيرين لم يقله.
معاذ بن معاذ: سمعت ابن عون يقول: ما رأيت مثل محمد بن سيرين.
وعن خليف بن عقبة، قال: كان ابن سيرين نسيج وحده.
وقال حماد بن زيد، عن عثمان البتي، قال: لم يكن بالبصرة أحد أعلم بالقضاء
من ابن سيرين .
وعن شعيب بن الحبحاب، قال: كان الشعبي يقول لنا: عليكم بذلك الاصم يعني
ابن سيرين .
وقال ابن
يونس: كان ابن سيرين أفطن من الحسن في أشياء
“Berkata Ibnu
‘Aun: “Muhammad bin Sirin meriwayatkan hadits dengan huruf-hurufnya, sementara
Al Hasan yang mengetahui maknanya.”
“Aun
bin ‘Imarah, bercerita keada kami Hisyam, telah bercerita kepadaku bahwa orang
yang paling jujur yang pernah aku temui adalah Muhammad bin Sirin.
Habib
bin Asy Syahid berkata: Aku bersama Amr bin Dinar, dia berkata: “Demi Allah aku
tidak pernah melihat orang seperti Thawus.” Maka, Ayyub As Sukhtiyani sambil
duduk menimpali: “Demi Allah, seandainya dia melihat Muhammad bin Sirin, tidak
akan dia berkata seperti itu.”
Muadz
bin Muadz berkata, aku mendengar Ibnu ‘Aun berkata: “Aku belum pernah melihat
orang semisal Muhammad bin Sirin.”
Dari
Khalifah bin ‘Uqbah, dia berkata: “Adalah Ibnu Sirin dia menenun (pakaiannya)
sendiri.”
Dari
Hammad bin Zaid, dari Utsman Al Bati:
“Tidak pernah ada di Bashrah orang yang paling tahu tentang kehakiman (hukum) dibanding Ibnu Sirin.”
Ibnu
Yunus berkata: “Ibnu Sirin lebih cerdas dibanding Al Hasan Al Bashri di banyak
hal.” (Siyar A’lam An Nubala, 4/608)
Sufyan Ats Tsauri Radhiallahu ‘Anhu
terhadap Khalifah Al Mahdi
Siapa yang tidak
kenal dengan nama ini? Imam Ahlus Sunnah, muara para ulama pada zamannya. Di
depan para sahabatnya, dia pun pernah secara terang-terangan menegur dan
menasihati Khalifah Al Mahdi yang sedang bersama pengawalnya, bahkan membuatnya
marah. Berikut ini ceritanya, sebagaimana diceritakan oleh Imam Abu Nu’aim
Al Ashbahani.
Dari
‘Ubaid bin Junad, katanya:
عطاء
بن مسلم، قال: لما استخلف المهدي بعث إلى سفيان، فلما دخل
خلع خاتمه فرمى به إليه، فقال: يا أبا عبد الله هذا خاتمي فاعمل في هذه الأمة بالكتاب
والسنة، فأخذ الخاتم بيده، وقال: تأذن في الكلام يا أمير المؤمنين. قال عبيد: قلت لعطاء:
يا أبا مخلد قال له: يا أمير المؤمنين. قال: نعم، قال: أتكلم علي أني آمن. قال: نعم،
قال: لا تبعث إلي حتى آتيك، ولا تعطني شيئاً حتى أسألك، قال: فغضب من ذلك وهم به فقال
له كاتبه: أليس قد أمنته يا أمير المؤمنين. قال: بلى، فلما خرج حف به أصحابه، فقالوا:
ما منعك يا أبا عبد الله وقد أمرك أن تعمل في هذه الأمة بالكتاب والسنة؟ قال: فاستصغر
عقولهم ثم خرج هارباً إلى البصرة.
’Atha
bin Muslim berkata: “Ketika masa kekhalifahan Al Mahdi, dia berkunjung
ke rumah Sufyan. Ketika dia masuk, dia melepaskan dan melemparkan cincinnya
kepada Sufyan. Lalu dia berkata: “Wahai Abu Abdillah, inilah cincinku maka
berbuatlah terhadap umat ini dengan Al Quran dan As Sunnah.” Maka Sufyan
mengambil cincin itu dengan tangannya, lalu berkata: “Izinkan aku berbicara
wahai amirul mu’minin.” Berkata ‘Ubaid: Aku berkata kepada ‘Atha bin Muslim:
“Hai Abu Makhlad, dia (Sufyan) berkata kepada Al Mahdi: “Wahai Amirul
mu’minin?” ‘Atha menjawab: “Ya.”
Sufyan
berkata: “Apakah aku akan aman jika aku bicara?” Al Mahdi menjawab: :Ya.”
Sufyan berkata: “Jangan kau kunjungi aku hingga akulah yang mendatangimu,
dan janganlah memberiku apa-apa sampai aku yang memintanya kepadamu.” ‘Atha
berkata: “Maka marahlah Al Mahdi karena itu, dan dia berangan ingin memukulnya
karenanya. Maka, berkatalah sekretarisnya kepadanya: “Bukankah kau sudah
mengatakan bahwa dia aman wahai Amirul Mu’minin?” Al Mahdi menjawab: “Tentu.”
Maka, ketika dia keluar, maka para sahabat Sufyan mengelilinginya dan bertanya: “Apa yang dia
larang kepadamu wahai Abu Abdillah, apakah dia memerintahkanmu untuk
memperlakukan umat ini dengan Al Quran dan As Sunnah?” Sufyan menjawab: “Remehkanlah
akal mereka.” Lalu Sufyan Ats Tsauri melarikan diri ke Bashrah.” (Hilyatul
Auliya’, 3/166. Mauqi’ Al Warraq)
Demikianlah Imam Sufyan Ats Tsauri,
memberikan teguran yang mendalam, bahkan meminta agar para sahabatnya
meremehkan akal/kecerdasan Al Mahdi dan pengikutnya. Dia tidak mengatakan:
“Biarkanlah dia, aku akan menasihatinya secara empa mata.” Tidak. Dia langsung
menegurnya, walau di depan orang yang bersangkutan dan para pengawalnya. Inilah
Imam Ahlus Sunnah.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah Rahimahullah
Selain seorang
ulama yang agung, beliau juga seorang mujahid. Tidak seperti prasangka sebagian
kecil manusia, yang menuduhnya tidak pernah ikut berperang bersama kaum
muslimin. Justru beliau adalah bintangnya dan pemimpin mereka.
Berkata
Al Alusi tentang Imam Ibnu Taimiyah:
“Adapun
keberanian dan jihadnya, maka suatu penjelasan apa pun tidak dapat mencakupnya secara sempurna. Ia
sebagaimana yang diceritakan Al Hafizh Sirajuddin Abu Hafsh dalam Manaqib-nya
adalah orang yang paling berani dan tegar hati menghadapi musuh. Aku belum
pernah melihat manusia yang keberaniannya melebihi Ibnu Taimiyah dan semangat jihad
melawan musuh melebihi semangatnya Ibnu Taimiyah. Ia selalu berjihad di dalan
Allah dengan hati, lisan, dan tangannya dan tidak takut hinaan orang yang suka
menghina dalam membela agama Allah Ta’ala.
Banyak
orang menceritakan bahwa Syaikh Ibnu Taimiyah juga sering ikut bersama pasukan Islam dalam peperangan
melawan musuh. Apabila ia melihat pasukan yang gelisah dan takut, maka ia memberikan semangat
kepadanya, memantapkan hatinya, menjanjikan kemenangan dan ghanimah
kepadanya, dan menjelaskan keutamaan jihad dan mujahidin.” (Syaikh Ahmad
Farid, 60 Biografi Ulama Salaf, Hal. 796. Pustaka Al Kautsar)
Syaikh Ahmad
Farid juga menceritakan keberanian Imam Ibnu Taimiyah di medan tempur:
“Seorang
panglima perang mencertakan tentang perang Syaqhab. Ia mengatakan, “Syaikh Ibnu
Taimiyah berkata kepadaku ketika dua pasukan sudah terlihat,”Wahai kamu,
perlakukanlah aku seolah aku sudah mati.” Lalu aku membawanya (Ibnu Taimiyah)
ke depan, sementara musuh-musuh sudah turun bak banjir yang mengalir dengan
deras. Peralatan perang mereka terlihat di sela-sela debu yang berterbangan.
Lalu, aku
berkata kepadanya: Ini akan mengantarkanmu pada kematian. Batalkan keinginanmu
itu!” Ia menengadahkan mukanya ke langit, meluruskan pandangannya, dan
menggerakkan kedua bibirnya dalam waktu yang lama kemudian bangkit dan maju ke
medan perang. Aku tidak melihatnya lagi sampai Allah memberikan kemenangan pada
umat Islam yang berhasil masuk ke kota Damaskus.” (Ibid, Hal.
798-799)
Imam Ibnu Rajab
Al Hambali juga meceritakan tentang Imam Ibnu Taimiyah:
قدم
إلى الشام هو وإخوته سنة اثنتي عشرة بنية الجهاد، لما قدم السلطان لكشف التتر عن الشام.
فخرج مع الجيش، وفارقهم من عسقلان، وزار البيت المقدس.
“Beliau
bersama saudaranya, dua belas tahun, datang ke Syam dengan niat berjihad,
ketika datangnya sultan untuk mengusir Tartar dari Syam. Ibnu Taimiyah keluar
bersama pasukan, dan berpisah dengan mereka dari Asqalan, dan berziarah ke
Baitul Maqdis.” (Imam Ibnu Rajab, Dzail Thabaqat Al Hanabilah, 1/343.
Mauqi’ Al Warraq)
Beliau juga
sangat tegas dengan penyimpangan penguasa walau pun penguasa itu muslim. Hal itu dia buktikan dengan nasihatnya yang
berani dan secara terbukan kepada Sultan Ibnu Ghazan. Syaikh Ahmad Farid
berkata:
“Tatkala
Sultan Ibnu Ghazan berkuasa di Damaskus, Raja Al Karaj datang kepadanya dengan
membawa harta yang banyak agar Ibnu Ghazan memberikan kesempatakan kepadanya
untk menyerang kaum musimin Damaskus.”
(Demikianlah
rencana jahat Sultan, ingin bekerja sama dengan raja musuh untuk menyerang kaum
muslimin). Lalu Syaikh Ahmad Farid melanjutkan:
“Namun
berita ini sampai ke telinga Syaikh Ibnu Taimiyah. Sehingga ia langsung
bertindak menyulut api semangat kaum muslimin untuk menentang rencana tersebut
dan menjanjikan kepada mereka suatu kemenangan, keamanan, kekayaan, dan rasa
takut yang hilang. Lalu bangkitlah para pemuda, orang-orang tua dan para
pembesar mereka menuju sultan Ghazan.”
(Inilah Syaikhul
Islam Ibnu Taimiyah, ia bersama umat Islam lainnya menuju istana Sultan untuk menentang
kebijakan dan rencana jahatnya bersama Raja Al Karaj untuk menyerang kaum
muslimin Damaskus. Inilah yang orang sekarang bilang demonstrasi. Imam Ibnu
Taimiyah tidak mengatakan: “Aku akan nasihati Sultan Ghazan secara empat mata.”
Justru ia melakukannya bersama umat Islam secara terang-terangan. Apa yang akan dikatakan dan dilakukan oleh
Imam Ibnu Taimiyah, jika saat ini dia melihat ada sebuah negara muslim yang
meminta pertolongan Amerika Serikat untuk menyerang kaum muslimin Iraq? Atau
mengizinkan tentara kafir membuka pangkalan militer di negeri muslim agar
mereka mudah mengendalikan negeri-negeri muslim? Dahulu ada Sultan Ibnu Ghazan
dan Raja Al Karaj yang bermesraan, namun masih ada Imam Ibnu Taimiyah. Saat
ini, ada pemimpin negeri muslim bermesraan dengan pemimpin kolonialisme modern,
AS, namun, saat ini tidak ada yang seperti Imam Ibnu taimiyah!)
Selanjutnya
Syaikh Ahmad Farid mengatakan:
“Tatkala Sultan
Ghazan melihat Syaikh Ibnu Taimiyah, Allah menjadikan hati Sultan Ghazan mengalami ketakutan yang hebat
terhadapnya sehingga ia meminta Syaikh Ibnu Taimiyah agar mendekat dan duduk
bersamanya.
Kesempatan
tersebut digunakan Syaikh Ibnu Taimiyah untuk menolak rencananya, yaitu
memberikan kesempatan keada Raja Al Karaj yang hina untuk menghabisi umat Islam
Damaskus. Ibnu Taimiyah memberitahu Sultan Ibnu Ghazan tentang kehormatan darah
mslimin, mengingatkan dan memberi nasihat kepadanya. Maka Ibnu Ghazan menurut
nasihat Ibnu Tamiyah tersebut. Dari situ, terselamatkanlah darah-darah umat
Islam, terhaga isteri-isteri mereka, dan terjaga budak-budak perempuan
mereka.” (Selengkapnya lihat 60
Biografi Ulama Salaf, Hal. 797-798)
Imam Izzuddin bin Abdissalam Rahimahullah
Beliau
dijuluki Shulthanul ‘Ulama (pemimpinnya para ulama) pada masanya. Dialah ulama yang sangat pemberani terhadap
kesewenangan penguasa. Ia menegur pemimpin yang menyimpang langsung di depannya
dan dihadapan banyak manusia, bahkan juga di mimbar khutbah Jumat.
Kami
akan kutipkan sebuah peristiwa heroik beliau berikut ini:
Syaikh
Al Baji (murid Imam Izzudn bin Abdisalam) mengatakan: “Syaikh kami, Izzuddin
pergi kepada Sultan Najmuddin Ayyub pada hari ‘Id di Qal’ah (benteng
Shalahuddin).
Di
sana ia menyaksikan para prajurit yang berbaris di depan Sultan Najmuddin dan
dewan kerajaan saat itu. Suasana kerajaan saat itu sangat megah. Sultan
Najmuddin keluar kepada mereka dengan memakai perhiasan sebagaimana adat para
Sultan di Mesir. Para pejabat saat itu pun sujud mencium tanah di depan sang
Sultan.
Melihat
peristiwa tersebut Syaikh Izzuddin menoleh kepada Sultan Najmuddin dan
berteriak memanggilnya, Wahai Ayyub! Apa hujjahmu di hadapan Allah ketika Dia
berkata kepadamu,”Aku telah berikan kerajaan Mesir kepadamu lalu kamu
memperbolehkan khamr!” Sultan Najmuddin Ayyub berkata, “Apakah ini terjadi?”
Syaikh Izzuddin menjawab, “Ya, di toko seorang perempuan telah dijual minuman
khamr dan hal-hal lain yang munkar, sementara kamu bergelimang dalam kenikmatan
kerajaan ini.”
Syaikh
Izzuddin memanggilnya (sultan) dengan suara sangat keras, sementara itu para
prajuritnya membisu dan keheranan. Lalu Sultan Najmuddin Ayyub berkata, :Wahai
Tuanku, itu bukan perbuatanku, ini sudah ada sejak zaman ayahku.” Syaikh
Izzuddin berkata: “Kamu termasuk golongan orang yang mengatakan:
"Sesungguhnya
Kami mendapati bapak-bapak Kami menganut suatu agama,..” (QS. Az Zukhruf (43):
22)
Lalu Sultan
Ayyub merencanakan meusnahkan toko tersebut.” (Ibid, 747-748)
Inilah Imam Al
‘Izz bin Abdissalam, dengan suara lantang dia mengkritik sultan di depan banyak
manusia, dan hal itu efektif sebagai presure (tekanan) agar sultan mau
menerima nasihatnya.
Bahkan, lebih
berani lagi Imam Izzuddin bin Abdissalam menganggap bahwa para sultan saat itu
masih terjerat hukum perbudakan sehingga para sultan adalah milik baitul mal
kaum muslimin. Para sultan ini boleh dijual untuk kemaslahatan kaum muslimin.
Hingga wakil sultan marah dan berkata: “Bagaimana Syaikh ini memanggil kami dan
ingin menjual kami? Sementara kami adalah raja-raja dunia. Demi Allah, aku akan
penggal kepalanya!”
Namun yang
terjadi ketika wakil sultan datang ke rumah Imam Izzuddin bin Abdissalam,
justru pedangnya terjatuh, badannya gemetar karena kewibawaan Imam Izzuudin.
Wakil sultan berkata: “Wahai Tuanku, apa
yang kau inginkan?” Syaikh Izzuddin menjawab: “Aku memanggil dan menjual
kalian.” Wakil sultan bertanya: “Untuk apa kau menjual kami?” Syaikh Izzuddin
menjawab: “Demi kemaslahatan umat Islam.” Wakil sultan bertanya lagi: “Siapa
yang menerimanya?” Syaikh Izzuddin menjawab: “Akulah yang menerimanya.” Lalu
para pejabat pemerintah dipanggil satu persatu dan dijual dengan harga mahal.
Hasil penjualan mereka digunakan untuk kemaslahatan umat Islam. Ini adalah
peristiwa yang belum pernah terjadi sebelumnya.” (Ibid, Hal. 749-750)
Ada peristiwa
yang mirip dengan masa Imam Ibnu Tamiyah. Ibnu As Subki menceritakan tentang
penguasa Damaskus bernama Shalih Ismail, panggilannya Abu Al Khaisy. Dia
berkolaborasi dengan pasukan Eropa untuk menyerahkan kota Shida dan beneng Asy
Syaqif kepada Eropa. Tindaka ini dikecam oleh Syaikh Izzuddin sehingga dia
tidak mendoakannya dalam khutbah. Beliau tidak sendiri dalam hal ini. Beliau
ditemani oleh Abu Amr bin Al Hajib Al Maliki. Pengecaman tersebut telah membaut
sultan marah. (Ibid, Hal. 750)
Inilah Al Imam
Al ‘Izz bin Abdissalam, salah satu Imam Ahlus Sunnah bermadzhab syafi’i. Imam
Ad Dzahabi menyebutnya sebagai seorang yang sudah taraf mujtahid, dan Imam As
Suyuhi juga menyebukan di akhir hayatnya dia tidak lagi terika madzhab, sudah
berfatwa dengan fatwanya sendiri.
Demikianlah.
Sebenarnya masih banyak contoh lain dari para ulama. Namun, nampaknya ini sudah
cukup menggambarkan bahwa menasihati penguasa secara terbuka, bukanlah hal yang
tercela dan bukan pula barang baru. Justru ini adalah perbuatan mulia yang membutuhkan keberanian sebagaimana Imam
Ibnu Taimiyah dan Imam Izzuddin bin Abdissalam.
Menasihati
pemimpin, baik secara sembunyi atau terbuka, tidaklah kita melihat dari sisi
benar-salah. Melainkan dari sisi mana di antara keduanya yang lebih tepat guna
dan efektif dalam merubah penyimpangan penguasa. Tentu hal ini perlu kejelian
dan analisa. Bisa jadi ada penguasa yang hanya bisa berubah dengan tekanan dari
rakyatnya, ada juga yang sudah bisa berubah walau di nasihati oleh orang
terdekatnya secara rahasia. Oleh karena itu, ketenangan dan kejelian sangat
diperlukan dalam memutuskan masalah ini.
Dan, yang jelas
tak satu pun para ulama Islam mengatakan, bahwa menasihati pemimpin secara
terbuka adalah bentuk pemberontakan bahkan khawarij. Ini adalah pengertian yang
amat jauh. Tidak pantas menyamakan pemberontakan dengan nasihat. Sebab yang
satu berdosa, dan yang lain berpahala dan mulia. Tak pantas pla hal itu disamakan dengan keluarnya kaum khawarij
terhadap pemerintahan Ali. Sebab, yang kita bahas adalah tentang penguasa atau
pemimpin yang zalim, bukan pemimpin yang adil seperti Ali bin Abi Thalib Radhiallahu
‘Anhu.
Wallahu
A’lam wa Waliyyut Taufiq
No comments:
Post a Comment