Belakangan
ini tema jihad memang sering dibicarakan, ada yang membicarakan secara keilmuan
ada pula yang serampangan. Ada yang ekstrim dan ada pula yang menyepelekan.
Sebenarnya bagaimanakah masalah ini? Sesuai pertanyaan di atas, saya akan bagi
jawaban saya menjadi tiga bagian.
Pertama. Konsep
jihad dalam Islam
Membicarakan konsep
tentu tidak lepas dari membicarakan definisinya (ta’rif). Untuk
itu, kita lihat definisi jihad dahulu.
Secara bahasa (lughatan
– etimologis)
الجهاد اجهاد مأخوذ من الجهد وهو الطاقة والمشقة
Al
Jihad di ambil dari kata Al Juhdu yaitu kuasa (Ath
Thaqah) dan kesempitan/kepayahan (Al Masyaqqah).[1]
Disebutkan
dalam Lisanul ‘Arab:
وجَهَدَ يَجْهَدُ جَهْداً واجْتَهَد كلاهما جدَّ
Dan Jahada – yajhadu- jahdan- ijtihadan, semuanya
bermakna bersungguh-sungguh. [2]
Disebutkan dalam Majma’ al Anhar fi Syarh Multaqa Al Ab-har:
الْجِهَادُ فِي اللُّغَةِ بَذْلُ مَا فِي
الْوُسْعِ مِنْ الْقَوْلِ ، وَالْفِعْلِ .
“Secara
bahasa, jihad bermakna pengerahan segenap potensi dengan ucapan dan perbuatan.”
[3]
Secara
istilah (syar’an – terminologis)
Saya akan paparkan pandangan beberapa imam kaum muslimin dalam hal
ini. Menurut Syaikh Sayyid Sabiq Rahimahullah:
يقال: جاهد يجاهد جهادا ومجاهدة، إذا استفرغ وسعه، وبذل طاقته، وتحمل
المشاق في مقاتلة العدو ومدافعته، وهوما يعبر عنه بالحرب في العرف الحديث، والحرب
هي القتال المسلح بين دولتين فأكثر
Dikatakan: Jaahada –
Yujaahidu – Jihaadan – Mujaahadatan, artinya mengkhususkan waktu dan
upaya, serta mengorbankan segenap tenaga serta menanggung segenap kesulitan
dalam memerangi musuh dan melawan
mereka, yang demikian ini diistilahkan dengan Al Harb (perang)
menurut definisi saat ini, dan Al Harb adalah peperangan bersenjata antara dua negara
atau lebih.[4]
Penulis
Majma’ Al Anhar (fiqih bermadzhab Hanafi) mengatakan:
وَفِي الشَّرِيعَةِ قَتْلُ الْكُفَّارِ وَنَحْوُهُ مِنْ
ضَرْبِهِمْ وَنَهْبِ أَمْوَالِهِمْ وَهَدْمِ مَعَابِدِهِمْ وَكَسْرِ أَصْنَامِهِمْ
وَغَيْرِهِمْ
“Makna
menurut syariah adalah memerangi orang kafir dan sebangsanya dengan memukulnya,
mengambil hartanya, menghancurkan tempat ibadahnya, dan memusnahkan
berhala-berhala mereka, dan selain mereka. “[5]
Dalam Hasyiah Al Jumal (fiqih
bermadzhab Syafi’i) disebutkan:
وَهُوَ فِي الِاصْطِلَاحِ قِتَالُ الْكُفَّارِ لِنُصْرَةِ
الْإِسْلَامِ وَيُطْلَقُ أَيْضًا عَلَى جِهَادِ النَّفْسِ وَالشَّيْطَانِ
“Dan
makna jihad secara istilah adalah memerangi orang kafir demi membela Islam, dan
juga secara mutlak bermakna jihad melawan hawa nafsu dan syetan.” [6]
Sedangkan
Imam Ash Shan’ani Rahimahullah mengatakan:
وَفِي الشَّرْعِ بَذْلُ
الْجَهْدِ فِي قِتَالِ الْكُفَّارِ أَوْ الْبُغَاةِ .
“Secara
syariat, makna berkorban dalam jihad adalah memerangi orang kafir dan para
pemberontak.” [7]
Imam
Ibnu Hajar Rahimahullah
mengatakan:
وَشَرْعًا : بَذْلُ الْجُهْدِ فِي
قِتَالِ الْكُفَّارِ وَيُطْلَقُ أَيْضًا عَلَى مُجَاهَدَةِ النَّفْسِ
وَالشَّيْطَانِ وَالْفُسَّاقِ .
“Secara
syariat, artinya mengerahkan kesungguhan dalam memerangi orang kafir, dan
secara mutlak artinya juga berjihad melawan nafsu, syetan dan kefasikan.” [8]
Demikianlah
makna jihad yang dipaparkan para ulama Islam, yang semuanya selalu mengatakan
‘memerangi orang kafir’, setelah itu melawan nafsu, syetan dan kejahatan. Dalam
kehidupan ilmiah, definisi memang selalu ada dua, yakni makna bahasa dan makna
istilah. Namun, dalam praktek kehidupan sehari-hari, bahwa semua definisi dalam
pembahasan apa pun lebih mengutamakan makna terminologis (istilah) dibanding
makna etimologis (bahasa).
Pemaknaan
yang dipaparkan para ulama bukan tanpa alasan melainkan berpijak berbagai ayat
yang mulia dan hadits yang suci, dan ayat serta hadits tersebut pun juga
memiliki latar belakang dan alasan spesifik dalam pensyariatan memerangi mereka.
Ayat-Ayat Al
Quran Tentang Jihad
Perlu
difahami dengan baik, bahwa jihad merupakan bahasa Al Quran, maka Al Quran-lah
yang paling berhak menceritakan apa makna jihad sebenarnya. Akal dan perasaan
kita wajib tunduk kepadanya, dan tidak boleh mengingkarinya atau memberikan
pemahaman apologi yang menyimbolkan kekalahan mental umat Islam dari orang
Barat, hanya karena takut disebut teroris.
Allah
Ta’ala berfirman di berbagai ayat:
“Diwajibkan atas kamu berperang,
Padahal berperang itu adalah sesuatu yang kamu benci. boleh Jadi kamu membenci
sesuatu, Padahal ia Amat baik bagimu, dan boleh Jadi (pula) kamu menyukai
sesuatu, Padahal ia Amat buruk bagimu; Allah mengetahui, sedang kamu tidak
mengetahui.” (QS. Al Baqarah (2): 216)
“Dan perangilah mereka di mana saja kamu
jumpai mereka, dan usirlah mereka dari tempat mereka telah mengusir kamu
(Mekah); dan fitnah itu lebih besar bahayanya dari pembunuhan, dan janganlah
kamu memerangi mereka di Masjidil haram, kecuali jika mereka memerangi kamu di
tempat itu. jika mereka memerangi kamu (di tempat itu), Maka bunuhlah mereka.
Demikanlah Balasan bagi orang-orang kafir.” (QS. Al Baqarah (2): 191)
“Janganlah kamu mengira bahwa orang-orang yang
gugur di jalan Allah itu mati; bahkan mereka itu hidup disisi Tuhannya dengan
mendapat rezki.” (QS. Ali Imran (3): 169)
“Hai orang-orang yang beriman, bersiap
siagalah kamu, dan majulah (ke medan pertempuran) berkelompok-kelompok, atau
majulah bersama-sama!” (QS. An Nisa (4): 71)
“Hai
Nabi, Kobarkanlah semangat Para mukmin untuk berperang. jika ada dua puluh
orang yang sabar diantaramu, niscaya mereka akan dapat mengalahkan dua ratus
orang musuh. dan jika ada seratus orang yang sabar diantaramu, niscaya mereka
akan dapat mengalahkan seribu dari pada orang kafir, disebabkan orang-orang
kafir itu kaum yang tidak mengerti.” (QS. Al Anfal (8): 65)
“Perangilah
orang-orang yang tidak beriman kepada Allah dan tidak (pula) kepada hari
Kemudian, dan mereka tidak mengharamkan apa yang diharamkan oleh Allah dan
RasulNya dan tidak beragama dengan agama yang benar (agama Allah), (Yaitu
orang-orang) yang diberikan Al-Kitab kepada mereka, sampai mereka membayar
jizyah dengan patuh sedang mereka dalam Keadaan tunduk.” (QS. At Taubah (9):
29)
Dan masih sangat banyak lagi
ayat-ayat yang menganjurkan jihad melawan orang kafir, menceritakan
keutamaannya, dan mengabarkan balasan bagi mujahidin baik dunia maupun akhirat.
Hadits-Hadits
Nabi Tentang Jihad
Hadits-hadits nabawi pun juga
banyak, namun saya akan sebutkan beberapa saja:
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ
رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ مَاتَ وَلَمْ يَغْزُ
وَلَمْ يُحَدِّثْ بِهِ نَفْسَهُ مَاتَ عَلَى شُعْبَةٍ مِنْ نِفَاقٍ
“Dari Abu Hurairah berkata,
bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda: “Barangsiapa
yang mati dan belum pernah berperang, dan dirinya belum pernah membicarakan
perang maka matinya di antara cabang kemunafikan.” [9]
Hadits lain:
عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ
عَنْهُمَا قَالَ
قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
لَا هِجْرَةَ بَعْدَ الْفَتْحِ وَلَكِنْ جِهَادٌ وَنِيَّةٌ وَإِذَا
اسْتُنْفِرْتُمْ فَانْفِرُو
Dari Ibnu Abbas Radhiallahu
‘Anhu berkata, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam
bersabda: “Tidak ada hijrah setelah penaklukan kota mekkah, tetapi yang ada
adalah jihad dan niat, jika kalian diperintahkan untuk berangkat maka
berangkatlah (untuk jihad).” [10]
Dari
Abu Said Al Khudri, bahwa ada orang bertanya:
يَا
رَسُولَ اللَّهِ أَيُّ النَّاسِ أَفْضَلُ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مُؤْمِنٌ يُجَاهِدُ فِي سَبِيلِ اللَّهِ بِنَفْسِهِ وَمَالِه
“Wahai Rasulullah! Manusia
bagaimanakah yang paling utama?” Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam
menjawab: “Seorang mu’min yang berjihad di jalan Allah dengan jiwa dan
hartanya.”[11]
Dari
Abu Hurairah Radhiallahu ‘Anhu, ada seorang bertanya kepada Nabi Shallallahu
‘Alaihi wa Sallam, apakah ada amal perbuatan yang sebanding dengan jihad fi
sabilillah?, beliau menjawab: “Kalian tidak akan mampu.” Mereka bertanya hingga
dua atau tiga kali, semuanya dijawab: “Kalian tidak akan mampu.” Begitu yang
ketiga kalinya, beliau bersabda:
مَثَلُ الْمُجَاهِدِ فِي سَبِيلِ اللَّهِ كَمَثَلِ الصَّائِمِ الْقَائِمِ
الْقَانِتِ بِآيَاتِ اللَّهِ لَا يَفْتُرُ مِنْ صِيَامٍ وَلَا صَلَاةٍ حَتَّى
يَرْجِعَ الْمُجَاهِدُ فِي سَبِيلِ اللَّهِ تَعَالَى
“Perumpamaan mujahid di jalan
Allah bagaikan seorang yang berpuasa, shalat malam, berdzikir membaca ayat
Allah, tidak pernah henti dari puasa dan shalatnya itu sampai pulangnya si
mujahid di jalan Allah Ta’ala.” [12]
Jadi seorang yang berjihad, sama
nilainya dengan orang yang berpuasa terus menerus dan shalat terus menerus
tanpa henti, sampai mujahid itu pulang. Apakah ada manusia yang mampu puasa dan
shalat malam tanpa henti selama mujahid pergi perang hingga dia pulang? Tidak
ada!
Ketika menerangkan kedhaifan
hadits “kita kembali dari jihad kecil menuju jihad besar”, Syaikhul Islam Ibnu
Taimiyah berkata:
وَجِهَادُ الْكُفَّارِ مِنْ أَعْظَمِ الْأَعْمَالِ ؛ بَلْ
هُوَ أَفْضَلُ مَا تَطَوَّعَ بِهِ الْإِنْسَان
“Jihad memerangi orang kafir
merupakan amal yang paling agung, bahkan merupakan anjuran yang paling utama
pada manusia.” [13]
Dan masih puluhan lagi
hadits-hadits tentang penyariatan jihad memerangi orang kafir di medan tempur,
serta keutamannya yang agung.
Kedua. Kenapa Islam
Mengakui Perang?
Islam
mengakui kewajiban perang, bukan karena ingin menebar kebencian atau dendam
tetapi justru untuk menjaga kestabilan keamanan dan meraih perdamaian.
فها هم الآن يعترفون بأن الاستعداد هو أضمن طريق للسلام . فرض الله
الجهاد علي المسلمين لا آداه العدوان ولا وسيلة للمطامع الشخصية ولكن ضمان للسلام وآداه للرسالة الكبرى التي
حمل عبئها المسلمون ، رسالة هداية الناس إلي الحق والعدل ، وإن الإسلام كما فرض
القتال شاد بالسلام فقال تبارك وتعالي : (وَإِنْ جَنَحُوا لِلسَّلْمِ فَاجْنَحْ
لَهَا وَتَوَكَّلْ عَلَى اللهِ) (لأنفال:61).
“Sekarang
mereka mengakui bahwa mempersiapkan diri untuk perang merupakan cara yang
paling menjamin terwujudnya perdamaian. Allah Ta’ala mewajibkan berperang atas
kaum muslimin bukan untuk menebar permusuhan, bukan sebagai alat pemusnah
manusia, tetapi merupakan sebagai pelindung bagi dakwah dan jaminan bagi
perdamaian, selain sebagai media untuk untuk menunaikan risalah agung yang
diembankan di pundak kaum muslimin, yaitu risalah yang menunjukkan kepada
manusia jalan menuju kebenaran dan keadilan. Sebagaimana Islam sangat perhatian
dengan jihad, Islam juga sangat perhatian dengan perdamaian. Allah Tabaraka wa
Ta’ala berfirman:
“Dan
jika mereka condong kepada perdamaian, Maka condonglah kepadanya dan
bertawakkal-lah kepada Allah. Sesungguhnya Dialah yang Maha mendengar lagi Maha
mengetahui.” (QS. Al Anfal (8): 61).” Demikian dari Syaikh Hasan al Banna [15]
Dalam
Majma’ Al Anhar disebutkan:
وَالْمُرَادُ الِاجْتِهَادُ فِي تَقْوِيَةِ الدِّين
“Yang dimaksud dari bersungguh (dalam jihad) adalah dalam rangka
memperkokoh agama.”[16]
Undang-undang internasional
(PBB) pun mengakui adanya perang sebagaimana yang dijelaskan Syaikh
Sayyid Sabiq dalam Fiqhus Sunnah. Begitu pula pernyataan dalam
kitab suci agama lain. Dalam Perjanjian
Lama, Kitab Ulangan 20:10 (Lembaga Al
Kitab Indonesia), berbunyi sebagai berikut:
“Ketika kamu mendekati suatu kota untuk
memeranginya, ajaklah kepada perjanjian. Jika menerima ajakanmu dan membukakan
pintu untukmu, maka semua penduduk yang ada di kota itu harus tunduk kepadamu
dan mengabdi padamu.
Kasih Sayang Dalam
Jihad
Kesempurnaan
Islam tidak membuatnya melupakan akhlak dalam berjihad memerangi orang kafir.
Jihad merupakan amal yang paling mulia, dan Islam memiliki cara yang paling
mulia dalam peperangan, dan terbukti dalam sejarah peperangan antar negara di
berbagai zaman.
“Dan janganlah kamu melampaui batas. Sesungguhnya Allah tidak menyukai
orang-orang yang melampaui batas.” (QS. Al Maidah (5): 87)
“Hai orang-orang yang beriman hendaklah kamu Jadi orang-orang yang
selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil. dan
janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk
Berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa.
dan bertakwalah kepada Allah, Sesungguhnya Allah Maha mengetahui apa yang kamu
kerjakan.” (QS. Al Maidah (5): 8)
Dalam peperangan Islam, dilarang
membunuh dan menganiaya orang tua, wanita, anak- anak, dan orang tak berdaya
dan sudah menyerah. Serta tidak dibenarkan mencincang tubuh manusia, bertindak
bengis terhadap musuh. Islam melarang perang jika belum disampaikan dakwah
kepada musuh, sebab perang adalah pilihan akhir setelah ajakan kepada kebaikan
dan tauhid tidak bisa mereka terima.
Dari Buraidah Radhiallahu
‘Anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam jika dia
memerintahkan pasukan atau tim ekspedisi, secara khusus dia mewasiatkan agar
mereka bertaqwa kepada Allah Ta’ala dan memerintahkan kaum muslimin yang
bersamanya tetap berbuat baik, lalu bersabda:
اغْزُوا بِاسْمِ اللَّهِ فِي سَبِيلِ اللَّهِ قَاتِلُوا مَنْ كَفَرَ
بِاللَّهِ اغْزُوا وَلَا تَغُلُّوا وَلَا تَغْدِرُوا وَلَا تَمْثُلُوا وَلَا
تَقْتُلُوا وَلِيدًا
“Peranglah dengan nama Allah fi
sabilillah, perangilah orang-orang yang kafir terhadap Allah, berperanglah dan
jangan melampaui batas, jangan mencincang, dan jangan membunuh anak-anak.” [17]
Dalam
hadits lain:
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ عَنْ
النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ إِذَا قَاتَلَ أَحَدُكُمْ
فَلْيَجْتَنِبْ الْوَجْهَ
Dari Abu
Hurairah Radhiallahu ‘Anhu, dari Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam,
bersabda: “Jika salah seorang kalian berperang, hindarilah memukul wajah.” [18]
Ini hanya
sebagian kecil riwayat saja, yang menunjukkan betapa ketika perang Islam pun
memiliki akhlak yang mulia. Sebab, jihad adalah perbuatan mulia yang tidak
pantas dilakukan dengan cara-cara yang tidak mulia.
Apakah Jihad
Selalu Perang?
Harus diakui bahwa memang ada
segolongan umat Islam yang mempersempit makna jihad, bahwa seakan-akan ruang
lingkup jihad hanya ada pada peperangan melawan orang kafir di medan tempur.
Pengertian seperti itu tertolak, oleh sebab teks-teks agama ini justru
memberikan keluasan makna jihad. Hanya saja memang, nilai jihad yang paling tinggi adalah berperang melawan
orang kafir di medan tempur, sebagaimana hadits-hadist yang telah dipaparkan
sebelumnya. Inilah pandangan yang terpilih, walau ada yang mengatakan
lain. Namun, itu tidak berarti
meremehkan nilai jihad dalam ruang lingkup lainnya.
Para ulama kita pun menegaskan
dan mengakui adanya jihad melawan hawa nafsu, jihad melawan syetan, jihad harta, jihad lisan, jihad ilmu dan
jihad melawan kefasikan. Sebagaimana yang disebut oleh Imam Ibnu Hajar Al
Asqalani Rahimahullah berikut:
فَأَمَّا مُجَاهَدَة النَّفْس فَعَلَى تَعَلُّم أُمُور
الدِّين ثُمَّ عَلَى الْعَمَل بِهَا ثُمَّ عَلَى تَعْلِيمهَا ، وَأَمَّا
مُجَاهَدَة الشَّيْطَان فَعَلَى دَفْع مَا يَأْتِي بِهِ مِنْ الشُّبُهَات وَمَا
يُزَيِّنهُ مِنْ الشَّهَوَات ، وَأَمَّا مُجَاهَدَة الْكُفَّار فَتَقَع بِالْيَدِ
وَالْمَال وَاللِّسَان وَالْقَلْب ، وَأَمَّا مُجَاهَدَة الْفُسَّاق فَبِالْيَدِ
ثُمَّ اللِّسَان ثُمَّ الْقَلْب
“Ada pun berjihad melawan
hawa nafsu adalah dengan cara mempelajari perkara-perkara agama lalu
mengamalkannya dan mengajarkannya. Sedangkan berjihad melawan syetan adalah
dengan cara melawan syubhat-syubhat yang dilancarkannya dan melawan syahwat
yang dihiasinya. Sedangkan jihad melawan orang kafir adalah dengan tangan,
harta, lisan, dan hati sekaligus. Sedangkan berjihad melawan kefasikan adalah
dengan tangan, kemudian lisan, kemudian hati. “ [19]
Apa yang digaris bawahi adalah
jihad menuntut ilmu, yakni mempelajari ilmu-ilmu agama. Apalagi jika ilmu tersebut kita gunakan untuk
melawan syubhat yang dilancarkan musuh-musuh Islam, baik musuh dari dalam atau
orang kafir.
Berkata
Imam Ibnu Qayyim Al Jauziyah Rahimahullah:
أَنْ يُجَاهِدَ الْعَبْدُ نَفْسَهُ لِيُسْلِمَ قَلْبَهُ
وَلِسَانَهُ وَجَوَارِحَهُ لِلّهِ فَيَكُونُ كُلّهُ لِلّهِ وَبِاَللّهِ لَا
لِنَفْسِهِ وَلَا بِنَفْسِهِ وَيُجَاهِدُ شَيْطَانَهُ بِتَكْذِيبِ وَعْدِهِ
وَمَعْصِيَةِ أَمْرِهِ وَارْتِكَابِ نَهْيِهِ فَإِنّهُ يَعِدُ الْأَمَانِيّ
وَيُمَنّي الْغُرُورَ وَيَعِدُ الْفَقْرَ وَيَأْمُرُ بِالْفَحْشَاءِ وَيَنْهَى
عَنْ التّقَى وَالْهُدَى وَالْعِفّةِ وَالصّبْرِ
“Sesungguhnya seorang hamba berjihad melawan
nafsunya dalam rangka menyerahkan hatinya, lisannya dan perbuatannya karena
Allah, dan menjadikan semuanya karena Allah dan demi Allah, bukan karena
dirinya dan demi dirinya. Dia juga berjihad melawan syetan dengan cara
mendustakannya, memusuhinya, melanggar
ajakannya, dan melaksanakan apa yang dicegahnya. Sesungguhnya syetan itu
mendatangkan persangkaan, angan-angan, terperdaya, dan jebakan, serta memerintahkan pada kekejian dan mencegah dari
ketaqwaan, petunjuk, ‘iffah, dan kesabaran.” [20]
Nash-Nash Syariat Menunjukkan Bahwa Jihad Bukan Hanya
Di Medan Tempur
Allah
Ta’ala berfirman:
وَالَّذِينَ جَاهَدُوا فِينَا لَنَهْدِيَنَّهُمْ
سُبُلَنَا وَإِنَّ اللَّهَ لَمَعَ الْمُحْسِنِينَ (69)
“Dan orang-orang yang berjihad
untuk (mencari keridhaan) Kami, benar- benar akan Kami tunjukkan kepada mereka
jalan-jalan kami. dan Sesungguhnya Allah benar-benar beserta orang-orang yang
berbuat baik.” (QS. Al Ankabut (29): 69)
Bagaimanakah tafsir ayat ini?
Imam Al Qurthubi Rahimahullah mengutip dari beberapa ulama salaf:
وقال السدي وغيره: إن هذه الآية نزلت
قبل فرض القتال. قال الحسن بن أبي الحسن: الآية في العباد. وقال ابن عباس وإبراهيم
بن أدهم: هي في الذين يعملون بما يعلمون. وقال أبو سليمان الداراني: ليس الجهاد في
الآية قتال الكفار فقط بل هو نصر الدين، والرد على المبطلين، وقمع الظالمين، وعظمه
الامر بالمعروف والنهي عن المنكر، ومنه مجاهدة النفوس في طاعة الله وهو الجهاد
الاكبر.
Berkata As Sudy dan lainnya:
“Ayat ini turun sebelum diwajibkannya berperang.”
Berkata
Al Hasan bin Abil Hasan: “Ayat ini tentang para ahli ibadah.”
Berkata
Ibnu Abbas dan Ibrahim bin Ad-ham: “Ayat ini tentang orang-orang yang
mengerjakan apa-apa yang mereka ketahui.”
Berkata
Abu Sulaiman Ad Darani: “Jihad dalam ayat ini bukanlah semata-mata perang
melawan orang kafir, tetapi juga menolong agama, membantah para pengusung
kebatilan, mengalahkan orang zalim, dan yang paling agung adalah amar ma’ruf
nahi munkar dan diantaranya adalah berjihad melawan nafsu dirinya dalam
menjalankan ketaatan kepada Allah, dan itulah jihad paling besar.” [21]
Haji dan Umrah adalah Jihad bagi Orang Jompo,
Anak-Anak, Orang Lemah, dan Kaum Wanita
Ini
ditekankan oleh Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam sendiri sebagai
berikut.
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ عَنْ رَسُولِ اللَّهِ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ جِهَادُ الْكَبِيرِ وَالصَّغِيرِ
وَالضَّعِيفِ وَالْمَرْأَةِ الْحَجُّ وَالْعُمْرَةُ
Dari
Abu Hurairah Radhiallahu ‘Anhu, dari Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi
wa Sallam bersabda: “Jihadnya orang tua, anak-anak, orang lemah, dan wanita
adalah haji dan umrah.” [22]
Dari Aisyah Radhiallahu ‘Anha, katanya:
يَا رَسُولَ اللَّهِ نَرَى الْجِهَادَ أَفْضَلَ
الْعَمَلِ أَفَلَا نُجَاهِدُ قَالَ لَا لَكِنَّ أَفْضَلَ الْجِهَادِ حَجٌّ
مَبْرُورٌ
“Ya
Rasulullah, kami melihat jihad adalah amal yang paling utama, apakah kami juga
boleh berjihad?” Nabi bersabda: “Tidak, tetapi sebaik-baiknya jihad adalah haji
yang mabrur.” [23]
Mengutarakan Kebenaran Di depan Penguasa Zalim
Dari Abu Said Al Khudri, bahwa Rasulullah Shallallahu
‘Alaihi wa Sallam bersabda:
أَفْضَلُ الْجِهَادِ كَلِمَةُ عَدْلٍ عِنْدَ سُلْطَانٍ
جَائِرٍ أَوْ أَمِيرٍ جَائِرٍ
“Jihad paling utama adalah mengutarakan perkataan yang adil di depan penguasa yang
zalim atau pemimpin yang zalim.” [24] Hadits
ini shahih. [25]
Dari Jabir radhiallahu ‘anhu, Rasulullah Shallallahu
‘Alaihi wa Sallam bersabda,
سيد الشهداء حمزة بن عبد المطلب ، ورجل قال إلى إمام جائر فأمره ونهاه
فقتله
“Penghulu
para syuhada adalah Hamzah bin Abdul Muthalib, dan orang yang berkata benar
kepada penguasa kejam, ia melarang dan memerintah, namun akhirnya ia mati
terbunuh.” [26]
Berjihad Melindungi Harta, Keluarga, dan Nyawa
Dari Ibnu Umar Radhiallahu ‘Anhuma, Rasulullah Shallallahu
‘Alaihi wa Sallam bersabda:
مَنْ قُتِلَ دُونَ مَالِهِ فَهُوَ شَهِيدٌ
”Barangsiapa yang dibunuh karena hartanya,
maka dia syahid.” [27]
Dari Sa’id bin Zaid Radhiallahu ‘Anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu
‘Alaihi wa Sallam bersabda:
مَنْ قُتِلَ دُونَ مَالِهِ فَهُوَ شَهِيدٌ
وَمَنْ قُتِلَ دُونَ دِينِهِ فَهُوَ شَهِيدٌ وَمَنْ قُتِلَ دُونَ دَمِهِ فَهُوَ
شَهِيدٌ وَمَنْ قُتِلَ دُونَ أَهْلِهِ فَهُوَ شَهِيدٌ
Barangsiapa yang dibunuh karena
hartanya maka dia syahid, barangsiapa dibunuh karena agamanya maka dia syahid,
barangsiapa yang dibunuh karena darahnya maka dia syahid, barangsiapa yang
dibunuh karena membela keluarganya maka dia syahid.” [28]
Ketiga. Apakah beban
jihad setiap manusia berbeda-beda?
Ya.
Sebab manusia berbeda dalam keimanan dan keadaannya. Allah Ta’ala memberikan
rukhshah (dispensasi) untuk tidak berjihad bagi mereka yang memiliki
ulud dharar (halangan).
لَا يَسْتَوِي الْقَاعِدُونَ مِنَ الْمُؤْمِنِينَ
غَيْرُ أُولِي الضَّرَرِ وَالْمُجَاهِدُونَ فِي سَبِيلِ اللَّهِ بِأَمْوَالِهِمْ
وَأَنْفُسِهِمْ فَضَّلَ اللَّهُ الْمُجَاهِدِينَ بِأَمْوَالِهِمْ وَأَنْفُسِهِمْ
عَلَى الْقَاعِدِينَ دَرَجَةً وَكُلًّا وَعَدَ اللَّهُ الْحُسْنَى وَفَضَّلَ
اللَّهُ الْمُجَاهِدِينَ عَلَى الْقَاعِدِينَ أَجْرًا عَظِيمًا (95)
“Tidaklah
sama antara mukmin yang duduk (yang tidak ikut berperang) yang tidak mempunyai
'uzur dengan orang-orang yang berjihad di jalan Allah dengan harta mereka dan
jiwanya. Allah melebihkan orang-orang yang berjihad dengan harta dan jiwanya
atas orang-orang yang duduk satu derajat. kepada masing-masing mereka Allah
menjanjikan pahala yang baik (surga) dan Allah melebihkan orang-orang yang
berjihad atas orang yang duduk dengan pahala yang besar.” (QS. An Nisa (4): 95)
Ayat
ini turun lantaran pertanyan Abdullah bin Ummi Maktum -seorang sahabat nabi
yang buta: “Apakah aku punya rukhshah untuk tidak berperang?” maka turunlah ayat di atas. Demikian yang
dipaparkan oleh Imam Ath Thabari dalam tafsirnya.
Jadi,
keadaan seseorang sangat pengaruhi kuat tidaknya beban jihad. Jihad bagi orang
yang cacat tubuh, sakit wanita, anak-anak, orang tua, tentu tidak sama kuat
bebannya dengan lelaki muda dan dewasa yang dalam keadaan fit.
Bahkan
menurut ayat di atas, ada orang yang tidak memiliki uzur, tapi mereka
duduk-duduk saja tidak ikut berjihad. Ini menunjukkan kondisi kadar keimanan
mereka yang melemah.
Ingin Jihad,
tapi masih punya kewajiban terhadap Orang Tua
Kondisi
ini pun membuat beban jihad seseorang berbeda dengan yang lainnya. Dalam
keadaan jihad ofensif
(menyerang), penaklukan (futuhat), maka hukumnya fardhu
kifayah bagi umat Islam untuk ikut serta. Inilah pandangan mayoritas fuqaha.
Sehingga ketika kewajiban ini berbenturan dengan kewajiban per kepala (fardu
‘ain) yakni berbakti kepada Orang Tua yang tidak mungkin digantikan
orang lain, maka seseorang lebih utama dia berbakti kepada kedua orang tuanya.
Hal
ini sesuai dengan hadits berikut:
Rasulullah
Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam pernah ditanya oleh Abdullah bin Mas’ud:
أَيُّ الْعَمَلِ أَحَبُّ إِلَى اللَّهِ قَالَ الصَّلَاةُ عَلَى وَقْتِهَا
قَالَ ثُمَّ أَيٌّ قَالَ ثُمَّ بِرُّ الْوَالِدَيْنِ قَالَ ثُمَّ أَيٌّ قَالَ
الْجِهَادُ فِي سَبِيلِ اللَّه
“Amal apakah yang paling Allah cintai?”
Rasulullah menjawab: “Shalat tepat waktu,” Oang itu bertanya: “Kemudian apa
lagi?” Beliau menjawab: “Berbakti kepada kedua orang tua.” Orang
itu bertanya lagi: “Kemudian apa lagi?” Beliau menjawab: “Jihad fi sabilillah.”[29]
Hadits
ini menunjukkan berbakti kepada orang tua lebih utama dibanding jihad fi
sabilillah. Ini dikuatkan lagi oleh hadits berikut:
Dari Ibnu Umar Radhiallahu
‘Anhu, beliau berkata:
جَاءَ رَجُلٌ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَاسْتَأْذَنَهُ فِي الْجِهَادِ فَقَالَ أَحَيٌّ وَالِدَاكَ
قَالَ نَعَمْ قَالَ فَفِيهِمَا فَجَاهِدْ
“Datang seorang laki-laki kepada
Nabi Shallallahu ‘Alahi wa Sallam dia
minta izin untuk berjihad, maka Nabi bertanya: “Apakah kedua orang tuamu
masih hidup?” dia menjawab: “Ya.” Nabi bersabda: “Maka berjihadlah kepada
keduanya.” (berbaktilah padanya)[30]
Tetapi ketika jihad dalam
keadaan difensif (mempertahankan diri), musuh masuk ke wilayah kita (negeri
muslim), bahkan sudah berhadap-hadapan, dan sudah ada instruksi dari pemimpin
negara, maka saat itu jjihad menjadi fardhu ‘ain, dan lebih utama dibanding berbakti kepada
orang tua. Saat itu anak tak perlu lagi izin orang tua bahkan orang tua juga harus
ikut berjihad menghalau musuh.
Keempat. Hadits
tentang “Kembali dari Jihad Kecil Menuju Jihad Besar.”
Hadits ini cukup terkenal, namun
bagaimanakan kedudukan hadits tersebut?
Hadits itu berbunyi:
رجعنا من الجهاد الأصغر إلى الجهاد الأكبر
“Kita kembali dari Jihad
kecil menuju jihad besar.”
Berkata Imam Zainuddin Al
Iraqi:
أخرجه البيهقي في الزهد من حديث جابر
وقال : هذا إسناد فيه ضعف .
Diriwayatkan
oleh Al Baihaqi dalam kitab Az Zuhd dari hadits Jabir, dia
berkata: “Di dalam sanadnya dha’if.” [31]
Kita
simak pembahasan Al ‘Allamah Al Muhaddits Syaikh Mauhammad Nashiruddin Al
Albany sebagai berikut:
منكر
قال الحافظ العراقي في " تخريج
الإحياء " ( 2/6 ) : " رواه البيهقي في " الزهد " من حديث
جابر ، و قال : هذا إسناد فيه ضعف " . و قال الحافظ ابن حجر في " تخريج
الكشاف " ( 4/114 - رقم 33 ) : بعد أن حكى كلام البيهقي فيه : " و هو من
رواية عيسى بن إبراهيم عن يحيى بن يعلى عن ليث بن أبي سليم ، و الثلاثة ضعفاء ، و
أورده النسائي في " الكنى " من قول إبراهيم بن أبي عبلة أحد التابعين من
أهل الشام " .
قلت : عيسى بن إبراهيم هو البركي ، و
قد قال فيه الحافظ في " التقريب " : " صدوق ربما وهم " ،
فإطلاقه الضعف عليه - كما سبق - ليس بجيد . و هذا هو الذي اعتمده الحافظ ; أنه من
قول إبراهيم هذا ، فقد قال السيوطي في " الدرر " ( ص 170 ) : " قال
الحافظ ابن حجر في " تسديد القوس " : هو مشهور على الألسنة ، و هو من
كلام إبراهيم بن أبي عبلة في " الكنى " للنسائي " .
“Hadits
ini munkar. Al Hafizh Al ‘Iraqi dalam Takhrijul Ihya’
(2/6) mengatakan: “Diriwayatkan oleh Al Baihaqi dalam kitab az Zuhd
dari hadits Jabir, dia berkata: “Di dalam sanadnya dha’if.”
Al Hafizh Ibnu Hajar mengatakan dalam Takhrij al Kasysyaf (4/114/no.33) -setelah menceritakan
ucapan Al Baihaqi: “Itu adalah riwayat ‘Isa bin Ibrahim, dari
Yahya bin Ya’la, dari Laits bin Abi Salim, tiga orang dha’if.
Imam An Nasa’i dalam Al Kuna menyandarkan hadits itu sebagai
ucapan Ibrahim bin Abi ‘Ablah, seorang tabi’in (generasi setelah
sahabat) penduduk Syam.”
Saya (Syaikh al Albany) berkata:
“Isa bin Ibrahim nama lainnya adalah Al Barki, Al Hafizh Ibnu Hajar telah
berkata tentang dia dalam At Taqrib: “Jujur tapi banyak
kebimbangan.” Maka kedha’ifannya adalah mutlak, sebagaimana
dijelaskan sebelumnya, dan hadits ini tidak bagus.”
Al Hafizh Ibnu Hajar telah menyandarkan ucapan ini sebagai ucapan
Ibrahim ini. Imam As Suyuthi telah berkata dalam Ad Darar
(Hal. 170): “Berkata Al Hafizh Ibnu Hajar dalam Tasdidul Qaus: Ini
adalah masyhur sebagai ucapannya Ibrahim bin Abi ‘Ablah dalam kitab Al
Kuna-nya An Nasa’i.” [32]
Ada
hadits serupa:
قدمتم خير مقدم ، قدمتم من الجهاد الأصغر إلى الجهاد الأكبر : مجاهدة
العبد هواه
“Kalian datang
dengan sebaik-baik kedatangan, kalian datang dari jihad kecil menuju jihad
besar: jihadnya seorang hamba terhadap hawa nafsunya.”
Berkata Syaikh Al Albany:
و نقل الشيخ زكريا الأنصاري في تعليقه
على " تفسير البيضاوي " ( ق 110/1 ) عن شيخ الإسلام ابن تيمية أنه قال :
" لا أصل له " . و أقره . و قال في مكان آخر ( 202/1 ) : " رواه
البيهقي و ضعف إسناده ، و قال غيره : لا أصل له " .
Syaikh Zakaria Al Anshari, dalam
komentarnya terhadap Tafsir al Baidhawi (110/1), mengutip ucapan
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah tentang hadits ini: “Tidak ada dasarnya.”
Dan dia menetapkan hal itu. Dia berkata dalam halaman lain: “Diriwayatkan
oleh Al Baihaqi sanadnya dha’if, ada pun yang lainnya mengatakan:
tidak ada dasarnya.”[33]
Imam Ibnu Taimiyah berkata tentang hadits tersebut:
فَلَا أَصْلَ لَهُ وَلَمْ يَرْوِهِ
أَحَدٌ مِنْ أَهْلِ الْمَعْرِفَة
“Tidak ada
dasarnya dan tidak diriwayatkan oleh seorang ulama pun.” [34]
Catatan:
Hadits
yang shahih, tentang jihad paling agung dan paling afdhal adalah sebagai
berikut:
عَنْ أَبِي سَعِيدٍ الْخُدْرِيِّ قَالَ
قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ أَفْضَلُ الْجِهَادِ كَلِمَةُ عَدْلٍ عِنْدَ سُلْطَانٍ جَائِرٍ أَوْ
أَمِيرٍ جَائِرٍ
“Dari
Abu Said Al Khudri, dia berkata bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa
Sallam bersabda: “Jihad yang paling utama adalah mengutarakan perkataan
yang ‘adil di depan penguasa atau
pemimpin yang zhalim.” [35]
Syaikh Al Albany menshahihkan hadits ini
dalam Misykah Al Mashabih.[36]
Sedangkan jihad
paling afdhal bagi kaum wanita adalah haji mabrur, sebagaimana riwayat shahih
berikut:
عَنْ عَائِشَةَ أُمِّ الْمُؤْمِنِينَ رَضِيَ
اللَّهُ عَنْهَا أَنَّهَا قَالَتْ
يَا رَسُولَ اللَّهِ نَرَى الْجِهَادَ أَفْضَلَ
الْعَمَلِ أَفَلَا نُجَاهِدُ قَالَ لَا لَكِنَّ أَفْضَلَ الْجِهَادِ حَجٌّ
مَبْرُورٌ
Dari
‘Aisyah Radhiallahu ‘Anha, dia bertanya: “Ya Rasulullah kami melihat
bahwa amal yang paling utama adalah jihad, maka, apakah kami (wanita) juga
berjihad?” Rasulullah menjawab: “Tidak, tetapi jihad paling utama adalah haji
mabrur.” [37]
Catatan:
Kelemahan hadits di atas (bahkan
tidak ada dasarnya), tidak berarti mengurangi derajat jihad melawan hawa nafsu.
Berkata Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah Rahimahullah:
وَلَا رَيْبَ أَنَّ مُجَاهَدَةَ النَّفْسِ
مَأْمُورٌ بِهَا وَكَذَلِكَ قَهْرُ الْهَوَى وَالشَّهْوَةِ كَمَا ثَبَتَ عَنْ
النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهُ قَالَ : { الْمُجَاهِدُ
مَنْ جَاهَدَ نَفْسَهُ فِي ذَاتِ اللَّهِ وَالْكَيِّسُ مَنْ دَانَ نَفْسَهُ
وَعَمِلَ لِمَا بَعْدَ الْمَوْتِ وَالْعَاجِزُ مَنْ أَتْبَعَ نَفْسَهُ هَوَاهَا
وَتَمَنَّى عَلَى اللَّهِ } لَكِنْ الْمُسْلِمَ الْمُتَّبِعَ لِشَرِيعَةِ
الْإِسْلَامِ هُوَ الْمُحَرِّمُ مَا حَرَّمَهُ اللَّهُ وَرَسُولُهُ فَلَا
يُحَرِّمُ الْحَلَالَ وَلَا يُسْرِفُ فِي تَنَاوُلِهِ ؛ بَلْ يَتَنَاوَلُ مَا
يَحْتَاجُ إلَيْهِ مِنْ طَعَامٍ أَوْ لِبَاسٍ أَوْ نِكَاحٍ وَيَقْتَصِدُ فِي
ذَلِكَ وَيَقْتَصِدُ فِي الْعِبَادَةِ ؛ فَلَا يُحَمِّلُ نَفْسَهُ مَا لَا تُطِيقُ
.
“Tidak diragukan bahwa berjihad
mengendalikan diri adalah diperintahkan, begitu pula menguasai hawa nafsu dan
syahwat. Sebagaimana telah tsabit (kuat) dari Rasulullah Shallallahu
‘Alaihi wa Sallam bahwa dia bersabda:
“Mujahid adalah orang yang
berjihad melawan nafsunya di jalan Allah, dan orang pintar adalah orang mampu
menguasai dirinya dan berbuat untuk hari setelah kematiannya, dan orang lemah
adalah orang yang jiwanya mengikuti hawa nafsunya, dan berangan-angan kepada
Allah.”
Tetapi seorang muslim hanya
mengikuti syariat Islam, dia mengharamkan apa yang Allah dan rasulNya haramkan,
dia tidak mengharamkan yang halal dan tidak berlebihan dalam menikmatinya,
tetapi dia menggunakannya sesuai kebutuhan saja baik berupa makanan, nikah, dia
sederhana dalam hal itu, dan sederhana pula dalam hal ibadah, dia tidak
membebani dirinya dengan apa-apa yang tidak dia mampu.”[38]
Bahkan
seorang ulama mujahid, perawi hadits, Imam Abdullah bin Mubarrak mengomentari
ayat:
وَجَاهِدُوا فِي اللّهِ حَقّ جِهَادِه
“Berjihadlah kalian di jalan
Allah dengan sebenar-benarnya jihad.”
Beliau berkata:
هُوَ مُجَاهَدَةُ النّفْسِ وَالْهَوَى
“Itu adalah berjihad melawan
jiwa dan hawa nafsu.” [39] Demikian kata Imam Ibnul
Mubarak.
Sebenarnya para ulama berbeda
pendapat dalam menyimpulkan, manakah jihad yang paling afdhal? Sebab berbagai
hadits shahih menyebutkan keutamaan jihad yang berbeda. Ada
hadits yang menyebut jihad paling afdhal
adalah perang melawan orang kafir, ada
pula mengucapkan kalimat yang benar kepada penguasa zalim, dan ada pula haji
mabrur.
Ini dikompromikan (Al Jam’u)
oleh para ulama, di antaranya Imam Ibnul Qayyim. Beliau mengatakan bahwa
keutamaan ibadah adalah yang paling mendesak dan sesuai untuk dilaksanakan saat
itu. Jika dalam keadaan perang, maka jihad paling utama adalah berperang
melawan musuh. Jika dalam keadaan miskin maka jihad paling utama adalah
memerangi kemisikinan, dan jika sedang mengalami kebodohan maka jihad paling
utama adalah menuntut ilmu. Demikian dalam Madarij as Salikin.
Peperangan Terjadi Karena Adanya Permusuhan
Inilah
pendapat yang benar. Berdasarkan nash-nash yang jelas, dan dikuatkan oleh
pemahaman umumnya para ulama, dan didukung sejarah Islam dalam pensyariatan
jihad.
Allah
Ta’ala berfirman:
“Allah tidak melarang kamu untuk
berbuat baik dan Berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu
karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah
menyukai orang-orang yang Berlaku adil.
Sesungguhnya Allah hanya melarang
kamu menjadikan sebagai kawanmu orang-orang yang memerangimu karena agama dan
mengusir kamu dari negerimu, dan membantu (orang lain) untuk mengusirmu. dan
Barangsiapa menjadikan mereka sebagai kawan, Maka mereka Itulah orang-orang
yang zalim.” (QS. Al
Mumtahanah (60): 8-9)
Dua ayat yang mulia ini, menerangkan
bahwa tidak ada larangan berbuat baik dan adil kepada: orang kafir yang tidak
memerangi dan mengusir kaum muslimin.
Sedangkan Allah Ta’ala melarang
berkawan dengan: orang kafir yang memerangi dan mengusir kaum muslimin, dan
pihak membantu pengusiran kaum muslimin. Bahkan Allah Ta’ala menyebut sebagai
perbuatan zalim jika kita berkawan dengan orang kafir seperti ini.
Ada
sebagian orang membantah ayat ini dijadikan sebagai dalil, alasan mereka karena
ayat ini (ayat 8) hanya berlaku ketika awal Islam saja, dan telah di nasakh
(dihapus) dengan ayat: faqtuluu musyrikina haitsu wajadtumuuhum ..
“bunuhlah orang-orang musyrik itu di mana saja kalian bertemu dengan mereka
...” . Demikianlah pendapat Ibnu Zaid dan Qatadah.
Sedangkan Imam Al Qurthubi
mengatakan, ayat ini merupakan rukhshah dari Allah Ta’ala bagi orang
kafir yang tidak memusuhi dan memerangi orang beriman. Ada juga yang
mengatakan, ayat ini berlaku karena adanya ‘illah (alasan) yakni perjanjian
damai, maka ketika perjanjian damai sudah tidak berlaku dengan adanya
penaklukan kota Mekkah, maka ayat ini tinggal tulisannya saja. Ada pula yang
mengatakan ayat ini khusus orang kafir dari kalangan wanita dan anak-anak,
karena mereka tidak memerangi kaum beriman. Namun kebanyakan ahli tafsir
mengatakan, hukum ayat ini masih berlaku, dengan alasan kisah Asma binti Abu
Bakar yang diizinkan Rasulullah untuk bergaul dengan baik dengan ibunya yang
masih musyrik. [40]
Benarkah ayat ini telah mansukh?
Imam Abu Ja’far bin Jarir Ath Thabari menyebutkan ada tiga tafsir para ulama
terhadap ayat ini.
Pertama,
ayat ini bercerita tentang orang-orang beriman di Mekkah dan tidak berhijrah,
maka Allah Ta’ala izinkan mereka untuk berbuat baik dan ihsan kepada
orang kafir. Inilah pendapat Mujahid.
Kedua,
ayat ini bercerita tentang orang-orang beriman di luar Mekkah dan
tidak berhijrah, maka Allah Ta’a izinkan mereka berbuat baik dan ihsan kepada orang kafir.
Ketiga,
ayat ini bercerita tentang orang musyrik yang tidak memerangi orang-orang
beriman, dan mereka juga tidak mengusir orang beriman dari negerinya, namun
ayat ini telah di nasakh setelah itu, dengan ayat perintah memerangi
orang musyrik. Inilah pendapat Ibnu Zaid dan Qatadah. Ibnu Zaid berkata: “Ayat
ini telah di nasakh, dengan perintah berperang dan kembali dengan
pedang-pedang mereka, berjihad melawan mereka dengannya, dan memenggal mereka.
Imam
Ibnu Jarir mengatakan, yang benar adalah pendapat yang pertama.
Tidak benar dikatakan bahwa ayat ini telah mansukh. Kaum beriman
tidak dilarang untuk berbuat baik dan adil terhadap orang-orang yang tidak
memerangi dan mengusir mereka, apa pun millah dan agama mereka, tetap
dibolehkan berbuat baik (Al Birr), berhubungan, dan berbuat adil kepada
mereka. Hal ini dikuatkan dengan riwayat
Ibnu Zubeir tentang Asma’ bin Abu Bakar yang ingin menemui ibunya yang masih jahiliyah
(musyrik), dan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam mengizinkan Asma
untuk menemuinya dan berbuat baik kepadanya.[41]
Imam Asy
Syaukani mengatakan bahwa Allah Ta’ala tidak melarang berbuat baik dan adil
kepada orang kafir yang telah membuat perjanjian (damai) dengan orang beriman
untuk meninggalkan perang.[42]
Artinya, perang baru ada lagi setelah mereka melanggar perjanjian dengan
menyerang kaum muslimin.
Asbabun
Nuzul ayat di atas pun, menolak pemahaman mereka. Ayat ini turun karena
Asma binti Abu Bakar ingin memberikan hadiah kepada ibunya yang masih musyrik,
tetapi dia tidak berani melakukannya sebelum ada izin dari Rasulullah Shallallahu
‘Alaihi wa Sallam, hal itu diadukan kepada ‘Aisyah, lalu turunlah ayat di
atas: ““Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan Berlaku adil
terhadap orang-orang yang tiada memerangimu ..dst.” Lalu, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa
Sallam memerintahkan Asma untuk memberikan hadiah kepada ibunya dan masuk
ke rumahnya.[43]
Dari
keterangan ini, menunjukkan bahwa peperangan kita melawan orang kafir, bukan
karena semata-mata kekafiran mereka, melainkan karena perbuatan jahat mereka
seperti yang diterangkan dalam ayat 9. Jika mereka berbuat baik, mau berdamai,
tidak mengajak berperang, tidak mengusir, maka ada tidak larangan berbuat baik
dan adil terhadap mereka. Namun, jika mereka memerangi dan mengusir orang
beriman –seperti yang dilakukan Zionis Yahudi terhadap umat Islam
Palestina- maka tidak boleh
berbuat baik dengan mereka, apa lagi kerja sama dengan mereka, dan tetap
membeli produk-produk mereka dengan alasan jual beli dengan orang hukumnya
mubah!
Jika
benar bahwa memerangi orang kafir adalah karena kekafirannya, maka tidak akan
ada izin dari Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam untuk berbuat
baik kepada orang tua yang masih musyrik.
Bahkan Allah Ta’ala tetap memerintahkan untuk berbakti kepada orang tua,
walau mereka kafir, selama tidak diperintah dalam maksiat dan kekafiran. Jika
benar bahwa memerangi orang kafir adalah karena kekafirannya, maka tidak akan
ada izin dari Allah Ta’ala atas pembolehan kaum laki-laki beriman menikahi
dengan wanita ahli kitab, dan dalam pandangan kita, ahli kitab juga kafir bukan?
Seharusnya mereka pun juga diperangi bukan dinikahi, karena mereka kafir.
Maka,
bagaimana mungkin memerangi orang kafir beralasan karena kekafirannya, padahal
Allah Ta’ala tetap mengizinkan berbuat baik (Al Birr) kepada orang tua
walau pun kafir? Seharusnya – jika konsisten dengan pendapat mereka- maka
konsekuensinya orang tua pun harus diperangi karena kekafirannya itu. Ternyata
Allah Ta’ala tetap mengizinkan berbuat baik kepada mereka.
Akhirnya,
tidak ada manfaatnya pula para ulama membagi-bagi orang kafir menjadi kafir
dzimmi dan kafir harbi, sebab baik itu dzimmi
atau harbi, keduanya tetaplah beraqidah kafir yang harus
diperangi.
Selain
ayat di atas, ayat-ayat berikut ini pun menunjukkan bahwa peperangan terjadi
karena penyerangan orang kafir terhadap umat Islam, yakni:
“Dan perangilah fisabilillah
orang-orang yang memerangi kamu, (tetapi) janganlah kamu melampaui batas” (QS. Al Baqarah (22):190)
Ada dua
pendapat dalam memahami ayat ini, sebagian ahli tafsir mengatakan surat Al
Baqarah ayat 190 ini telah di nasakh oleh surat Al Bara’ah (At
Taubah). Inilah pendapat Ar Rabi’ dan Ibnu Zaid. Namun yang lain mengatakan
ayat ini tidak di nasakh oleh ayat mana pun. Peperangan dibolehkan untuk
yang memerangi saja, bagi yang tidak ikut memerangi kita, seperti anak-anak,
wanita, orang tua, dan rahib, orang yang tidak ikut memerangi, tidak boleh
diperangi, jika diperangi juga maka itu melampaui batas. inilah hukum yang
berlaku hingga hari ini. Perang terjadi karena adanya penyerangan, jika mereka
diam kita pun diam. Demikianlah pendapat Ibnu Abbas, Umar bin Abdul Aziz, dan
Imam Ibnu Jarir mengatakan inilah pendapat yang benar.[44] Lebih jelasnya, saya kutip
ucapan Ibnu Abbas Radhiallahu ‘Anhuma:
لا
تقتلوا النساء ولا الصِّبيان ولا الشيخ الكبير وَلا منْ ألقى إليكم السَّلَمَ وكفَّ
يَده، فإن فَعلتم هذا فقد اعتديتم.
“Jangan
kalian memerangi kaum wanita, anak-anak, orang tua, orang yang menemuimu dengan
salam, dan orang yang menahan tangannya (dari memerangimu, pen).
Jika kalian melakukan itu, maka kalian telah melampaui batas.” [45]
Adapun
ayat tentang Ahli Kitab (Yahudi dan Nasrani), “Perangilah orang-orang yang
tidak beriman kepada Allah dan hari Akhir, tidak mengharamkan apa-apa yang
Allah dan RasulNya haramkan, serta tidak beragama dengan agama yang haq dari
kalangan yang telah diberikan kepada mereka Al Kitab” ..dst (QS. At Taubah:
29) oleh Syaikh Muhammad Abduh dan Syaikh Rasyid Ridha dikatakan bukan
memerangi semua Ahli Kitab, melainkan mereka yang memerangi kaum muslimin saja.
Selanjutnya,
pada ayat lainnya:
“Telah
diizinkan (berperang) bagi orang-orang yang diperangi, karena sesungguhnya
mereka telah dianiaya” (QS. Al Hajj (22):39)
Ayat ini
dengan jelas menerangkan bahwa, izin perang melawan orang musyrik baru ada
karena kaum beriman dizalimi dan diperangi. Imam Ibnu Jarir Rahimahullah
berkata:
أذن
الله للمؤمنين الذين يقاتلون المشركين في سبيله بأن المشركين ظلموهم بقتالهم.
“Allah
Ta’ala mengizinkan orang-orang beriman untuk berperang fisabilillah terhadap
orang-orang musyrik, lantaran orang-orang musyrik telah menzalimi mereka
dengan memerangi mereka.” [46]
Hal ini
juga di tegaskan oleh Abu Bakar Ash Shiddiq Radhiallahu ‘Anhu setelah
ayat ini turun, katanya:
فعرفت
أنه سيكون قتال
“Maka,
aku tahu bahwa akan terjadi perang.” [47]
Sementara Mujahid Radhiallahu
‘Anhu berkata:
أناس
مؤمنون خرجوا مهاجرين من مكة إلى المدينة، فكانوا يمنعون، فأذن الله للمؤمنين
بقتال الكفار، فقاتلوهم.
“Orang-orang beriman keluar
untuk hijrah dari Mekkah ke Madinah, tetapi orang-orang kafir mencegahnya, maka
Allah Ta’ala mengizinkan bagi orang-orang beriman untuk memerangi orang kafir,
maka mereka pun memeranginya.”[48]
Sekali
lagi apa yang dikatakan oleh Imam Mujahid – juga Imam Ibnu Jarir- menunjukkan bahwa orang beriman memerangi
orang kafir karena dilatarbelakangi permusuhan, kezaliman, dan penyerangan
mereka terhadap kaum mukminin. Maka kaum
mukminin pun membalasnya, bukan karena
faktor kekafiran mereka semata-mata. Betul, bahwa orang-orang kafir
membenci, menganiaya, mengusir dan
memerangi kaum mukmimin karena faktor
agama (lihat Al Mumatahanah ayat 9), tetapi tidak sebaliknya kita terhadap
mereka. Ini menunjukkan keluhuran agama Islam dan keunggulan Islam dibanding
mereka.
Namun pada kenyataannya nanti, peperangan
tersebut pun berimplikasi pada perang agama, sebab pada akhirnya simbolisasi
dan syiar agama tidak bisa dielakkan, seperti yang terjadi antara mujahidin
Palestina melawan Zionis Yahudi. Tujuan peperangan pun bukan karena
semata-mata faktor sebidang tanah yang bernama Palestina, atau karena membela
sebuah bangsa dan ras, tetapi lebih dari itu adalah mempertahankan eksistensi
umat Islam, meninggikan kalimat Allah Ta’ala di sana, dan inilah yang fisabilillah.
Dari
Abu Musa Al Asy’ari Radhiallahu ‘Anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu
‘Alaihi wa Sallam bersabda:
مَنْ
قَاتَلَ لِتَكُونَ كَلِمَةُ اللَّهِ هِيَ الْعُلْيَا فَهُوَ فِي سَبِيلِ اللَّهِ عَزَّ
وَجَلَّ
“Barangsiapa
yang berperang dengan tujuan meninggikan kalimat Allah, maka itulah yang
fisabilillah ‘Azza wa Jalla.”[49]
Ayat yang paling tegas dan jelas dalam
menguatkan pendapat ini adalah sebagai berikut:
“Sesungguhnya kamu dapati orang-orang yang
paling keras permusuhannya terhadap orang-orang yang beriman ialah
orang-orang Yahudi dan orang-orang musyrik. dan Sesungguhnya kamu dapati yang
paling dekat persahabatannya dengan orang-orang yang beriman ialah orang-orang
yang berkata: "Sesungguhnya Kami ini orang Nasrani". yang demikian
itu disebabkan karena di antara mereka itu (orang-orang Nasrani) terdapat
pendeta-pendeta dan rahib-rahib, (juga) karena Sesungguhnya mereka tidak
menymbongkan diri.” (QS. Al Maidah (5): 82)
Lihat,
perangnya kita dengan orang kafir Yahudi, adalah karena kerasnya permusuhan
mereka terhadap orang-orang beriman. Karena inilah kita memerangi mereka. Kita
tidak memerangi meraka dengan alasan mereka menyembah sapi betina, tidak
memerangi mereka dengan alasan mereka membunuh para nabi, tidak memerangi
mereka dengan alasan mereka telah merubah taurat, tetapi memerangi mereka
dengan alasan kerasnya permusuhan mereka terhadap kaum muslimin.
Bersama Syaikhul
Islam Ibnu Taimiyah Rahimahullah
Diantara ulama Ahlus Sunnah yang
berpendapat bahwa memerangi orang kafir adalah disebabkan permusuhan dan
penindasan mereka terhadap kaum muslimin, adalah Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah
Rahimahullah, dalam dalam buku kecil Risalah Al Qital, pada
kompilasi Majmu’ Ar Rasail An Najdiyyah.
Imam Ibnu Taimiyah membahas
masalah ini bahwa asal diwajibkannya perang dan apa yang menjadi menyebabnya.
Dia menegaskan bahwa secara realitas pendapat yang mengatakan kewajiban perang
adalah disebabkan adanya tindakan orang kafir yang melakukan tindakan
permusuhan keras terhadap Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dan
para sahabatnya. Mereka dikeluarkan dari negeri dan tempat tinggal mereka. Lalu
apakah yang menjadi penyebab peperangan itu? Apakah karena mereka itu orang
kafir atau karena mereka melakukan permusuhan?
Jika jawabannya yang pertama, maka boleh saja memerangi orang kafir
kapan saja dan di mana saja. Jika jawabannya yang kedua, maka sesungguhnya
tidak boleh bagi siapa pun untuk memerangi orang kafir kecuali jika dia melakukan
permusuhan. Sebab tidak semua orang kafir bisa diperangi. Jika sebab perang
karena seseorang statusnya yang kafir, maka hubungan antara kaum muslimin dan
orang kafir adalah hubungan perang hingga ada satu perjanjian dan kesepakatan.
Dan tentu saja setiap negeri yang tidak beragama Islam adalah negeri perang (Darul
Harb) sebelum adanya kesepakatan.
Namun jika sebab perang adalah
karena permusuhan mereka terhadap kaum muslimin, maka dasar hubungan kaum
muslimin dan non muslim adalah damai, hingga adanya hal-hal yang mendorong
terjadinya perang. Dan jika dasar hubungan kaum muslimin dan non muslim adalah
damai, maka boleh saja melakukan perjanjian yang sifatnya abadi. Sebab, makna
kesepakatan tersebut adalah kesepakatan untuk tidak saling mengganggu. Jika
asal hubungan kaum mslimin dan non muslim adalah perang, maka tidak boleh
mengadakan suatu perjanjian kecuali dalam batas tertentu.
Dengan demikian ada tiga masalah
yang saling berhubungan. Pertama, masalah perang, apakah karena
kekafiran atau karena permusuhan mereka. Kedua, dasar hubungan
antara kaum muslimin dan non muslim, apakah damai atau perang. Ketiga,
boleh tidaknya mengadakan perjanjian damai yang permanen.
Kita akan membahas masalah
pertama saja. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan ada dua pendapat tentang
apakah peperangan kita dengan orang kafir karena kakafiran mereka, atau karena
mereka memusuhi kaum muslimin.
Pertama, pendapat
jumhur seperti Imam Malik, Imam Ahmad, Imam Abu Hanifah dan yang lainnya yang
mengadakan bahwa asal diperangi orang kafir adalah karena mereka melakukan
permusuhan. Konsekuensi dari pendapat ini adalah bahwa tidak ada perang jika
tidak permusuhan. Sebab perang itu hanyalah untuk membela diri dan bukan untuk
melakukan sergapan dan penyerangan. Dan jika perang bergolak maka tidak boleh
ada pembunuhan kecuali terhadap orang-orang yang ikut berperang dan para ahli
strategi mereka. Tidak diperkenankan membunuh para wanita, pendeta ahli ibadah,
orang jompo, dan yang berpenyakit parah karena mereka tidak ikut memerangi
kaum muslimin dan tidak memiliki
pengalaman perang yang bisa diambil
manfaatnya oleh mereka sendiri.
Ringkasnya adalah, orang-orang yang tidak ikut berperang dan tidak
memerintahkan orang lain untuk berperang, serta tidak bisa diambil manfaatnya
dalam perang, mereka tidak boleh dibunuh.
Kedua,
sesungguhnya yang membolehkan seseorang itu diperangi adalah karena dia
memiliki sifat kafir dan bukan karena mereka melakukan tindakan permusuhan.
Inilah pendapat Imam Asy Syafi’i. Dengan demikian, maka setiap orang kafir yang
telah baligh boleh diperangi, baik yang mampu berperang atau tidak, baik dia
seorang yang terlibat perang atau tidak, baik yang membantu atau tidak.
Imam Ibnu Tamiyah mengatakan
pendapat jumhur adalah pendapat yang benar, yang memiliki dasar dan sandaran
kuat dari Al Quran dan As Sunnah. Beliau berkata, “Perkataan jumhur ulama dalah
pendapat yang ditetapkan oleh Al Quran dan As Sunnah.” [50]
Imam
Ibnu Taimiyah memaparkan beberapa dalil Al Quran, di antaranya:
“Dan
bunuhlah mereka di mana saja kamu jumpai mereka, dan usirlah mereka dari tempat
mereka telah mengusir kamu (Mekah); dan fitnah
itu lebih besar bahayanya dari pembunuhan, dan janganlah kamu memerangi
mereka di Masjidil haram, kecuali jika mereka memerangi kamu di tempat itu.
jika mereka memerangi kamu (di tempat itu), Maka bunuhlah mereka. Demikanlah
Balasan bagi orang-orang kafir. kemudian jika mereka berhenti (dari memusuhi
kamu), Maka Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. Dan
perangilah mereka itu, sehingga tidak ada fitnah lagi dan (sehingga) ketaatan
itu hanya semata-mata untuk Allah. jika mereka berhenti (dari memusuhi kamu),
Maka tidak ada permusuhan (lagi), kecuali terhadap orang-orang yang zalim.
Bulan Haram dengan bulan haram , dan pada sesuatu yang patut dihormati ,
Berlaku hukum qishaash. oleh sebab itu Barangsiapa yang menyerang kamu, Maka
seranglah ia, seimbang dengan serangannya terhadapmu. bertakwalah kepada Allah
dan ketahuilah, bahwa Allah beserta orang-orang yang bertakwa.”
(QS. Al Baqarah (2): 191-194)
Beliau
membahas, bahwa ayat ini menunjukkan
atas disyariatkannya perang untuk membela diri bisa dilihat dari
beberapa sisi.
Pertama:
sesungguhnya Allah Ta’ala berfirman: “Dan perangilah di jalan Allah terhadap
orang-orang yang memerangi kamu,” dengan demikian kebolehan berperang untuk
kaum muslimin adalah karena adanya serangan dari pihak lain. Inilah alasan
dibolehkannya perang itu.
Kedua:
firman Allah Ta’ala dalam ayat itu yang mengatakan, “dan janganlah kamu
melampaui batas ,” ayat ini menerangkan bahwa memerangi orang yang tidak
memerangi kita, atau orang-orang yang tidak pantas diperangi, adalah tindakan
permusuhan yang terlarang.
Ketiga:
seseungguhnya Allah Ta’ala menjadikan puncak dari perang adalah mencegah
fitnah. Allah Ta’ala berfirman, “Dan perangilah mereka itu, sehingga tidak
ada fitnah lagi dan (sehingga) ketaatan itu hanya semata-mata untuk Allah.”
Dengan demikian, jelas bagi kita semua, tentang pendorong dan tujuan akhir dari
perang. Pendorongnya adalah permusuhan yang menimbulkan fitnah, sedangkan
tujuan akhirnya adalah penghentian fitnah. Demikian.
Syaikhul
Islam Ibnu Taimiyah membantah pihak yang menilai bahwa ayat in telah di nasakh
(dihapus hukumnya dan telah diganti dengan hukum lain), beliau membantah satu
persatu alasan mereka, hingga akhirnya dia mengatakan bahwa pendapat yang
mengatakan ayat ini telah di nasakh adalah pendapat yang lemah. Beliau
berkata: “Sesungguhnya anggapan bahwa ayat ini mansukh adalah perkataan yang
membutuhkan dalil. Sebab di dalam Al Quran tidak ada satu ayat pun yang
bertentangan dengan ayat ini. Semua ayatnya sepakat dengan ayat ini. Lalu
manakah ayat yang menghapusnya (nasikh)?”
[51]
Menurutnya
adalah hal yang aneh, jika larangan ‘jangan melampaui batas’ di hapus, tetapi
mereka justru mengatakan, “Sesungguhnya
melampaui batas itu adalah satu kezaliman dan Allah tidak menyukai kezaliman.”
Imam Ibnu Taimiyah juga berdalil dengan ayat lain, yakni:
“Tidak
ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam); Sesungguhnya telah jelas jalan yang
benar daripada jalan yang sesat. “ (QS. Al Baqarah (2):
256)
Ayat
ini bersifat umum. Seandainya perang itu adalah karena kekafiran seseorang,
maka pastilah perang merupakan paksaan untuk masuk Islam. Imam Ibnu Taimiyah
berkata, “Sesungguhnya kami tidak pernah memaksa orang lain untuk masuk Islam.
andai seseorang diperangi agar dia masuk Islam, maka hal itu merupakan
pemaksaan paling besar terhadap orang lain untuk masuk Islam.”
Syaikhul
Islam Ibnu Taimiyah membantah pihak yang mengatakan bahwa ayat ini telah di nasakh.
Beliau mengatakan: “Semua ulama salaf mengatakan bahwa ayat ini tidak bersifat
khusus dan tidak pula mansukh. Bahkan mereka mengatakan bahwa kami tidak
pernah melakukan pemaksaan kepada orang lain untuk masuk ke dalam Islam. Kami
akan memerangi orang-orang yang memerangi kami, dan jika mereka masuk Islam,
maka darah dan harta mereka terlindungi. Jika dia bukan dari orang yang pantas
untuk diperangi, maka kami tidak akan memeranginya dan kami tidak akan
memaksakannya untuk masuk ke dalam Islam.” [52]
Syaikhul
Islam juga memaparkan dalil-dalil dari As Sunnah. Dikisahkan bahwa Rasulullah Shallallahu
‘Alaihi wa Sallam penah melewati seorang wanita yang terbunuh. Saat itu
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda, “Tidak sepantasnya
wanita ini diperangi dan dibunuh.” Dari sini jelaslah bahwa sebab larangan
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam membunuh wanita itu adalah
karena dia tidak ikut perang. Dengan demikian, perang yang mereka lakukanlah
sebagai pendorong bagi kita untuk memerangi mereka.
Rasulullah Shallallahu
‘Alaihi wa Sallam selalu memperingatkan kepada tentaranya yang akan
berangkat perang agar tidak membunuh siapa pun kecuali mereka yang ikut
berperang. Beliau bersabda: “Berangkatlah kalian dengan menyebut nama Allah,
bersama Allah dan selalu tetap di atas agama Rasulullah. Jangan membunuh orang
jompo, anak-anak, dan wanita. Janganlah kalian melampaui batas, kumpulkanlah
harta rampasan kalian, berbuat baiklah sesungguhnya Allah senang terhadap orang
yang berbuat baik.”
Nabi juga pernah menawan
laki-laki dan perempuan musyrikin, tetapi beliau tidak pernah memaksa mereka
untuk masuk agama Islam. Bahkan Rasulullah pernah berbuat baik kepada musyrikin
yang ditawan, Tsumamah bin Utsal. Rasulullah tidak memaksanya untuk masuk
Islam, hingga akhirnya ia sadar sendiri
untuk masuk Islam. Hal ini juga dilakukan Rasulullah dalam menyikapi tawanan
perang Badar.
Syaikhul Islam mengatakan,
“Sirah Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam menunjukkan kepada kita,
bahwa siapa saja yang mengangkat kesepakatan dengannya, maka dia tidak akan
pernah memeranginya. Kitab-kitab sirah, hadits, tafsir, dan kisah-kisah
peperangan Rasulullah membuktikan hal itu, berita tentang hal ini telah menjadi
berita yang hampir semua orang tahu. Bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa
Sallam tidak pernah memulai peperangan dengan siapa pun.” [53]
Demikianlah. Maka, pendapat yang
menyebutkan bahwa peperangan umat Islam dengan orang kafir (termasuk Yahudi),
adalah karena faktor permusuhan dan penyerangan mereka terhadap kaum muslimin,
adalah pendapat yang kuat. Inilah pendapat jumhur (mayoritas) ulama,
seperti Imam Abu Hanifah, Imam Malik, dan Imam Ahmad bin Hambal, lalu dikuatkan
oleh Imam Ibnu Taimiyah. Pendapat inilah yang difatwakan oleh Syaikh Hasan Al
Banna dan Syaikh Yusuf Al Qaradhawi, namun sayangnya pendapat ini disebut oleh
sebagian kalangan sebagai fatwa yang jahat. Laa haulaa walaa quwwata illa
billah...
Berperang
Karena Membela Palestina dan Al Aqsha
Sebagian
manusia juga ada yang melecehkan hal ini, kata mereka, perang saat ini karena
sebidang tanah! Kami sudah katakan sebelumnya, peperangan kita adalah lebih
tinggi dari itu yaitu mempertahankan eksistensi umat Islam dan meninggikan
kalimat Allah Ta’ala di sana.
Namun,
perang karena membela Palestina dan Al Aqsha juga bukan kesalahan, dan tidak
juga dikatakan bukan jihad, dan jika terbunuh bukan syahid. Tidak demikian!
Sebab Allah Ta’ala telah memuliakan wilayah tersebut, memberkahinya, serta
tempatnya para nabi dan shalihin.
Allah
Ta’ala berfirman:
“Maha suci Allah, yang telah
memperjalankan hamba-Nya pada suatu malam dari Al Masjidil Haram ke Al
Masjidil Aqsha yang telah Kami berkahi sekelilingnya agar Kami perlihatkan
kepadanya sebagian dari tanda-tanda (kebesaran) kami. Sesungguhnya Dia adalah
Maha mendengar lagi Maha mengetahui.” (QS. Al Isra’ (17): 1)
Berkata Imam Ali Asy Syaukani Rahimahullah tentang
makna “telah Kami berkahi sekelilingnya”:
بالثمار
والأنهار والأنبياء والصالحين ، فقد بارك الله سبحانه حول المسجد الأقصى ببركات
الدنيا والآخرة
“Dengan
buah-buahan, sungai, para nabi dan shalihin, maka Allah Subhanahu wa Ta’ala
telah memberikan keberkahan di sekitar masjid Al Aqsha dengan keberkahan dunia
dan akhirat.”[54]
Dari Abu
Sa’id Al Khudri Radhiallahu ‘Anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu
‘Alaihi wa Sallam bersabda:
لَا تَشُدُّوا
الرِّحَالَ إِلَّا إِلَى ثَلَاثَةِ مَسَاجِدَ مَسْجِدِي هَذَا وَالْمَسْجِدِ
الْحَرَامِ وَالْمَسْجِدِ الْأَقْصَى
“Janganlah
kalian bersungguh-sungguh untuk melakukan perjalanan kecuali menuju ke tiga
masjid: masjidku ini (masjid nabawi), masjid Al Haram, dan masjid Al Aqsha.”[55]
Maka,
berperang mempertahankan bumi Palestina, yang di dalamnya terdapat Al Aqsha
yang diberkahi sekelilingnya, shalat di dalamnya lebih utama 500 kali dibanding
di masjid lain (kecuali Masjidl Haram dan Masjid An Nabawi), kiblat pertama
umat Islam, bumi dilahirkannya para nabi, dan tanah waqaf Umar bin Al Khathab
kepada umat Islam, jelas adalah suatu kemuliaan. Jadi, sungguh terlalu dan melampaui batas jika ada orang
yang melecehkan perjuangan saudaranya karena membela bumi Palestina dengan
alasan ini.
Rasulullah
Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam telah menetapkan, orang yang
mempertahankan harta pribadi dan membela keluarga adalah syahid, maka apalagi
mempertahankan bumi yang diberkahi ini, milik kaum muslimin -bukan milik
pribadi- dan segudang keutamaan lainnya.
Dari
Ibnu Umar Radhiallahu ‘Anhuma, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa
Sallam bersabda:
مَنْ قُتِلَ
دُونَ مَالِهِ فَهُوَ شَهِيدٌ
“Barangsiapa
yang dibunuh karena hartanya, maka dia syahid.”[56]
Dari
Sa’id bin Zaid Radhiallahu ‘Anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu
‘Alaihi wa Sallam bersabda:
مَنْ قُتِلَ
دُونَ مَالِهِ فَهُوَ شَهِيدٌ وَمَنْ قُتِلَ دُونَ دِينِهِ فَهُوَ شَهِيدٌ وَمَنْ
قُتِلَ دُونَ دَمِهِ فَهُوَ شَهِيدٌ وَمَنْ قُتِلَ دُونَ أَهْلِهِ فَهُوَ شَهِيدٌ
“Barangsiapa yang dibunuh karena
hartanya maka dia syahid, barangsiapa dibunuh karena agamanya maka dia syahid,
barangsiapa yang dibunuh karena darahnya maka dia syahid, barangsiapa yang
dibunuh karena membela keluarganya maka dia syahid.”[57]
Para
ulama mengomentari hadits ini:
قال
العلماء:المراد بشهادة هؤلاء كلهم، غير المقتول في سبيل الله، أنهم يكون لهم في
الآخرة ثواب الشهداء، وأما في الدنيا، فيغسلون، ويصلى عليهم.
“Yang dimaksud adalah syahadah
(mati syahid) bagi mereka semua, bukan
karena terbunuh di jalan Allah, dan sesungguhnya bagi mereka di akhirat akan
mendapatkan ganjaran syuhada, ada pun di dunia mereka tetap dimandikan dan dishalatkan.”[58]
Maka,
beberapa keterangan dari Al Quran, Al Hadits, dan para ulama, menunjukkan bahwa
bukan aib dan cela, bahkan merupakan sebuah keutamaan dan tidak mengurangi
nilai kesyahidan, jika seorang mujahidin berperang karena membela bumi yang
diberkahi, Al Aqsha dan disekitarnya (Palestina), bumi para nabi dan kiblat
pertama umat Islam. Tentunya, lebih utama hendaknya dibarengi niat li i’la
kalimatillah (demi meninggikan kalimat Allah Ta’ala). Memang demikianlah perjuangan para mujahidin.
Wallahu A’lam
[3] Imam Abdurrahman
Syaikhi Zaadah, Majma’ al Anhar fi Syarh Multaqa al Ab-har, Juz. 4, Hal. 278. Syamilah
[5]
Imam Abdurrahman Syaikhi Zaadah, Majma’ al Anhar fi Syarh Multaqa al
Ab-har, Juz. 4, Hal. 278. Syamilah
[8] Imam Ibnu Hajar, Fathul
Bari, Juz. 8, Hal. 365. Imam Asy Syaukani, Nailul Authar, Juz. 11,
Hal. 483. Syamilah
[9] HR. Muslim, Kitab Al Imarah Bab
Dzam Man Maata wa lam Yaghzu …, Juz. 10, Hal. 19 No hadits. 3533. Syamilah
[10] HR. Bukhari, Kitab Al Jihad was
Siyar Bab Fadhl Al Jihad was Siyar, Juz. 9, Hal. 345, No hadits. 2575. Syamilah
[11] HR. Bukhari, Kitab Al Jihad was
Siyar Bab Afdhalun Nas …., Juz. 9, Hal. 349, No hadits. 2578. Syamilah
[12] HR. Muslim, Kitab
Al Imarah Bab Fadhlu Asy Syahadah fi sabilillahi Ta’ala, Juz. 9, Hal. 458,
No hadits. 3490. Syamilah
[15] Beliau adalah Hasan bin Ahmad bin
Abdurrahman Al Banna. Lahir 1906M di Mahmudiyah, dekat kota Iskandariah, Mesir.
Ayahnya adalah seorang ulama hadits yang juga tukang jam, oleh karena itu
ayahnya dijuluki As Sa’ati. Beliau telah hafal Al Quran di usia 13
tahun. Setelah menyelesaikan kuliah di Darul Ulum, melanjutkan profesinya mengajar di sekolah tingkat dasar.
Sejak kecil dan masa remaja sudah aktif dalam upaya amar ma’ruf nahi munkar
dengan mendirikan lembaga dakwah di sekolah. Semangat dan ide cemerlang
dakwahnya semakin bersinar ketika mendirikan gerakan Al Ikhwan Al Muslimun,
tahun 1928M, sebuah gerakan Islam yang diantara cita-citanya adalah
mengembalikan Islam sebagai soko guru dunia, yang saat ini menjadi gerakan
Islam terbesar di abad modern. Banyak tokoh ulama, profesional, mahasiswa,
pelajar, kaum wanita, dan lain-lain yang bergabung dengan gerakan ini. Selama
hidupnya dia sedikit menghasilkan karya tulis, sebab kesibukkannya membina
masyarakat, sampai-sampai dia mengunjungi lebih dari 2000 desa untuk
menyadarkan umat Islam (khsusnya Mesir). Ketika ditanya, kenapa tidak menulis
buku padahal dia punya kemampuan untuk itu?, beliau menjawab: Aku lebih suka
mencetak manusia, dibanding menulis buku. Sebab buku pada akhirnya tergeletak
di rak dan tidak dipedulikan, sedangkan mencetak manusia akan lebih bermanfat
langsung bagi masyarakat. Apa yang dikatanyya ini menjadi kenyataan,
ditangannyalah (dan juga pengaruh tulisannya) lahir para ulama, mujahid, dan
para pemikir Islam abad ini, seperti Sayyid Quthb, Abdul Halim Abu Syuqqah,
Abdul Halim Hamid, Mahmud Abdul Halim,
Abdul Qadir ‘Audah, Muhammad Al Ghazali, Yusuf Al Qaradhawi, Jum’ah Amin
Abdul Aziz, Abdul Majid Az Zindani, Abdul Karim Zaidan, Abdurrazzaq ‘Afifi, Ali
Al Khafif, Rasyid Al Ghanusyi, Ahmad Ar Raisuni, Abdussalam Yasin, Taufiq Yusuf Al Wa’i, Manna’ Khalil Al
Qaththan, Ahmad ‘Asal, Abdullah ‘Azzam, Ahmad Yassin, Marwan Hadid, Fathi
Yakan, Abdullah Nashih ‘Ulwan, Said Ramadhan Al Buthi, dan lainnya. Beliau
wafat sebagai syahid –Insya Allah- ditembak oleh kaki tangan
mush-musuhnya di depan kantor organisasi Syubbanul Muslimin, pada malam
hari 12 Februari 1949M. Berkata Syaikh Al Albani Rahimahullah:
“Dahulu
saya memiliki (ucapan tidak jelas) Al Kitabiyah At Tahririyah,
bersama Al Ustadz Asy Syaikh Hasan Al Banna Rahimahullah barangkali
sebagian kalian –sebagian hadirin diantara kalian- ingat ketika majalah Al
Ikhwan Al Muslimun terbit di Kairo, yang diterbitkan oleh penerbitan Jamaah
Al Ikhwan Al Muslimin. Saat itu Al Ustadz Sayyid Sabiq pertama kali
menyebarkan artikelnya tentang Fiqhus Sunnah, setelah itu artikel ini
menjadi tulisan yang bermanfaat bagi kaum muslimin dengan mengambil metode dalam Fiqih Islam, sesuai metode Al
Quran dan As Sunnah.
Artikel
ini pada akhirnya menjadi kitab Fiqhus Sunnah yang dikarang Sayyid
Sabiq, saya pun mulai menela’ahnya, yakni ketika dia terkumpul menjadi buku.
Saya memulai memberikan beberapa catatan, lalu saya menulisnya di Majalah, saya
meminta mereka untuk menyebarkan dan memperbanyaknya, bukan hanya ini, bahkan
sampai kepada saya tulisan yang memotivasi dari Syaikh Hasan Al Banna Rahimahullah,
tetapi betapa saya sangat menyesali bahwa tulisan tersebut hilang, saya tidak
tahu kemana sisanya ….
Kemudian
kita selalu berbicara tentang Hasan Al Banna Rahimahullah, maka saya
katakan kepada saudara-saudaraku, saudara-saudara salafiyin, di depan semua
kaum muslimin: seandainya Syaikh Hasan Al Banna –rahimahullah- tidak
memiliki jasa dan keutamaan terhadap para pemuda muslim selain bahwa beliau
menjadi sebab yang mengeluarkan mereka dari tempat-tempat hiburan, bioskop dan
kafe-kafe yang melalaikan, lalu mengumpulkan dan mengajak mereka di atas dakwah
yang satu, yakni dakwah Islam, -seandainya beliau tidak memiliki lagi
keutamaan kecuali hanya perkara ini-, maka ia sudah cukup sebagai satu
keutamaan dan kemuliaan. Ini saya katakan bersumber dari sebuah keyakinan,
dan bukan untuk mencari muka dan tidak pula sekedar basa-basi". (Lihat
kitab Mudzakarah Al Watsaiq Al Jaliyyah, Hal. 50. Maktabah Al Misykah)
[16] Imam Abdurrahman Syaikhi Zaadah, Majma’ al Anhar fi Syarhi Multaqa al Ab-har, Juz. 4, Hal. 278. Syamilah
[17] HR. Muslim, Kitab
Al Jihad was Siyar Bab Ta’mir Al Imam Al Umara ‘ala Al Bu’utsi wa Washiyyatihi
…, Juz. 9, Hal. 150, No hadits. 3261. At Tirmidzi, Kitab As Siyar ‘an
Rasulillah Bab Maa Ja’a fi Washiyyatihi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam fil Qital,
Juz. 6, Hal. 156, No hadits. 1542. Ibnu
Majah, Kitab Al Jihad bab Washiyyah Al Imam, Juz. 8, Hal. 390, No
hadits. 2848. Ahmad, Juz. 47, Hal. 4, No hadits. 21952. Syamilah
[18] HR. Bukhari, Kitab Al ‘Itqu Bab
Idza Dharaba Al ‘Abda Falyajtanib Al Wajha,
Juz. 8 Hal. 496, No hadits. 2372.
Muslim, Kitab Al Birru was Shilah Wal Aadab Bab An Nahyi ‘an Dharbil Wajhi, Juz. 13, Hal. 26, No hadits. 4728. Syamilah
[22] HR. An Nasa’i, Kitab
Manasik Al Haj Bab Fadhlul Haj, Juz. 8, Hal. 442, No hadits. 2579. Ahmad,
Juz. 19, Hal. 124, No hadits. 9081. Riwayat Ahmad tidak ada kata “anak-anak”.
Imam al Haitsami mengatakan dalam Majma’ az Zawaid, Juz. 3, Hal. 206: “Rijalnya
shahih.” Syaikh Al Albani mengatakan
dalam Shahih wa Dhaif Sunan An Nasa’i, Juz. 1, Hal. 61, No hadits. 2626:
“Hasan.” Al Maktabah Asy Syamilah
[24] HR. Abu Daud
No. 4344. At Tirmidzi No. 2265, katanya: hasan gharib. Ahmad No. 10716,
dalam lafaz Ahmad tertulis: “Kalimatul
haq ..(perkataan yang benar). Ibnu Majah No. 4011
[25] Misykah Al Mashabih, No. 3705. As Silsilah Ash Shahihah, No. 491. Shahih
wa Dhaif Sunan Abi Daud No. 4344
[26] HR. Al Hakim, Al
Mustdarak-nya, Ia nyatakan shahih, tetapi
Bukhari-Muslim tidak meriwayatkannya.
Adz Dzahabi menyepakatinya. Syaikh Al Albany mengatakan hasan,
dia memasukkannya dalam kitabnya As Silsilah Ash Shahihah, No. 374
[28] HR. At Tirmidzi, No. 1421, katanya: hasan
shahih. Abu Daud, No. 4177. An Nasa’i,
No. 4095. Ahmad, Juz. 4, Hal. 76, No. 1565. Dishahihkan oleh
Syaikh Al Albani dalam Shahih At Targhib wat Tarhib, Juz. 2, Hal. 75,
No. 1411
[29] HR. Bukhari, Mawaqitus
Shalah Bab Fahdlu Ash Shalah Liwaqtiha, Juz. 2, Hal. 353, No hadits. 496.
Muslim, Kitab Al Iman Bab Bayan Kaunil Iman Billahi Ta’ala Afdhalul A’mal,
Juz. 1, Hal. 233, No hadits. 120. Syamilah
[30] HR. Bukhari, Kitab Al Jihad was
Siyar Bab Al Jihad bi idzni Abawain, Juz. 10, Hal. 188, No hadits.
2782. Muslim, Kitab Al Bir wash
Shilah wal Adab Bab Birrul Walidain wa
annahuma Ahaqqu bihi, Juz. 12, hal. 390, No hadits. 4623. Syamilah
[31] Imam Al
‘Iraqi, Takhrijul Ihya’, Juz. 6 Hal. 216. No hadits. 2567. Markaz Nur Al
Islam Li Abhats Al Quran was Sunnah Iskandariah. Syamilah
[32] Syaikh Muhammad
Nashiruddin Al Albani, Silsilah Adh Dha’ifah, Juz. 5, Hal 459, No
hadits. 2460. Syamilah
[33] Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albani, Silsilah Adh
Dha’ifah, Juz. 5, Hal 459, No hadits. 2460. Syamilah
[35] HR. Abu Daud, Kitab Al Malahim Bab Al Amru wan Nahyu,
Juz. 11, Hal. 419, No hadits. 3781. At Tirmidzi, Kitab al Fitan ‘an
Rasulillah Bab Maa Jaa’a Afdhalul Jihad …, Juz. 8, hal. 83, No hadits.
2100. Katanya: hadits ini hasan gharib. Ibnu Majah, Kitab Al Fitan
Bab Al Amru bil Ma’ruf wan nahyu ‘anil Munkar, Juz.12 Hal. 15, No hadits.
4001. Ahmad, Juz. 22 Hal. 261, No hadits. 10716. Dalam riwayat Ahmad tertulis Kalimatul
haq (perkataan yang benar). Syamilah
[36] Lihat Misykah al Mashabih, Kitab
Al Imarah wal Qadha – Al Fashlu al Awal, Juz. 2, Hal. 343, No hadits. 3705.
Syamilah
[37] HR. Bukhari, Kitab Al Haj Bab
Fadhlu Al Haj al Mabrur, Juz. 5 Hal. 399, No hadits. 1423. Syamilah
[40]
Imam Al Qurthubi, Jami’ Li Ahkamil Quran, Juz. 18, Hal. 15
[41]
Imam Abu Ja’far Ath Thabari, Jami’ Al Bayan fi Ta’wilil Quran,
Juz. 23, Hal. 322-323
[42] Imam Asy Syaukani, Fathul Qadir,
Juz. 7, Hal. 205. Syamilah
[43] Imam Abu Ja’far bin Jarir Ath
Thabari, Jami’ Al Bayan fi Ta’wilil Quran, Juz. 23, Hal. 322. Imam Ibnu
Katsir, Tafsir Al Quran Al ‘Azhim, Juz. 8, Hal. 90
[45] Ibid, Juz. 3, Hal. 563
[46] Imam Abu Ja’far bin Jarir Ath Thabari,
Jami’ Al Bayan fi Ta’wilil Quran, Juz. 18, Hal. 642
[47] Ibid, Juz. 18, Hal. 644
[48] Ibid, Juz. 18, Hal. 645
[49] HR. Bukhari, Kitab
Al ‘Ilmu Bab Man Sa’ala wa Huwa Qa’imun
‘Aliman Jalisan, Juz. 1, Hal. 209, No. 120. Muslim, Kitab Al
Imarah Bab Man Qaatala Litakuna Kalimatallah Hiyal ‘ulya Fahuwa fi sabilillah,
Juz. 10, Hal. 6, No. 3525
[50] Risalah Al Qital, Hal. 116
[51] Ibid, Hal. 118
[52] Ibid, Hal. 123
[53] Ibid, Hal. 125
[55] HR. Muslim, Kitab Al Hajj Bab Safar
Al Mar’ah ma’a Mahram ilaa Hajji wa Ghairih, Juz. 7, Hal. 46, No. 2383
[56] HR. Bukhari, Kitab Al Mazhalim wal Ghashbi Bab Man Qaatala
Duuna Malihi, Juz. 8, Hal. 377, No. 2300 .
[57] HR. At Tirmidzi,
Kitab Ad Diyat ‘An Rasulillah Bab Maa Ja’a fiman Qutila Duuna Malihi fahuwa
Syahid, Juz. 5, Hal. 315, No. 1341, katanya: hasan shahih. Abu Daud,
Kitab As Sunnah Bab Fi Qitaalil Lushush, Juz. 12, Hal. 388, No. 4142. An
Nasa’i, Kitab Tahrim Ad Dam Bab Man Qaatala Duuna Diinihi, Juz. 12, Hal.
465, No. 4027. Ahmad, Juz. 4, Hal. 76,
No. 1565. Dishahihkan oleh Syaikh Al Albani dalam Shahih At Targhib wat
Tarhib, Juz. 2, Hal. 75, No. 1411
No comments:
Post a Comment