Pertanyaan:
Assalamualaikum.
Ustad, ana ada beberapa pertanyaan.
Ustad, ana ada beberapa pertanyaan.
Di sebuah
Musholla, dekat dengan rumah ana, ada sebuah kajian islam "salafy".
Kami sebagai warga tidak keberatan dengan adanya kegiatan - kegiatan keislaman seperti itu.
Namun yang menjadi keberatan hati kami adalah pemberi taujih / ustad yang membawa materi
tersebut. Mohon maaf ustad, kami menilai keilmuan dalam
bidang fikih ustad tsb "tidak mumpuni"/ kalau boleh sy bilang sangat
tidak menguasai fkih, dan kadang cendrung salah dalam menerakan fikih. Hal ini kami rasakan ketika sang ustad menjadi imam di tempat
tersebut. Ternyata bacaan Quran ustad tersebut sangat "belepotan",
tidak puguh panjang - pendeknya dan makhrojul hurufnya.
Pertanyaannya stad :
Pertanyaannya stad :
1. Bagaimana dipandang dalam syariat bila kita ber imam kepadaUstad
tersebut. sedangkan bacaannya sangat tidak memadai !
2. Dalam kajian tersebut, a juga mengajarkan tentnag bacaan qur'an.
Bagaimana mungkin ia bisa mengajarkan al Quran bila bacaannya masih seperti itu
? Bagaimana hukumnya bila menutut ilmu dari Ustad
yang pemahamanya dan bacaan quranya sangat kurang memadai. Kami berharap ustad
dapat memebrikan pencerahan kepada kami.Jazakallah khair.
(Muhamad Abduh)
Jawaban:
Wa ‘Alaikum salam wa rahtullah wa barakatuh
Bismillah wal hamdulillah wash shalatu was salamu ‘ala rasulillah wa ‘ala
aalihi wa ashhabihi wa ba’du:
Sangat disayangkan jika itu terjadi, sebab orang
tersebut telah menjadikan dirinya melebihi keadaan sebenarnya. Sebenarnya
memang hal seperti ini sudah diisyaratkan oleh Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa
Sallam, akan datangnya manusia yang menuntut ilmu kepada kaum yang tidak
seharusnya diambil ilmunya.
Dari Abdullah bin Amr bin Al Ash
Radhiallahu ‘Anhuma, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam
bersabda:
إنَّ اللَّهَ لَا
يَقْبِضُ الْعِلْمَ انْتِزَاعًا يَنْتَزِعُهُ مِنْ الْعِبَادِ وَلَكِنْ يَقْبِضُ
الْعِلْمَ بِقَبْضِ الْعُلَمَاءِ حَتَّى إِذَا لَمْ يُبْقِ عَالِمًا اتَّخَذَ
النَّاسُ رُءُوسًا جُهَّالًا فَسُئِلُوا فَأَفْتَوْا بِغَيْرِ عِلْمٍ فَضَلُّوا
وَأَضَلُّوا
“Sesungguhnya
Allah tidaklah mencabut ilmu begitu saja dari para hambanya, tetapi Dia
mencabut ilmu dengan diwafatkannya para ulama, hingga akhirnya tidak tersisa
ulama, dan manusia menjadikan tokoh-tokoh yang bodoh, lalu mereka bertanya
kepada tokoh-tokoh itu, dan mereka menjawab (berfatwa) tanpa ilmu, maka mereka
tersesat dan menyesatkan.” (HR. Bukhari No. 100 dan Muslim No. 2673)
Juga dalam riwayat lainnya, dari Abu
Hurairah Radhiallahu ‘Anhu, bahwasanya Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi
wa Sallam bersabda:
سَيَأْتِي عَلَى النَّاسِ
سَنَوَاتٌ خَدَّاعَاتُ يُصَدَّقُ فِيهَا الْكَاذِبُ وَيُكَذَّبُ فِيهَا الصَّادِقُ
وَيُؤْتَمَنُ فِيهَا الْخَائِنُ وَيُخَوَّنُ فِيهَا الْأَمِينُ وَيَنْطِقُ فِيهَا
الرُّوَيْبِضَةُ قِيلَ وَمَا الرُّوَيْبِضَةُ قَالَ الرَّجُلُ التَّافِهُ فِي
أَمْرِ الْعَامَّةِ
“Akan datang
kepada manusia tahun-tahun kebohongan, saat itu
pendusta dibenarkan, orang benar malah didustakan, pengkhianat diberikan
amanah, sementara orang yang amanah malah dikhianati, dan saat itu para Ar
Ruwaibidhah berbicara.” Dikatakan: “Apakah Ar Ruwaibidhah itu?” Beliau
bersabda: “Seorang bodoh tapi membicarakan urusan orang banyak.” (HR. Ibnu Majah No. 4036, Syaikh Al Albani mengatakan:
shahih. As Silsilah Ash Shahihah No. 1887)
Dari Abu Umayyah Al Jumahi Radhiallahu
‘Anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
إن من أشراط الساعة ثلاثة إحداهن أن يلتمس العلم
عند الأصاغر
“Sesungguhnya di antara tanda-tanda
kiamat ada tiga, salah satunya adalah menuntut ilmu kepada Al Ashaghir. (HR.
Ath Thabarani dalam Al Kabir No. 908, Abu Nu’aim dalam Ma’rifatush
Shahabah No. 6077, Syaikh Al Albani mengatakan: shahih. Lihat
Shahihul Jami’ No. 2207)
Siapakah Al Ashaghir (orang-orang
kecil) ? Imam Abdullah bin Al Mubarak Rahimahullah
mengatakan:
الذين يقولون برأيهم، فأما صغير يروي
عن كبير فليس بصغير
“Orang-orang yang mengutarakan pendapat
dengan pendapat mereka semata, ada pun orang kecil yang meriwayatkan dari orang
besar (ulama), dia bukanlah shaghir yang dimaksud. (Imam Ibnu Abdil Bar, Jami’
Bayan Al ‘Ilmi wa Fadhlihi, 1/312. Cet. 1, 2003M-1424H. Muasasah Ar Rayyan
– Dar Ibnu Hazm)
Selanjutnya tentang dua point
pertanyaan antum:
1. Jika kita mengalami ini, maka ketahuilah
kekurangan imam, atau bahkan kesalahan fatal imam, semuanya ditanggung oleh
imam itu sendiri, dan tidaklah ditanggung oleh makmum.
Hal ini berdasarkan beberapa dalil berikut:
Allah
Ta’ala berfirman:
أَلَّا تَزِرُ وَازِرَةٌ وِزْرَ
أُخْرَى وَأَنْ لَيْسَ لِلْإِنْسَانِ إِلَّا مَا سَعَى
(yaitu)
bahwasanya seorang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain. dan
bahwasanya seorang manusia tiada memperoleh selain apa yang telah diusahakannya. (QS. An Najm : 38-39)
Ayat
lain:
كُلُّ نَفْسٍ بِمَا كَسَبَتْ رَهِينَةٌ
“Tiap-tiap diri bertanggung jawab atas apa yang telah
diperbuatnya.” (QS. Al Mudatsir (74): 38)
Dalam hadits:
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُصَلُّونَ بِكُمْ فَإِنْ أَصَابُوا فَلَكُمْ وَلَهُمْ وَإِنْ
أَخْطَئُوا فَلَكُمْ وَعَلَيْهِمْ
Dari Abu Hurairah dia berkata, bahwa Rasulullah Shallallahu
‘Alaihi wa Sallam bersabda: “Mereka shalat sebagai imam bagi kalian, maka
jika mereka benar, pahalanya bagi kalian dan mereka, dan jika mereka salah,
maka pahalanya untuk kalian, dosanya ditanggung mereka.” (HR. Bukhari No. 694)
Sahl berkata:
إِنِّي
سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ الْإِمَامُ
ضَامِنٌ فَإِنْ أَحْسَنَ فَلَهُ وَلَهُمْ وَإِنْ أَسَاءَ يَعْنِي فَعَلَيْهِ وَلَا
عَلَيْهِمْ
“Sesungguhnya aku mendengar, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa
Sallam bersabda:”Imam itu adalah penanggung jawab, jika dia benar, maka
pahalanya bagi dia dan bagi makmum, jika dia salah, maka tanggung jawabnya
adalah kepadanya, bukan kepada makmum.” (HR. Ibnu Majah No. 981, Syaikh
Al Albani mengatakan: shahih. Lihat Shahih wa Dhaif Sunan Ibni Majah No. 981)
Berkata Syaikh Sayyid Sabiq
Rahimahullah:
تصح إمامة من أخل بترك شرط أو ركن إذا أتم المأموم وكان غير
عالم بما تركه الامام
“Bermakmum kepada orang yang tertinggal syarat dan rukun shalat
adalah sah, dengan syarat makmum tidak tahu kesalahan tersebut dan dia
menyempurnakan apa-apa yang ditinggalkan oleh imam.” (Fiqhus
Sunnah, 1/241)
3. Ya, dalam perkara ini sudah sangat jelas, bahwa
orang tersebut sedang mengajarkan sesuatu yang dia sendiri masih banyak
belajar. Kita berbaik sangka, barangkali orang tersebut memiliki ghirah yang tinggi terhadap
agama. Namun ada baiknya dia melihat dulu kemampuannya agar tidak timbul kesan sok
(sombong) dan tidak tahu diri. Ahsannya, pihak mushalla atau masjid,
mencarikan guru lain yang lebih memiliki kompetensi dibandingnya. Tentu amat
berbahaya mengambil ilmu agama dari orang yang sebenarnya belum layak
mengajarkanya. Bukan hanya orang itu, tentunya kita semua masih belajar.
Wallahu A’lam
No comments:
Post a Comment