Pertanyaan:
Assalamu ‘Alaikum ...... Ustadz, masalah sunat perempuan
‘kan ada bbrp pandangan ... WHO sendiri sudah tidak rekomend sunat perempuan,
kalau kemenkes mensyaratkan tenaga medis yang melakukan sunat harus
bersertifikat kemenkes. Beberapa artikel menyebutkan jika perempuan tidak
disunat syahwatnya akan tinggi. Sebaiknya gimana ya? (08111885xxx)
Jawaban:
Wa ‘Alaikum Salam wa
Rahmatullah wa Barakatuh.
Bismillah wal Hamdulillah wash Shalatu was Salamu
‘Ala Rasulillah wa ‘Ala Aalihi wa Ashhabihi wa Man waalah wa ba’d:
Khitan merupakan salah satu millah
(ajaran) Nabi Ibrahim ‘Alaihis Salam, yang Allah Ta’ala perintahkan agar
kita mengikutinya. Allah Ta’ala berfirman:
ثُمَّ أَوْحَيْنَا
إِلَيْكَ أَنِ اتَّبِعْ مِلَّةَ إِبْرَاهِيمَ حَنِيفًا وَمَا كَانَ مِنَ
الْمُشْرِكِينَ
“Kemudian Kami wahyukan kepadamu (Muhammad):
"Ikutilah agama Ibrahim seorang yang hanif" dan bukanlah Dia Termasuk
orang-orang yang mempersekutukan Tuhan. (QS. An Nahl (16): 123)
Maka, khitan baik laki-laki dan wanita adalah perbuatan yang memiliki tempat
dalam syariat Islam. Dia bukan barang asing, bukan pula bid’ah yang menyusup ke
dalam ajaran Islam, sebagaimana yang dituduhkan sebagian orang.
Apanya Yang Dikhitan?
Pada wanita, yang dipotong adalah kulit yang menyembul dibagian atas saluran
kencing, yang mirip dengan jengger ayam (‘Urf ad Dik). (Al
Mausu’ah Al Fiqhiyah Al Kuwaitiyah, 19/28) Biasa kita menyebutnya
klitoris.
Bagian ini adalah bagian luar yang paling
sensitif pada genital wanita, oleh karena itu khitan wanita bertujuan untuk
menstabilkan libido mereka. Tetapi, tidak dibenarkan memotong semua, atau
sebagian besarnya sebagaimana dilakukan di negeri-negeri Afrika. Bahkan ada
yang memotong bagian labia minora (bibir kecil). Ini tentu cara yang
bertentangan dengan khitan wanita menurut Islam.
Sedangkan, pada laki-laki yang dipotong adalah kulit yang menutupi hasyafah
(glans), kulit itu dinamakan Qulfah (Kulup), sehingga seluruh hasyafah
terlihat. (Ibid)
Bagian ini adalah kumpulan bakteri dan najis,
oleh karena itu tujuan khitan pada laki-laki adalah agar najis yang ada
padanya menjadi hilang, tak lagi terhalang oleh qulfah tersebut.
Dalil-Dalil Pensyariatannya
Ada beberapa dalil yang biasa dijadikan alasan
kewajiban dan kesunnahan khitan bagi wanita. Tetapi, hadits hadits tersebut tak
satu pun yang selamat dari cacat. Di antaranya sebagai berikut:
1.
Dari Ummu ‘Athiyah Radhiallahu ‘Anha, bahwa ada seorang wanita yang
dikhitan di Madinah, maka Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda
kepadanya:
لَا تُنْهِكِي فَإِنَّ ذَلِكَ أَحْظَى لِلْمَرْأَةِ وَأَحَبُّ إِلَى الْبَعْلِ
“Jangan potong berlebihan, karena itu menyenangkan bagi wanita dan disukai oleh
suami.” (HR. Abu Daud No. 5271. Al Baihaqi, As Sunan Al Kubra, 8/324.
Juga Syu’abul Iman, No. 8393. Ath Thabarani, Al Mu’jam Al Kabir,
No. 8062, juga dalam Al Awsath, No. 2343, dan dalam Ash Shaghir
No. 122, Abu Nu’aim, Ma’rifatush Shahabah, No. 3450)
Hadits ini menurut lafaz Imam Abu
Daud. Sedangkan dari Imam yang lainnya, ada tambahan diawalnya dengan ucapan: Asyimmi
dan Ikhfidhi yang berarti rendahkan/pendekkan. Sedangkan Laa
Tanhiki artinya jangan berlebihan dalam memotong.
Hadits ini –menurut Imam Abu Daud- sanadnya tidak kuat, dan hadits ini mursal,
sedangkan Muhammad bin Hassan adalah majhul (tidak dikenal). Dan,
hadits ini dhaif (lemah). (Sunan Abi Daud No. 5271)
Imam Abu
Thayyib Syamsul Haq Al Azhim Abadi mengatakan bahwa hadits ini idhthirab
(guncang). (‘Aunul Ma’bud, 14/126)
2. Dari Abdullah bin ‘Umar secara marfu’:
يَا نِسَاءَ الْأَنْصَارِ
اِخْتَضِبْنَ غَمْسًا وَاخْفِضْنَ وَلَا تُنْهِكْنَ فَإِنَّهُ أَحْظَى عِنْد
أَزْوَاجِكُنَّ
“Wahai wanita Anshar, celupkanlah dan
potonglah, jangan banyak-banyak, karena itu membuat senang suami kalian.” (HR.
Al Bazzar dan Ibnu ‘Adi)
Dalam sanad hadits Al Bazzar terdapat Mandal bin Ali dan dia dhaif.
Sedangkan, riwayat Ibnu ‘Adi terdapat Khalid bin ‘Amru Al Kursyi, dia lebih dhaif
dari Mandal. (Ibid)
3. Hadits lain:
الْخِتَان سُنَّة
لِلرِّجَالِ مَكْرُمَة لِلنِّسَاءِ
“Khitan adalah sunah bagi laki-laki
dan kemuliaan bagi wanita.” (HR. Ahmad)
Hadits ini juga dhaif, karena dalam sanadnya terdapat Hajaj bin
Artha’ah. Imam Adz Dzahabi mengatakan: Hajaj bin Artha’ah adalah dhaif
dan tidak boleh berhujjah dengannya.
Imam Ath Thabarani juga meriwayatkan yang seperti ini dari Syaddad bin’Aus,
dari Ibnu Abbas. Imam As Suyuthi mengatakan sanadnya hasan. Sedangkan
Imam Al Baihaqi mengatakan dhaif dan sanadnya munqathi’ (terputus),
dan ditegaskan pula kedhaifannya oleh Imam Adz Dzahabi.
Al Hafizh Al ‘Iraqi mengatakan: sanadnya dhaif. Al Hafizh Ibnu Hajar
mengatakan: Hajaj bin Artha’ah adalah seorang mudallis (suka
menggelapkan sanad), dan dalam hal ini terjadi idhthirab
(keguncangan). Imam Abu Hatim mengatakan: ini adalah kesalahan Hajaj atau
perawi yang meriwayatkan darinya.
Imam Al Munawi mengatakan dalam At Taisir : sanad hadits
ini dhaif, berbeda dengan yang dikatakan As Suyuthi yang mengatakan hasan.
(Ibid, 14/125. Lihat juga At Talkhish Al Habirnya
Imam Ibnu Hajar)
Benarkah Seluruh Hadits
Khitan Wanita Adalah Cacat dan Dhaif ?
Hal ini ditegaskan para Imam muhaqqiq (peneliti). Berkata Imam Abu
Thayyib Abadi:
وحديث ختان
المرأة روي من أوجه كثيرة وكلها ضعيفة معلولة مخدوشة لا يصح الاحتجاج بها كما
عرفت.وقال ابن المنذر: ليس في الختان خبر يرجع إليه ولا سنة يتبع.
وقال ابن عبد
البر في التمهيد: والذي أجمع عليه المسلمون أن الختان للرجال انتهى
“Dan hadits tentang khitannya wanita
diriwayatkan oleh banyak jalur, semuanya dhaif, memiliki ‘ilat
(cacat), dan tidak sah berdalil dengannya sebagaimana yang telah anda ketahui.
Berkata Ibnul Mundzir: “Tentang khitan (wanita) tidak ada riwayat yang bisa
dijadikan rujukan dan tidak ada sunah yang bisa diikuti.” Berkata Ibnu Abdil
Barr dalam At Tamhid: “Dan yang di-ijma’kan kaum muslimin adalah bahwa
khitan itu bagi laki-laki.” (‘Aunul Ma’bud, 14/126)
Tetapi, Syaikh Al Albani menshahihkan hadits riwayat Abu Daud di atas (hadits
pertama). Beliau mengakui sanad hadits ini sebenarnya dhaif, tetapi
banyak riwayat lain yang menguatkannya sehingga menjadi shahih. (Selengkapnya
lihat di kitab As Silsilah Ash Shahihah 2/353, No. 722, dan Shahih wa
Dhaif Sunan Abi Daud No. 5271, lihat juga Shahih Al Jami’ush Shaghir wa
Ziyadatuhu, 2/1244-1245)
Oleh karena itu, Syaikh Al Albani termasuk ulama yang mewajibkan khitan bagi
wanita, karena keshahihan riwayat ini.
Tetapi, benarkah semua hadits tentang khitannya wanita adalah dhaif ?
Jika kita lihat secara seksama, tidaklah demikian.
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
إذا التقى الختانان فقد
وجب الغسل
“Jika bertemu dua khitan maka
wajiblah untuk mandi.” (HR. At Tirmidzi No. 109,
katanya: hasan shahih. Ibnu Majah No. 608, Ahmad No. 26067, Ath Thahawi
dalam Syarh Ma’ani Al Aatsar No. 332, Al Bazzar dalam Musnadnya
No. 1041, Asy Syafi’i dalam Musnadnya No. 102 (disusun oleh As Sindi),
Ath Thabarani dalam Musnad Syamiyyin No. 2754, Ibnu Abi Syaibah dalam Al
Mushannaf No. 961 dari ‘Asiyah. Abdurrazzaq dalam Al Mushannaf No.
954)
Hadits ini shahih. (Syaikh Al Albani, Irwa’ul Ghalil No. 80. Juga
Syaikh Syu’aib Al Arnauth, Ta’liq Musnad
Ahmad No. 26067)
Hadits lainnya:
إذا جلس بين
شعبها الأربع ومس الختان الختان فقد وجب الغسل
“Jika
seserang duduk diantara empat cabang
anggata badan, dan khitan bersentuhan dengan khitan, maka wajiblah dia mandi.” (HR.
Muslim, No. 349, Abu Daud No. 216, dan At Tirmidzi, katanya: hasan shahih. Ibnu
Khuzaimah No. 227, Abu Ya’ala No. 4926)
Riwayat seperti ini cukup banyak, dan
secara makna, hadits-hadits ini menunjukkan bahwa yang dikhitan bukan hanya
laki-laki tetapi wanita. Sebab, maksud ‘bertemunya dua khitan’ adalah
bertemunya dua kemaluan laki-laki dan wanita yang sudah dikhitan. Maksud
‘bertemu’ di sini bukan sekedar bersentuhan, tetapi terbenamnya kemaluan
laki-laki pada kemalaun wanita, sebagaimana telah disepakati oleh madzhab yang
empat. (Al Mausu’ah Al Fiqhiyah Al Kuwaitiyah, 16/50).
Dan, Imam Ahmad mengatakan: “Dari hadits ini, bahwa bagi wanita juga
dikhitan.” Tetapi menurutnya khitan wanita adalah sunah. (Imam
Ibnul Qayyim, Tuhfatul Maudud, Hal. 134. Darul Kutub Al ‘Ilmiyah)
Dalam hadits lain, dari Abu Hurairah Radhiallahu
‘Anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
الفطرة خمسٌ، أو خمسٌ من الفطرة:
الختان، والاستحداد، ونتف الإِبط، وتقليم الأظفار، وقصُّ الشارب
“Fitrah itu ada lima, atau lima hal yang termasuk fitrah: (diantaranya) “Khitan
….” (HR. Bukhari No. 5550, Muslim No. 257)
Hadits ini umum, bukan hanya bagi laki-laki
tetapi juga wanita, kecuali memendekkan kumis yang memang khusus untuk
laki-laki. Nah, riwayat-riwayat ini menunjukkan
bahwa khitan bagi wanita memang ada dalam Islam. Tetapi, memang tidak ada
hadits shahih yang khusus menceritakan khitan wanita. Yang ada adalah hadits tentang khitan secara
umum, dengan penyebutan untuk laki-laki dan perempuan.
Lalu, Apa Hukumnya
Khitan Wanita?
Keterangan di atas telah jelas, bahwa khitan wanita adalah masyru’ (disyariatkan) dalam Islam. Hanya saja, para ulama berbeda pendapat dalam
menentukan hukum kemasyru’annya. Ada yang mewajibkan, menyunnahkan,
membolehkan, bahkan ada yang melarangnya dalam kedaan tertentu.
Pihak yang mewajibkan seperti Imam Asy Syafi’i dan mayoritas pengikutnya.
Juga Imam Ibnul Qayyim dan Syaikh Al Albani Rahimahumulullah Ta’ala.
Sedangkan, Imam Malik dan Imam Abu Hanifah menyatakan sunah
secara mutlak (laki-laki dan wanita), dan Imam Ahmad mengatakan wajib buat
laki-laki namun sunah buat wanita. (‘Aunul Ma’bud, 14/125),
Imam Ibnu Qudamah mengatakan wajib bagi
laki-laki, dan kemuliaan bagi wanita, serta tidak wajib bagi mereka. (Al Masu’ah Al Fiqhiyah Al Kuwaitiyah, 19/28).
Pihak yang mewajibkan berdalil dengan ayat An Nahl 123 (agar
mengikuti millah Ibrahim), dan hadits sunah fitrah ada lima.
Alasan ini ditolak, sebab ayat tersebut memerintahkan kita
mengikuti agama Ibrahim secara Global dan pokoknya yaitu Tauhid. Sedangkan,
hadits tersebut juga tidak bisa dijadikan dalil, dan tidak menunjukkan
wajibnya khitan, sebab jika khitan wajib, maka empat hal lainnya dalam hadits
itu juga wajib seperti bersiwak, memendekkan kumis, mencukur bulu kemaluan, dan
ketiak. Sedangkan kita tahu, tak ada yang mengatakan bersiwak , mencukur
ketiak, bulu kemaluan adalah wajib, semua adalah sunah!
Selain itu, hadits tentang bertemunya dua khitan, juga bukan
menunjukkan wajibnya khitan wanita, melainkan hanyalah informasi tentang khitan
wanita. Ditambah lagi, lemahnya riwayat yang memerintahkan khitan khusus
wanita. Maka, pendapat yang paling rajih (kuat) adalah khitan wanita
adalah sunah. Inilah yang dikuatkan oleh Syaikh Muhammad bin Shalih Utsaimin,
Syaikh Al Qaradhawi, dan lain-lain.
Tapi, hukum ini bisa berubah jika:
1. Bagi wanita tertentu jika
membahayakan maka sebaiknya dilarang. Syaikh Ali Jum’ah –mufti Mesir saat ini- pernah memfatwakan haramnya khitan wanita lantaran kasus tewasnya seorang
gadis setelah dikhitan.
2. Tekstur genital wanita
tidaklah sama satu sama lain. Jika klitorisnya pendek dan kecil, yang justru
akan mendatangkan frigid jika dikhitan, maka tidak wajib dan tidak sunah, sebab
akan membawa mudharat pada kehidupan seksualnya. Tetapi, jika ada wanita yang
klitorisnya panjang, maka sangat dianjurkan untuk dikhitan, agar tidak terjadi
mudharat berupa tidak stabilnya libido.
Ketentuan-ketentuan ini sebaiknya dikonsultasikan kepada
dokter yang berkompeten. Sekian.
Wallahu A’lam
No comments:
Post a Comment