Pertanyaan:
Assalamu'alaikum
Wr Wb.
Ustadz afwan mau tanya/diskusi banyak, tapi satu2 aja.
Pertama tentang memilih pemimpin.
1. Bolehkan kita memilih pemimpin (selain Imamah Udzma) yang beliau itu kafir?
2. Lalu bolehkan kita memilih pemimpin yang munafik atau fasik?
3. kemudian bolehkan kita memilih pemimpin wanita? Dan wanita tersebut tidak mencerminkan sebagai wanita muslimah. Baik dari busana maupun akhlak.
4. Lalu bolehkan kita memilih pemimpin ahli maksiyat (judi, mabuk, selingkuh, korupsi,dsb?
Dan kalau diperbolehkan itu saat kondisi seperti apa? JazakAlloh... (@Verry)
Ustadz afwan mau tanya/diskusi banyak, tapi satu2 aja.
Pertama tentang memilih pemimpin.
1. Bolehkan kita memilih pemimpin (selain Imamah Udzma) yang beliau itu kafir?
2. Lalu bolehkan kita memilih pemimpin yang munafik atau fasik?
3. kemudian bolehkan kita memilih pemimpin wanita? Dan wanita tersebut tidak mencerminkan sebagai wanita muslimah. Baik dari busana maupun akhlak.
4. Lalu bolehkan kita memilih pemimpin ahli maksiyat (judi, mabuk, selingkuh, korupsi,dsb?
Dan kalau diperbolehkan itu saat kondisi seperti apa? JazakAlloh... (@Verry)
Jawaban:
Wa ‘Alaikum Salam wa Rahmatullah wa Barakatuh.
Bismillah
wal hamdulillah wash shalatu was salamu ‘ala Rasulillah wa ‘ala aalihi wa man
waalah, wa ba’d:
1. Tentang memilih orang
kafir sebagai pemimpin selain Imamatul ‘uzhma.
Hal itu tetap terlarang secara mutlak, sesuai keumuman ayat:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لا تَتَّخِذُوا الْيَهُودَ وَالنَّصَارَى أَوْلِيَاءَ بَعْضُهُمْ أَوْلِيَاءُ بَعْضٍ وَمَنْ يَتَوَلَّهُمْ مِنْكُمْ فَإِنَّهُ مِنْهُمْ إِنَّ اللَّهَ لا يَهْدِي الْقَوْمَ الظَّالِمِينَ
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil
orang-orang Yahudi dan Nasrani menjadi pemimpin-pemimpin(mu); sebahagian mereka
adalah pemimpin bagi sebahagian yang lain. Barangsiapa
diantara kamu mengambil mereka menjadi pemimpin, maka sesungguhnya orang itu
termasuk golongan mereka. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada
orang-orang yang zalim. (QS. Al Maidah: 51)
Larangan dalam ayat ini umum, tidak mengkhususkan pada
satu jenis dan level kepemimpinan. Dan, tidak ada keterangan dalam Al Quran dan
As Sunnah bahwa larangan mengangkat orang kafir sebagai pemimpin hanya khusus
berlaku bagi imamatul ‘uzhma
saja. Maka, berlakulah larangan ini secara umum; bahwa orang-orang beriman
dilarang memilih orang kafir sebagai waliyul amri bagi mereka di semua
level kepemimpinan.
وَلِيُّ
(Waliy)
jamaknya adalah أَوْلِيَاء
(Auliyaa’)
yang artinya –sebagaimana kata Imam Ibnu Jarir Ath Thabari- adalah para
penolong (Anshar) dan kekasih (Akhilla). (Jami’ul
Bayan, 9/319)
Bisa juga bermakna teman dekat, yang mengurus urusan, dan yang mengusai (pemimpin). (Ahmad Warson, Kamus Al Munawwir, Hal. 1582)
Bisa juga bermakna teman dekat, yang mengurus urusan, dan yang mengusai (pemimpin). (Ahmad Warson, Kamus Al Munawwir, Hal. 1582)
Dalam
Lisanul ‘Arab disebutkan bahwa Al Waliy adalah An Naashir
(penolong/pembantu). (Ibnu Manzhur, Lisanul ‘Arab, 15/405)
Dalam
sebuah hadits, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam berdoa untuk Ali
Radhilallahu ‘Anhu:
اللهم والِ مَنْ والاه
“Allahumma
waali man waalaahu.” (HR. Ibnu Majah No. 116, Al Hakim No. 4576,
Abu Ya’la No. 6423, 6951, Ibnu Hibban No. 6931, Ahmad No. 950, Syaikh Syu’aib
Al Arnauth dalam Ta’liq Musnad Ahmad mengatakan: shahih lighairih)
Apa
artinya? Syaikh Ibnu Manzhur mengatakan tentang makna terhadap doa ini:
أَي أَحْبِبْ مَنْ أَحَبَّه وانْصُرْ من نصره
“Yaitu
cintailah orang yang mencintainya dan tolonglah orang yang menolongnya.” (Ibnu Manzhur, Lisanul ‘Arab, 15/405)
Dengan
demikian Waliy adalah sesuatu tempat kita berteman dekat, minta bantuan
dan pertolongan, kekasih, pemimpin, dan yang mengurus urusan kita.
Imam Ibnu
Katsir Rahimahullah memberikan keterangan dengan sebuah kisah Abu Musa
Al Asy'ari Radhiallahu ‘Anhu yang mengangkat seorang sekretaris dari
Syam yang beragama Nashrani, lalu Umar Radhiallahu 'anhu merasa heran
dan mencegah pengangkatan itu, lalu Umar Radhiallahu 'Anhu mengutip ayat
di atas. (Tafsir Al Quran Al 'Azhim, 3/123)
Allah
Ta'ala menyebut munafik kepada orang yang sengaja memilih orang kafir sebagai
pemimpin, padahal dia tahu ada orang beriman yang seharusnya diangkat menjadi
pemimpin:
بَشِّرِ الْمُنَافِقِينَ بِأَنَّ
لَهُمْ عَذَابًا أَلِيمًا (138
(الَّذِينَ يَتَّخِذُونَ الْكَافِرِينَ
أَوْلِيَاءَ مِنْ دُونِ الْمُؤْمِنِينَ أَيَبْتَغُونَ عِنْدَهُمُ الْعِزَّةَ
فَإِنَّ الْعِزَّةَ لِلَّهِ جَمِيعًا (139(
Kabarkanlah
kepada orang-orang munafik bahwa mereka akan mendapat siksaan yang pedih
(yaitu) orang-orang yang mengambil orang-orang kafir menjadi waliy dengan meninggalkan orang-orang mukmin. Apakah mereka mencari kekuatan di sisi orang kafir itu? Maka sesungguhnya semua kekuatan kepunyaan Allah. (QS. An Nisa: 138-139)
(yaitu) orang-orang yang mengambil orang-orang kafir menjadi waliy dengan meninggalkan orang-orang mukmin. Apakah mereka mencari kekuatan di sisi orang kafir itu? Maka sesungguhnya semua kekuatan kepunyaan Allah. (QS. An Nisa: 138-139)
Lalu bagaimana dengan umat Islam yang terlahir di
negeri mayoritas non muslim seperti di Eropa atau Amerika, atau sebagian kecil
di tanah air kita? Maka, untuk mereka boleh saja memilih atau tidak memilih
tergantung kondisinya. Jika calon yang ada adalah sama-sama kafir dan membenci
Islam, dan semua calon yang ada sama-sama memusuhi kaum muslimin, maka hendaknya
golput saja. Tetapi, jika dari calon yang ada terdapat orang yang lebih ringan
permusuhannya dengan Islam, maka dia boleh saja dipilih dengan asumsi dan
harapan potensi kezaliman yang akan menimpa umat Islam juga lebih ringan jika
dia yang menjadi pemimpin. Sesuai kaidah
Al Irtikab Akhafu Dharurain, menjalankan mudharat yang lebih ringan untuk
menghindari mudharat yang lebih besar. Saat itu tidak bisa dikatakan mereka
telah memberikan wala’ (loyalitas) kepada orang kafir, sebab mereka
melakukan itu secara terpaksa.
2. Bolehkah memilih pemimpin
orang munafik?
Memilih orang munafik
sebagai pemimpin, kawan dekat, dan penolong kita, juga terlarang dalam syariat.
Hal itu ditegaskan dalam ayat berikut:
فَمَا لَكُمْ فِي الْمُنَافِقِينَ فِئَتَيْنِ وَاللَّهُ أَرْكَسَهُمْ
بِمَا كَسَبُوا أَتُرِيدُونَ أَنْ تَهْدُوا مَنْ أَضَلَّ اللَّهُ وَمَنْ يُضْلِلِ
اللَّهُ فَلَنْ تَجِدَ لَهُ سَبِيلًا (88) وَدُّوا لَوْ تَكْفُرُونَ كَمَا
كَفَرُوا فَتَكُونُونَ سَوَاءً فَلَا تَتَّخِذُوا مِنْهُمْ أَوْلِيَاءَ حَتَّى
يُهَاجِرُوا فِي سَبِيلِ اللَّهِ فَإِنْ تَوَلَّوْا فَخُذُوهُمْ وَاقْتُلُوهُمْ
حَيْثُ وَجَدْتُمُوهُمْ وَلَا تَتَّخِذُوا مِنْهُمْ وَلِيًّا وَلَا نَصِيرًا (89)
Maka
mengapa kamu (terpecah) menjadi dua golongan
dalam (menghadapi) orang-orang munafik, Padahal Allah telah membalikkan
mereka kepada kekafiran, disebabkan usaha mereka sendiri ? Apakah kamu
bermaksud memberi petunjuk kepada orang-orang yang telah disesatkan Allah?
Barangsiapa yang disesatkan Allah, sekali-kali kamu tidak mendapatkan jalan
(untuk memberi petunjuk) kepadanya. Mereka ingin supaya kamu menjadi kafir
sebagaimana mereka telah menjadi kafir, lalu kamu menjadi sama (dengan mereka).
Maka janganlah kamu jadikan di antara mereka
sebagai waliy (pemimpin), hingga mereka berhijrah pada jalan
Allah. Maka jika mereka berpaling, tawan dan bunuhlah mereka di mana saja kamu
menemuinya, dan janganlah kamu ambil seorangpun di antara mereka menjadi
pelindung, dan jangan (pula) menjadi penolong. (QS. An Nisa: 88-89)
Maka, larangan menjadikan orang munafik sebagai pemimpin
adalah jelas dan gamblang, sebab hakikatnya mereka adalah kafir sebagaimana
yang disebutkan oleh ayat di atas. Namun, yang menjadi masalah adalah siapakah
orang munafik itu? Apakah dengan seenaknya seorang muslim menyebut muslim
lainnya adalah munafik? Misal dengan ringan kita berkata: “Si Fulan munafik
karena dia telah begini dan begitu ....,” apakah semudah itu? Tentu tidak. Selama
belum ada bukti kuat bahwa orang tersebut adalah musuh dalam selimut yang
berpura-pura sebagai seorang muslim yang baik, padahal dia merusak Islam dan
kaum muslimin. Maka, selama itu pula kita menilai mereka sesuai zhahirnya,
bahwa dia seorang muslim.
3. Bolehkah mengangkat orang fasik dan ahli maksiat sebagai
pemimpin?
Pertanyaan
nomor dua (memilih orang fasik sebagai pemimpin) dan nomor empat (memilih ahli
maksiat sebagai pemimpin), kami gabungkan saja, karena orang dikatakan fasik disebabkan maksiat yang dilakukannya.
Semua
bentuk kefasikan dan maksiat adalah penghalang seseorang diangkat menjadi
pemimpin, sebab pemimpin kaum beriman adalah juga kaum beriman yang sejati;
mereka shalat, zakat, dan tunduk kepada aturan-aturan Allah Ta’ala. Sebagaimana yang Allah Ta’ala firmankan:
إِنَّمَا وَلِيُّكُمُ اللَّهُ وَرَسُولُهُ وَالَّذِينَ آَمَنُوا
الَّذِينَ يُقِيمُونَ الصَّلَاةَ وَيُؤْتُونَ الزَّكَاةَ وَهُمْ رَاكِعُونَ
Sesungguhnya
waliy kamu hanyalah Allah, Rasul-Nya, dan orang-orang yang beriman, yang
mendirikan shalat dan menunaikan zakat, seraya mereka tunduk (kepada Allah).
(QS. Al Maidah: 55)
Bahkan
jika seorang yang menjadi pemimpin, dalam perjalanan kepemimpinannya mengalami
perubahan, dia menjadi fasik dan berbuat maksiat, hal itu membuatnya boleh
dicopot dari jabatannya menurut sebagian ulama.
Berikut ini pandangan Imam Abul Hasan Al Mawardi
dalam Al Ahkam As Sulthaniyah
tentang keadaan yang membuat dibolehkannya dicopotnya seorang pemimpin:
وإذا قام الإمام
بما ذكرناه من حقوق الأمة فقد أدى حق الله تعالى فيما لهم وعليهم ، ووجب له عليهم
حقان الطاعة والنصرة ما لم يتغير حاله والذي يتغير به حاله فيخرج به عن الإمامة شيئان : أحدهما جرح في
عدالته والثاني نقص في بدنه .
فأما الجرح في
عدالته وهو الفسق فهو على ضربين : أحدهما ما تابع فيه الشهوة .
والثاني ما تعلق
فيه بشبهة ، فأما الأول منهما فمتعلق بأفعال الجوارح وهو ارتكابه للمحظورات
وإقدامه على المنكرات تحكيما للشهوة وانقيادا للهوى ، فهذا فسق يمنع من انعقاد
الإمامة ومن استدامتها ، فإذا طرأ على من انعقدت إمامته خرج منها ، فلو عاد إلى
العدالة لم يعد إلى الإمامة إلا بعقد جديد
.....
Jika imam (pemimpin) sudah menunaikan hak-hak umat
seperti yang telah kami sebutkan sebelumnya, maka otomatis ia telah menunaikan
hak-hak Allah Ta’ala, hak-hak mereka, dan kewajiban-kewajiban mereka. Jika itu
telah dia lakukan, maka dia punya dua hak dari umatnya. Pertama,
ketaatan kepadanya. Kedua, membelanya selama keadaan dirinya
belum berubah.
Ada dua hal yang dapat merubah keadaan dirinya,
yang dengan berubahnya kedua hal itu dia
mesti mundur dari kepemimpinannya:
1. Adanya cacat dalam ke- ’adalah-annya.
2. Cacat tubuhnya
Ada pun cacat dalam ‘adalah (keadilan) yaitu kefasikan, ini pun ada
dua macam; Pertama, dia mengikuti syahwat; Kedua, terkait dengan
syubhat.
Bagian pertama (fasik karena syahwat) terkait
dengan perbuatan anggota badan, yaitu dia menjalankan berbagai larangan dan
kemungkaran, baik karena menuruti hawa syahwat, dan tunduk kepada hawa nafsu.
Kefasikan ini membuat seseorang tidak boleh diangkat menjadi imam (pemimpin),
dan juga sebagai pemutus kelangsungan imamah (kepemimpinan)-nya. Jika
sifat tersebut terjadi pada seorang pemimpin, maka dia harus mengundurkan diri
dari imamah-nya. Jika ia kembali adil (tidak fasik), maka imamah
tidak otomatis kembali kepadanya, kecuali dengan pengangkatan baru. ..........
(Imam Abul Hasan Al Mawardi, Al Ahkam As Sulthaniyah, Hal. 28. Mawqi’ Al
Islam)
Namun
demikian, jika tidak ada pilihan lain
kecuali pemimpin muslim tapi fasik, itu masih lebih baik dibanding memilih
orang kafir walau nampaknya baik hati kepada kaum muslimin. Hal ini sesuai
kaidah Al Irtikab Akhafu Dharurain (memilih mudharat paling ringan di
antara dua mudharat). Sebab, seorang muslim
yang fasik tetaplah dia masih memiliki tauhid yang dengannya merupakan
modal untuk kembali ke jalan yang benar, ada pun orang kafir walau pun adil,
dia memiliki pondasi dan modal untuk memusuhi kaum muslimin, sebab apa yang di
hati lebih besar kebenciannya dibanding apa yang mereka tampakkan.
Allah
Ta’ala berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا لَا تَتَّخِذُوا بِطَانَةً مِنْ
دُونِكُمْ لَا يَأْلُونَكُمْ خَبَالًا وَدُّوا مَا عَنِتُّمْ قَدْ بَدَتِ
الْبَغْضَاءُ مِنْ أَفْوَاهِهِمْ وَمَا تُخْفِي صُدُورُهُمْ أَكْبَرُ قَدْ
بَيَّنَّا لَكُمُ الْآَيَاتِ إِنْ كُنْتُمْ تَعْقِلُونَ
Hai
orang-orang yang beriman, janganlah kamu ambil menjadi teman kepercayaanmu
orang-orang yang, di luar kalanganmu (karena) mereka tidak henti-hentinya
(menimbulkan) kemudharatan bagimu. mereka menyukai apa yang menyusahkan kamu.
telah nyata kebencian dari mulut mereka, dan apa yang disembunyikan oleh hati
mereka adalah lebih besar lagi. sungguh telah Kami terangkan kepadamu ayat-ayat
(Kami), jika kamu memahaminya. (QS. Ali ‘Imran: 118)
3. Memilih pemimpin wanita yang tidak bagus akhlaknya
Tidak ada
perselisihan pendapat, bahwa buruknya akhlak adalah penghalang seseorang
diangkat menjadi pemimpin, terlebih lagi jika dia seorang wanita. Juga tidak
ada perselisihan pendapat kebolehan wanita menjadi pemimpin untuk sesama
wanita.
Perselisihan
yang terjadi adalah jika wanita itu shalihah, adil, cakap dalam memimpin; di
sisi lain tak ada laki-laki yang kualitasnya sama sepertinya. Apakah saat itu
wanita lebih baik dijadikan pemimpin untuk semuanya? Ataukah tetap memaksakan
laki-laki menjadi pemimpin betapa pun bengis dan bodohnya dia? Ataukah ini
termasuk keadaan yang dikecualikan? Dalam hal ini para ulama terbagi menjadi
tiga kelompok.
Pertama, melarang secara mutlak, ini adalah pendapat imam empat
madzhab dan jumhur (mayoritas).
Mereka berdalil dengan keumuman ayat Al Quran:
الرِّجَالُ قَوَّامُونَ عَلَى النِّسَاءِ بِمَا فَضَّلَ اللَّهُ
بَعْضَهُمْ عَلَى بَعْضٍ وَبِمَا أَنْفَقُوا مِنْ أَمْوَالِهِمْ
Kaum
laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah
melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita),
dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. ...
(QS. An Nisa: 34)
Ayat ini
tentang kepempimpinan laki-laki di rumah tangga, namun juga berlaku umum dalam
semua level kepemimpinan, sesuai kaidah qiyas aula, yakni jika wanita
bukan pemimpin di dalam keluarga, maka ditingkatan yang lebih besar dari itu
dia lebih bukan lagi sebagai pemimpin.
Dalil dari
Sunah adalah:
عَنْ أَبِي
بَكْرَةَ قَالَ
لَقَدْ نَفَعَنِي
اللَّهُ بِكَلِمَةٍ سَمِعْتُهَا مِنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ أَيَّامَ الْجَمَلِ بَعْدَ مَا كِدْتُ أَنْ أَلْحَقَ بِأَصْحَابِ
الْجَمَلِ فَأُقَاتِلَ مَعَهُمْ قَالَ لَمَّا بَلَغَ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّ أَهْلَ فَارِسَ قَدْ مَلَّكُوا عَلَيْهِمْ بِنْتَ
كِسْرَى قَالَ لَنْ يُفْلِحَ قَوْمٌ وَلَّوْا أَمْرَهُمْ امْرَأَةً
Dari
Abu Bakrah, katanya: Sungguh Allah telah memberikan manfaat dengan kata-kata yang pernah kudengar dari Rasulullah Shallallahu
‘Alaihi wa Sallam pada saat perang
Jamal, setelah sebelumnya hampir saja
aku mengikuti tentara Jamal (yaitu pasukan yang dipimpin oleh Aisyah
yang mengendarai unta) dan berperang
mendukung mereka. Lalu dia
mengatakan: Ketika sampai berita kepada
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bahwa bangsa Persia telah mengangkat putri Kisra sebagai pemimpin, maka
beliau bersabda: “Tidak akan pernah beruntung suatu kaum yang menyerahkan
kekuasaan (pemerintahan) mereka kepada
seorang wanita.” (HR. Bukhari No. 4425)
Hadits
ini sangat jelas mengecam kaum yang mengangkat wanita sebagai pemimpin mereka.
Kedua, melarang hanya pada level imamatul ‘uzhma (imam tertinggi seperti jabatan khalifah atau
presiden untuk zaman sekarang), sedangkan kepemimpinan di bawah level itu tidak
apa-apa. Sebab, saat itu wanita tetap masih di bawah komando laki-laki. Mereka
yang mendukung pendapat ini adalah Imam Abu Hanifah, Imam Ibnu Hazm, Syaikh Al
Qaradhawi, Syaikh Muhammad Al Ghazali, dan lain-lain.
Alasan
kelompok ini adalah karena Khalifah Umar bin Al Khathab Radhiallahu ‘Anhu
pernah mengangkat seorang wanita menjadi kepala pasar, padahal kaum laki-laki
masih banyak yang mampu. Maka, kedudukan wanita tersebut sebagai pemimpin masih
di bawah kendali Khalifah Umar. Saat itu tidak ada sahabat nabi lainnya yang
menentang hal ini. Ada pun hadits dari Abu Bakrah di atas, adalah kepemimpinan
wanita dalam urusan pemerintahan dan kenegaraan tertinggi, seperti khalifah
atau presiden untuk zaman tidak ada khalifah seperti saat ini, karena hadits
itu menggunakan kata wallau amrahum (menyerahkan urusan kekuasaan
mereka). Dan, latar belakang hadits ini juga disebabkan karena terpilihnya
seorang wanita sebagai pemimpin negara
di Persia. Sehingga kepemimpinan di bawah level itu tidak mengapa, seperti pemimpin sebuah
departemen, kepala daerah, kepala sekolah, ketua senat, dan lainnya. Imam Abu
Hanifah membolehkan wanita menjadi Qadhi
(Hakim) untuk masalah-masalah khusus wanita.
Ketiga, melarang
kepemimpinan wanita kecuali
calon-calon lainnya adalah laki-laki yang dikenal zalim, maka keadaan
itu adalah situasi khusus yang membolehkan wanita –yang layak- menjadi pemimpin. Sebab kezaliman laki-laki
tersebut –yang dapat mendatangkan petaka bagi rakyatnya- bisa dicegah dengan
tidak memilihnya. Itu pun sifatnya sementara, jika dalam perjalanannya bisa
diketahui adanya laki-laki shalih yang cakap sebagai pemimpin, maka wanita itu
dapat dicopot lalu digantikan oleh laki-laki tersebut. Inilah pendapat Al
‘Allamah Abul A’la Al Maududi Rahimahullah.
Kami
memandang, jika suatu tempat, zaman, dan situasi, tak ditemukan satu pun figur
laki-laki yang cakap menjadi pemimpin –kuat, amanah, terjaga, dan berilmu- maka
itu adalah berita duka cita bagi kaum laki-laki. Bagaimana bisa dari sekian
banyak laki-laki di sebuah negeri tidak ada laki-laki pantas memimpin
negaranya? Walau pun di level terendah ?!
Jika masih
bisa diusahakan dan ditemukan adanya laki-laki yang layak menjadi pemimpin,
walau dia sekadar yang terbaik di antara yang terburuk, maka mendahulukan mereka adalah lebih utama
dalam rangka menjalankan perintah Allah Ta’ala secara wajar.
No comments:
Post a Comment