Friday, February 14, 2014

hukum berdzikir bersama imam shalat setelah selesai shalat

Assalamu ‘alaikum, Wr. Wb. Apa hukumnya seorang ma’mum yang tidak berdzikir bersama imamnya setelah Shalat? (Jamaah mesjid Fathul Khasyi’in - Penjajab – Pemangkat, Kab. Sambas- Kalbar) 
Jawab:
Wa ‘alaikum Salam, Wr Wb. Bismillahirrahmanirahim wal hamdulillah wash shalatu wassalamu ‘ala rasulillah wa ba’d:.
Sebagusnya umat Islam tidak saling curiga dan ‘bertengkar’ dengan permasalahan ini. Masalah ini adalah khilafiyah sangat lama di negeri ini, dan tidak dibenarkan bersikap keras terhadap masalah khilafiyah, baik keras menentang atau keras mendukung. Bahkan dalam masalah banyak sekali pandangan ulama, sebagaimana yang akan kita lihat nanti.
Hendaknya kita membedakan dulu tentang hukum berdzikir bersama setelah shalat wajib. Dan hukum berdoa bersamanya. Jadi, ada dua pembahasan, berdzikir di satu sisi, berdoa di sisi lain. Demikianlah pembagian yang dilakukan para ulama, sebab mereka tidak menganggap hukum keduanya adalah sama. 
1. Masalah Mengeraskan dzikir setelah shalat .
Kita ketahui, ada sebagian ulama yang membid’ahkan dzikir berjamaah setelah shalat, dengan dipimpin oleh seorang imam. Ulama tersebut seperti Imam Ibnu Taimiyah, Imam Asy Syathibi, Imam Ibnu Baz, Imam Al Albany, Syaikh Shalih Fauzan, Imam Ibnu Utsaimin, dan lain-lain.
Sebenarnya para ulama sepakat bahwa berdzikir/wirid (bukan doa) setelah shalat wajib adalah disyariatkan. Hanya saja mereka berbeda dalam hal, apakah dzikir dilakukan masing-masing dengan suara dipelankan? Atau bersama-sama dipimpin oleh Imam dengan suara diperdengarkan (jahr)?
Imam Abu Hanifah[1], Imam Malik,[2] dan Imam Ahmad[3] berpandangan bahwa dzikir hendaknya dilakukan sendiri-sendiri dengan suara dipelankan. Dalilnya adalah:
Dan sebutlah (nama) Tuhanmu dalam hatimu dengan merendahkan diri dan rasa takut, dan dengan tidak mengeraskan suara, di waktu pagi dan petang, dan janganlah kamu termasuk orang-orang yang lalai." (QS. Al A’raf (7): 205)
Dari hadits menjelaskan keutamaan berdzikir secara pelan. Sa'ad bin Malik meriwayatkan Rasulullah saw bersabda, "Keutamaan dzikir adalah yang pelan (sirr), dan sebaik rizki adalah sesuatu yang mencukupi."
Maka, janganlah kita menyalahkan, merasa aneh, dan curiga terhadap orang yang berdzikir dengan suara lirih dan sendiri, sebab mereka memiliki dalil dan sandaran para Imam kaum muslimin. Seringkali, ma’mum memiliki hajat (kebutuhan) yang bebeda dengan Imamnya, yang tidak diketahui sang imam. Maka, wajar ia berdoa sendiri sesuai hajatnya.
Namun, hendaknya bagi yang berdzikirnya sendiri dan pelan, tidak dibenarkan mengutuk dan memaki-maki saudaranya yang dzikirnya dikeraskan. Sungguh, sikap keras seperti itu tidak akan mendatangkan simpati, apalagi dukungan.
Sedangkan Imam Asy Syafi’i[4] membolehkan dzikir dikeraskan oleh Imam dalam rangka mengajarkan para ma’mum di belakangnya, walau pada dasarnya dia sendiri lebih suka dengan suara lirih dan sendiri. (Al Umm, Juz, 1, hal. 110) Tetapi, tidak selamanya ‘kan ma’mum diajarkan?
Alasannya adalah dahulu Abdullah bin ‘Abbas Radhiallahu ‘Anhu pernah shalat jenazah dengan membaca Al fatihah dikeraskan (padahal seharusnya sirr – dipelankan). Setelah shalat, jamaah bertanya kepadanya kenapa Ia mengeraskan Al fatihah dalam shalat jenazah? Ia menjawab: “Agar kalian tahu, membaca Al fatihah dalam shalat jenazah adalah sunah.”
Namun perlu diketahui, ada ulama –yakni Imam Ibnu Taimiyah- yang menyatakan bahwa tidak benar anggapan yang menyebutkan bahwa Imam Asy Syaifi’i membolehkan dzikir dikeraskan setelah shalat wajib. Wallahu A’lam
Imam Zainuddin Al-Malibari menegaskan: “Disunnahkan berzikir dan berdoa secara pelan seusai shalat. Maksudnya, hukumnya sunnah membaca dzikir dan doa secara pelan bagi orang yang shalat sendirian, berjama’ah, imam yang tidak bermaksud mengajarkannya dan tidak bermaksud pula untuk memperdengarkan doanya supaya diamini mereka." (Fathul Mu’in, 24). Berarti kalau berdzikir dan berdoa untuk mengajar dan membimbing jama’ah maka hukumnya boleh mengeraskan suara dzikir dan doa.
Contoh hadits yang menganjurkan untuk mengeraskan dzikir riwayat Ibnu Abbas berikut ini:
أَنَّ أَبَا مَعْبَدٍ مَوْلَى ابْنِ عَبَّاسٍ أَخْبَرَهُ أَنَّ ابْنَ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا أَخْبَرَهُ
أَنَّ رَفْعَ الصَّوْتِ بِالذِّكْرِ حِينَ يَنْصَرِفُ النَّاسُ مِنْ الْمَكْتُوبَةِ كَانَ عَلَى عَهْدِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَقَالَ ابْنُ عَبَّاسٍ كُنْتُ أَعْلَمُ إِذَا انْصَرَفُوا بِذَلِكَ إِذَا سَمِعْتُهُ
Sesungguhnya Abu Ma’bad pelayan Ibnu Abbas, mengabarkan bahwa Ibnu Abbas menceritakan kepadanya, tentang meninggikan suara dalam berdzikir ketika manusia selesai dari shalat wajib, dan hal itu terjadi pada masa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dan berkatalah Ibnu Abbas:  "Aku mengetahui dan mendengarnya (berdzikir dengan suara keras) apabila mereka selesai melaksanakan shalat dan hendak meninggalkan (masjid).” [5]
Imam Ibnu Hajar Al Asqalani Rahimahullah[6] berkata:
وَفِيهِ دَلِيل عَلَى جَوَاز الْجَهْر بِالذِّكْرِ عَقِب الصَّلَاة
“Dalam hadits ini terdapat dalil bolehnya mengeraskan dzikir setelah shalat.” [7]
Di halaman yang sama beliau mengutip dari Imam An Nawawi:
وَقَالَ النَّوَوِيّ : حَمَلَ الشَّافِعِيّ هَذَا الْحَدِيث عَلَى أَنَّهُمْ جَهَرُوا بِهِ وَقْتًا يَسِيرًا لِأَجْلِ تَعْلِيم صِفَة الذِّكْر ، لَا أَنَّهُمْ دَاوَمُوا عَلَى الْجَهْر بِهِ ، وَالْمُخْتَار أَنَّ الْإِمَام وَالْمَأْمُوم يُخْفِيَانِ الذِّكْر إِلَّا إِنْ احْتِيجَ إِلَى التَّعْلِيم .
“Berkata An Nawawi: “Imam Asy Syafi’i memahami hadits ini bahwa mereka mengeraskan suara yang dengan itu menjadi waktu yang mudah untuk mempelajari sifat dzikir, tidak berarti mereka membiasakan mengeraskan suara, dan pendapat yang dipilih adalah bahwa Imam dan Makmum hendaknya merendahkan suara dalam dzikir, kecuali karena kebutuhan untuk mengajar.” [8]
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam Pernah Mengeraskan Suara
Disebutkan dalam beberapa hadits shahih, kadang kala Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam berdzikir dan berdoa dengan meninggikan suaranya, namun riwayat ini tidak menunjukkan bahwa itu menjadi suatu kelaziman (kebiasaan) baginya dan bukan pula setelah shalat wajib.
Imam Muslim meriwayatkan bahwa ketika menjelang perang Badar, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam berdoa demikian, dari Umar bin Al Khathab Radhiallahu ‘Anhu:
لَمَّا كَانَ يَوْمُ بَدْرٍ نَظَرَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِلَى الْمُشْرِكِينَ وَهُمْ أَلْفٌ وَأَصْحَابُهُ ثَلَاثُ مِائَةٍ وَتِسْعَةَ عَشَرَ رَجُلًا فَاسْتَقْبَلَ نَبِيُّ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْقِبْلَةَ ثُمَّ مَدَّ يَدَيْهِ فَجَعَلَ يَهْتِفُ بِرَبِّهِ اللَّهُمَّ أَنْجِزْ لِي مَا وَعَدْتَنِي اللَّهُمَّ آتِ مَا وَعَدْتَنِي اللَّهُمَّ إِنْ تُهْلِكْ هَذِهِ الْعِصَابَةَ مِنْ أَهْلِ الْإِسْلَامِ لَا تُعْبَدْ فِي الْأَرْضِ فَمَا زَالَ يَهْتِفُ بِرَبِّهِ مَادًّا يَدَيْهِ مُسْتَقْبِلَ الْقِبْلَةِ حَتَّى سَقَطَ رِدَاؤُهُ عَنْ مَنْكِبَيْهِ فَأَتَاهُ أَبُو بَكْرٍ فَأَخَذَ رِدَاءَهُ فَأَلْقَاهُ عَلَى مَنْكِبَيْهِ ثُمَّ الْتَزَمَهُ مِنْ وَرَائِهِ وَقَالَ يَا نَبِيَّ اللَّهِ كَفَاكَ مُنَاشَدَتُكَ رَبَّكَ فَإِنَّهُ سَيُنْجِزُ لَكَ مَا وَعَدَكَ
“Ketika hari Badar, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam memandang kaum musyrikin yang berjumlah seribu orang, sementara pasukannya 319 laki-laki, maka Nabi menghadap kiblat lalu mengangkat tangannya dan bedoa kepada Rabbnya: “Ya Allah penuhilah kepadaku apa-apa yang telah Kau janjikan kepadaku, Ya Allah datangkanlah kepadaku apa-apa yang telah Kau janjikan kepadaku, Ya Allah jika pasukan Islam ini dikalahkan, maka tidak ada lagi yang menyembahMu di muka bumi.” Rasulullah terus menerus demikian, menghadap kiblat dan mengangkat kedua tangannya sampai-sampai selendang dipundaknya terjatuh, lalu Abu Bakar mendekatinya dan mengambil selendang itu serta meletakkannya kembali ke pu dak Rasulullah, lalu mengikutinya terus dibelakangnya, lalu beliau berkata: “Wahai nabi Allah, cukup sudah senandung doamu kepada Rabbmu, sesungguhnya Dia akan memenuhi apa-apa yang tekah dijanjikanNya kepadamu.” [9]
Mengometari doa di atas, Imam An Nawawi  Rahimahullah[10] berkata:
وَفِيهِ : اِسْتِحْبَاب اِسْتِقْبَال الْقِبْلَة فِي الدُّعَاء وَرَفْع الْيَدَيْنِ فِيهِ ، وَأَنَّهُ لَا بَأْس بِرَفْعِ الصَّوْت فِي الدُّعَاء
                “Dalam hadits ini, dianjurkan menghadap kiblat ketika berdoa dan mengangkat kedua tangan, dan tidak mengapa mengeraskan suara dalam berdoa.” [11]
Dari Abdurrahman bin Abza dari ayahnya:
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يُوتِرُ بِسَبِّحْ اسْمَ رَبِّكَ الْأَعْلَى وَقُلْ يَا أَيُّهَا الْكَافِرُونَ وَقُلْ هُوَ اللَّهُ أَحَدٌ وَكَانَ يَقُولُ إِذَا سَلَّمَ سُبْحَانَ الْمَلِكِ الْقُدُّوسِ ثَلَاثًا وَيَرْفَعُ صَوْتَهُ بِالثَّالِثَةِ
“Sesungguhnya Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dalam shalat witir membaca Sabbihisma Rabbikal A’la, Qul Yaa Ayyuhal Kafirun, dan Qul Huwallahu Ahad, dan jika selesai mengucapkan salam di membaca Subhanal Malikil Quddus tiga kali, dan meninggikan suaranya pada kali yang ketiga.[12]
Alasan lain menurut kalangan yang membolehkan dzikir dikeraskan adalah adanya hadits-hadits tentang dzikir yang diajarkan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, yang didengarkan oleh para sahabat. Itu menunjukkan bahwa dizikir pasti keraskan, sebab, mana mungkin para sahabat mengetahui bacaan dzikir adalah ini dan itu, jika Rasulullah bersuara pelan? Bagaimana para sahabat bisa mendengar jika bacaannya pelan? Demikianlah alasan kelompok ini.
Bagaimana menyikapi dua dalil yang seakan-akan kontradiktif itu. berikut penjelasan Imam An Nawawi Rahimahullah:
وَقَدْ جَمَعَ النَّوَوِيُّ بَيْنَ الأَحَادِيْثِ الوَارِدَةِ فِيْ اسْتِحْبَابِ الجَهْرِ بِالذِّكْرِ وَالوَارِدَةِ فِيْ اسْتِحْبَابِ الإِسْرَارِ بِهِ بِأَنَّ الإِخْفَاءَ أَفْضَلُ حَيْثُ خَافَ الرِّياَءَ أَوْتَأَذَّى المُصَلُّوْنَ أَوْالنَّائِمُوْنَ. وَالجَهْرُ أَفْضَلُ فِيْ غَيْرِ ذَالِكَ لِأَنَّ العَمَلَ فِيْهِ أَكْثَرُ وَلِأَنََّ فَائِدَتَهُ تَتَعَدَّى إِلَى السَّامِعِيْنَ وَلِأَنَّهُ يُوْقِظُ قَلْبَ الذَّاكِرِ وَيَجْمَعُ هَمَّهُ إِلَى الفِكْرِ وَيُصَرِّفُ سَمْعَهُ إِلَيْهِ وَيُطَرِّدُ النَّوْمَ
“Imam Nawawi menkompromikan (al jam’u wat taufiq) antara dua hadits yang mensunnahkan mengeraskan suara dzikir dan hadist yang mensunnahkan memelankan suara dzikir tersebut, bahwa memelankan dzikir itu lebih utama sekiranya ada kekhawatiran akan riya', mengganggu orang yang shalat atau orang tidur, dan mengeraskan dzikir lebih utama jika lebih banyak mendatangkan manfaat seperti agar kumandang dzikir itu bisa sampai kepada orang yang ingin mendengar, dapat mengingatkan hati orang yang lalai, terus merenungkan dan menghayati dzikir, mengkonsentrasikan pendengaran jama’ah, menghilangkan ngantuk serta menambah semangat." (Ruhul Bayan, Juz 3, hal. 306).
Namun demikian, hendaknya bagi yang ingin mengeraskan suara dalam dzikir, dilakukan dengan suara yang wajar dan tidak mengganggu jamaah yang masbuq, hingga hilang kekhusyu’an mereka. Tidak sedikit kelompok jamaah yang baru, suara imamnya kalah oleh suara dzikir jamaah sebelumnya. Akhirnya memicu pertengkaran di antara jamaah mesjid. Sampai di sini.
2. Berdoa setelah shalat
Di atas adalah tentang berdzikir setelah shalat. Sekarang tentang berdoanya. Para ulama berselisih pendapat tentang berdoa setelah shalat wajib. Ada yang mengatakan sebagai amalan yang disyariatkan, bahkan termasuk waktu yang bagus untuk berdoa. Seperti kalangan pengikut Syafi’iyah. Apalagi berdoa setelah shalat Shubuh dan Ashar, sebagai pengganti dari shalat sunah, sebagaimana yang difahami oleh pengikut Imam Ahmad, Imam Abu Hanifah, dan Imam-imam lainnya. Hal ini, mereka beralasan beberapa hadits berikut.
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam pernah di tanya: “Ayyu du’a’i asma’? (Doa apakah yang paling didengar?).” Beliau menjawab: “Doa pada jaufil lailil akhir (sepertiga malam terakhir), dan doa setelah shalat wajib.” [13]
Dari Mu’adz bin Jabal Radhiallahu ‘Anhu: Bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam suatu hari memegang tangannya dan berkata: “Hai Mu’adz, saya sungguh sayang padamu!” Mu’adz menjawab: “Demi ibu bapakku yang menjadi tebusan anda, aku juga menyayangi Anda wahai Rasulullah!” Sabda Rasulullah: “Hai Mu’adz saya amanatkan kepadamu agar setiap selesai shalat, jangan sekali-kali ketinggalan membaca:
Allahumma ‘a’inni ‘ala dzikrika wasyukrika wa husni ‘ibadatik (Ya Allah bantulah aku dalam mengingatmu, bersyukur dan memperbaiki ibadah kepadaMu).[14]
Dalam riwayat lain:
َفضَالَةَ بْنَ عُبَيْدٍ صَاحِبَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ
سَمِعَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَجُلًا يَدْعُو فِي صَلَاتِهِ لَمْ يُمَجِّدْ اللَّهَ تَعَالَى وَلَمْ يُصَلِّ عَلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَجِلَ هَذَا ثُمَّ دَعَاهُ فَقَالَ لَهُ أَوْ لِغَيْرِهِ إِذَا صَلَّى أَحَدُكُمْ فَلْيَبْدَأْ بِتَمْجِيدِ رَبِّهِ جَلَّ وَعَزَّ وَالثَّنَاءِ عَلَيْهِ ثُمَّ يُصَلِّي عَلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ثُمَّ يَدْعُو بَعْدُ بِمَا شَاءَ
Fadhalah bin Ubaid, seorang sahabat Nabi, berkata: Rasulullah Shallallahu ‘Alahi wa Sallam mendengar seorang yang berdoa ketika shalat, tanpa memuji Allah Ta’ala, belum bershalawat kepada Rasulullah, Maka beliau bersabda: “Segera kemari,” lalu dia memanggilnya dan berkata kepadanya –atau kepada lainnya: Jika salah seorang kalian selesai shalat, maka hendaknya dia memulai dengan memuji Allah ‘Azza wa Jalla, dan memuliakanNya, kemudian bershalawat atas Rasulullah, lalu berdoalah setelah itu sekehendaknya.” [15]
Imam Abu Thayyib berkata tentang hadits ini, khususnya ketika mengomentari ‘seorang yang berdoa ketika shalat’:
أَيْ فِي آخِر صَلَاته أَوْ بَعْدهَا
“Yaitu pada akhir shalat atau sesudahnya.” [16]
Dari Muslim bin Al Harits Radhiallahu ‘Anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
إِذَا انْصَرَفْتَ مِنْ صَلَاةِ الْمَغْرِبِ فَقُلْ اللَّهُمَّ أَجِرْنِي مِنْ النَّارِ سَبْعَ مَرَّاتٍ فَإِنَّكَ إِذَا قُلْتَ ذَلِكَ ثُمَّ مِتَّ فِي لَيْلَتِكَ كُتِبَ لَكَ جِوَارٌ مِنْهَا وَإِذَا صَلَّيْتَ الصُّبْحَ فَقُلْ كَذَلِكَ فَإِنَّكَ إِنْ مِتَّ فِي يَوْمِكَ كُتِبَ لَكَ جِوَارٌ مِنْهَا
                “Jika engkau telah selesai shalat maghrib, bacalah: “Allahumma Ajirni Minan naar,” (Ya Allah jauhkanlah aku dari api neraka) sebanyak tujuh kali. Jika engkau membacanya lalu mati pada malam hari maka dicatat bagimu perlindungan dari api nereka. Jika engkau membaca setelah shalat shubuh, jika engkau mati pada hari itu maka dicatat bagimu perlindungan dari api neraka.”[17]
Empat  Hadits ini menjelaskan tentang kalimat yang diajarkan oleh nabi dalam bentuk doa setelah selesai shalat, maka berdoa setelah shalat merupakan anjuran Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, namun dilakukannya setelah dzikir. Inilah yang benar, Insya Allah Ta’ala.
Namun, ada juga yang mengatakan berdoa setelah shalat wajib sebagai bid’ah, sebab menurut mereka, doa-doa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dilakukan seluruhnya di dalam shalat, bukan setelah shalat. Menurut mereka, Rasulullah tidak pernah berdoa setelah shalat wajib. Menurut mereka, tak ada satu pun hadits yang menunjukkan hal itu.  Inilah pandangan Imam Ibnu Taimiyah[18], Imam Ibnul Qayyim[19], dan Imam Asy Syathibi. Adapun setelah shalat, bukanlah doa tetapi dzikir saja. Seperti istighfar, laa ilaha illallahu wahdahu laa syarikalah dst, Allahumma anta salam, tasbih, tahmid, takbir masing-masing 33 kali, dst. Sedangkan hadits-hadits di atas itu, tidak menunjukkan berdoa setelah shalat wajib, hanya menyebut berdoa setelah shalat. Bisa jadi itu bermakna shalat sunah Yang pasti tidak ada kejelasan, apakah doa setelah shalat wajib atau sunah.
Di pihak lain,  ada juga ulama yang menganggap bahwa masalah ini sangat luwes dan luas. Bagi yang ingin berdoa, silahkan ia melakukan, bagi yang tidak mau silahkan tinggalkan. Ada juga ulama yang mengatakan, berdoa setelah shalat tidak apa-apa dilakukan, tetapi bukan rutinitas.
Selanjutnya, ada satu lagi masalah, bagaimana dengan berdoa dipimpin oleh satu orang (imam shalat) dengan suara keras? Nah, sama dengan sebelumnya, mereka juga berbeda pendapat.
Bagi yang membid’ahkan, menurut mereka tidak ada satu pun dalil dalam Al Quran dan As Sunnah yang menunjukkan hal itu dalam shalat wajib. Tidak ada contohnya dalam perilaku Rasulullah, sahabat, dan generasi terbaik. Justru yang ada dalam Al Quran adalah perintah agar kita berdoa pelan-pelan. Tidak keras-keras, sebab itu melampaui batas.
Allah Ta’ala berfirman:
“Berdoalah kepada tuhanmu dengan merendah dan pelan, sesungguhnya Dia tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas.” (QS. Al A’raf: 55)
Yang ada menurut mereka adalah berdoa dikeraskan dalam khutbah jumat, doa meminta hujan dalam shalat istisqa, doa qunut nazilah, doa pada akhir majelis. Adapun doa dikeraskan yang dipimpin oleh satu orang setelah shalat wajib, menurut pandangan ulama-ulama ini, tidak ada dasarnya dalam Al Quran dan As Sunnah.
Sedangkan bagi yang mendukung berdoa dipimpin oleh Imam shalat, mereka beralasan hadits sebagai berikut:
Dari Tsauban, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:  
لَا يَؤُمُّ رَجُلٌ قَوْمًا فَيَخُصُّ نَفْسَهُ بِالدُّعَاءِ دُونَهُمْ فَإِنْ فَعَلَ فَقَدْ خَانَهُمْ
“Janganlah seseorang mengimami sebuah kaum, lalu dia mengkhususkan berdoa untuk dirinya tanpa mendoakan kaumnya. Jika itu dilakukan, maka dia telah mengkhianati mereka.”[20]
Demikianlah uraian masalah ini. Betapa para ulama telah silang pendapat begitu banyak. Maka, hendaknya setiap muslim mengikuti pandangan ulama yang menurutnya paling kuat dalilnya. Sebab, Al Haq ahaqqu ayyuttaba’ (Kebenaran lebih layak untuk diikuti). Namun, tidak dibenarkan kita memaksa apalagi melecehkan orang-orang yang berbeda dengan kita. Wallahu A’lam
                                                            * * * * *




[1] Imam paling senior dalam empat madzhab fiqih Ahlus Sunnah wal Jamaah, bernama Nu’man bin Zauthi At Taimi Al Kufi. Dia orang Iraq lahir di Kufah tahun 80H, dinamakan Abu Hanifah karena selalu membawa tinta yang dalam bahasa Iraq disebut Hanifah. Wajahnya tampan dan selalu rapi, dia seorang pionir fiqih yang diakui para imam besar, pernah berjumpa 10 sahabat nabi, murid-muridnya menjadi imam pada zamannya masing-masing, seperti Abu Yusuf dan Muhammad bin Hasan. Selalu bangun malam untuk tahajjud, Asad bin Amir mengatakan: Imam Abu Hanifah selama 40 tahun shalat subuh menggunakan wudhu shalat Isya! Artinya, selama 40 tahun dia tidak pernah tidur malam untuk shalat tahajjud. Pernah disiksa 110 cambuk karena menolak untuk diberikan jabatan oleh Khalifah Marwan. Beliau wafat diracuni secara paksa di dalam penjara oleh Khalifah Al Manshur pada tahun 150H, dan meninggalkan satu orang anak yakni Hammad.

[2] Pendiri madzhab Maliki, Imam kedua setelah Imam Abu Hanifah, nama aslinya Malik bin Anas bin Malik bin ‘Amir Al Ashbahi Al Madini. Lahir di Madinah tahun 93H (712M). Beliau dijuluki Imam Darul Hijrah (Imamnya negeri Hijrah/Madinah). Sejak lahir hingga wafatnya beliau tidak pernah keluar Madinah, kecuali ke Mekkah untuk berhaji. Ia seorang ahli fiqih dan hadits. Karyanya yang paling monumental adalah sebuah kitab hadits Al Muwaththa’ . Beliau berguru kepada para tokoh tabi’in seperti Nafi’, Ibnu Syihab Az Zuhri, Rabi’ah bin Abdirrahman, dan lainnya. Para ulama sepakat, bahwa beliau adalah orang yang terpercaya agamanya, wara’, dan cerdik. Asy Syafi’i mengatakan: “Malik adalah hujjah Allah atas makhlukNya.”Abdurrahman bin Mahdi mengatakan: “Belum pernah aku jumpai orang yang sempurna akalnya dan sangat kuat taqwanya seperti Malik.” Ia pernah disiksa oleh Khalifah hingga engsel tangannya bergeser. Wafat di Madinah tahun 179H (795M) dan dimakamkan di Baqi’. Meninggalkan tiga anak: Ahmad, Muhammad, dan Hammad.

[3] Pendiri madzhab Hambali, madzhab termuda. Beliau bernama Ahmad bin Muhamamd bin Hanbal bin Hilal bin Asad Asy Syaibani. Lahir di Baghdad tahun 164 H (780M). mulai mempelajari hadits usia 15 tahun, dan mulai mengembara ke  Kufah, Mekkah, Madinah, Syam, dan Yaman, di usia 20 tahun. Kepiawaiannya dalam ilmu hadits membuat sebagian manusia menilainya sebagai ahli hadits dibanding sebagai ahli fiqih. Dari tahun 195-197H, dia berguru kepada Imam Asy Syafi’i di Baghdad, dan menjadi salah satu murid utamanya. Namun, Imam Asy Syafi’i mengambil manfat ilmu hadits darinya. Al Mizzi mengatakan guru Imam Ahmad melebihi 104 orang, diantaranya Sufyan bin Uyainah, Abdullah bin Mubarak, dan Yahya bin Said al Qaththan. Karyanya ternama adalah Musnad (berisi 30.000 hadits), At Tafsir (120.000 hadits), dan lainnya. Beliau disiksa oleh tiga masa khalifah (Al Mu’tashim, Al Watsiq, dan Al Mutawakkil) lantaran kekukuhannya bahwa Al Quran adalah firman Allah, sementara khalifah meyakini Al Quran adalah makhluk, bukan firman Allah. Beliau wafat, Jumat 12 Rabiul Awal 241H (855M). Adz Dzahabi mengatakan dari Abu Bakar al Khalal, bahwa  jenazah Imam Ahmad diantarkan 1 juta manusia, turut pula 60 ribu wanita. Riwayat lain menyebut 20 ribu orang Yahudi, Nasrani, dan Majusi masuk Islam, setelah wafatnya Imam Ahmad bin Hambal.

[4] Pendiri madzhab Syafi’i, madzhab ketiga kelahirannya setelah Hanafi dan Maliki. Nama aslinya Muhammad bin Idris bin Al ‘Abbas bin Utsman bin Asy Syafi’ Al Qursyi bin Abdil Muthallib bin Abdi Manaf, nasabnya disandarkan kepada Asy Syafi’ oleh karena itu beliau dipanggil dengan Asy Syafi’i. Lahir di Ghaza (Palestina) tahun 150H (767M). Hafal Al Quran usia tujuh tahun, dan hafal kitab Al Muwaththa’ usia sepuluh tahun. Beliau dijuluki Imam Nashirus Sunnah (pembela As Sunnah) lantaran kegigihannya melawan kaum ingkar sunah pada masanya. Dia berhasil memadukan kecerdasan ahli ra’yi (rasional) yang diwariskan dari murid-murid Abu Hanifah, dengan ketelitian ahli hadits yang dia peroleh langsung dari Imam Malik. Dia menjadi murid Imam Malik sejak kecil, lantaran saat itu sudah hafal kitab Al Muwaththa’. Beliau juga menjadi orang pertama yang melembagakan keilmuan Ushul Fiqih dalam kitabnya Ar Risalah. Sepanjang hidupnya, beliau memiliki dua pemikiran fiqih, yakni Qaul Qadim (pendapat lama) ketika masih di Baghdad, dan Qaul Jadid (pendapat baru) ketika pindah ke Mesir. Usia 15 tahun sudah diberikan rekomendasi untuk berfatwa. Ar Rabi’ mengatakan bahwa Asy Syafi’i lebih cerdas dibanding para imam besar lainnya seperti Abu Hanifah, Abu Yusuf, Muhamamd bin Hasan, Hammad Ibrahim Al Aswad dan Alqamah.  Beliau telah menghasilkan 140an karya, yang terkenal adalah Al Umm, Al Musnad, dan lainnya. Murid-muridnya adalah Imam Ahmad, Imam Abu Tsaur, Imam Al Muzani, Imam Al Buwaithi, dan lain-lain. Wafat di Mesir malam Jumat setelah maghrib Sya’ban 204H (820M).
[5] HR. Bukhari, Kitab Al Adzan Bab Adz Dzikri Ba’da Ash Shalah, Juz. 3, Hal. 345,  No hadits. 796, dan Muslim, Kitab Al Masajid wa Mawadhi’ Ash Shalah Bab Adz Dzikri Ba’da Ash Shalah, Juz.  3 Hal. 239. No hadits. 919. Al Maktabah Asy Syamilah
[6] Beliau adalah Ahmad bin Ali bin Muhammad bin Muhammad bin Ali bin Mahmud bin Ahmad bin Hajar al Kannani. Qabilah berasal dari Asqalan. Beliau lahir di Mesir 22 Sya’ban 773H (1372M). Dia seorang Al Hafizh, faqih bermadzhab Syafi’i, ahli ibadah, dermawan, wara’, tenang, berwibawa, pendiam, tinggi, bermuka cerah, tutur katanya sopan. Ia dijuluki Amirul Mu’minin fil hadits (pemimpinnya kaum muslimin dalam ilmu hadits) pada masanya. Ia diberikan jabatan Qadhi Al Qudhat (semacam Hakim Agung). Berguru kepada para imam sperti Al Bulqini, Ibnul Mulqin, Al ‘Iraqi, Al Haitsami, Al Majd Asy Syairazi, Al Muhib bin Hisyam dan Al Ghimari. Sementara murid-muridnya telah menjadi Imam bagi kaum muslimin yakni Imam As Sakhawi, Imam Zakaria Al Anshari, Imam Al Biqa’i, dan lainnya. Karyanya sangat banyak, yang terkenal adalah Fathul Bari, Bulughul Maram, Tahdzibut Tahdzib, Lisanul Misan, Talkhish Al Habir, dan lainnya. Wafat di Mesir pada Sabtu malam 28 Dzulhijjah 852H (1448M), dikuburkan  dekat makam Imam Asy Syafi’i.
[7] Imam Ibnu Hajar, Fathul Bari, Juz. 3, Hal. 248. No hadits. 796. Al Maktabah Asy Syamilah
[8] Ibid

[9] HR. Muslim, Kitab Al Jihad was Siyar Bab Al Imdad bil Malaikah fi Ghazwati Badr …, Juz. 9, Hal. 214, No. 3309. Al Maktabah Asy Syamilah

[10] Beliau adalah Yahya bin Syaraf bin Muri bin Hasan bin Husain bin Muhammad bin Jum’ah bin Hizam Al Hizam Al Haurani Ad Dimasyqi Asy Syafi’i.  Imam An Nawawi biasa dipanggil Abu Zakaria, itu adalah kebiasaan orang Arab, jika bernama Yahya akan dipanggil Abu Zakaria karena meniru Nabi Yahya dan ayahnya Nabi Zakaria ‘Alaihimas Salam. Lahir di Nawa pada Muharram 631H (1234M), hidup dalam kesederhanaan dan kesungguhan, jarang tertawa, zuhud, ahli ibadah, faqih bermadzhab Syafi’i, Al Hafizh, dan tokoh utama dalam madzhab Syafi’i. Karya-karyanya sangat banyak dan diterima oleh ulama dan orang awam, seperti Syarh Shahih Muslim, Riyadhusshalihin, Al Arbai’in, Al Adzkar, At Taqrib, Raudhatut Thalibin, Majmu’ Syarh Al Muhadzdzab, dan lain-lain. Wafat di Nawa pada malam selasa 24 Rajab 676H (1278M) pada usia 45 tahun dan belum menikah karena kesibukannya terhadap ilmu.

[11] Imam An Nawawi, Syarh  Shahih Muslim, Juz. 6, Hal. 213, No. 3309. Al Maktabah Asy Syamilah)
[12] HR. An Nasa’i, Kitab Qiyamul Lail wa Tathawwu’ an Nahar Bab Dzikrul Ikhtilaf ‘ala Syu’bata Fih, Juz. 6, Hal. 243, No hadits. 1713. Dishahihkan oleh Syaikh Al Albany, Shahih wa Dhaif Sunan An Nasa’i, Juz. 4, Hal. 376, No. 1732. Al Maktabah Asy Syamilah

[13] HR. At Tirmidzi, Juz. 11, Hal. 404, No hadits. 3421, katanya sanadnya hasan. An Nasa’i, As Sunan Al Kubra, Juz. 6, Hal. 32. Al Maktabah Asy Syamilah
[14] HR. Abu Daud, Juz. 4, Hal. 314, No hadits. 1301, Ahmad, Juz. 45, Hal. 96, 102, No hadits. 21103, 21109. Ibnu Abi Syaibah, Al Mushannaf, Juz. 7, hal. 63, 134. Abdurrazaq, Al Mushannaf, Juz. 10, Hal. 439. An Nasa’i, As Sunan Al Kubra, Juz. 6, Hal. 32. Al Hakim, Al Mustadrak ‘Alash Shaihain, Juz. 3, Hal. 16. No hadits. 960. Katanya: shahih, sesuai syarat shahihain. At Thabarani, Al Mu’jam Al Kabir, Juz. 14, hal. 460, No hadits. 16532. Al Maktabah Asy Syamilah
[15] HR. Abu Daud, Juz. 4, Hal. 280, No hadits. 1266.  At Tirmidzi, Juz. 11, Hal. 381, No hadits. 3399, katanya hadits ini hasan shahih. Al Baihaqi, As Sunan Al Kubra  , Juz. 2, Hal. 148. Al Hakim, Mustadrak ‘alash Shaihain, Juz. 2, Hal. 496, No hadits. 940, kata Al Hakim hadits ini shahih sesuai syarat syaikhan/Bukhari-Muslim. Al Makatabah Asy Syamilah
[16] Imam Abu Thayyib Muhammad Syamsuddin Abadi, ‘Aunul Ma’bud,  Juz. 3, Hal. 412, No. 1266. Al Maktabah Asy Syamilah

[17] Hadits hasan, Imam Abu Daud, Juz. 13, Hal. 274, No. 4417.  Imam Ahmad, Juz. 36, Hal. 500, No. 17362. Imam An Nasa’i, As Sunan Al Kubra, Juz. 6, Hal. 33. Imam Ath Thabarani, Al Mu’jam Al Kabir, Juz. 14, Hal. 369, No. 16369. Ibnu Hibban, Juz. 9, Hal. 32, No. 2056, beliau menshahihkannya. Dalam Kitab Raudhatul Muhadditsin, disebutkan bahwa hadits ini hasan, Juz. 11, Hal. 358, No. 5358. Al Maktabah Asy Syamilah
[18] Beliau adalah Ahmad bin Abdil Halim bin Abdissalam bin Abdillah bin Al Khadr bin Muhammad bin Al Khadr bin Ali bin Abdillah bin Taimiyah An Namiri Al Harrani Ad Dimasyqi Abu Al Abbas Taqiyyuddin Syaikhul Islam. Nama Ibnu Taimiyah di ambil dari kakeknya dari jalur ibu. Lahir di Harran (wilayah Turki) tahun 661H (1263M).  Ia dijuluki Syaikhul Islam, penjaga agama, pemberantas syirk dan bid’ah, lautan ilmu, paling tahu tentang ilmu hadits pada zamannya, begitu juga tentang Al Quran dan Qiraat dan juga seorang  mujahid. Beliau ikut Andil dalam peperangan melawan pasukan Tartar dan mengajak sultan saat itu untuk mengobarkan jihad kaum muslimin. Az Zamlakani mengatakan sejak lima ratus tahun lalu belum ada manusia yang ilmu haditsnya seperti dia. Keluasan ilmunya, kedudukannya yang tinggi membuat banyak dengki ulama lainnya. Menyebarkan fitnah untuknya hingga dia dipenjara oleh penguasa saat itu. Karya-karyanya saat ini mempengaruhi seluruh pemikiran umat Islam baik ulama atau orang awam, seperti Majmu’ Fatawa, Fatawa Al Kubra, Raf’ul Malam ‘an A’immatil A’lam, Iqtdha Shirathal Mustaqim, Al Furqan Baina Auliya’ir Rahman wa Auliya’isy Syaithan. Wafat di Damaskus 28 Zulqa’dah 728H (1328M) dan belum  menikah karena pengorbanannya untuk jihad dan ilmu.. Murid-muridnya adalah para imam juga seperti Imam Ibnul Qayyim, Imam Ibnu Abdil hadi, Imam Ibnu Katsir, Imam Adz Dzahabi dan lainnya.

[19] Dia adalah Muhammad  bin Abi Bakar bin Ayyub bin Sa’ad bin Hariz bin Makki, Zainuddin Az Zur’i Ad Dimasyqi Al Hambali. Lahir di Damaskus 7 Shafar 691H. Berguru kepada Ibnu Taimiyah sampai gurunya wafat. Hingga dia sangat meguasai apa yang diperoleh dari gurunya baik ilmu hadits, fiqih, tafsir, ushul, sejarah, dan nahwu. Beliau juga seorang yang rajin ibadah, banyak shalat malam. Ibnu Katsir mengatakan belum pernah dia temui manusia yang ibadahnya melebihi Ibnul Qayyim. Mulla Ali Al Qarri mengatakan Ibnu Taimiyah dan Ibnul Qayyim merupakan tokoh Ahlus Sunnah wal Jama’ah dan wali umat ini. Karyanya yang terkenal adalah I’lamul Muwaqi’in, Fawaidul Fawaid, Zaadul Ma’ad, Ighatsatul Lahfan, Miftah Daris Sa’adah, dan lain-lain. Beliau wafat malam kamis bertepatan adzan Isya 13 Rajab 751, usia 60 tahun. Muridnya adalah Imam Ibnu Rajab (pengarang Shaidul Khatir dan Jami’ul Ulum wal Hikam), Imam Ibnu Katsir, Imam Adz Dzahabi, dan lainnya.

[20] HR. Abu Daud, Kitab Ath haharah Bab Ayushalli Ar Rajulu wa Huwa Haqin, Juz. 1, Hal. 127, No. 83. At Tirmidzi, Kitab Ash Shalah Bab aa Ja’a Fi Karahiyati  An Yakhusshal Imam Nafsahu bid Du’a, Juz. 2, Hal. 95, No. 325. Katanya: hadits ini hasan. Ibnu Majah, Kitab Iqamatus Shalah was Sunnah fiha Bab Laa Yakhushshal Imam Bid Du’a, Juz. 3, Hal. 176, No. 913. Ahmad, Juz. 45, Hal. 206, No. 21211. Al Maktabah Asy Syamilah 

2 comments:

  1. izin share and copy ust.. boleh?
    jazakallah

    ReplyDelete
  2. Sdr Rudi Widayanto yg semoga diberi Allah Hidayah, bertaubatlah dgn segera dari perbuatan syirik (perdukunan,pesugihan,azimat,bersekutu dgn jin)itu karena itu hanya akan menghapus amal2mu dan akan menambah dosa bagimu !

    ReplyDelete