Assalamu ‘alaikum, Wr. Wb. Apa hukumnya seorang
ma’mum yang tidak berdzikir bersama imamnya setelah Shalat? (Jamaah mesjid
Fathul Khasyi’in - Penjajab – Pemangkat,
Kab. Sambas- Kalbar)
Jawab:
Wa ‘alaikum Salam, Wr Wb.
Bismillahirrahmanirahim wal hamdulillah wash
shalatu wassalamu ‘ala rasulillah wa ba’d:.
Sebagusnya umat Islam
tidak saling curiga dan ‘bertengkar’ dengan permasalahan ini. Masalah ini
adalah khilafiyah sangat lama di negeri ini, dan tidak dibenarkan bersikap
keras terhadap masalah khilafiyah, baik keras menentang atau keras mendukung.
Bahkan dalam masalah banyak sekali pandangan ulama, sebagaimana yang akan kita
lihat nanti.
Hendaknya kita membedakan
dulu tentang hukum berdzikir bersama setelah shalat wajib. Dan hukum berdoa
bersamanya. Jadi, ada dua pembahasan, berdzikir di satu sisi, berdoa di sisi
lain. Demikianlah pembagian yang dilakukan para ulama, sebab mereka tidak
menganggap hukum keduanya adalah sama.
1. Masalah Mengeraskan dzikir setelah
shalat .
Kita ketahui, ada
sebagian ulama yang membid’ahkan dzikir berjamaah setelah shalat, dengan
dipimpin oleh seorang imam. Ulama tersebut seperti Imam Ibnu Taimiyah, Imam Asy
Syathibi, Imam Ibnu Baz, Imam Al Albany, Syaikh Shalih Fauzan, Imam Ibnu
Utsaimin, dan lain-lain.
Sebenarnya para ulama sepakat
bahwa berdzikir/wirid (bukan doa) setelah shalat wajib adalah disyariatkan. Hanya saja mereka
berbeda dalam hal, apakah dzikir dilakukan masing-masing dengan suara
dipelankan? Atau bersama-sama dipimpin oleh Imam
dengan suara diperdengarkan (jahr)?
Imam
Abu Hanifah[1],
Imam Malik,[2]
dan Imam Ahmad[3]
berpandangan bahwa dzikir hendaknya dilakukan sendiri-sendiri dengan suara
dipelankan. Dalilnya adalah:
Dan
sebutlah (nama) Tuhanmu dalam hatimu dengan merendahkan diri dan rasa takut,
dan dengan tidak mengeraskan suara, di waktu pagi dan petang, dan janganlah
kamu termasuk orang-orang yang lalai." (QS. Al A’raf (7): 205)
Dari
hadits menjelaskan keutamaan berdzikir secara pelan. Sa'ad bin Malik
meriwayatkan Rasulullah saw bersabda, "Keutamaan dzikir adalah yang
pelan (sirr), dan sebaik rizki adalah sesuatu yang mencukupi."
Maka,
janganlah kita menyalahkan, merasa aneh, dan curiga terhadap orang yang
berdzikir dengan suara lirih dan sendiri, sebab mereka memiliki dalil dan
sandaran para Imam kaum muslimin. Seringkali, ma’mum memiliki hajat (kebutuhan)
yang bebeda dengan Imamnya, yang tidak diketahui sang imam. Maka, wajar ia
berdoa sendiri sesuai hajatnya.
Namun,
hendaknya bagi yang berdzikirnya sendiri dan pelan, tidak dibenarkan mengutuk
dan memaki-maki saudaranya yang dzikirnya dikeraskan. Sungguh, sikap keras
seperti itu tidak akan mendatangkan simpati, apalagi dukungan.
Sedangkan
Imam Asy Syafi’i[4]
membolehkan dzikir dikeraskan oleh Imam dalam rangka mengajarkan para ma’mum di
belakangnya, walau pada dasarnya dia sendiri lebih suka dengan suara lirih dan
sendiri. (Al Umm, Juz, 1, hal. 110) Tetapi, tidak selamanya ‘kan
ma’mum diajarkan?
Alasannya
adalah dahulu Abdullah bin ‘Abbas Radhiallahu ‘Anhu pernah shalat
jenazah dengan membaca Al fatihah dikeraskan (padahal seharusnya sirr –
dipelankan). Setelah shalat, jamaah bertanya kepadanya kenapa Ia mengeraskan Al
fatihah dalam shalat jenazah? Ia menjawab: “Agar kalian tahu, membaca Al
fatihah dalam shalat jenazah adalah sunah.”
Namun
perlu diketahui, ada ulama –yakni Imam Ibnu Taimiyah- yang menyatakan bahwa tidak
benar anggapan yang menyebutkan bahwa Imam Asy Syaifi’i membolehkan
dzikir dikeraskan setelah shalat wajib. Wallahu A’lam
Imam
Zainuddin Al-Malibari menegaskan: “Disunnahkan berzikir dan berdoa secara pelan
seusai shalat. Maksudnya, hukumnya sunnah membaca dzikir dan doa secara pelan
bagi orang yang shalat sendirian, berjama’ah, imam yang tidak
bermaksud mengajarkannya dan tidak bermaksud pula untuk memperdengarkan doanya
supaya diamini mereka." (Fathul Mu’in, 24). Berarti
kalau berdzikir dan berdoa untuk mengajar dan membimbing jama’ah maka hukumnya
boleh mengeraskan suara dzikir dan doa.
Contoh
hadits yang menganjurkan untuk mengeraskan dzikir riwayat Ibnu Abbas berikut
ini:
أَنَّ أَبَا مَعْبَدٍ مَوْلَى ابْنِ عَبَّاسٍ أَخْبَرَهُ أَنَّ ابْنَ
عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا أَخْبَرَهُ
أَنَّ رَفْعَ الصَّوْتِ بِالذِّكْرِ حِينَ يَنْصَرِفُ النَّاسُ مِنْ
الْمَكْتُوبَةِ كَانَ عَلَى عَهْدِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
وَقَالَ ابْنُ عَبَّاسٍ كُنْتُ أَعْلَمُ إِذَا انْصَرَفُوا بِذَلِكَ إِذَا
سَمِعْتُهُ
Sesungguhnya
Abu Ma’bad pelayan Ibnu Abbas, mengabarkan bahwa Ibnu Abbas menceritakan
kepadanya, tentang meninggikan suara dalam berdzikir ketika manusia selesai
dari shalat wajib, dan hal itu terjadi pada masa Rasulullah Shallallahu
‘Alaihi wa Sallam dan berkatalah Ibnu Abbas: "Aku mengetahui dan mendengarnya
(berdzikir dengan suara keras) apabila mereka selesai melaksanakan shalat dan
hendak meninggalkan (masjid).” [5]
Imam
Ibnu Hajar Al Asqalani Rahimahullah[6]
berkata:
وَفِيهِ
دَلِيل عَلَى جَوَاز الْجَهْر بِالذِّكْرِ عَقِب الصَّلَاة
“Dalam hadits ini
terdapat dalil bolehnya mengeraskan dzikir setelah shalat.” [7]
Di halaman yang sama
beliau mengutip dari Imam An Nawawi:
وَقَالَ
النَّوَوِيّ : حَمَلَ الشَّافِعِيّ هَذَا الْحَدِيث عَلَى أَنَّهُمْ جَهَرُوا بِهِ
وَقْتًا يَسِيرًا لِأَجْلِ تَعْلِيم صِفَة الذِّكْر ، لَا أَنَّهُمْ دَاوَمُوا
عَلَى الْجَهْر بِهِ ، وَالْمُخْتَار أَنَّ الْإِمَام وَالْمَأْمُوم يُخْفِيَانِ
الذِّكْر إِلَّا إِنْ احْتِيجَ إِلَى التَّعْلِيم .
“Berkata
An Nawawi: “Imam Asy Syafi’i memahami hadits ini bahwa mereka mengeraskan suara
yang dengan itu menjadi waktu yang mudah untuk mempelajari sifat dzikir, tidak
berarti mereka membiasakan mengeraskan suara, dan pendapat yang dipilih adalah
bahwa Imam dan Makmum hendaknya merendahkan suara dalam dzikir, kecuali
karena kebutuhan untuk mengajar.” [8]
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam
Pernah Mengeraskan Suara
Disebutkan dalam beberapa
hadits shahih, kadang kala Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam
berdzikir dan berdoa dengan meninggikan suaranya, namun riwayat ini tidak
menunjukkan bahwa itu menjadi suatu kelaziman (kebiasaan) baginya dan bukan
pula setelah shalat wajib.
Imam Muslim meriwayatkan
bahwa ketika menjelang perang Badar, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa
Sallam berdoa demikian, dari Umar bin Al Khathab Radhiallahu ‘Anhu:
لَمَّا كَانَ
يَوْمُ بَدْرٍ نَظَرَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِلَى
الْمُشْرِكِينَ وَهُمْ أَلْفٌ وَأَصْحَابُهُ ثَلَاثُ مِائَةٍ وَتِسْعَةَ عَشَرَ
رَجُلًا فَاسْتَقْبَلَ نَبِيُّ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
الْقِبْلَةَ ثُمَّ مَدَّ يَدَيْهِ فَجَعَلَ يَهْتِفُ بِرَبِّهِ اللَّهُمَّ
أَنْجِزْ لِي مَا وَعَدْتَنِي اللَّهُمَّ آتِ مَا وَعَدْتَنِي اللَّهُمَّ إِنْ
تُهْلِكْ هَذِهِ الْعِصَابَةَ مِنْ أَهْلِ الْإِسْلَامِ لَا تُعْبَدْ فِي
الْأَرْضِ فَمَا زَالَ يَهْتِفُ بِرَبِّهِ مَادًّا يَدَيْهِ مُسْتَقْبِلَ
الْقِبْلَةِ حَتَّى سَقَطَ رِدَاؤُهُ عَنْ مَنْكِبَيْهِ فَأَتَاهُ أَبُو بَكْرٍ
فَأَخَذَ رِدَاءَهُ فَأَلْقَاهُ عَلَى مَنْكِبَيْهِ ثُمَّ الْتَزَمَهُ مِنْ
وَرَائِهِ وَقَالَ يَا نَبِيَّ اللَّهِ كَفَاكَ مُنَاشَدَتُكَ رَبَّكَ فَإِنَّهُ
سَيُنْجِزُ لَكَ مَا وَعَدَكَ
“Ketika hari Badar, Rasulullah Shallallahu
‘Alaihi wa Sallam memandang kaum musyrikin yang berjumlah seribu orang,
sementara pasukannya 319 laki-laki, maka Nabi menghadap kiblat lalu mengangkat
tangannya dan bedoa kepada Rabbnya: “Ya Allah penuhilah kepadaku apa-apa yang
telah Kau janjikan kepadaku, Ya Allah datangkanlah kepadaku apa-apa yang telah
Kau janjikan kepadaku, Ya Allah jika pasukan Islam ini dikalahkan, maka tidak
ada lagi yang menyembahMu di muka bumi.” Rasulullah terus menerus demikian,
menghadap kiblat dan mengangkat kedua tangannya sampai-sampai selendang
dipundaknya terjatuh, lalu Abu Bakar mendekatinya dan mengambil selendang itu
serta meletakkannya kembali ke pu dak Rasulullah, lalu mengikutinya terus
dibelakangnya, lalu beliau berkata: “Wahai nabi Allah, cukup sudah senandung
doamu kepada Rabbmu, sesungguhnya Dia akan memenuhi apa-apa yang tekah
dijanjikanNya kepadamu.” [9]
Mengometari
doa di atas, Imam An Nawawi Rahimahullah[10] berkata:
وَفِيهِ
: اِسْتِحْبَاب اِسْتِقْبَال الْقِبْلَة فِي الدُّعَاء وَرَفْع الْيَدَيْنِ فِيهِ
، وَأَنَّهُ لَا بَأْس بِرَفْعِ الصَّوْت فِي الدُّعَاء
“Dalam hadits ini, dianjurkan
menghadap kiblat ketika berdoa dan mengangkat kedua tangan, dan tidak mengapa
mengeraskan suara dalam berdoa.” [11]
Dari Abdurrahman bin Abza
dari ayahnya:
أَنَّ رَسُولَ
اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يُوتِرُ بِسَبِّحْ اسْمَ رَبِّكَ
الْأَعْلَى وَقُلْ يَا أَيُّهَا الْكَافِرُونَ وَقُلْ هُوَ اللَّهُ أَحَدٌ وَكَانَ
يَقُولُ إِذَا سَلَّمَ سُبْحَانَ الْمَلِكِ الْقُدُّوسِ ثَلَاثًا وَيَرْفَعُ
صَوْتَهُ بِالثَّالِثَةِ
“Sesungguhnya Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam
dalam shalat witir membaca Sabbihisma Rabbikal A’la, Qul Yaa Ayyuhal
Kafirun, dan Qul Huwallahu Ahad, dan jika selesai mengucapkan salam
di membaca Subhanal Malikil Quddus tiga kali, dan meninggikan
suaranya pada kali yang ketiga.” [12]
Alasan lain menurut
kalangan yang membolehkan dzikir dikeraskan adalah adanya hadits-hadits tentang
dzikir yang diajarkan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, yang
didengarkan oleh para sahabat. Itu menunjukkan bahwa
dizikir pasti keraskan, sebab, mana mungkin para sahabat mengetahui bacaan
dzikir adalah ini dan itu, jika Rasulullah bersuara pelan? Bagaimana para
sahabat bisa mendengar jika bacaannya pelan? Demikianlah alasan kelompok ini.
Bagaimana
menyikapi dua dalil yang seakan-akan kontradiktif itu. berikut penjelasan Imam
An Nawawi Rahimahullah:
وَقَدْ
جَمَعَ النَّوَوِيُّ بَيْنَ الأَحَادِيْثِ الوَارِدَةِ فِيْ اسْتِحْبَابِ الجَهْرِ
بِالذِّكْرِ وَالوَارِدَةِ فِيْ اسْتِحْبَابِ الإِسْرَارِ بِهِ بِأَنَّ
الإِخْفَاءَ أَفْضَلُ حَيْثُ خَافَ الرِّياَءَ أَوْتَأَذَّى المُصَلُّوْنَ
أَوْالنَّائِمُوْنَ. وَالجَهْرُ أَفْضَلُ فِيْ غَيْرِ ذَالِكَ لِأَنَّ العَمَلَ
فِيْهِ أَكْثَرُ وَلِأَنََّ فَائِدَتَهُ تَتَعَدَّى إِلَى السَّامِعِيْنَ وَلِأَنَّهُ
يُوْقِظُ قَلْبَ الذَّاكِرِ وَيَجْمَعُ هَمَّهُ إِلَى الفِكْرِ وَيُصَرِّفُ
سَمْعَهُ إِلَيْهِ وَيُطَرِّدُ النَّوْمَ
“Imam Nawawi
menkompromikan (al jam’u wat taufiq) antara dua hadits yang mensunnahkan
mengeraskan suara dzikir dan hadist yang mensunnahkan memelankan suara dzikir
tersebut, bahwa memelankan dzikir itu lebih utama sekiranya ada kekhawatiran
akan riya', mengganggu orang yang shalat atau orang tidur, dan mengeraskan
dzikir lebih utama jika lebih banyak mendatangkan manfaat seperti agar kumandang
dzikir itu bisa sampai kepada orang yang ingin mendengar, dapat mengingatkan
hati orang yang lalai, terus merenungkan dan menghayati dzikir,
mengkonsentrasikan pendengaran jama’ah, menghilangkan ngantuk serta menambah
semangat." (Ruhul Bayan, Juz 3, hal. 306).
Namun demikian, hendaknya
bagi yang ingin mengeraskan suara dalam dzikir, dilakukan dengan suara yang
wajar dan tidak mengganggu jamaah yang masbuq, hingga hilang kekhusyu’an
mereka. Tidak sedikit kelompok jamaah yang baru, suara imamnya kalah oleh suara
dzikir jamaah sebelumnya. Akhirnya memicu pertengkaran di antara jamaah mesjid.
Sampai di sini.
2. Berdoa setelah shalat
Di atas adalah tentang
berdzikir setelah shalat. Sekarang tentang berdoanya. Para ulama berselisih
pendapat tentang berdoa setelah shalat wajib. Ada yang mengatakan sebagai
amalan yang disyariatkan, bahkan termasuk waktu yang bagus untuk berdoa.
Seperti kalangan pengikut Syafi’iyah. Apalagi berdoa setelah shalat Shubuh dan
Ashar, sebagai pengganti dari shalat sunah, sebagaimana yang difahami oleh
pengikut Imam Ahmad, Imam Abu Hanifah, dan Imam-imam lainnya. Hal ini, mereka
beralasan beberapa hadits berikut.
Rasulullah Shallallahu
‘Alaihi wa Sallam pernah di tanya:
“Ayyu du’a’i asma’? (Doa apakah yang paling didengar?).” Beliau menjawab:
“Doa pada jaufil lailil akhir
(sepertiga malam terakhir), dan doa setelah shalat wajib.” [13]
Dari Mu’adz bin Jabal Radhiallahu
‘Anhu: Bahwa Rasulullah Shallallahu
‘Alaihi wa Sallam suatu hari memegang tangannya dan berkata: “Hai Mu’adz,
saya sungguh sayang padamu!” Mu’adz menjawab: “Demi ibu bapakku yang menjadi
tebusan anda, aku juga menyayangi Anda wahai Rasulullah!” Sabda Rasulullah:
“Hai Mu’adz saya amanatkan kepadamu agar setiap selesai shalat, jangan
sekali-kali ketinggalan membaca:
Allahumma ‘a’inni ‘ala
dzikrika wasyukrika wa husni ‘ibadatik (Ya Allah bantulah aku dalam mengingatmu,
bersyukur dan memperbaiki ibadah kepadaMu).[14]
Dalam riwayat lain:
َفضَالَةَ بْنَ عُبَيْدٍ صَاحِبَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ
سَمِعَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَجُلًا
يَدْعُو فِي صَلَاتِهِ لَمْ يُمَجِّدْ اللَّهَ تَعَالَى وَلَمْ يُصَلِّ عَلَى
النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَجِلَ هَذَا ثُمَّ دَعَاهُ فَقَالَ لَهُ أَوْ
لِغَيْرِهِ إِذَا صَلَّى أَحَدُكُمْ فَلْيَبْدَأْ بِتَمْجِيدِ رَبِّهِ جَلَّ
وَعَزَّ وَالثَّنَاءِ عَلَيْهِ ثُمَّ يُصَلِّي عَلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ثُمَّ يَدْعُو بَعْدُ بِمَا شَاءَ
Fadhalah bin Ubaid,
seorang sahabat Nabi, berkata: Rasulullah Shallallahu ‘Alahi wa Sallam
mendengar seorang yang berdoa ketika shalat, tanpa memuji Allah Ta’ala, belum
bershalawat kepada Rasulullah, Maka beliau bersabda: “Segera kemari,” lalu dia
memanggilnya dan berkata kepadanya –atau kepada lainnya: Jika salah seorang
kalian selesai shalat, maka hendaknya dia memulai dengan memuji Allah ‘Azza
wa Jalla, dan memuliakanNya, kemudian bershalawat atas Rasulullah, lalu
berdoalah setelah itu sekehendaknya.” [15]
Imam Abu Thayyib berkata tentang hadits
ini, khususnya ketika mengomentari ‘seorang yang berdoa ketika shalat’:
أَيْ فِي
آخِر صَلَاته أَوْ بَعْدهَا
“Yaitu
pada akhir shalat atau sesudahnya.” [16]
Dari
Muslim bin Al Harits Radhiallahu ‘Anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu
‘Alaihi wa Sallam bersabda:
إِذَا انْصَرَفْتَ مِنْ صَلَاةِ الْمَغْرِبِ فَقُلْ اللَّهُمَّ
أَجِرْنِي مِنْ النَّارِ سَبْعَ مَرَّاتٍ فَإِنَّكَ إِذَا قُلْتَ ذَلِكَ ثُمَّ
مِتَّ فِي لَيْلَتِكَ كُتِبَ لَكَ جِوَارٌ مِنْهَا وَإِذَا صَلَّيْتَ الصُّبْحَ
فَقُلْ كَذَلِكَ فَإِنَّكَ إِنْ مِتَّ فِي يَوْمِكَ كُتِبَ لَكَ جِوَارٌ مِنْهَا
“Jika
engkau telah selesai shalat maghrib, bacalah: “Allahumma
Ajirni Minan naar,” (Ya Allah jauhkanlah aku dari api neraka) sebanyak
tujuh kali. Jika engkau membacanya lalu mati pada malam hari maka dicatat
bagimu perlindungan dari api nereka. Jika engkau membaca setelah shalat shubuh,
jika engkau mati pada hari itu maka dicatat bagimu perlindungan dari api
neraka.”[17]
Empat Hadits ini menjelaskan tentang kalimat yang
diajarkan oleh nabi dalam bentuk doa setelah selesai shalat, maka berdoa
setelah shalat merupakan anjuran Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam,
namun dilakukannya setelah dzikir. Inilah yang benar, Insya Allah Ta’ala.
Namun, ada juga yang
mengatakan berdoa setelah shalat wajib sebagai bid’ah, sebab menurut mereka,
doa-doa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dilakukan seluruhnya di
dalam shalat, bukan setelah shalat. Menurut mereka, Rasulullah tidak
pernah berdoa setelah shalat wajib. Menurut mereka, tak ada satu pun hadits
yang menunjukkan hal itu. Inilah
pandangan Imam Ibnu Taimiyah[18], Imam Ibnul Qayyim[19], dan Imam Asy Syathibi.
Adapun setelah shalat, bukanlah doa tetapi dzikir saja. Seperti istighfar, laa
ilaha illallahu wahdahu laa syarikalah dst, Allahumma anta salam, tasbih,
tahmid, takbir masing-masing 33 kali, dst. Sedangkan hadits-hadits di atas itu,
tidak menunjukkan berdoa setelah shalat wajib, hanya menyebut berdoa setelah
shalat. Bisa jadi itu bermakna shalat sunah Yang pasti tidak ada kejelasan,
apakah doa setelah shalat wajib atau sunah.
Di pihak lain, ada juga ulama yang menganggap bahwa masalah
ini sangat luwes dan luas. Bagi yang ingin berdoa, silahkan ia melakukan, bagi
yang tidak mau silahkan tinggalkan. Ada juga ulama yang mengatakan, berdoa setelah
shalat tidak apa-apa dilakukan, tetapi bukan rutinitas.
Selanjutnya, ada satu
lagi masalah, bagaimana dengan berdoa dipimpin oleh satu orang (imam shalat)
dengan suara keras? Nah, sama dengan sebelumnya, mereka juga berbeda pendapat.
Bagi yang membid’ahkan,
menurut mereka tidak ada satu pun dalil dalam Al Quran dan As Sunnah yang
menunjukkan hal itu dalam shalat wajib. Tidak
ada contohnya dalam perilaku Rasulullah, sahabat, dan generasi terbaik. Justru
yang ada dalam Al Quran adalah perintah agar kita berdoa
pelan-pelan. Tidak keras-keras, sebab itu melampaui batas.
Allah
Ta’ala berfirman:
“Berdoalah
kepada tuhanmu dengan merendah dan pelan, sesungguhnya Dia tidak menyukai
orang-orang yang melampaui batas.” (QS. Al A’raf:
55)
Yang
ada menurut mereka adalah berdoa dikeraskan dalam khutbah jumat, doa meminta
hujan dalam shalat istisqa, doa qunut nazilah, doa pada akhir majelis. Adapun
doa dikeraskan yang dipimpin oleh satu orang setelah shalat wajib, menurut
pandangan ulama-ulama ini, tidak ada dasarnya dalam Al Quran dan As Sunnah.
Sedangkan bagi yang
mendukung berdoa dipimpin oleh Imam shalat, mereka beralasan hadits sebagai
berikut:
Dari Tsauban, bahwa
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
لَا
يَؤُمُّ رَجُلٌ قَوْمًا فَيَخُصُّ نَفْسَهُ بِالدُّعَاءِ دُونَهُمْ فَإِنْ فَعَلَ
فَقَدْ خَانَهُمْ
“Janganlah seseorang
mengimami sebuah kaum, lalu dia mengkhususkan berdoa untuk dirinya tanpa
mendoakan kaumnya. Jika itu dilakukan, maka dia telah mengkhianati mereka.”[20]
Demikianlah
uraian masalah ini. Betapa para ulama telah silang pendapat begitu banyak.
Maka, hendaknya setiap muslim mengikuti pandangan ulama yang menurutnya paling
kuat dalilnya. Sebab, Al Haq ahaqqu ayyuttaba’ (Kebenaran lebih layak
untuk diikuti). Namun, tidak dibenarkan kita memaksa apalagi melecehkan
orang-orang yang berbeda dengan kita. Wallahu A’lam
* * * * *
[1] Imam paling senior dalam empat
madzhab fiqih Ahlus Sunnah wal Jamaah, bernama Nu’man bin Zauthi At Taimi Al
Kufi. Dia orang Iraq lahir di Kufah tahun 80H, dinamakan Abu Hanifah karena
selalu membawa tinta yang dalam bahasa Iraq disebut Hanifah. Wajahnya
tampan dan selalu rapi, dia seorang pionir fiqih yang diakui para imam besar,
pernah berjumpa 10 sahabat nabi, murid-muridnya menjadi imam pada zamannya
masing-masing, seperti Abu Yusuf dan Muhammad bin Hasan. Selalu bangun malam
untuk tahajjud, Asad bin Amir mengatakan: Imam Abu Hanifah selama 40 tahun
shalat subuh menggunakan wudhu shalat Isya! Artinya, selama 40 tahun dia tidak
pernah tidur malam untuk shalat tahajjud. Pernah disiksa 110 cambuk karena
menolak untuk diberikan jabatan oleh Khalifah Marwan. Beliau wafat diracuni
secara paksa di dalam penjara oleh Khalifah Al Manshur pada tahun 150H, dan
meninggalkan satu orang anak yakni Hammad.
[2] Pendiri madzhab Maliki, Imam kedua
setelah Imam Abu Hanifah, nama aslinya Malik bin Anas bin Malik bin ‘Amir Al
Ashbahi Al Madini. Lahir di Madinah tahun 93H (712M). Beliau dijuluki Imam
Darul Hijrah (Imamnya negeri Hijrah/Madinah). Sejak lahir hingga wafatnya
beliau tidak pernah keluar Madinah, kecuali ke Mekkah untuk berhaji. Ia seorang
ahli fiqih dan hadits. Karyanya yang paling monumental adalah sebuah kitab
hadits Al Muwaththa’ . Beliau berguru kepada para tokoh tabi’in seperti
Nafi’, Ibnu Syihab Az Zuhri, Rabi’ah bin Abdirrahman, dan lainnya. Para ulama
sepakat, bahwa beliau adalah orang yang terpercaya agamanya, wara’, dan cerdik.
Asy Syafi’i mengatakan: “Malik adalah hujjah Allah atas makhlukNya.”Abdurrahman
bin Mahdi mengatakan: “Belum pernah aku jumpai orang yang sempurna akalnya
dan sangat kuat taqwanya seperti Malik.” Ia pernah disiksa oleh Khalifah
hingga engsel tangannya bergeser. Wafat di Madinah tahun 179H (795M) dan
dimakamkan di Baqi’. Meninggalkan tiga anak: Ahmad, Muhammad, dan Hammad.
[3] Pendiri madzhab Hambali, madzhab
termuda. Beliau bernama Ahmad bin Muhamamd bin Hanbal bin Hilal bin Asad Asy Syaibani. Lahir di Baghdad tahun 164
H (780M). mulai mempelajari hadits usia 15 tahun, dan mulai mengembara ke Kufah, Mekkah, Madinah, Syam, dan Yaman, di
usia 20 tahun. Kepiawaiannya dalam ilmu hadits membuat sebagian manusia
menilainya sebagai ahli hadits dibanding sebagai ahli fiqih. Dari tahun
195-197H, dia berguru kepada Imam Asy Syafi’i di Baghdad, dan menjadi salah
satu murid utamanya. Namun, Imam Asy Syafi’i mengambil manfat ilmu hadits
darinya. Al Mizzi mengatakan guru Imam Ahmad melebihi 104 orang, diantaranya
Sufyan bin Uyainah, Abdullah bin Mubarak, dan Yahya bin Said al Qaththan. Karyanya ternama adalah Musnad
(berisi 30.000 hadits), At Tafsir (120.000 hadits), dan lainnya. Beliau
disiksa oleh tiga masa khalifah (Al Mu’tashim, Al Watsiq, dan Al Mutawakkil)
lantaran kekukuhannya bahwa Al Quran adalah firman Allah, sementara khalifah
meyakini Al Quran adalah makhluk, bukan firman Allah. Beliau wafat, Jumat 12
Rabiul Awal 241H (855M). Adz Dzahabi mengatakan dari Abu Bakar al Khalal,
bahwa jenazah Imam Ahmad diantarkan 1
juta manusia, turut pula 60 ribu wanita. Riwayat lain menyebut 20 ribu orang Yahudi,
Nasrani, dan Majusi masuk Islam, setelah wafatnya Imam Ahmad bin Hambal.
[4] Pendiri madzhab Syafi’i, madzhab
ketiga kelahirannya setelah Hanafi dan Maliki. Nama aslinya Muhammad bin Idris
bin Al ‘Abbas bin Utsman bin Asy Syafi’ Al Qursyi bin Abdil Muthallib bin Abdi
Manaf, nasabnya disandarkan kepada Asy Syafi’ oleh karena itu beliau dipanggil
dengan Asy Syafi’i. Lahir di Ghaza (Palestina) tahun 150H (767M). Hafal Al
Quran usia tujuh tahun, dan hafal kitab Al Muwaththa’ usia sepuluh
tahun. Beliau dijuluki Imam Nashirus Sunnah (pembela As Sunnah) lantaran
kegigihannya melawan kaum ingkar sunah pada masanya. Dia berhasil memadukan
kecerdasan ahli ra’yi (rasional) yang diwariskan dari murid-murid Abu
Hanifah, dengan ketelitian ahli hadits yang dia peroleh langsung dari Imam
Malik. Dia menjadi murid Imam Malik sejak kecil, lantaran saat itu sudah hafal
kitab Al Muwaththa’. Beliau juga menjadi orang pertama yang melembagakan
keilmuan Ushul Fiqih dalam kitabnya Ar Risalah. Sepanjang
hidupnya, beliau memiliki dua pemikiran fiqih, yakni Qaul Qadim
(pendapat lama) ketika masih di Baghdad, dan Qaul Jadid (pendapat baru)
ketika pindah ke Mesir. Usia 15 tahun sudah diberikan rekomendasi untuk
berfatwa. Ar Rabi’ mengatakan bahwa Asy Syafi’i lebih cerdas dibanding para
imam besar lainnya seperti Abu Hanifah, Abu Yusuf, Muhamamd bin Hasan, Hammad
Ibrahim Al Aswad dan Alqamah. Beliau
telah menghasilkan 140an karya, yang terkenal adalah Al Umm, Al
Musnad, dan lainnya. Murid-muridnya adalah Imam Ahmad, Imam Abu Tsaur, Imam
Al Muzani, Imam Al Buwaithi, dan lain-lain. Wafat di Mesir malam Jumat setelah
maghrib Sya’ban 204H (820M).
[5]
HR. Bukhari, Kitab
Al Adzan Bab Adz Dzikri Ba’da Ash Shalah, Juz. 3, Hal. 345, No hadits. 796, dan Muslim, Kitab Al
Masajid wa Mawadhi’ Ash Shalah Bab Adz Dzikri Ba’da Ash Shalah, Juz. 3 Hal. 239. No hadits. 919. Al Maktabah Asy
Syamilah
[6] Beliau adalah Ahmad bin Ali bin
Muhammad bin Muhammad bin Ali bin Mahmud bin Ahmad bin Hajar al Kannani.
Qabilah berasal dari Asqalan. Beliau lahir di Mesir 22 Sya’ban 773H (1372M).
Dia seorang Al Hafizh, faqih bermadzhab Syafi’i, ahli
ibadah, dermawan, wara’, tenang, berwibawa, pendiam, tinggi, bermuka
cerah, tutur katanya sopan. Ia dijuluki Amirul Mu’minin fil hadits
(pemimpinnya kaum muslimin dalam ilmu hadits) pada masanya. Ia diberikan jabatan
Qadhi Al Qudhat (semacam Hakim Agung). Berguru kepada para imam sperti
Al Bulqini, Ibnul Mulqin, Al ‘Iraqi, Al Haitsami, Al Majd Asy Syairazi, Al
Muhib bin Hisyam dan Al Ghimari. Sementara murid-muridnya telah menjadi Imam
bagi kaum muslimin yakni Imam As Sakhawi, Imam Zakaria Al Anshari, Imam Al
Biqa’i, dan lainnya. Karyanya sangat banyak, yang terkenal adalah Fathul
Bari, Bulughul Maram, Tahdzibut Tahdzib, Lisanul Misan, Talkhish
Al Habir, dan lainnya. Wafat di Mesir pada Sabtu malam 28 Dzulhijjah 852H
(1448M), dikuburkan dekat makam Imam Asy
Syafi’i.
[7]
Imam Ibnu Hajar, Fathul Bari, Juz. 3, Hal.
248. No hadits. 796. Al Maktabah Asy Syamilah
[9] HR. Muslim, Kitab Al Jihad was
Siyar Bab Al Imdad bil Malaikah fi Ghazwati Badr …, Juz. 9, Hal. 214, No.
3309. Al Maktabah Asy Syamilah
[10] Beliau adalah Yahya bin Syaraf bin
Muri bin Hasan bin Husain bin Muhammad bin Jum’ah bin Hizam Al Hizam Al Haurani
Ad Dimasyqi Asy Syafi’i. Imam An Nawawi
biasa dipanggil Abu Zakaria, itu adalah kebiasaan orang Arab, jika bernama
Yahya akan dipanggil Abu Zakaria karena meniru Nabi Yahya dan ayahnya Nabi
Zakaria ‘Alaihimas Salam. Lahir di Nawa pada Muharram 631H (1234M),
hidup dalam kesederhanaan dan kesungguhan, jarang tertawa, zuhud, ahli ibadah, faqih
bermadzhab Syafi’i, Al Hafizh, dan tokoh utama dalam madzhab Syafi’i.
Karya-karyanya sangat banyak dan diterima oleh ulama dan orang awam, seperti Syarh
Shahih Muslim, Riyadhusshalihin, Al Arbai’in, Al Adzkar, At
Taqrib, Raudhatut Thalibin, Majmu’ Syarh Al Muhadzdzab, dan
lain-lain. Wafat di Nawa pada malam selasa 24 Rajab 676H (1278M) pada usia 45
tahun dan belum menikah karena kesibukannya terhadap ilmu.
[11]
Imam An Nawawi, Syarh Shahih Muslim, Juz. 6, Hal. 213, No.
3309. Al Maktabah Asy Syamilah)
[12]
HR. An Nasa’i, Kitab Qiyamul
Lail wa Tathawwu’ an Nahar Bab Dzikrul Ikhtilaf ‘ala Syu’bata Fih, Juz. 6,
Hal. 243, No hadits. 1713. Dishahihkan oleh Syaikh Al
Albany, Shahih wa Dhaif Sunan An Nasa’i, Juz. 4, Hal. 376, No. 1732. Al
Maktabah Asy Syamilah
[13]
HR. At Tirmidzi, Juz. 11, Hal. 404, No hadits.
3421, katanya sanadnya hasan. An Nasa’i, As Sunan Al Kubra, Juz.
6, Hal. 32. Al Maktabah Asy Syamilah
[14]
HR. Abu Daud, Juz. 4, Hal. 314, No hadits. 1301,
Ahmad, Juz. 45, Hal. 96, 102, No hadits. 21103, 21109. Ibnu Abi Syaibah, Al
Mushannaf, Juz. 7, hal. 63, 134. Abdurrazaq, Al Mushannaf, Juz. 10,
Hal. 439. An Nasa’i, As Sunan Al Kubra, Juz. 6, Hal. 32. Al Hakim, Al
Mustadrak ‘Alash Shaihain, Juz. 3, Hal. 16. No hadits. 960. Katanya: shahih,
sesuai syarat shahihain. At Thabarani, Al Mu’jam Al Kabir, Juz. 14, hal.
460, No hadits. 16532. Al Maktabah Asy Syamilah
[15]
HR. Abu Daud, Juz. 4, Hal. 280, No hadits. 1266. At Tirmidzi, Juz. 11, Hal. 381, No hadits.
3399, katanya hadits ini hasan shahih. Al Baihaqi, As Sunan Al Kubra , Juz. 2, Hal. 148. Al Hakim, Mustadrak
‘alash Shaihain, Juz. 2, Hal. 496, No hadits. 940, kata Al Hakim hadits ini
shahih sesuai syarat syaikhan/Bukhari-Muslim. Al Makatabah Asy Syamilah
[16] Imam Abu
Thayyib Muhammad Syamsuddin Abadi, ‘Aunul Ma’bud, Juz. 3, Hal. 412, No. 1266. Al Maktabah Asy
Syamilah
[17]
Hadits hasan, Imam Abu Daud, Juz. 13, Hal. 274, No. 4417. Imam Ahmad, Juz. 36, Hal. 500, No. 17362.
Imam An Nasa’i, As Sunan Al Kubra, Juz. 6, Hal. 33. Imam Ath Thabarani, Al
Mu’jam Al Kabir, Juz. 14, Hal. 369, No. 16369. Ibnu Hibban, Juz. 9, Hal.
32, No. 2056, beliau menshahihkannya. Dalam Kitab Raudhatul
Muhadditsin, disebutkan bahwa hadits ini hasan, Juz. 11, Hal. 358,
No. 5358. Al Maktabah Asy Syamilah
[18] Beliau adalah Ahmad bin Abdil Halim
bin Abdissalam bin Abdillah bin Al Khadr bin Muhammad bin Al Khadr bin Ali bin
Abdillah bin Taimiyah An Namiri Al Harrani Ad Dimasyqi Abu Al Abbas Taqiyyuddin
Syaikhul Islam. Nama Ibnu
Taimiyah di ambil dari kakeknya dari jalur ibu. Lahir di Harran (wilayah
Turki) tahun 661H (1263M). Ia dijuluki
Syaikhul Islam, penjaga agama, pemberantas syirk dan bid’ah, lautan ilmu,
paling tahu tentang ilmu hadits pada zamannya, begitu juga tentang Al Quran dan
Qiraat dan juga seorang mujahid. Beliau
ikut Andil dalam peperangan melawan pasukan Tartar dan mengajak sultan saat itu
untuk mengobarkan jihad kaum muslimin. Az Zamlakani mengatakan sejak lima ratus
tahun lalu belum ada manusia yang ilmu haditsnya seperti dia. Keluasan ilmunya,
kedudukannya yang tinggi membuat banyak dengki ulama lainnya. Menyebarkan
fitnah untuknya hingga dia dipenjara oleh penguasa saat itu. Karya-karyanya
saat ini mempengaruhi seluruh pemikiran umat Islam baik ulama atau orang awam,
seperti Majmu’ Fatawa, Fatawa Al Kubra, Raf’ul Malam ‘an A’immatil
A’lam, Iqtdha Shirathal Mustaqim, Al Furqan Baina Auliya’ir Rahman wa
Auliya’isy Syaithan. Wafat di Damaskus 28 Zulqa’dah 728H (1328M) dan
belum menikah karena pengorbanannya
untuk jihad dan ilmu.. Murid-muridnya adalah para imam juga seperti Imam Ibnul
Qayyim, Imam Ibnu Abdil hadi, Imam Ibnu Katsir, Imam Adz Dzahabi dan lainnya.
[19] Dia adalah Muhammad bin Abi Bakar bin Ayyub bin Sa’ad bin Hariz
bin Makki, Zainuddin Az Zur’i Ad Dimasyqi Al Hambali. Lahir di Damaskus 7
Shafar 691H. Berguru kepada Ibnu Taimiyah sampai gurunya wafat. Hingga dia sangat
meguasai apa yang diperoleh dari gurunya baik ilmu hadits, fiqih, tafsir,
ushul, sejarah, dan nahwu. Beliau juga seorang yang rajin ibadah, banyak shalat
malam. Ibnu Katsir mengatakan belum pernah dia temui manusia yang ibadahnya
melebihi Ibnul Qayyim. Mulla Ali Al Qarri mengatakan Ibnu Taimiyah dan Ibnul
Qayyim merupakan tokoh Ahlus Sunnah wal Jama’ah dan wali umat ini. Karyanya
yang terkenal adalah I’lamul Muwaqi’in, Fawaidul Fawaid, Zaadul Ma’ad,
Ighatsatul Lahfan, Miftah Daris Sa’adah, dan lain-lain. Beliau wafat malam
kamis bertepatan adzan Isya 13 Rajab 751, usia 60 tahun. Muridnya adalah Imam
Ibnu Rajab (pengarang Shaidul Khatir dan Jami’ul Ulum wal Hikam),
Imam Ibnu Katsir, Imam Adz Dzahabi, dan lainnya.
[20] HR. Abu Daud, Kitab Ath haharah
Bab Ayushalli Ar Rajulu wa Huwa Haqin, Juz. 1, Hal. 127, No. 83. At
Tirmidzi, Kitab Ash Shalah Bab aa Ja’a Fi Karahiyati An Yakhusshal Imam Nafsahu bid Du’a, Juz.
2, Hal. 95, No. 325. Katanya: hadits ini hasan. Ibnu Majah, Kitab
Iqamatus Shalah was Sunnah fiha Bab Laa Yakhushshal Imam Bid Du’a, Juz. 3,
Hal. 176, No. 913. Ahmad, Juz. 45, Hal. 206, No. 21211. Al Maktabah Asy
Syamilah
izin share and copy ust.. boleh?
ReplyDeletejazakallah
Sdr Rudi Widayanto yg semoga diberi Allah Hidayah, bertaubatlah dgn segera dari perbuatan syirik (perdukunan,pesugihan,azimat,bersekutu dgn jin)itu karena itu hanya akan menghapus amal2mu dan akan menambah dosa bagimu !
ReplyDelete