Pertanyaan:
Assalamu'alaikum,
ustad ana mau nanya perihal hukum berjabat tangan seusai shalat berjamaah
bagaimana hukumnya ustadz? Jazakallah sebelumnya (@ ami)
Jawaban:
Wa ‘Alaikum Salam wa Rahmtullah wa Barakatuh.
Bismillah wal
hamdulillah wash Shalatu was Salamu ‘Ala Rasulillah wa ‘ala Aalihi wa Ashhabihi
wa man waalah, wa ba’d:
Pada dasarnya bersalaman setelah
shalat wajib tidak disyariatkan (ghairu masyru’); tidak akan kita temukan
tentang hal itu dalam Al Quran, As Sunnah, dan Ijma’, baik dalam bentuk
kata perintah wajib atau mustahab (sunah). Sedangkan, wajib dan sunah
adalah perkara yang mesti berasal dari pembuat syariat bukan hawa nafsu manusia
yang menyangka baik sebuah perbuatan.
Di sisi lain, bersalaman adalah
perbuatan yang secara mutlak (umum) memang dianjurkan dilakukan sesama muslim, dengan tanpa terikat
oleh waktu, tempat, dan peristiwa tertentu. Kita dapat melakukannya ketika
pagi, siang, sore, dan malam, ketika berdiri, duduk, dan berbaring, ketika diam
atau berjalan, mukim atau musafir, bertemu dan berpisah, di majelis dan di luar majelis, atau kapan pun, termasuk
juga setelah shalat, sebab hal itu termasuk lingkup kemutlakannya.
Namun, masalah mulai timbul ketika
bersalaman setelah shalat telah menjelma menjadi adat dan tradisi baru secara khusus, yang jika ditinggalkan oleh
pelakunya, mereka merasa ada sesuatu yang hilang, atau tidak nyaman, dan mereka
baru tentram dihati ketika bersalaman itu mereka lakukan kembali. Seakan
bersalaman adalah ibadah yang terkait
dengan shalat itu sendiri.
Ini benar-benar telah terjadi
di sebagian fenomena masyarakat Islam. Manakala ada manusia yang tidak mengikuti
tradisi ini serta merta orang tersebut dituduh dengan berbagai tuduhan yang
jelek. Pada titik ini, bersalaman
setelah shalat telah menjadi wujud baru dalam ritual Islam yang tidak ada
dasarnya. Oleh karena itu, masalah ini sangat bersifat kasuistis dan
kondisional, tidak dibenarkan secara mutlak dan tidak disalahkan secara mutlak
pula. Sebab, memang ada orang yang bersalaman setelah shalat telah menjadi
tradisi baginya, setelah dia mengucapkan salam langsung sibuk memutar badan
kanan kiri dan belakang untuk bersalaman, dan itu dilakukan lagi pada
kesempatan shalat lainnya, sehingga ada
jamaah merasa terganggu. Ada pula yang bersalaman karena memang dia baru
berjumpa dengan sahabat di kanan kirinya, yang baru ada kesempatan bersalaman
setelah shalat. Ada juga yang bersalaman setelah shalat karena dia diajak untuk
bersalaman, dia bukan inisiatornya, dan itu pun bukan kebiasaannya, yang jika
dia tolak akan melukai hati saudaranya. Nah, semua ini tentu tidak bisa dinilai
secara sama.
Dalil-Dalil
Umum Bersalaman
Dari
Bara bin ‘Azib Radhialllahu ‘Anhu,
bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
مامن مسلمين يلتقيان، فيتصافحان، إلا غفر لهما، قبل أن يتفرقا
“Tidaklah
dua orang muslim bertemu lalu mereka bersalaman melainkan Allah ampuni mereka
berdua sebelum mereka berpisah.” (HR. Abu Daud No.
5212, At Tirmidzi No. 2727, Ibnu Majah No. 3703, dishahihkan oleh Syaikh Al
Albani dalam berbagai kitabnya, Al Misykah Al Mashabih No. 4679, Shahihul
Jami’ No. 5777, dan lainnya)
Dari Anas bin Malik Radhiallahu
‘Anhu, katanya:
قلنا: يا رسول الله! أينحني بعضنا لبعض؟ قال ((لا)). قلنا: أيعانق
بعضنا بعضا؟ قال ((لا. ولكن تصافحوا)).
Kami bertanya: “Ya
Rasulullah! Apakah kami mesti membungkuk satu sama lain?” Beliau menjawab;
“Tidak.” Kami bertanya: “Apakah saling berpelukan?” Beliau menjawab: “Tidak,
tetapi hendaknya saling bersalaman.” (HR. Ibnu Majah No. 3702, Abu Ya’ala
No. 4287. Hadits ini dihasankan Syakh Al
Albani dalam Shahih wa Dhaif Sunan Ibni Majah No. 3702)
Dari Anas pula:
كان أصحاب
النبي صلى الله عليه وسلم إذا تلاقوا تصافحوا ، وإذا قدموا من سفر تعانقوا
“Adalah sahabat Nabi Shallallahu
‘Alaihi wa Sallam jika mereka berjumpa mereka saling bersalaman, jika
mereka datang dari bepergian, mereka saling berpelukan.” (HR. Ath Thabarani,
Al Mu’jam Al Awsath, No. 97. Dihasankan oleh Syaikh Al Albani dalam Shahih
At Targhib wat Tarhib No. 2719. Imam Al Haitsami mengatakan: rijalnya (para
perawinya) rijal hadits shahih. Lihat Majma’ Az Zawaid, 8/36)
Dari Ka’ab bin Malik Radhiallahu
‘Anhu, katanya:
دخلت
المسجد، فإذا برسول الله صلى الله عليه وسلم، فقام إلي طلحة بن عبيد الله يهرول
حتى صافحني وهنأني.
Saya masuk ke masjid, ketika
bersama Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam datanglah
menghampiri saya Thalhah bin ‘Ubaidillah tergesa-gesa sampai dia menjabat
tangan saya dan mengucapkan selamat kepada saya. (HR. Bukhari No. 4156, Abu
Daud No. 2773, Ahmad No. 15789)
Berkata Qatadah Radhiallahu
‘Anhu:
قلت لأنس: أكانت المصافحة في أصحاب النبي صلى الله عليه وسلم؟ قال:
نعم.
Aku berkata kepada Anas:
apakah bersalaman di lakukan para sahabat Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam?
Dia menjawab: “Ya.” (HR. Bukhari No. 5908)
Dan masih banyak lainnya.
Berbagai riwayat dan atsar di atas menunjukkan masyru’-nya
bersalaman bagi sesama muslim yakni pria
dengan pria, atau wanita dengan wanita. Dan, hal ini mutlak kapan saja. Para
ulama yang menyunnahkan dan membolehkan berjabat tangan setelah shalat berdalil
dengan riwayat-riwayat ini, bagi mereka berbagai riwayat ini tidak membatasi
hanya saat pertemuan. Sedangkan, dalil ‘aam (umum) dan muthlaq
(tidak terikat) adalah menjadi dalil kuat yang mesti dipakai selama belum ada
dalil khash (spesifik) dan muqayyad (mengikat) yang mengalihkan
kemutlakannya. Nah, dalam bersalaman ini dalil-dalil bersifat ‘aam di
atas tetaplah dapat dijadikan dalil untuk bersalaman kapan saja, karena memang
tidak ada dalil khusus yang mengalihkannya.
Sedangkan bagi pihak yang memakruhkan bahkan membid’ahkannya,
mereka menilai bahwa yang terjadi adalah
bersalaman setelah shalat menjadi kebiasaan tersendiri di masyarakat yang
mereka sandarkan kepada agama dan ibadah, dan fakta inilah yang sesungguhnya
terjadi, oleh karena itu dibutuhkan
dalil secara khusus untuk mengukuhkannya, jika tidak ada, maka itu tertolak
(baca: bid’ah).
Seperti yang telah kami
sampaikan sebelumnya, masalah ini tidak bisa digebyah uyah begitu saja karena
sifatnya yang sangat personal dan kasuistis. Oleh karena itu, mesti dilihat
menurut rincian sebagai berikut:
-
Jika melakukannya karena si pelaku menganggap bersalaman adalah bagian dari shalat, maka tidak syak lagi, ini
adalah bid’ah dhalalah, karena dia telah memasukkan dalam ritual
peribadatan yang bukan bagian darinya, walau pun ini hanya dilakukan sekali.
-
Jika melakukannya tidak dianggap bagian dari shalat, tapi
dilakukan berulang-ulang dan menjadi adat tersendiri sehingga dipandang
memiliki keutamaan tersendiri pula, yang jika ditinggalkan mereka merasa
bersalah, maka ini pun bisa berpotensi menjadi bid’ah dalam ibadah. Sebaiknya
ditinggalkan, sebab jika amaliah yang benar-benar sunah saja nabi tidak terus
menerus melakukan karena khawatir dianggap wajib, apalagi perbuatan yang masih debatable
para ulama. Sungguh, keluar dari khilafiah adalah lebih baik.
-
Jika melakukannya dalam
kondisi dia baru berjumpa dengan saudaranya, maka itu
tidak mengapa, bahkan bagus walau pun berasal dari inisiatifnya sendiri, dan termasuk
aplikasi hadits Bara bin ‘Azib: Tidaklah dua orang muslim bertemu lalu mereka bersalaman melainkan
Allah ampuni mereka berdua selama sebelum berpisah
-
Jika melakukannya bukan
inisiatifnya, tetapi dia dalam keadaan berjamaah shalat bersama kaum yang biasa
melakukannya dan mereka mengajaknya bersalaman, lalu dia sulit menghindar dan
dapat melukai perasaan saudaranya itu jika dia menghindar, maka tidak mengapa dia
bersalaman. Hal ini, demi menjaga perasaan sesama muslim, menyatukan hati, dan
menghindari kebencian satu sama lain. Dengan demikian dia menjalankan mudharat
demi menghindari mudharat yang lebih besar dan berkepanjangan. Sikap ini merupakan ‘ibrah dari sikap
elegan Imam Ahmad bin Hambal Radhiallahu ‘Anhu yang membid’ahkan qunut
subuh tetapi beliau tetap ikut berqunut jika imam melakukannya, demi menjaga
kesatuan hati, kesamaan kata, dan
menghilangkan permusuhan. Fa’tabiruu ..!
Dan, rincian inilah yang menjadi pegangan kami dalam memandang
permasalah ini. Wallahu A’lam
Pandangan Para Ulama
Berikut ini adalah pandangan
para imam ahlus sunnah yang patut kita jadikan bahan pemikiran. Semua kami
paparkan sebagai amanah dan kejujuran ilmiah, bahwa memang perselisihan para
ulama dalam hal ini memang wujud (ada). Terlepas dari setuju atau tidaknya kita
terhadap pandangan salah satu dari mereka, yang jelas, pandangan mereka tidak
lepas dari menyunnahkan, membolehkan dan memakruhkan bahkan membid’ahkan,
dengan alasan masing-masing yang telah
kami sebutkan di atas.
Kami akan membagi dua kelompok,
yakni ulama yang menyetujui (baik mengataan sunah atau mubah) dan ulama yang menolak (baik yang memakruhkan atau
membid’ahkan).
Para Ulama
Yang Menyetujui
Mereka
adalah sederatan imam kaum muslimin yang nama besar mereka menjadi jaminan
kualitas pandangan dan keilmuannya.
- Imam Abul Hasan Al Mawardi Asy Syafi’i Rahimahullah
Beliau mengatakan dalam kitabnya Al Hawi Al Kabir:
إِذَا فَرَغَ الْإِمَامُ
مِنْ صَلَاتِهِ فَإِنْ كَانَ مَنْ صَلَّى خَلْفَهُ رِجَالًا لَا امْرَأَةَ المصافحة
بعد الصلاة فِيهِمْ وَثَبَ سَاعَةَ يُسَلِّمُ لِيَعْلَمَ النَّاسُ فَرَاغَهُ مِنَ الصَّلَاةِ
“Jika seorang imam sudah selesai
dari shalatnya, dan jika yang shalat di
belakangnya adalah seorang laki-laki, bukan wanita, maka dia bersalaman setelah
shalat bersama mereka, dan setelah
sempurna waktunya, hendaknya dia mengucapkan salam agar manusia tahu bahwa dia telah selesai
dari shalat.” (Al Hawi Al Kabir, 2/343. Darul Fikr. Beirut - Libanon)
- Imam ‘Izzuddin (Al ‘Izz) bin Abdussalam Asy Syafi’i Rahimahullah
(w. 660H)
Beliau
memasukkan bersalaman setelah shalat subuh dan ‘ashar sebagai bid’ah yang boleh
(bid’ah mubahah). Berikut
perkataannya:
والبدع المباحة أمثلة.
منها: المصافحة عقيب الصبح والعصر، ومنها التوسع في اللذيذ من المآكل والمشارب والملابس
والمساكن، ولبس الطيالسة، وتوسيع الأكمام.
“Bid’ah-bid’ah mubahah
(bid’ah yang boleh) contoh di antaranya adalah: bersalaman setelah subuh dan
‘ashar, di antaranya juga berlapang-lapang dalam hal-hal yang nikmat berupa makanan, minuman, pakaian, tempat
tinggal, melebarkan pakaian kebesaran ulama, dan melebarkan lengan baju.” (Qawaid Al
Ahkam fi Mashalihil Anam, 2/173)
- Imam An Nawawi Asy Syafi’i Rahimahullah (w. 676H)
Beliau juga berpendapat mirip
dengan Imam Ibnu Abdissalam di atas. Namun, beliau menambahkan dengan beberapa
rincian. Berikut perkataannya:
وَأَمَّا هَذِهِ الْمُصَافَحَةُ
الْمُعْتَادَةُ بَعْدَ صَلَاتَيْ الصُّبْحِ وَالْعَصْرِ فَقَدْ ذَكَرَ الشَّيْخُ الْإِمَامُ
أَبُو مُحَمَّدِ بْنُ عَبْدِ السَّلَامِ رحمه
الله أَنَّهَا مِنْ الْبِدَعِ الْمُبَاحَةِ وَلَا تُوصَفُ بِكَرَاهَةٍ وَلَا اسْتِحْبَابٍ،
وَهَذَا الَّذِي قَالَهُ حَسَنٌ، وَالْمُخْتَارُ أَنْ يُقَالَ: إنْ صَافَحَ مَنْ كَانَ
مَعَهُ قَبْلَ الصَّلَاةِ فَمُبَاحَةٌ كَمَا ذَكَرْنَا، وَإِنْ صَافَحَ مَنْ لَمْ يَكُنْ
مَعَهُ قَبْلَهَا فَمُسْتَحَبَّةٌ؛ لِأَنَّ الْمُصَافَحَةَ عِنْدَ اللِّقَاءِ سُنَّةٌ
بِالْإِجْمَاعِ لِلْأَحَادِيثِ الصَّحِيحَةِ فِي ذَلِكَ
“Ada pun bersalaman ini, yang
dibiasakan setelah dua shalat; subuh dan ‘ashar, maka Asy Syaikh Al Imam Abu
Muhammad bin Abdussalam Rahimahullah telah menyebutkan bahwa itu
termasuk bid’ah yang boleh yang tidak disifatkan sebagai perbuatan yang dibenci
dan tidak pula dianjurkan, dan ini merupakan perkataannya yang bagus. Dan,
pandangan yang dipilih bahwa dikatakan; seseorang yang bersalaman (setelah
shalat) dengan orang yang bersamanya sejak sebelum shalat maka itu boleh
sebagaimana yang telah kami sebutkan, dan jika dia bersalaman dengan orang yang
sebelumnya belum bersamanya maka itu sunah, karena bersalaman ketika berjumpa
adalah sunah menurut ijma’, sesuai
hadits-hadits shahih tentang itu.” (Al Majmu’ Syarh Al Muhadzdzab,
3/325. 1423H-2003M. Dar ‘Aalim Al Kitab)
Dalam
kitabnya yang lain beliau mengatakan;
واعلم
أن هذه المصافحة مستحبة عند كل لقاء، وأما ما اعتاده الناس من المصافحة بعد صلاتي الصبح
والعصر، فلا أصل له في الشرع على هذا الوجه، ولكن لا بأس به، فإن أصل المصافحة سنة،
وكونهم حافظوا عليها في بعض الأحوال، وفرطوا فيها في كثير من الأحوال أو أكثرها، لا
يخرج ذلك البعض عن كونه من المصافحة التي ورد الشرع بأصلها.
“Ketahuilah,
bersalaman merupakan perbuatan yang disunahkan dalam keadaan apa pun. Ada pun
kebiasaan manusia saat ini bersalaman setelah shalat subuh dan ‘ashar, maka
yang seperti itu tidak ada dasarnya dalam syariat, tetapi itu tidak mengapa.
Karena pada dasarnya bersalaman adalah sunah, dan keadaan mereka
menjaga hal itu pada sebagian keadaan dan mereka berlebihan di dalamnya pada
banyak keadaan lain atau lebih dari itu, pada dasarnya tidaklah keluar dari
bersalaman yang ada dalam syara’.” (Al Adzkar, Hal. 184. Mawqi’ Ruh
Al Islam) Lihat juga dalam kitabnya
yang lain. (Raudhatuth Thalibin, 7/438. Dar Al Maktabah Al ‘ilmiyah)
- Imam Ibnu Hajar Al Haitami Al Makki Asy Syafi’i (w.
974H)
Beliau
memfatwakan tentang sunahnya bersalaman setelah shalat walau pun shalat id. (Al
Fatawa Al Kubra Al Fiqhiyah ‘Ala Madzhab Al Imam Asy Syafi’i, 4/224-225. Cet. 1. 1417H-1997M. Darul Kutub Al
‘Ilmiah, Beirut - Libanon)
Dalam
kitabnya yang lain beliau berkata:
وَلَا أَصْلَ لِلْمُصَافَحَةِ بَعْدَ صَلَاتَيْ الصُّبْحِ وَالْعَصْرِ
وَلَكِنْ لَا بَأْسَ بِهَا فَإِنَّهَا مِنْ جُمْلَةِ الْمُصَافَحَةِ ، وَقَدْ حَثَّ
الشَّارِعُ عَلَيْهَا
“Tidak
ada dasarnya bersalaman setelah shalat subuh dan ‘ashar, tetapi itu tidak mengapa,
karena itu termasuk makna global dari bersalaman, dan Asy Syaari’ (pembuat
syariat) telah menganjurkan atas hal itu.” (Tuhfatul Muhtaj, 39/448-449. Syamilah)
- Imam Al Muhib Ath Thabari Asy Syafi’i
Rahimahullah
Beliau termasuk ulama yang menyunnahkan bersalaman setelah shalat,
dalilnya adalah hadits shahih riwayat Imam Bukhari berikut:
Dari Abu Juhaifah Radhiallahu ‘Anhu, katanya:
خَرَجَ
رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِالْهَاجِرَةِ إِلَى الْبَطْحَاءِ
فَتَوَضَّأَ ثُمَّ صَلَّى الظُّهْرَ رَكْعَتَيْنِ وَالْعَصْرَ رَكْعَتَيْنِ وَبَيْنَ
يَدَيْهِ عَنَزَةٌ قَالَ شُعْبَةُ وَزَادَ فِيهِ عَوْنٌ عَنْ أَبِيهِ أَبِي جُحَيْفَةَ
قَالَ
كَانَ
يَمُرُّ مِنْ وَرَائِهَا الْمَرْأَةُ وَقَامَ النَّاسُ فَجَعَلُوا يَأْخُذُونَ يَدَيْهِ
فَيَمْسَحُونَ بِهَا وُجُوهَهُمْ قَالَ فَأَخَذْتُ بِيَدِهِ فَوَضَعْتُهَا عَلَى وَجْهِي
فَإِذَا هِيَ أَبْرَدُ مِنْ الثَّلْجِ وَأَطْيَبُ رَائِحَةً مِنْ الْمِسْكِ
` “Rasulullah Shallallahu
‘Alaihi wa Sallam keluar pada saat siang yang panas menuju Al Bath-ha’,
beliau berwudhu kemudian shalat zhuhur dua rakaat, dan ‘ashar dua rakaat, dan
ditangannya terdapat sebuah tombak.” Syu’bah mengatakan, dan ‘Aun menambahkan di
dalamnya, dari ayahnya, dari Abu Juhaifah, dia berkata: “Dibelakangnya lewat
seorang wanita, lalu manusia bangun, mereka merebut tangan nabi, lalu mereka
mengusap wajah mereka dengan tangan beliau. Abu Juhaifah berkata: aku pegang
tangannya lalu aku letakan tangannya pada wajahku, aku rasakah tangannya lebih
sejuk dari salju, lebih wangi dari wangi kesturi.” (HR. Bukhari No. 3360, Ad Darimi No. 1367, Ahmad No. 17476)
Al
Muhib Ath Thabari Rahimahullah mengomentari hadits ini;
ويستأنس بذلك لما تطابق عليه الناس من
المصافحة بعد الصلوات في الجماعات لا سيما في العصر والمغرب إذا اقترن به قصد صالح
من تبرك أو تودد أو نحوه
“Demikian
itu disukai, hal ini lantaran manusia telah berkerumun untuk bersalaman
dengannya setelah melakukan shalat
berjamaah, apalagi ‘ashar dan maghrib, hal ini jika persentuhannya itu memiliki tujuan baik, berupa mengharapkan berkah dan kasih sayang
atau semisalnya.” (Al Mausu’ah Al Fiqhiyah Al Kuwaitiyah,
37/362. Maktabah Al Misykah)
- Imam
Syihabuddin Ar Ramli Asy Syafi’i Rahimahullah
Dalam
kitab Fatawa-nya tertulis:
(
سُئِلَ ) عَمَّا يَفْعَلُهُ النَّاسُ مِنْ الْمُصَافَحَةِ بَعْدَ الصَّلَاةِ هَلْ هُوَ
سُنَّةٌ أَوْ لَا ؟ ( فَأَجَابَ ) بِأَنَّ مَا يَفْعَلُهُ النَّاسُ مِنْ الْمُصَافَحَةِ
بَعْدَ الصَّلَاةِ لَا أَصْلَ لَهَا ، وَلَكِنْ لَا بَأْسَ بِهَا
(Ditanya)
tentang apa yang dilakukan manusia berupa bersalaman setelah shalat, apakah itu
sunah atau tidak?
(Beliau
menjawab): “Sesungguhnya apa yang dilakukan manusia berupa bersalaman setelah
shalat tidaklah ada dasarnya, tetapi itu tidak
mengapa.” (Fatawa Ar Ramli, 1/385. Syamilah)
- Imam Abdurrahman Syaikhi Zaadah Al Hanafi Rahimahullah
Beliau berkata ketika membahas tentang shalat Id:
وَالْمُسْتَحَبُّ الْخُرُوجُ
مَاشِيًا إلَّا بِعُذْرٍ وَالرُّجُوعُ مِنْ طَرِيقٍ آخَرَ عَلَى الْوَقَارِ مَعَ غَضِّ
الْبَصَرِ عَمَّا لَا يَنْبَغِي وَالتَّهْنِئَةِ بِتَقَبَّلَ اللَّهُ مِنَّا وَمِنْكُمْ
؛ لَا تُنْكَرُ كَمَا فِي الْبَحْرِ وَكَذَا الْمُصَافَحَةُ بَلْ هِيَ سُنَّةٌ عَقِيبَ
الصَّلَاةِ كُلِّهَا وَعِنْدَ الْمُلَاقَاةِ كَمَا قَالَ بَعْضُ الْفُضَلَاءِ
“Disunahkan keluar menuju lapangan dengan berjalan kecuali bagi yang
uzur dan pulang melalui jalan yang lain dengan berwibawa dan menundukkan
pandangan dari yang dilarang, dan menampakan kegembiraan dengan ucapan:
taqabballallahu minna wa minkum, hal ini tidaklah diingkari sebagaimana
dijelaskan dalam kitab Al Bahr, demikian juga bersalaman bahkan itu
adalah sunah dilakukan seusai shalat seluruhnya, dan ketika berjumpa
sebagaimana perkataan sebagian orang-orang utama.” (Majma’Al Anhar fi
Syarh Multaqa Al Ab-har, A2/59.
Mawqi’ Al Islam)
- Imam Al Hashfaki Al Hanafi Rahimahullah
Beliau mengatakan;
أي كما تجوز
المصافحة لانها سنة قديمة متواترة لقوله عليه الصلاة والسلام: من صافح أخاه المسلم
وحرك يده تناثرت ذنوبه وإطلاق المصنف تبعا للدرر والكنز والوقاية والنقاية والمجمع
والملتقى وغيرها يفيد جوازها مطلقا ولو بعد العصر، وقولهم إنه بدعة: أي مباحة حسنة
كما أفاده النووي في أذكاره
“Yaitu sebagaimana dibolehkannya
bersalaman, karena itu adalah sunah sejak dahulu dan mutawatir, berdasarkan
sabda Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam: Barangsiapa yang bersalaman
dengan saudaranya muslim dan menggerakan tangannya maka dosanya akan
berguguran. Penulis telah memutlakan kebolehannya sebagaimana pengarang Al
Kanzu, Al Wiqayah, An Niqayah, Al Majma’, Al Multaqa dan selainnya, yang membolehkan bersalaman secara mutlak
walau setelah ‘ashar, dan perkataan mereka: bid’ah, artinya adalah boleh
lagi baik sebagaimana yang dijelaskan An Nawawi dalam Al Adzkarnya.”
(Imam Al Hashfaki, Ad Durul Mukhtar, 5/699.
Mawqi’ Ya’sub)
- Syaikh ‘Athiyah Shaqr (mantan Mufti Mesir)
Beliau menjelaskan bahwa pada dasarnya bersalaman adalah sunah ketika
seorang muslim bertemu muslim lainnya, berdasarkan hadits-hadits nabi yang bisa
dijadikan hujjah. Namun bersalaman
setelah shalat tidaklah dilakukan oleh Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa
Sallam dan para sahabat. Lalu beliau memaparkan perbedaan ulama tentang
masalah ini, antara yang membid’ahkan, menyunnahkan, dan membolehkan; seperti
pendapat Imam Ibnu Taimiah, Imam Al ‘Izz bin Abdissalam, Imam An Nawawi, dan
Imam Ibnu Hajar. Lalu beliau menyimpulkan:
والوجه المختار أنها غير محرمة ، وقد تدخل تحت ندب المصافحة عند اللقاء
الذى يكفر الله به السيئات ، وأرجو ألا يحتد النزاع فى مثل هذه الأمور ….
“Pendapat yang dipilih adalah bahwa hal itu tidaklah haram, dan hal
itu telah termasuk dalam anjuran bersalaman ketika bertemu yang dengannya Allah
Ta’ala akan menghapuskan kesalahannya, dan saya berharap perkara seperti ini
jangan terus menerus diributkan. … (Fatawa Dar Al Ifta’ Al Mishriyah,
8/477. Syamilah)
Dan
masih banyak ulama lainnya.
Para Ulama
Yang Menolak
Mereka
juga merupakan imam agama yang menjadi kecintaan dan rujukan umat ini. Di
antaranya:
- Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah Al Hambali Rahimahullah (w.
728H)
Berikut ini dari kitab Majmu’ Fatawa-nya:
وسئل
: عن المصافحة عقيب الصلاة : هل هي سنة أم لا ؟
فأجاب
:
الحمد
للَّه، المصافحة عقيب الصلاة ليست مسنونة، بل هي بدعة . والله أعلم .
Beliau ditanya tentang bersalaman sesudah shalat, apakah dia sunah
atau bukan?
Beliau menjawab: “Alhamdulillah, bersalaman sesudah shalat tidak
disunahkan, bahkan itu adalah bid’ah.” Wallahu A’lam (Majmu’ Fatawa,
23/339)
Imam Ibnu Taimiyah termasuk ulama yang menolak pembagian bid’ah
menjadi bid’ah hasanah dan bid’ah sayyi’ah, apalagi pembagian bid’ah menjadi
lima; bid’ah yang wajib, sunah, mubah,
makruh, dan haram. Baginya semua bid’ah adalah dhalalah (sesat). Maka,
maksud bid’ahnya salaman berjamaah
dalam fatwanya di atas adalah bid’ah yang sesat.
- Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz Al Hambali Rahimahullah
(w. 1420H)
Beliau ditanya tentang sebagian manusia yang setelah shalat
menjulurkan tangan untuk bersalaman ke kanan dan ke kirinya, beliau menjawab:
المصافحة بعد سلام الإمام ليس لها أصل بل إذا
سلم يقول…
“Bersalaman setelah salamnya imam tidaklah memiliki dasar, justru
jika usai salam hendaknya mengucapkan ..(lalu beliau memaparkan cukup
panjang berbagai dzikir setelah shalat
yang dianjurkan syara’ ).
Lalu beliau melanjutkan:
وأما رفع اليدين بعد السلام فليس له أصل لا
الإمام ولا المأموم ، لا يرفع يده بالدعاء ولا يصافح إذا سلم ، لكن يأتي بالذكر
الشرعي….
“ Ada pun mengangkat kedua
tangan setelah salam tidaklah memiliki
dasar, baik bagi imam dan makmum, tidak mengangkat tangan ketika doa, dan
tidak bersalaman (berjabat tangan) setelah salam, tetapi hendaknya dia
berdzikir dengan dzikir sesuai syara’…..” (Majmu’ Fatawa wal Maqalat,
29/309-310. Ar Riasah Al ‘Aamah Lil Buhuts Al ‘ilmiyah wal ifta’)
- Syaikh Abdurrahman bin Muhammad bin Qasim Al ‘Ashimi An Najdi Al
Hambali Rahimahullah (w. 1392H)
Beliau berkata:
والمصافحة بعد السلام من الصلاة لا أصل لها، لا
بنص ولا عمل من الشارع وأصحابه، ولو كانت مشروعة لتوفرت الهمم على نقلها، ولكان
السابقون أحق بذلك، وقال الشيخ: بدعة باتفاق المسلمين أما إذا كانت أحيانا لكونه
لقيه عقب الصلاة، لا لأجل الصلاة فحسن، لكن عند اللقاء فيها آثار حسنة.
“Berjabat tangan setelah salam shalat tidaklah memiliki dasar,
tidak dalam nash, tidak pada perbuatan syaari’ (Rasulullah) dan
sahabatnya, dan seandainya itu disyariatkan niscaya hal itu akan dijaga
dan begitu berhasrat untuk mengambilnya,
tetapi orang-orang terdahulu lebih layak untuk melakukannya. Syaikh berkata:
bid’ah menurut kesepakatan kaum muslimin, ada pun jika dilakukan kadang-kadang
saja. Karena memang berjumpa setelah shalat, bukan karena shalatnya itu
sendiri maka itu bagus, bersalaman ketika
berjumpa maka itu memilki dampak yang baik.”
(Hasyiah Ar Raudh Al Maraba’, Juz. 2. Mawqi’ Ruh Al Islam)
- Para Ulama di
Lajnah Daimah Kerajaan Saudi Arabia
Berikut kami kutip
dari Fatawa Islamiyah:
ما
حكم الشرع في المصافحة عقب الصلاة ، هل هي بدعة أم سنة ، وبيان أدلة الحكم ؟
ج
المصافحة عقب الصلاة بصفة دائمة لا نعلم لها أصلاً ، بل هي بدعة وقد ثبت عن رسول صلى
الله عليه وسلم أنه قال " من عمل عملاً ليس عليه أمرنا فهو رد " . وفي رواية
" من أحدث في أمرنا هذا ما ليس فيه فهو رد " .
اللجنة
الدائمة
“Apakah hukum syara’ tentang bersalaman
seusai shalat, apakah itu bid’ah atau sunah, dan jelaskan dalil hukumnya?”
Jawab:
“Bersalaman setelah shalat dengan keadaan yang
dilakukan terus menerus kami tidak ketahui dasar dari perbuatan itu, bahkan itu
adalah bid’ah. Telah shahih dari Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam
bahwa dia bersabda: Barang siapa yang beramal yang tidak kami perintahkan maka
itu tertolak.” Dalam riwayat lain: Barang siapa yang mengada-ada dalam urusan
agama kami ini yang bukan berasal darinya maka itu tertolak.” Lajnah Daimah (Fatawa
Islamiyah, 1/ 268. Dikumpulkan dan disusun oleh; Muhammad bin Abdul Aziz Al
Musnid )
- Syaikh
Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin Rahimahullah (w. 1421H)
Dalam fatwanya
beliau berkata:
المصافحة بين الرجل وأخيه سنة عند الملاقاة فقط وأما بعد السلام من الصلاة
المفروضة فإنها ليست بسنة إذ لم ينقل عن الصحابة رضي الله عنهم أنهم كانوا إذا سلموا
من الفريضة صافح بعضهم بعض وأما بعد السلام من النافلة فهي سنة إذا كان ذلك من الملاقاة
مثل أن يأتي رجل فيقف في الصف فيصلى تحية المسجد فإذا سلم من الصلاة صافح من على يمنه
ويساره فإن هذا يدخل في المصافحة عند الملاقاة ولا يعد هذا بدعة
“Bersalaman antara seorang
laki-laki dengan saudaranya adalah
sunah ketika bertemu saja, ada pun setelah salam dari shalat wajib, maka itu
bukan sunah. Karena tidak ada riwayat dari sahabat –radhiallahu ‘anhum-
bahwa mereka jika setelah salam dari shalat shalat wajib bersalaman satu sama
lain. Ada pun setelah shalat sunah maka itu sunah jika hal itu terjadi karena
pertemuan. Misal seseorang datang dan dia berdisi di shaf lalu shalat tahiyatul
masjid, setelah salam dari shalat dia bersalaman dengan orang di samping kanan
dan kirinya, maka ini termasuk dalam kategori bersalaman ketika bertemu dan janganlah mengira ini bid’ah.” (Fatawa Nur ‘Alad Darb Lil Utsaimin,
pertanyaan No. 780. Syamilah)
- Imam Ibnu
‘Abidin Al Hanafi Rahimahullah
Beliau salah
seorang tokoh Hanafiyah muta’akhirin. Pada bagian ini kita melihat bahwa yang
menolak bersalaman setelah shalat biasanya adalah dari kalangan Hambaliyah.
Tetapi, beliau mengisyaratkan –paling tidak dirinya sendiri- bahwa dari
kalangan Hanafiyah ada yang tidak menyukainya.
Beliau mengatakan:
لَكِنْ قَدْ يُقَالُ
إنَّ الْمُوَاظَبَةَ عَلَيْهَا بَعْدَ الصَّلَوَاتِ خَاصَّةً قَدْ يُؤَدِّي الْجَهَلَةِ
إلَى اعْتِقَادِ سُنِّيَّتِهَا فِي خُصُوصِ هَذِهِ الْمَوَاضِعِ وَأَنَّ لَهَا خُصُوصِيَّةً
زَائِدَةً عَلَى غَيْرِهَا مَعَ أَنَّ ظَاهِرَ كَلَامِهِمْ أَنَّهُ لَمْ يَفْعَلْهَا
أَحَدٌ مِنْ السَّلَفِ فِي هَذِهِ الْمَوَاضِعِ
“Tetapi telah
dikatakan, bahwa menekuni hal itu (bersalaman) setelah shalat secara khusus
telah membawa orang bodoh meyakininya
sebagai perbuatan yang disunahkan secara khusus pada waktu-waktu tersebut. Dan,
sesungguhnya pengkhususan itu merupakan
penambahan atas selainnya yang saat
bersamaan zahir ucapan mereka sendiri menunjukkan bahwa perbuatan ini tidak
dilakukan seorang pun dari kalangan salaf yang mengkhususkan dilakukan pada
waktu-waktu tersebut.” (Raddul Muhtar, 26/437. Mawqi’ Al Islam)
- Imam Ibnu Al
Hajj Al Maliki Rahimahullah
Beliau mengatakan:
هذه المصافحة
من البدع التي ينبغي أن تمنع في المساجد ، لأن موضع المصافحة في الشرع إنما هو عند
لقاء المسلم لأخيه لا في أدبار الصلوات الخمس ، فحيث وضعها الشرع توضع ، فينهى عن ذلك
ويزجر فاعله ، لما أتى من خلاف السنة
“Bersalaman ini termasuk bid’ah-bid’ah yang mesti
dilarang terjadi di masjid, karena tempat bersalaman menurut syariat adalah
hanyalah pada saat bertemunya seorang muslim
dengan saudaranya, bukan pada saat selesai shalat lima waktu, maka
manakala syariat telah meletakkannya maka hendaknya diletakkan semestinya, dan
yang demikian itu mesti dicegah dan pelakunya mesti ditegur secara keras,
karena dia telah mendatangkan sesuatu yang bertentangan dengan sunah.” (Al Mausu’ah Al Fiqhiyah Al Kuwaitiyah,
37/363. Maktabah Al Misykah)
Dan masih banyak
ulama lainnya.
Semoga bermanfaat, dan dapat mengambil sikap yang
terbaik di tengah masyarakat. Wallahu A’lam
No comments:
Post a Comment