Friday, February 14, 2014

Apakah Orang Haid, Nifas, dan Junub Boleh Membaca dan Menyentuh Al Quran? Oleh: Farid Nu’man Hasan

Masalah ini sering ditanyakan kepada kami melalui SMS dan beberapa forum lainnya, akhirnya kami putuskan membuat tulisan  sederhana tentang ini. Semoga bermanfaat.
                Masalah ini mesti dirinci menjadi dua hal: MEMBACA dan MENYENTUH.   Berikut ini penjelasannya:
  1. MEMBACA AL QURAN
1.       Jika berhadats kecil
Hadats seperti ini misalnya seseorang yang sudah batal wudhunya baik karena buang air besar atau kecil, buang angin, keluarnya madzi (cairan yang keluar ketika syahwat), wadi (cairan yang keluar setelah buang air kecil),  terkena najis, dan apa pun yang untuk mensucikannya dengan dibersihkan (dicuci) dan wudhu.
Kondisi seperti tidak ada dalil yang melarang untuk membaca Al Quran, bahkan telah terjadi ijma’ –sebagaimana kata Imam An Nawawi- tentang kebolehan membaca Al Quran dalam kondisi seperti ini. 
Beliau mengatakan:
فإن قرأ محدثا جاز بإجماع المسلمين والأحاديث فيه كثيرة معروفة
                “Jika seorang berhadats membaca Al Quran maka BOLEH menurut ijma’ kaum muslimin, dan hadits-hadits tentang itu banyak dan telah diketahui.” (At Tibyan fi Adab Hamalatil Quran, Hal. 73. Mawqi’ Ruh Al Islam)
                Dan, Ijma’ (konsensus) merupakan salah satu sumber hukum Islam yang telah disepakati semua ulama Islam, kecuali oleh yang menyimpang. Namun demikian, walau pun boleh membaca Al Quran dalam keadaan hadats kecil, adalah hal yang disukai dan merupakan adab yang baik jika seseorang hendak membaca Al Quran dia berwudhu dahulu dan membersihkan mulutnya. Berkata Imam An Nawawi Rahimahullah:
وينبغي إذا أراد القراءة أن ينظف فاه بالسواك وغيره والاختيار في السواك أن يكون بعود من أراك ويجوز بسائر العيدان وبكل ما ينظف كالخرقة الخشنة والأشنان وغير ذلك
                “Hendaknya jika hendak membaca Al Quran dia membersihkan mulutnya dengan siwak dan selainnya.  Siwak yang dipilih berasal dari batang kayu Arok, dan dibolehkan dengan semua jenis batang kayu, dan apa saja yang dapat membersihkan, seperti dengan kain perca yang kasar dan usang, dan selain itu.” (Ibid, Hal. 72)
                Telah diriwayatkan dari Imam Malik Rahimahullah, bahwa jika beliau hendak menyampaikan hadits nabi, beliau berwudhu dahulu sebagai penghormatan atas ucapan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam.                
  1. Jika Berhadats Besar
Yaitu hadats yang disucikannya dengan ghusl (mandi),  atau istilah lainnya di negeri kita adalah mandi junub, mandi wajib, dan mandi besar. Yang termasuk ini adalah wanita haid, nifas, dan orang junub (baik karena jima’ atau mimpi basah yang dibarengi syahwat).
Pada bagian ini terjadi khilaf (perselisihan) pendapat di antara ulama Islam, antara yang mengharamkan dan membolehkan.
Para Ulama Yang Mengharamkan dan Alasannya
Mereka yang mengharamkan beralasan dengan beberapa dalil berikut:
Hadits dari Ali bin Abi Thalib Radhiallahu ‘Anhu, katanya:
أنه لا يحجزه شيء عن القرأءة إلا الجنابة
                “Bahwasanya tidak ada suatu pun yang menghalanginya dari membaca Al Quran kecuali junub.” (HR. Ibnu Majah No. 594)
Hadits lain dari Ibnu Umar Radhiallahu ‘Anhuma, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
لاتقرأ الحائض ولا الجنب شيئا من القرآن
            “Janganlah wanita haid dan orang junub membaca sesuatu pun dari Al Quran.” (HR. At Tirmidzi No. 131, Al Baihaqi dalam Sunannya No. 1375, katanya: laisa bi qawwi – hadits ini tidak kuat. Ad Daruquthni,  Bab Fin Nahyi Lil Junub wal Haa-id ‘An Qira’atil Quran ,No. 1)
1.       Hadits lain dari Abul Gharif, katanya:  Ali bin Abi Thalib Radhiallahu ‘Anhu berwudhu, dia berkumur dan menghirup air ke hidung tiga kali, mencuci wajah tiga kali, mencuci kedua tangan hingga hasta tiga kali, kemudian membasuh kepala, lalu mencuci kedua kakinya. Lalu Ali berkata: ” Seperti inilah wudhu yang aku lihat dari Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam,”   lalu dia (Ali) membaca sesuatu dari Al Quran, kemudian berkata:
هذا لمن ليس به جنب أما الجنب فلا ولا آيه
            “Ini bagi siapa yang tidak junub, ada pun yang berjunub janganlah membaca, tidak pula  satu ayat.”
                Syaikh Ibnu Baz berkata: diriwayatkan oleh Ahmad dan sanadnya Jayyid (baik), dari ‘Aisyah. (Fatawa Islamiyah, 4/25. Lihat Musnad Ahmad No. 872, Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan: sanadnya hasan. Muasasah Ar Risalah. Dengan taqdim; Syaikh Dr. Abdullah bin Abdul Muhsin At Turki)
                Demikian di antara dalil-dalil pihak yang mengharamkan orang berhadats besar MEMBACA Al Quran.
                Berkata Imam An Nawawi Rahimahullah:
وأما الجنب والحائض فإنه يحرم عليهما قراءة القرآن سواء كان آية أو أقل منها ويجوز لهما إجراء القرآن على قلبهما من غير تلفظ به
                “Ada pun junub dan haid, maka keduanya diharamkan membaca Al Quran, sama saja apakah yang dibacanya hanya satu ayat atau lebih sedikit. Dibolehkan bagi keduanya membacanya dalam hati tanpa dilafazkan.” (At Tibyan, Hal. 74)
                 Beliau juga mengatakan, dibolehkan membaca Inna lillahi wa inna ilaihi raji’un, selama tidak dimaksudkan sebagai Al Quran. Kalangan Syafi’iyah di Khurasan juga membolehkan membaca doa naik kendaraan: Subhanalladzi sakhara lana hadza .., juga doa: Rabbana atina fid dunya hasanah …, selama tidak dimaksudkan sebagai Al Quran. Imam Al Haramain mengatakan: “Membaca bismillahirrahmanirrahim jika dimaksudkan sebagai bagian dari  Al Quran maka  itu maksiat, jika tidak bermaksud apa-apa, maka tidak berdosa. “ (Ibid) Ini juga menjadi pendapat Syaikh Wahbah Az Zuhaili dan kalangan Hanafiyah. (Al Fiqhul Islami wa Adillatuhu, 1/474. Al Maktabah Al Misykat)
                 Imam An Nawawi juga mengatakan dalam Al Majmu’:
مذهبنا أنه يحرم على الجنب والحائض قراءة القرآن قليلها وكثيرها حتى بعض آية؛ وبهذا قال أكثر العلماء كذا حكاه الخطابي وغيره عن الأكثرين، وحكاه أصحابنا عن عمر بن الخطاب وعلي وجابر رضي الله عنهم والحسن والزهري والنخعي وقتادة وأحمد وإسحاق.
            “Madzhab kami adalah bahwa haram bagi orang junub dan haid membaca Al Quran sedikit dan banyak,  walau sebagian ayat. Ini juga pendapat kebanyakan ulama, demikianlah diceritakan pleh Al Khathabi dan selainnya dari banyak manusia. Para sahabat kami juga menceritakan dari Umar bin Al Khathab, Ali, Jabir –semoga Allah meridhai mereka-, Al Hasan, Az Zuhri, An Nakha’i, Qatadah, Ahmad, dan Ishaq.” (Al Majmu’ Syarh Al Muadzdzab, 2/127) 

                Disebutkan  dalam Tuhfah Al Wahdzi   , mengutip dari Imam Al Baihaqi, bahwa Umar bin Al Khathab Radhiallahu ‘Anhu ‘hanya’ memakruhkan saja, berikut teksnya:

وصح عن عمر أنه كان يكره أن يقرأ القرآن وهو جنب
                “Telah shahih dari Umar bahwa Beliau memakruhkan membaca Al Quran dalam keadaan junub.” (Syaikh Abdurrahman Al Mubarakfuri, Tuhfah Al Wahdzi, 1/412. Cet. 1. 1963M-1383H. Maktabah As Salafiyah. Madinah)
                Tetapi, ketika kami periksa langsung ke kitab As Sunan Al Kubra-nya Imam Al Baihaqi, tertulis Ibnu Umar, bukan Umar bin Al Khathab, dan juga MENYENTUH MUSHAF, bukan MEMBACA AL QURAN, dan juga WANITA HAID bukan  ORANG JUNUB. Berikut teksnya (perhatikan):
  ويذكر عن بن عمر أنه كره للحائض مس المصحف
                “Disebutkan dari Ibnu Umar bahwa Beliau memakruhkan wanita haid menyentuh Al Quran.” (As Sunan Al Kubra Al Baihaqi No. 1374. Begitu pula setelah dilihat di As Sunan Al Kubra Imam Al Baihaqi yang kami Download dari shamela.ws, juga seperti ini lafaznya. Lihat As Sunan Al Kubra-nya Imam Al Baihaqi versi Syamilah, No. 1534)
                Tentang larangan membaca Al Quran bagi orang yang junub dan haid, berkata Imam At Tirmidzi Rahimahullah dalam Sunannya:
وهو قول أكثر أهل العلم من أصحاب النبي صلى الله عليه وسلم والتابعين ومن بعدهم، مثل: سفيان الثوري، وابن المبارك، والشافعي، وأحمد، وإسحق، قالوا: لا تقرأ الحائض ولا الجنب شيئا من القرآن إلا طرف الآية والحرف ونحو ذلك، ورخصوا للجنب والحائض في التسبيح والتهليل.
                “Ini adalah pendapat mayoritas ulama dari kalangan sahabat Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, tabi’in, dan orang setelah mereka seperti Sufyan At Tsauri, Ibnul Mubarak, Asy Syafi’i, Ahmad, dan Ishaq. Mereka mengatakan: Janganlan wanita haid dan orang junub membaca sedikit pun dari Al Quran kecuali  melihat ujung ayat dan huruf dan semisalnya. Mereka memberikan keringanan bagi orang junub dan wanita haid dalam bertasbih dan tahlil.” (Sunan At Tirmidzi, Juz. 1, Hal.  236, No. 131)
                Tertulis dalam Al Mausu’ah Al Fiqhiyah Al Kuwaitiyah:
وَيَحْرُمُ عَلَى الْجُنُبِ قِرَاءَةُ الْقُرْآنِ عِنْدَ عَامَّةِ الْعُلَمَاءِ مِنَ الْحَنَفِيَّةِ وَالْمَالِكِيَّةِ وَالشَّافِعِيَّةِ وَالْحَنَابِلَةِ
                “Diharamkan bagi orang junub membaca Al Quran menurut umumnya para ulama Hanafiyah, Malikiyah, Syafi’iyah,dan  Hanabilah.” Lalu disebutlah hadits dari Ali dan Ibnu Umar. (Al Mausu’ah, 16/53)
                Demikianlah pandangan  kelompok yang melarang orang berhadats besar membaca Al Quran. Tetapi mereka membolehkan jika baca di hati saja,  atau membaca doa-doa dari Al Quran dengan tidak memaksudkannya sebagai Al Quran. Mereka juga membolehkan berdzikir seperti tahmid, tahlil, takbir, dan tasbih, bahkan kebolehan dzikir ini adalah ijma’, sebagaimana disebutkan dalam At Tibyan-nya Imam An Nawawi.
                Para Ulama Yang Membolehkan dan Alasannya
Menurut ulama lain, sama sekali tidak ada larangan yang qath’i (pasti) dalam Al Quran dan As Sunnah bagi orang yang berhadats besar untuk membaca Al Quran. Ada pun dalil-dalil yang dikemukakan di atas bukanlah larangan membaca Al Quran, tetapi larangan menyentuh Al Quran. Tentunya, membaca dan menyentuh adalah dua aktifitas yang berbeda. Inilah pendapat yang lebih kuat, dan memang begitulah adanya, menurut mereka bahwa nash-nash yang dibawakan oleh kelompok yang melarang tidaklah relevan. Wallahu A’lam
Tetapi, ada yang merinci: wanita  HAID dan  NIFAS adalah  BOLEH, sedangkan  JUNUB adalah TIDAK BOLEH.
Syaikh Abdul Aziz bin Baz Rahimahullah mengatakan –dan ini adalah jawaban beliau yang memuaskan dan sangat bagus:
لا حرج أن تقرأ الحائض والنفساء الأدعية المكتوبة في مناسك الحج ولا بأس أن تقرأ القرآن على الصحيح أيضاً لأنه لم يرد نص صحيح صريح يمنع الحائض والنفساء من قراءة القرآن إنما ورد في الجنب خاصة بأن لا يقرأ القرآن وهو جنب لحديث على رضي الله عنه وأرضاه أما الحائض والنفساء فورد فيهما حديث ابن عمر { لا تقرأ الحائض ولا الجنب شيئاً من القرآن } ولكنه ضعيف لأن الحديث من رواية اسماعيل بن عياش عن الحجازيين وهو ضعيف في روايته عنهم ، ولكنها تقرأ بدون مس المصحف عن ظهر قلب أما الجنب فلا يجوز له أن يقرأ القرآن لا عن ظهر قلب ولا من المصحف حتى يغتسل والفرق بينهما أن الجنب وقته يسير وفي إمكانه أن يغتسل في الحال من حين يفرغ من اتيانه أهله فمدته لا تطول والأمر في يده متى شاء اغتسل وإن عجز عن الماء تيمم وصلى وقرأ أما الحائض والنفساء فليس بيدهما وإنما هو بيد الله عز وجل ، فمتى طهرت من حيضها أو نفاسها اغتسلت ، والحيض يحتاج إلى أيام والنفاس كذلك ، ولهذا أبيح لهما قراءة القرآن لئلا تنسيانه ولئلا يفوتهما فضل القرأءة وتعلم الأحكام الشرعية من كتاب الله فمن باب أولى أن تقرأ الكتب التي فيها الأدعية المخلوطة من الأحاديث والآيات إلى غير ذلك هذا هو الصواب وهو أصح قولى العلماء رحمهم الله في ذلك .
                “Tidak mengapa bagi wanita haid dan nifas membaca doa-doa manasik haji, begitu pula dibolehkan membaca Al Quran menurut pendapat yang benar. Lantaran tidak adanya nash yang shahih dan jelas yang melarang wanita haid dan nifas membaca Al Quran, yang ada hanyalah larangan secara khusus bagi orang yang junub sebagaimana hadits dari Ali – semoga Allah meridhainya dan dia  ridha padaNya. Sedangkan untuk haid dan nifas, terdapat hadits dari Ibnu Umar:  “Janganlah wanita haid dan orang junub membaca apa pun dari Al Quran,” tetapi  hadits ini dhaif (lemah), lantaran hadits yang diriwayatkan oleh Ismail bin ‘Iyash dari penduduk Hijaz adalah tergolong hadits  dhaif. Tetapi membacanya dengan tidak menyentuh mushaf bagian isinya. Ada pun orang junub, tidaklah boleh membaca Al Quran, baik dari isinya atau dari mushaf, sampai dia mandi.  Perbedaan antara keduanya adalah, karena sesungguhnya junub itu waktunya sedikit, dia mampu untuk  mandi sejak selesai berhubungan dengan isterinya dan waktunya tidaklah lama, dan urusan ini ada di bawah kendalinya kapan pun dia mau mandi. Jika dia lemah kena air dia bisa tayamum, lalu shalat dan membaca Al Quran. Sedangkan haid dan nifas,  dia tidak bisa mengendalikan waktunya karena keduanya adalah kekuasaan Allah ‘Azza wa Jalla, ketika sudah suci dari haid dan nifasnya maka  dia baru mandi. Haid membutuhkan waktu berhari-hari begitu pula nifas, oleh karena itu dibolehkan bagi keduanya untuk membaca Al Quran agar dia tidak lupa terhadapnya, dan tidak luput darinya keutamaan membacanya, dan mengkaji hukum-hukum syariat dari kitabullah. Maka, diantara permasalahan yang lebih utama dia baca adalah buku-buku yang didalamnya terdapat doa-doa dari hadits dan ayat-ayat, dan selainnya. Inilah pendapat yang benar di antara dua pendapat ulama –rahimahumullah- tentang hal ini. (Fatawa Islamiyah,  4/27. Disusun oleh Muhammad bin Abdul Aziz Al Musnid)
                Ini juga menjadi pendapat Imam Al Qadhi ‘Iyadh. (Ikmal Mu’alim Syarh Shahih Muslim, No.  373. Al Maktabah Al Misykah)
                Bahkan ada pula yang mengatakan; orang Junub pun BOLEH membaca Al Quran.
                Apa alasan mereka? Menurut mereka hadits-hadits yang melarang adalah lemah dan tidak bisa dijadikan dalil (alasan).
2.       Hadits dari Ali bin Abi Thalib Radhiallahu ‘Anhu, katanya:
أنه لا يحجزه شيء عن القرأءة إلا الجنابة
                “Bahwasanya tidak ada suatu pun yang menghalanginya dari membaca Al Quran kecuali junub.” (HR. Ibnu Majah No. 594)
                Hadits ini tidak dapat dijadikan dalil karena dhaif. Dalam sanadnya terdapat Abdullah bin Salimah Al Kufi. Al Hafizh Ibnu Hajar mengatakan, dia seorang yang shaduq (jujur) tapi hapalannya berubah. (At Taqribut Tahdzib, No. 3364) yakni berubah ketika masa tuanya.
                Imam At Tirmidzi mengatakan hadits ini hasan shahih, Imam Al Hakim mengatakan shahih dan disepakati Adz Dzahabi, juga dishahihkan oleh Ibnu As Sikkin, Abdul Haq dan Al Baghawi dalam Syarhus Sunnah, tetapi ini dikritik oleh Imam An Nawawi dengan mengatakan:
“Para hufazh selainnya mengatakan bahwa hadits ini dhaif.  … berkata Al Baihaqi: imam Syafi’i meriwayatkannya dalam Jima’ Ath Thahur, dan mengatakan: sesungguhnya para ahli hadits tidak menshahihkannya. Al Baihaqi juga mengatakan: Imam Syaf’i sendiri bersikap diam terhadap hadits ini karena faktor Abdullah bin Salimah. Dia telah menjadi tua dan diingkari haditsnya dan akalnya, dan dia meriwayatkan hadits ini ketika sudah tua sebagaimana dikatakan oleh Syu’bah. Kemudian Al Baihaqi meriwayatkan dari para Imam  tentang   penelitian apa yang dikatakannya.” (Al Majmu’ Syarh Al Muhadzdzab, 2/128. 1423H-2003M. Dar ‘Alim Al Kitab)
Imam Al Khathabi mengatakan bahwa Imam Ahmad melemahkan hadits Ali ini disebabkan faktor Abdullah bin Salimah. (Syaikh Al Albani, Irwa’ Al Ghalil, 2/242. Cet. 2. 1985M-1405H. Al Maktab Al Islami, Beirut - Libanon)
Imam Bukhari berkomentar tentang Abdullah bin Salimah ini: “Kami mengenalinya dan kami mengingkarinya.” (Nailul Authar, 1/226. Maktabah Ad Da’wah Al Islamiyah)
Oleh karena itu Syaikh Al Albani mengatakan;
وما قاله هؤلاء المحققون هو الراجح عندنا لتفرد عبد الله بن سلمة به وروايته إياه في حالة تغيره
                “Apa yang dikatakan para muhaqiq (peneliti) itulah yang rajih (lebih kuat) menurut kami, lantaran menyendirinya Abdullah bin Salimah dalam meriwayatkan hadits ini, dan keadaannya dalam meriwayatkannya adalah ketika dirinya telah berubah hapalannya.” (Ibid, 2/242-243)
Beliau juga mendhaifkan dalam kitabnya yang lain. (Shahih wa Dhaif Sunan ibni Majah No. 594)
Imam Asy Syaukani Rahimahullah juga memperkuat barisan ini, katanya:
ويجاب عن ذلك بأن حديث الباب ليس فيه ما يدل على التحريم لأن غايته أن النبي صلى اللَّه عليه وآله وسلم ترك القرآن حال الجنابة ومثله لا يصلح متمسكًا للكراهة فكيف يستدل به على التحريم

“Hal ini bisa dijawab, bahwa hadits tersebut tidaklah menjadi dalil keharamannya, karena maksudnya adalah bahwasanya Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam meninggalkan Al Quran ketika junub dan semisalnya, itu tidak dapat dijadikan pegangan untuk memakruhkannya, maka apalagi untuk mengharamkannya?” (Nailul Authar, 1/226)
Al Hafizh Ibnu Hajar  Rahimahullah juga mengatakan:
لكن قيل في الاستدلال به نظر لأنه فعل مجرد فلا يدل على تحريم
                “Tetapi, telah dikatakan bahwa menjadikan hadits ini sebagai dalil telah mendapatkan kritik, karena ini merupakan perbuatannya semata  yang  tidak menunjukkan keharaman.” (Fathul Bari, 1/408. Darul Fikr. Lihat juga Tuhfah Al Ahwadzi, 1/411. Maktabah As Salafiyah)
3.       Hadits lain dari Ibnu Umar Radhiallahu ‘Anhuma, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
لاتقرأ الحائض ولا الجنب شيئا من القرآن
            “Janganlah wanita haid dan orang junub membaca sesuatu pun dari Al Quran.” (HR. At Tirmidzi No. 131, Al Baihaqi dalam Sunannya No. 1375, katanya: laisa bi qawwi – hadits ini tidak kuat. Ad Daruquthni,  Bab Fin Nahyi Lil Junub wal Haa-id ‘An Qira’atil Quran ,No. 1)
                 Sedangkan Imam At Tirmidzi mengatakan: “Kami tidak mengetahui kecuali dari jalur Ismail bin ‘Iyasy.”  Beliau mengutip ucapan Imam Bukhari: “Sesungguhnya Ismail bin ‘Iyasy meriwayatkan hadits-hadits munkar  dari penduduk Hijaz dan Iraq.”   Lalu beliau berkomentar: “Seakan   riwayatnya (Ismail bin’Iyasy) yang seorang diri dari mereka (penduduk Hijaz dan Iraq) adalah dhaif.” (Lihat Sunan At Tirmidzi –biasa juga disebut Jami’ At Tirmidzi,  Juz. 1, Hal.  236, No. 131)
                Imam Abu Hatim berkomentar tentang hadits di atas:  hadza baathil! (hadits ini batil). (Imam Adz Dzahabi, Mizanul I’tidal, 1/242. Darul Ma’rifah, Beirut - Libanon)
                Imam Ahmad bin Hambal juga mengatakan: hadza baathil! (Nailul Authar, 1/226)
                Imam Yahya bin Ma’in berkata tentang Ismail bin ‘Ayasy: “Haditsnya yang berasal dari penduduk Syam adalah shahih, tetapi yang berasal dari penduduk Iraq dan Madinah (hijaz), maka rusak lagi buruk.” (Ibid, 1/243) tetapi dia juga mengatakan tentangnya: tsiqah. (Ibid, 1/242)
                Imam Ibnu Khuzaimah mengatakan: “Tidak boleh berhujjah dengannya.(Ibid)
                Oleh karena itu, Syaikh Al Albani mengatakan hadits ini dhaif bahkan sampai tingkat  munkar. (Dhaif Sunan At Tirmidzi No. 131,  Dhaiful Jami’ No. 6364, Shahih wa Dhaif Sunan Ibnu Majah No. 596, Al Misykah Al Mashabih No. 461)
                Imam Asy Syaukani Rahimahullah juga mengingkari pendalilan dengan hadits ini:
وأما حديث ابن عمر ففيه مقال سنذكره عند ذكره لا ينتهض معه للاستدلا
                “Ada pun hadits Ibnu Umar, maka di dalamnya terdapat perbincangan yang akan kami sebutkan ketika membahasnya, yang tidak dapat menguatkan untuk dijadikan dalil.” (Nailul Authar, 1/226) dalam pembahasannya itu beliau menyimpulkan kedhaifan hadits ini dan menurutnya tidak boleh mengharamkan kecuali dengan dalil yang shahih.
4.       Hadits lain dari Abul Gharif, katanya:  Ali bin Abi Thalib Radhiallahu ‘Anhu berwudhu, dia berkumur dan menghirup air ke hidung tiga kali, mencuci wajah tiga kali, mencuci kedua tangan hingga hasta tiga kali, kemudian membasuh kepala, lalu mencuci kedua kakinya. Lalu Ali berkata: ” Seperti inilah wudhu yang aku lihat dari Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam,”   lalu dia (Ali) membaca sesuatu dari Al Quran, kemudian berkata:
هذا لمن ليس به جنب أما الجنب فلا ولا آيه
            “Ini bagi siapa yang tidak junub, ada pun yang berjunub janganlah membaca, tidak pula  satu ayat.”
                Syaikh Ibnu Baz berkata: diriwayatkan oleh Ahmad dan sanadnya Jayyid (baik), dari ‘Aisyah. (Fatawa Islamiyah, 4/25) oleh karena itu beliau juga berdalil dengan hadits ini tentang larangan orang junub membaca Al Quran, tetapi tidak seperti yang dikatakannya bahwa dalam Musnad Ahmad hadits ini diriwayatkan oleh ‘Aisyah Radhiallahu ‘Anha, padahal dari Ali bin Abi Thalib Radhiallahu ‘Anhu!
                Bukan hanya Syaikh Ibnu Baz, juga Syaikh Syu’aib Al Arnauth dalam tahqiqnya terhadap Musnad Ahmad  ,  beliau mengatakan: sanadnya hasan. (Musnad Ahmad No. 872, Muasasah Ar Risalah. Dengan taqdim; Syaikh Dr. Abdullah bin Abdul Muhsin At Turki)
                Imam Al Haitsami Rahimahulah berkata tentang hadits ini: “rijaaluhu mautsuqun (para perawi hadits ini terpercaya). (Majma’ Az Zawaid, 1/276. Darul Kutub Al ‘Ilmiyah. Kairo)
                Ternyata hadits ini didhaifkan oleh para pakar hadits yang lain. Ada beberapa alasan:
                Pertama.  Dalam sanadnya terdapat rawi bernama: Abu Al Gharif nama aslinya Ubaidullah bin Khalifah Al Hamdani.
                Beliau ini, tidak ada yang menyatakan tsiqah selain Imam Ibnu Hibban, dan Imam Ibnu Hibban dikenal oleh para pakar hadits sebagai ulama yang mutasahil (menggampangkan) dalam mentsiqahkan seorang rawi. Sedangkan Imam Abu Hatim mengatakan tentang Abu Al Gharif Ubaidullah bin Khalifah ini: “Laisa bil masyhur ..” (bukan orang terkenal) … qad takallamuu fiih (para pakar hadits memperbincangkan dirinya ..) (Imam Abu Hatim Ar Razi, Jarh wa Ta’dil No.  1489. Lihat juga Imam Abul Hajaj Al Mizzi, Tahdzibul Kamal, No. 3630. 1400H-1980M. Muasasah Ar Risalah. Beirut – Libanon. Lihat juga Imam Adz Dzahabi, Mizanul I’tidal, 3/ 6, No. 5356)
                Imam Abu Hatim juga mengatakan bahwa Abul Gharif  merupakan kawan dekat  atau orang yang sepadan dengan Ashbagh bin Nabatah, seorang yang layyinul hadits (lemah haditsnya), dan matruk (haditsnya ditinggal) menurut para pakar lainnya, diantaranya Al Hafizh Ibnu Hajar, maka jelaslah kedhaifan hadits ini.  (Syaikh Al Albani, Tamamul Minnah, Hal. 117)
                Kedua. Hadits ini mauquf (hanya sampai sahabat nabi), bukan marfu’ (sampai Rasulullah).
                 Sebagaimana yang nampak,   bahwa ini hanya sampai Ali bin Thalib saja. Artinya, walau pun  seandainya hadits ini shahih, ini hanyalah perkataan dan pendapat Ali bin Abi Thalib Radhiallahu ‘Anhu.
                Hal ini juga diriwayatkan oleh Imam Al Baihaqi dalam Sunannya:
عن أبي الغريف قال قال علي رضى الله تعالى عنه لا بأس أن تقرأ القرآن وأنت على غير وضوء فأما وأنت جنب فلا ولا حرفا
            Dari Abul Gharif dia berkata: berkatalah Ali Radhiallahu ‘Anhu: “Tidak apa-apa membaca Al Quran dan engkau tidak berwudhu, ada pun jika kau berjunub maka jangan membacanya, tidak pula satu huruf.”  (Sunan Al Baihaqi No. 427)
                Ini juga diriwayatkan oleh Imam Ad Daruquthni dalam Sunannya, juga dari Abul Gharif, bahwa Ali berkata:
اقْرَءُوا الْقُرْآنَ مَا لَمْ يُصِبْ أَحَدَكُمْ جَنَابَةٌ فَإِنْ أَصَابَتْهُ جَنَابَةٌ فَلاَ وَلاَ حَرْفًا وَاحِدًا. هُوَ صَحِيحٌ عَنْ عَلِىٍّ.
                “Bacalah Al Quran selama kalian tidak dalam keadaan junub, jika kalian dalam keadaan junub maka jangan membacanya, tidak pula satu huruf.” Ini shahih dari Ali.  (Sunan Ad Darquthni, Bab Fin Nahyi Lil Junub wal Haa-id ‘An Qira’atil Quran, No. 7)
                Imam Asy Syaukani mengatakan hadits ini adalah mauquf sebagai ucapan Ali, bukan marfu’ (sebagai ucapan Rasulullah).
                Selain itu kelompok yang membolehkan juga memiliki alasan lain sebagaimana diceritakan oleh Imam An Nawawi berikut;
واحتج من جوز مطلقا بحديث عائشة رضي الله عنها "أن النبي صلى الله عليه وسلم كان يذكر الله تعالى على كل أحيانه". رواه مسلم؛ قالوا: والقرآن ذكر ولأن الأصل عدم التحريم.
                “Pihak yang membolehkan secara mutlak berhujjah  dengan hadits ‘Aisyah Radhiallahu ‘Anha bahwa Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam selalu berdzikir kepada Allah dalam setiap keadaannya. (HR. Muslim) mereka mengatakan: Al Quran adalah dzikir, karena itu pada dasarnya tidak diharamkan (membaca Al Quran ketika junub, pen).” (Al Majmu’ Syarh Al Muhadzdzab, 2/127)
                Maka, tentang larangan orang junub membaca Al Quran tak satu pun yang shahih dari Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam yang bisa dijadikan hujjah. Maka, hal ini mesti bara’atul ashliyah (kembali ke hukum asalnya) yaitu BOLEH. Inilah pendapat dari Ibnu Abbas Radhiallahu ‘Anhuma, lalu Imam Said bin Al Musayyib, Imam Said bin Jubeir, Imam Daud Azh Zhahiri, Imam Ibnu Hazm, dan lainnya.
                Berkata Syaikh Al Albani Rahimahullah:
فسقط الاستدلال بالحديث على التحريم ووجب الرجوع إلى الأصل وهو الإباحة وهو مذهب داود وأصحابه واحتج له ابن حزم ( 1 / 77 - 80 ) ورواه عن ابن عباس وسعيد بن المسيب وسعيد بن جبير وإسناده عن هذا جيد رواه عنه حماد بن أبي سليمان قال : سألت سعيد بن جبير عن الجنب يقرأ ؟ فلم يربه بأسا وقال : أليس في جوفه القرآن ؟

                “Maka gugurlah pendalilan dengan hadits tersebut tentang keharamannya, dan wajib kembali kepada hukum asal, yakni boleh. Inilah madzhab Daud dan sahabat-sahabatnya, Ibnu Hazm berhujah dengannya (1/77-80). Ini juga diriwayatkan dari Ibnu Abbas, Said bin Al Musayyib, Said bin Jubeir, dan sanadnya tentang ini jayyid (baik). Telah diriwayatkan dari Hammad bin Abi Sulaiman, dia berkata: “Aku bertanya kepada Said bin Jubeir tentang orang junub yang membaca Al Quran, dia memandangnya tidak apa-apa, dan berkata; “Bukankah Al Quran juga berada di rongga  hatinya?” (Tamamul Minnah, Hal. 117)
                Imam An Nawawi Rahimahullah mengatakan:
وقال داود: يجوز للجنب والحائض قراءة كل القرآن، وروي هذا عن ابن عباس وابن المسيب، قال القاضي أبو الطيب وابن الصباغ وغيرهما: واختاره ابن المنذر، وقال مالك: يقرأ الجنب الآيات اليسيرة للتعوذ، وفي الحائض روايتان عنه إحداهما: تقرأ والثانية: لا تقرأ، وقال أبو حنيفة: يقرأ الجنب بعض آية ولا يقرأ آية وله رواية كمذهبنا.

          “Berkata Daud: Dibolehkan bagi orang junub dan haid untuk membaca seluruh Al Quran. Hal ini diriwayatkan dari Ibnu Abbas dan Ibnul Musayyib. Berkata Al Qadhi Abu Thayyib, Ibnu Ash Shabagh, dan selain mereka: Inilah pendapat yang dipilih Ibnul Mundzir. Berkata Imam Malik: orang junub boleh membaca Al Quran ayat yang ringan untuk perlindungan. Sedangkan tentang wanita haid ada dua riwayat darinya, riwayat  pertama menyebutkan boleh membacanya. riwayat kedua menyebutkan tidak boleh membacanya. Sedangkan Imam Abu Hanifah mengatakan: orang junub boleh membaca sebagian ayat, dan tidak boleh ayat yang utuh, dia memiliki riwayat pendapat yang sama dengan madzhab kami (Syafi’iyah).” (Al Majmu’ Syarh Al Muhadzdzab, 2/127)
                Dalam salah satu kitab madzhab Malik, yakni Al Khulashah Al Fiqhiyah tertulis:
ولا يحرم عليها قراءة القرآن أيام الحيض والنفاس سواء كانت جنبا
                “Tidak haram bagi wanita membaca Al Quran pada hari-hari haid dan nifas, sama juga dengan orang junub ..”(Al Khulashah Al Fiqhiyah ‘Ala Madzhabis Saadah Al Malikiyah,  Hal. 51. Maktabah Al Misykah)
Syaikh Sayyid Sabiq juga menambahkan informasi yang menguatkan pendapat kelompok ini:
وذهب البخاري والطبراني وداود وابن حزم إلى جواز القراءة للجنب.
قال البخاري: قال إبراهيم: لا بأس أن تقرأ الحائض الاية، ولم ير ابن عباس بالقراءة للجنب بأسا، وكان النبي صلى الله عليه وسلم يذكر الله على كل أحيانه.
قال الحافظ تعليقا على هذا، لم يصح عند المصنف (يعني البخاري) شئ من الاحاديث الواردة في ذلك: أي في منع الجنب والحائض من القراءة، وإن كان مجموع ما ورد في ذلك تقوم به الحجة عند غيره لكن أكثرها قابل للتأويل.
                “Sementara itu, Bukhari, Thabarani, Daud, dan Ibnu Hazm berpendapat dibolehkannya membaca Al Quran bagi orang junub.   Imam Bukhari mengatakan bahwa   Ibrahim berkata: “Tidak apa-apa bagi orang haid membaca satu ayat, dan Ibnu Abbas memandang tidak mengapa bagi orang junub membaca Al Quran, dan Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam selalu berdzikir kepada Allah pada semua keadaannya.
                Mengomentari hal ini, Al Hafizh mengatakan: Tidak ada yang sah dari penyusun kitab (yakni Al Bukhari) satu pun hadits yang memuat hal ini; yaitu tentang larangan orang junub dan haid membaca Al Quran. Jika pun semua dalil tentang itu ada dan dikumpulkan, yang dengan itu orang selainnya akan menggunakannya sebagai hujjah, namun ternyata kebanyakan dalil itu  masih dapat ditakwil (maksudnya belum bisa dipastikan larangannya, pen).” (Fiqhus Sunnah, 1/68)
                Wallahu A’lam
                Selanjutnya ……….
                Dalam masalah ini, juga ada pandangan lain,  bahwa boleh tidaknya tergantung hajat (keperluan).
 Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah Rahimahullah ditanya tentang wanita nifas yang membaca Al Quran, dia mengatakan jika seorang wanita itu tidak takut hafalan Al Qurannya hilang, maka janganlah membaca. Namun, jika dia takut hafalannya hilang, maka dia boleh membacanya menurut salah satu di antara dua pendapat. Berikut fatwa beliau:
وأما قراءتها القرآن، فإن لم تخف النسيان فلا تقرؤه . وأما إذا خافت النسيان فإنها تقرؤه في أحد قولي العلماء .
                “Adapun membaca Al Quran, jika wanita itu tidak khawatir lupa dengan hapalannya, maka  dia tidak boleh membacanya. Ada pun jika dia khawatir lupa, maka boleh dia membacanya menurut satu diantara dua pendapat ulama.” (Majmu’ Fatawa, 21/636)
                Begitu pula Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin Rahimahullah, dia berkata:
يجوز للحائض أن تقرأ القرآن للحاجة، مثل أن تكون معلمة، فتقرأ القرآن للتعليم، أو تكون طالبة فتقرأ القرآن للتعلم، أو تكون تعلم أولادها الصغار أو الكبار، فترد عليهم وتقرأ الآية قبلهم. المهم إذا دعت الحاجة إلى قراءة القرآن للمرأة الحائض، فإنه يجوز ولا حرج عليها، وكذلك لو كانت تخشى أن تنساه فصارت تقرؤه تذكراً، فإنه لا حرج عليها ولو كانت حائضاً، على أن بعض أهل العلم قال: إنه يجوز للمرأة الحائض أن تقرأ القرآن مطلقاً بلا حاجة.
وقال آخرون: إنه يحرم عليها أن تقرأ القرآن ولو كان لحاجة.
فالأقوال ثلاثة والذي ينبغي أن يقال هو: أنه إذا احتاجت إلى قراءة القرآن لتعليمه أو تعلمه أو خوف نسيانه، فإنه لا حرج عليها.
               
“Dibolehkan bagi wanita haid untuk membaca Al Quran jika ada keperluan, misal jika dia seorang guru, dia membaca Al Quran untuk pengajaran, atau dia seorang pelajar dia membacanya untuk belajar, atau untuk mengajar anak-anaknya yang masih kecil atau besar, dia menyampaikan dan membacakan ayat di depan mereka. Yang penting adalah jika ada kebutuhan bagi wanita untuk  membaca Al Quran, maka itu boleh dan tidak mengapa. Begitu pula jika dia khawatir lupa maka membacanya merupakan upaya untuk mengingatkan, maka itu tidak mengapa walau pun dia haid. Sebagian ulama mengatakan: sesungguhnya boleh bagi wanita haid membaca Al Quran secara mutlak walau tanpa kebutuhan.
Yang lain mengatakan: haram membaca Al Quran baginya walaupun ada kebutuhan.
                Ada pun pendapat yang ketiga: bahwa jika wanita ada keperluan  membaca Al Quran untuk mengajarkannya atau mempelajariny atau takut lupa, maka itu tidak mengapa baginya.” (Majmu’ Fatawa wa Rasail Al  ‘Utsaimin, No. 220. Cetakan terakhir.  1413H. Disusun oleh; Fahd bin Nashir bin Ibrahim As Sulaiman. Darul Wathan – Dar Ats Tsaraya)
                Jadi, tentang “Orang Berhadats Besar Membaca Al Quran” bisa kita simpulkan:
  1. Haram secara mutlak, baik itu Haid, Nifas, dan Junub. Inilah pandangan mayoritas ulama, sejak zaman sahabat seperti Umar, Ali,  Jabir,  hingga tabi’in seperti Az Zuhri, Al Hasan, An Nakha’i , Qatadah, dan generasi berikutnya, seperti Sufyan Ats Tsauri, Ibnul Mubarak, Ahmad bin Hambal, Asy Syafi’i, dan Ishaq.
  2. Haid dan Nifas adalah boleh, sedangkan junub tidak boleh. Ini pendapat Al Qadhi ‘Iyadh dan Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz.
  3. Boleh jika ada kebutuhan seperti untuk mengajar, belajar, atau untuk menjaga hapalan. Ini pendapat Imam Ibnu Taimiyah dan Syaikh Ibnu Al ‘Utsaimin.
  4. Boleh secara mutlak, baik untuk Haid, Nifas, dan Junub.  Ini pendapat Ibnu Abbas, Said bin Al Musayyib, Said bin Jubeir, Bukhari, Thabarani, Daud,  Ibnu Hazm, Ibnul Mundzir, Asy Syaukani, dan lainnya. Selesai
                                                                * * * * *
  1. MENYENTUH AL QURAN
Setelah kita membahas tentang “Orang Berhadats Membaca Al Quran”, kita melanjutkan masalah lain yang selalu digandengkan dengannya, yaitu  “Orang Berhadats Menyentuh Al Quran.”
Sebelumnya, perlu dipertegas dahulu bahwa Al Quran yang dimaksud di sini adalah bagian halaman yang berisi penuh dengan ayat Al Quran dengan bahasa aslinya. Bukan buku tafsir yang didalamnya sudah bercampur dengan ucapan manusia, bukan Al Quran terjemahan yang di dalamnya Al Quran sudah dipindahkan dengan bahasa bukan Arab, bukan pula buku-buku agama, majalah, atau buletin yang di dalamnya terdapat ayat-ayat Al Quran dan selainnya. Sebab, benda-benda tersebut tidak lagi dapat di sebut Al Quran secara hakiki, sehingga menyentuhnya adalah boleh. Para ulama Islam telah mengatakan demikian.
Syaikh Manna’ Khalil Al Qattan Rahimahullah mengatakan:
 “ …. Sebab terjemah Al Quran bukanlah Al Quran. Al Quran adalah susunan perkataan mukjizat, yaitu kalamullah yang menurutNya sendiri, berbahasa Arab. Dan dengan menterjemahkannya hilanglah kemukjizatannya dan terjemahannya itu bukan kalamullah.” (Studi Ilmu-Ilmu Al Quran, Hal. 444-445. Cet. 1. 1992M. Litera Antar Nusa)
                Berkata Imam Al Qadhi Abu Bakar bin Al ‘Arabi Rahimahullah :
وَأَوْضَحْنَا أَنَّ التِّبْيَانَ وَالْإِعْجَازَ إنَّمَا يَكُونُ بِلُغَةِ الْعَرَبِ ، فَلَوْ قُلِبَ إلَى غَيْرِ هَذَا لَمَا كَانَ قُرْآنًا وَلَا بَيَانًا ، وَلَا اقْتَضَى إعْجَازًا
                “Kami telah menjelaskan, bahwa bayan dan mu’jizat hanya bisa direalisasikan dengan bahasa Arab, karena itu seandainya Al Quran diganti dengan bahasa selain bahasa Arab tentulah penggantinya itu tidak dinamakan Al Quran dan  bayan, dan juga tidak menimbulkan kemu’jizatan.” (Imam Ibnul ‘Arabi Al Maliki, Ahkamul Quran, 7/81. Mauqi’ Ruh Al Islam)
Nah, jika terjemahan atau tafsir Al Quran sudah bukan lagi disebut Al Quran, apalagi buku-buku, majalah, bulletin, yang sudah mencampur antara ayat, hadits, dan ucapan manusia.
Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz Rahimahullah mengatakan:
نعم، لا بأس بذلك. لا بأس أن تلمس المرأة الكتاب الذي فيه آيات وأحاديث مثل صحيح البخاري ومثل زاد المعاد لابن القيم، وغيرها من الكتب الإسلامية التي بها آيات وأحاديث، مثل كتبالتفسير كذلك، ومثل تفسير ابن كثير وغيره، فلا حرج أن تلمس المرأة الجنب، والرجل الجنب كذلك، وهكذا الحائض والنفساء. لا حرج في ذلك عليها.
وإنما الممنوع القرآن نفسه، فليس للمرأة الجنب أو الحائض أو المحدث أن يمس القرآن- أي: المصحف- إلا على طهارة .
            “Ya, itu tidak apa-apa. Tidak mengapa seorang wanita menyentuh  sebuah buku yang di dalamnya terdapat ayat-ayat dan hadits semisal Shahih Bukhari, dan Zaadul Ma’ad karya Ibnul Qayyim dan selainnya dari buku-buku Islam yang memuat ayat-ayat dan hadits, seperti kitab tafsir juga termasuk, seperti tafsir Ibnu Katsir dan selainnya. Maka, tidak ada halangan bagi wanita junub untuk menyentuhnya, laki-laki junub juga begitu, demikian pula wanita haid dan nifas, tidak mengapa hal itu.

                Sesungguhnya yang dilarang adalah jika menyentuh Al Quran apa adanya, maka janganlah wanita junub, atau haid, atau orang berhadats menyentuh Al Quran yaitu mushaf, kecuali dalam keadaan suci.” (Fatawa Nur ‘Ala Ad Darb Libni Baz, Soal No. 33)

                Syaikh Sayyid Sabiq Rahimahullah mengatakan:

ولا مانع من مس ما اشتملت عليه من آيات من القرآن كالرسائل وكتب التفسير والفقه وغيرها، فإن هذه لا تسمى مصحفا ولا تثبت لها حرمته.

“Tidak ada larangan bagi siapa pun yang menyentuh sesuatu yang memuat di dalamnya ayat-ayat Al Quran, seperti surat, buku tafsir, fiqih, dan lainnya, sebab hal ini tidaklah dinamakan dengan mushaf, dan tidak ada yang nash shahih yang mengharamkannya.” (Fiqhus Sunnah, 1/68. Darul Kitab Al ‘Arabi)
Tertulis dalam kitab Al Khulashah Al Fiqhiyah ‘Ala Madzhabi Saadah Al Malikiyah:
وأما حمل التفسير ومسه والمطالعة فيه فلا يحرم للمحدث ولو كان جنبا لأنه لا يسمى مصحفا عرفا

“Ada pun membawa kitab tafsir dan menyentuhnya lalu mentelaahnya, tidaklah haram bagi orang berhadats walau pun junub, karena  menurut tradisi itu tidaklah dinamakan mushaf.” (Hal. 20. Maktabah Al Misykah)
Namun demikian harus diakui adanya kalangan yang tetap melarang menyentuhnya walau pun kitab tafsir, bahkan uang  Dirham yang di dalamnya terdapat ayat juga diharamkan disentuh bagi yang berhadats, walau ini bukan pendapat umumnya ulama. Berikut paparannya:
وَيَحْرُمُ عِنْدَ الْحَنَفِيَّةِ مَسُّ كُتُبِ التَّفْسِيرِ ؛ لأَِنَّهُ يَصِيرُ بِمَسِّهَا مَاسًّا لِلْقُرْآنِ ، وَهُوَ قَوْل ابْنِ عَرَفَةَ مِنَ الْمَالِكِيَّةِ ، وَالْعِبْرَةُ عِنْدَ الشَّافِعِيَّةِ بِالْقِلَّةِ وَالْكَثْرَةِ ، فَإِنْ كَانَ الْقُرْآنُ أَكْثَرَ كَبَعْضِ كُتُبِ غَرِيبِ الْقُرْآنِ حَرُمَ مَسُّهُ ، وَإِنْ كَانَ التَّفْسِيرُ أَكْثَرَ لاَ يَحْرُمُ مَسُّهُ فِي الأَْصَحِّ .
وَأَجَازَ ذَلِكَ الْمَالِكِيَّةُ - غَيْرَ ابْنِ عَرَفَةَ - وَالْحَنَابِلَةُ لأَِنَّهُ لاَ يَقَعُ عَلَيْهَا اسْمُ مُصْحَفٍ .
  وَيَحْرُمُ عِنْدَ الْحَنَفِيَّةِ وَفِي وَجْهٍ لِلشَّافِعِيَّةِ وَالْحَنَابِلَةِ مَسُّ الدَّرَاهِمِ الَّتِي عَلَيْهَا شَيْءٌ مِنَ الْقُرْآنِ ؛ لأَِنَّ الدَّرَاهِمَ كَالْوَرَقَةِ الَّتِي كُتِبَ فِيهَا قُرْآنٌ ، وَكَرِهَ ذَلِكَ عَطَاءٌ وَالْقَاسِمُ وَالشَّعْبِيُّ ، وَأَجَازَ ذَلِكَ الْمَالِكِيَّةُ ، وَهُوَ الأَْصَحُّ مِنْ وَجْهَيْنِ مَشْهُورَيْنِ عِنْدَ الشَّافِعِيَّةِ وَفِي وَجْهٍ عِنْدَ الْحَنَابِلَةِ ؛ لأَِنَّهُ لاَ يَقَعُ عَلَيْهَا اسْمُ الْمُصْحَفِ فَأَشْبَهَتْ كُتُبَ الْفِقْهِ ؛ وَلأَِنَّ فِي الاِحْتِرَازِ مِنْ ذَلِكَ مَشَقَّةً ، وَالْحَاجَةُ تَدْعُو إِلَى ذَلِكَ ، وَالْبَلْوَى تَعُمُّ ، فَعُفِيَ عَنْهُ .

 “Diharamkan menurut Hanafiyah menyentuh buku-buku tafsir, karena ketika menyentuhnya akan terjadi persentuhan dengan Al Quran. Ini juga pendapat Ibnu ‘Arafah dari kalangan Malikiyah, sedangkan kalangan Syafi’iyah melihat dari sisi sedikit atau banyaknya; jika Al Qurannya lebih banyak sebagaimana buku-buku yang menjelaskan keajaiban Al Quran atau kata-kata asing, maka haram menyentuhnya, dan jika tafsirnya lebih banyak maka yang lebih benar adalah tidak haram menyentuhnya.
Namun kalangan Malikiyah secara umum –kecuali Ibnu ‘Arafah- membolehkan hal itu, juga Hanabilah (Hambaliyah) karena itu bukanlah mushaf.
Menurut Hanafiyah dan satu pandangan  dari Syafi’iyah, bahwa haram menyentuh Dirham yang terdapat ayat Al Quran, sebab itu tak ubahnya seperti lembaran yang memuat Al Quran. Ada pun ‘Atha, Al Qasim, dan Asy Sya’bi memakruhkannya. Dan, Malikiyah membolehkannya , dan ini menjadi pandangan yang lebih benar di antara dua pandangan masyhur kalangan Syafi’iyah, dan  menjadi pandangan Hanabilah pula, karena hal itu bukanlah mushaf, namun sama halnya dengan buku-buku fiqih.  Sebab (jika diharamkan, pen) tentu menyimpannya akan membawa kesulitan (masyaqqah), padahal kita membutuhkannya, dan akan mendatangkan musibah yang merata, maka itu dimaafkan.” (Al Mausu’ah Al Fiqhiyah Al Kuwaitiyah, 16/52-53)
Semoga batasan ini menjadi perhatian kita dalam mengkaji ini.
Para Ulama Yang Mengharamkan dan Alasannya
Ini adalah pendapat mayoritas ulama. Berkata Imam Asy Syaukani Rahimahullah:
وقد ذهب الجمهور إلى منع المحدث من مسّ المصحف ، وبه قال عليّ ، وابن مسعود ، وسعد بن أبي وقاص ، وسعيد بن زيد ، وعطاء ، والزهري ، والنخعي ، والحكم ، وحماد وجماعة من الفقهاء منهم مالك ، والشافعي

“Mayoritas ulama berpendapat terlarangnya orang berhadats menyentuh mushaf, inilah pendapat Ali, Sa’ad bin Abi Waqash, Said bin Zaid, ‘Atha, Az Zuhri, An Nakha’i, Al Hakim, Hammad, dan segolongan dari fuqaha, di antaranya Malik dan Syafi’i. (Fathul Qadir, 7/137. Mawqi’ Ruh Al Islam) 
Mereka berdalil:
لا يَمَسُّهُ إِلا الْمُطَهَّرُونَ
“Tidak ada yang menyentuhnya kecuali yang suci.” (QS. Al Waqi’ah : 79)
Mereka menafsirkan bahwa tidak ada yang menyentuh Al Quran kecuali  orang yang suci dari janabah dan hadats. Dan, Al Quran di sini adalah mushafnya. (Imam Ibnu Katsir, Tafsir Al Quran Al ‘Azhim, 7/545. Dar Ath Thayyibah Lin Nasyr wat Tauzi’)
Alasan lainnya, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
ولا يمس القرآن إلا طاهر
(HR.  Ad Daruquthni No. 222, Al Baihaqi dalam  Sunannya No. 412, 413, 1374,  dishahihkan oleh Syaikh Al Albani dalam Shahihul Jami’ No. 7780)
                Begitu juga dalam Shahih Muslim, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam melarang membawa mushaf Al Quran ke negeri kafir, dan kita tahu orang kafir itu selalu berhadats besar karena mereka tidak pernah mandi junub, dan dikhawatirkan mereka menyentuhnya.
                Berikut ini kami paparkan sebagian pandangan para ulama yang melarang.
                Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah Rahimahullah menjelaskan:
وأما مس المصحف، فالصحيح أنه يجب له الوضوء، كقول الجمهور، وهذا هو المعروف عن الصحابة : سعد، وسلمان، وابن عمر . وفي كتاب عمرو بن حزم عن النبي صلى الله عليه وسلم : " لا يمس القرآن إلا طاهر " . وذلك أن النبي صلى الله عليه وسلم نهى أن يسافر بالقرآن إلى أرض العدو مخافة أن تناله أيديهم
                “Ada pun menyentuh Mushaf, yang benar adalah wajib baginya berwudhu sebagaimana pendapat mayoritas ulama. Hal ini telah diketahui dari para sahabat: Sa’ad, Salman, dan Ibnu Umar. Dari ‘Amru bin Hazm, dari Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda: “Janganlah menyentuh Al Quran kecuali yang suci.” Dan, Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam juga melarang bepergian membawa Al Quran ke negeri musuh (kafir), khawatir mereka menyentuhnya dnegan tangan mereka.” (Majmu’ Fatawa, 21/288)
Khadimus Sunnah, Asy Syaikh Sayyid Sabiq Rahmatullah ‘Alaih mengatakan:
وحرمتهما متفق عليها بين الائمة ولم يخالف في ذلك أحد من الصحابة، وجوز داود ابن حزم للجنب مس المصحف وحمله ولم يريا بهما بأسا
“Diharamkan bagi keduanya (orang haid dan junub) menurut kesepakatan para imam dan tidak ada satu pun yang menyelisihinya dari kalangan sahabat. Ada pun Daud dan Ibnu Hazm membolehkan orang junub menyentuh Al Quran dan membawanya, mereka berdua memandang hal itu tidak apa-apa.” (Fiqhus Sunnah, 1/67)
Al ‘Allamah Asy Syaikh Ibnu Baz Rahimahullah mengatakan:
مس المصحف على غير وضوء لا يجوز عند جمهور أهل العلم والذي عليه الأئمة الأربعة - رحمه الله عليهم - وهو الذي كان يفتي به أصحاب النبي عليه الصلاة والسلام، أنه مس القرآن إلا طاهر ، وقد ورد في ذلك حديث صحيح لا بأس به من حديث عمرو بن حزم رضي الله عنه أن النبي ، - صلى الله عليه وسلم - ، كتب إلى أهل اليمن أن لا يمس القرآن إلا طاهر.
وهو حديث جيد له طرق يشد بعضها بعضا ، هذا هو الواجب ، وكذلك نقل المصحف أو تحريكه من مكان إلى مكان ، لا ينقله إلا من كان طاهراً أو إذا تم ذلك بواسطة كأن يأخذه في لفافة أو يكون المصحف في لفافة فيأخذه بالعلاقة ، أما أخذه مباشرة بيديه وهو على غير طهارة فلا يجوز على الصحيح الذي عليه جمهور أهل العلم
                “Menyentuh Mushaf tanpa wudhu adalah tidak boleh menurut mayoritas ulama, itulah pendapat imam yang empat –semoga Allah merahmati mereka- itulah yang difatwakan oleh para sahabat Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, bahwa tidaklah  menyentuh Al Quran melainkan yang suci. Telah ada keterangan dari hadits shahih yang tidak mengapa, dari Amru bin Hazm Radhiallahu ‘Anhu, bahwa Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam menulis untuk penduduk Yaman bahwasanya tidak boleh menyentuh Al Quran kecuali yang suci. Hadits ini jayyid (baik) memiliki banyak jalan yang saling menguatkan satu sama lain. Hal ini (bersuci) adalah wajib. Demikian juga mengangkat dan  memindahkan mushaf dari satu tempat ke tempat lain, tak ad ayang memindahkannya kecuali orang yang suci atau memindahkannya engan perantara seperti mengambilnya dengan kain yang membungkusnya atau mushaf itu memiliki tali gantungan maka mengambilnya dengan tali tersebut. Ada pun mengambil langsung dengan kedua tangannya dan dia dalam keadaan tidak bersuci, maka tidak bolah menurut pendapat yang benar dan menjadi pendapat mayoritas ulama.” (Fatawa Islamiyah, 4/25)
                Senada dengan Syaikh Ibnu Baz, yakni Syaikh Ibnu Al ‘Utsaimin –beliau murid Syaikh Ibnu Baz- juga mengatakan:
ومن النصيحة لكتاب الله تعالى أن يقوم الإنسان باحترام هذا القرآن العظيم فمن ذلك أن لا يمس القرآن إلا وهو طاهر من الحدثين الأصغر والأكبر لقول النبي صلى الله عليه وسلم لا يمس القرآن إلا طاهر   أو من وراء حائل لأن من مسه من وراء حائل فإنه لم يمسه في الواقع
                “Diantara nasihat untuk Kitabullah adalah manusia mesti menghormati Al Quran Al ‘Azhim, oleh karena itu janganlah menyentuh Al Quran kecuali bagi yang suci dari dua hadats: hadats kecil dan besar. Karena Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda: Janganlah menyentuh Al Quran kecuali orang yang suci, atau dari balik penghalang karena menyentuh dari balik penghalang tidaklah disebut menyentuh secara hakiki.” (Syarh Riyadh Ash shalihin, Hal. 214. Mawqi’ Ruh Al Islam)
                Syaikh Wahbah Az Zuhaili Hafizhahullah menulis dalam kitab Al Fiqhul Islami-nya, dibawah pembahasan: Apa-apa yang diharamkan  bagi orang yang berhadats kecil atau yang belum berwudhu (ternyata beliau mengkategorikan ‘menyentuh mushaf’ termasuk larangan bagi orang yang berhadats kecil). Katanya:
ولأن تعظيم القرآن واجب، وليس من التعظيم مس المصحف بيد حلَّها الحدث.
                “Karena memuliakan Al Quran adalah wajib, dan bukanlah sikap memuliakan jika menyentuh Al Quran dengan tangan dalam keadaan berhadats.” (Al Fiqhul Islami wa Adillatuhu, 1/394. Maktabah Al Misykah)
                Tertulis dalam kitab yang berisi pokok-pokok pandangan fiqih madzhab Malikiyah, yakni Al Khulashah Al Fiqhiyah tentang berbagai larangan bagi orang yang berhadats kecil, diantaranya:
ومس المصحف ولو جزءا منه ولو آية ولو مس ذلك من فوق حائل أو بعود   وكتابته فلا يجوز للمحدث أن يكتب القرآن أو آية منه
                “Menyentuh mushaf walau pun sebagian darinya saja, walau satu ayat, bahkan walau pun dibalik penghalang atau dengan kayu, dan juga menulisnya tidaklah boleh bagi yang berhadats untuk menulis Al Quran atau satu ayat darinya.” (Al Khulashah Al Fiqhiyah ‘Ala Madzhabis Saadah Al Malikiyah, Hal. 20)
                Tertulis dalam Al Mausu’ah:
وَيَحْرُمُ عَلَى الْجُنُبِ أَنْ يَكْتُبَ الْقُرْآنَ ، وَذَلِكَ عِنْدَ الْمَالِكِيَّةِ ، وَهُوَ وَجْهٌ مَشْهُورٌ عِنْدَ الشَّافِعِيَّةِ ، وَقَال مُحَمَّدُ بْنُ الْحَسَنِ : أَحَبُّ إِلَيَّ أَنْ لاَ يَكْتُبَ ؛ لأَِنَّ كِتَابَةَ الْحُرُوفِ تَجْرِي مَجْرَى الْقِرَاءَةِ  

                “Diharamkan bagi orang junub menulis Al Quran, itu menurut Malikiyah, dan menjadi pendapat yang masyhur bagi kalangan Syafi’iyah. Muhammd bin Al Hasan (salah satu kawan dan murid Abu Hanifah, pen) mengatakan: “Saya lebih suka tidak menulis, karena menulis tulisan terhadap hurufnya akan otomatis membacanya.” (Al Mausu’ah Al Fiqhiyah Al Kuwaitiyah, 16/53)
                Nampaknya mereka lebih ketat lagi, walau dengan penghalang dan kayu pun tidak boleh!
                Lalu:
وَيَحْرُمُ عَلَى الْجُنُبِ مَسُّ الْمُصْحَفِ بِيَدِهِ أَوْ بِشَيْءٍ مِنْ جَسَدِهِ ، سَوَاءٌ أَكَانَ مُصْحَفًا جَامِعًا لِلْقُرْآنِ ، أَمْ كَانَ جُزْءًا أَمْ وَرَقًا مَكْتُوبًا فِيهِ بَعْضُ السُّوَرِ ، وَكَذَا مَسُّ جِلْدِهِ الْمُتَّصِل بِهِ ، وَذَلِكَ لِقَوْلِهِ تَعَالَى : { لاَ يَمَسُّهُ إِلاَّ الْمُطَهَّرُونَ   } وَفِي كِتَابِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لِعَمْرِو بْنِ حَزْمٍ : أَنْ لاَ يَمَسَّ الْقُرْآنَ إِلاَّ طَاهِرٌ
                “Diharamkan bagi orang junub menyentuh Al Quran dengan tangannya atau bagian tubuh lainnya, sama saja apakah mushaf yang memuat seluruh Al Quran, atau satu bagian saja, atau lembaran yang tertulis di dalamnya sebagian surat, demikian juga menyentuh kulitnya yang bersentuhan langsung dengan mushaf, hal ini karena Allah Ta’ala berfirman: “Tidaklah menyentuhnya kecuali yang suci.” Dan dalam hadits Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dari Amru bin Hazm; “Janganlah menyentuh Al Quran kecuali yang suci.” (Al Mausu’ah Al Fiqhiyah Al Kuwaitiyah, 16/53)
                Demikianlah dalil-dalil pihak yang mengharamkan dan sebagian perkataan dan fatwa dari para imam kam muslimin yang berada di pihak mereka. Bisa disimpulkan bahwa pihak yang mengharamkan pun bertingkat –tingkat dan beragam.
-          Ada yang mengharamkan jika disentuh adalah mushaf sebenarnya  yakni full Al Quran, sedangkan jika tercampur dengan tafsir, hadits, dan  ucapan manusia dalam buku-buku keislaman  adalah boleh. Inilah pendapat Malikiyah, Yang masyhur dari Syafi’iyah, dan Hambaliyah, serta umumnya ulama Islam.
-          Ada yang mengharamkan jika disentuh langsung, tetapi jika menggunakan penghalang atau dijinjing dengan tali, tidak apa-apa. Ini juga pendapat mayoritas.
-          Ada pula yang mengharamkan disentuh langsung dan tidak langsung, walau dibalik penghalang atau pembungkus atau tali gantungan, tetap haram.
-          Ada pula yang mengharamkan menuliskannya.
-          Ada pula yang memakruhkan wanita haid menyentuh Al Quran, seperti pendapat Ibnu Umar, sebagaimna dikutip Imam Al Baihaqi.
-          Ada yang mengharamkan secara total, baik yang full Al Quran atau yang sudah tercampur tafsir, bahkan ayat yang tertulis dalam lembaran Dirham. Inilah kalangan Hanafiyah. Sedangkan salah satu pendapat kalangan Syafi’iyah adalah jika lebih banyak Al Qurannya maka tetap boleh, inilah yang lebih benar menurut mereka.
Wallahu A’lam
Para Ulama Yang Membolehkan dan Alasannya  
Golongan ini menyanggah pihak yang melarang. Berkata Imam Asy Syaukani Rahimahullah:
وروي عن ابن عباس ، والشعبي ، وجماعة منهم أبو حنيفة ، أنه يجوز للمحدث مسه ، وقد أوضحنا ما هو الحق في هذا في شرحنا للمنتقي ، فليرجع إليه
“Diriwayatkan dari Ibnu Abbas, Asy Sya’bi, dan  segolongan dari mereka seperti Abu Hanifah, bahwa boleh bagi seorang yang behadats untuk menyentuh Al Quran, dan kami telah menjelaskannya dalam Al Muntaqa’ mana pendapat yang benar, silahkan merujuk ke sana.” (Fathul Qadir, 7/137)  ternyata Imam Asy Syaukani termasuk yang menguatkan pendapat bolehnya menyentuh Al Quran bagi yang berhadats besar (Junub, Haid, dan Nifas) dan kecil.
Alasan-alasan  golongan ini, adalah:
Pertama. Surat Al Waqi’ah ayat 79:
لا يَمَسُّهُ إِلا الْمُطَهَّرُونَ
“Tidak ada yang menyentuhnya kecuali yang suci.” (QS. Al Waqi’ah  (56): 79)
Menurut mereka makna ayat  ‘Tidak ada yang menyentuhnya’ tidaklah tepat jika kata ganti (dhamir) hu pada kata yamassuhu (menyentuhnya) diartikan menyentuh Al Quran, tetapi yang tepat hu di situ adalah kitab Lauh Mahfuzh,  hal ini bisa diketahui ketika ayat tersebut digandengkan dengan ayat sebelumnya:
Sesungguhnya Al-Quran ini adalah bacaan yang sangat mulia, pada kitab yang terpelihara (Lauhul Mahfuzh), tidak menyentuhnya kecuali al muthahharun (orang-orang yang disucikan). (QS. Al Waqi’ah (56): 77-79)
 Ibnu Abbas Radhiallahu ‘Anhuma menafsirkan ayat: tidak menyentuhnya kecuali al muthahharun, yakni:
الكتاب الذي في السماء
                “Kitab yang ada di langit.”
                Al Muthahharun adalah malaikat. Ini juga pendapat  para sahabat dan tabi’in kenamaan seperti:  Anas, Mujahid, Ikrimah, Said bin Jubeir, Adh Dhahak, Abu Sya’tsa, Jabir bin Zaid, Abu An Nahik, Abdurrahman bin Zaid bin Aslam,  As Suddi,   dan lainnya.
                Sedangkan jika dikaitkan dengan kitab yang ada di dunia , maka tidak boleh menyentuhnya dari golongan Majusi dan munafiq, karena mereka najis. Ini dikatakan oleh Qatadah.
                Ibnu Zaid menceritakan bahwa kafir Quraisy menyangka Al Quran diturunkan  oleh golongan syetan, padahal tidak ada yang menyentuhnya kecuali al muthahharun. Sebagaimana firmanNya: Dan Al Quran itu bukanlah dibawa turun oleh syaitan- syaitan. Dan tidaklah patut mereka membawa turun Al  Quran itu, dan merekapun tidak akan kuasa. Sesungguhnya mereka benar-benar dijauhkan daripada mendengar Al Quran itu. (QS. Asy Syu’ara 926): 210-212). Lalu Imam Ibnu Katsir mengomentari: “Perkataan  Ini adalah  perkataan yang bagus (jayyid) dan tidak keluar konteksnya dari perkataan-perkataan sebelumnya.”
(Lihat semua dalam Tafsir Al Quran Al ‘Azhim-nya Imam Ibnu Katsir, 7/544. Dar Ath Thayyibah Lin Nasyr wat Tauzi’)
Sementara dalam Fathul Qadir disebutkan:
(Tidak ada yang menyentuhnya kecuali al muthahharun) Al Wahidi berkata: “Kebanyakan Ahli tafsir mengatakan bahwa dhamir (kata ganti) tersebut dikembalikan kepada kitabul maknun (lauh mahfuzh), jadi artinya tidak ada yang menyentuh lauh mahfuzh kecuali al muthahharun, mereka adalah malaikat. Ada juga yang mengatakan: malaikat dan para rasul dari Bani Adam. (Tidak ada yang menyentuhnya) yaitu menyentuh secara hakiki (sebenarnya). Ada yang mengatakan: tidak ada yang menurunkannya kecuali al muthahharun. Dikatakan; tidak ada yang membacanya. Ada yang mengartikan kitabul maknun adalah Al Quran, maka dikatakan (tidak menyentuhnya kecuali al muthahharun) yakni orang yang suci dari hadats dan najis, demikian dikatakan Qatadah dan selainnya. Berkata Al Kalbi: “Orang-orang yang suci dari kesyirikan.” Berkata Rabi’ bin Anas: “Orang yang suci dari dosa dan kesalahan.” Berkata Muhammad bin Al Fadhl dan lainnya: (tidak ada yang menyentuhnya) yaitu tidak ada yang membacanya kecuali al muthahharun, yaitu orang-orang yang bertauhid. Berkata Al Fara’: tidak ada manfaat dan keberkahannya kecuali bagi al muthahharun, yaitu orang-orang beriman. Berkata Al Husein bin Al Fadhl: “Tidak ada yang tahu tafsir dan takwilnya kecuali orang yang disucikan oleh Allah dari syirik dan nifaq.” (Imam Asy Syaukani,  Fathul Qadir, 7/137. Mawqi’ Ruh Al Islam)
Syaikh Sayyid Sabiq Rahimahullah juga ikut mengomentari ayat ini, katanya:
وأما قول الله سبحانه: (لا يمسه إلا المطهرون)   فالظاهر رجوع الضمير إلى الكتاب المكنون، وهو وهو اللوح المحفوظ، لانه الاقرب، والمطهرون الملائكة، فهو كقوله تعالى: (في صحف مكرمة، مرفوعة مطهرة، بأيدي سفرة، كرام بررة)  وذهب ابن عباس والشعبي والضحاك وزيد بن علي والمؤيد بالله وداود وابن حزم وحماد بن أبي سليمان: إلى أنه يجوز للمحدث حدثا أصغر من المصحف وأما القراءة له بدون مس فهي جائزة اتفاقا.
“Ada pun firman Allah Subhanahu: (Tidaklah menyentuhnya kecuali al muthahharun), maka menurut  lahiriyahnya, dhamir (kata ganti) mesti dikembalikan  al kitab al maknun , yaitu lauh mahfuzh, karena itu lebih dekat. Al Muthahharun adalah malaikat. Hal itu sebagaimana firmanNya: di dalam kitab-kitab yang dimuliakan, yang ditinggikan lagi disucikan, di tangan para penulis (malaikat), yang mulia lagi berbakti.”  Dan, menurut Ibnu Abbas, Asy Sya’bi, Adh Dhahak, Zaid bin Ali, Muayyid Billah, Daud, Ibnu Hazm, Hammad bin Abi Sulaiman: bahwa BOLEH bagi orang berhadats kecil menyentuh mushaf. Ada pun membacanya tanpa menyentuh,  adalah boleh menurut kesepakatan ulama.” (Fiqhus Sunnah, 1/57. Darul Kitab Al ‘Arabi)
Ada pun Imam Ibnu Hazm Rahimahullah, dengan gaya bahasanya yang tegas menolak jika ayat ini dijadikan dalil pengharamannya. Beliau berkata:
فَهَذَا لاَ حُجَّةَ لَهُمْ فِيهِ لاَِنَّهُ لَيْسَ أَمْرًا وَإِنَّمَا هُوَ خَبَرٌ. وَاَللَّهُ تَعَالَى لاَ يَقُولُ إلاَّ حَقًّا. وَلاَ يَجُوزُ أَنْ يُصْرَفَ لَفْظُ الْخَبَرِ إلَى مَعْنَى الأَمْرِ إلاَّ بِنَصٍّ جَلِيٍّ أَوْ إجْمَاعٍ مُتَيَقَّنٍ. فَلَمَّا رَأَيْنَا الْمُصْحَفَ يَمَسُّهُ الطَّاهِرُ وَغَيْرُ الطَّاهِرِ عَلِمْنَا أَنَّهُ عَزَّ وَجَلَّ لَمْ يَعْنِ الْمُصْحَفَ وَإِنَّمَا عَنَى كِتَابًا آخَرَ.
                “Maka pada ayat ini, tidak terdapat  hujjah (alasan) bagi mereka (untuk mengharamkannya), sebab di dalamnya tidak ada perintah, yang ada hanyalah pemberitaan (khabar). Allah Ta’ala tidaklah berfirman kecuali yang benar. Dan, tidak boleh merubah lafaz khabar (berita) kepada makna amr (perintah) kecuali ada dalil yang jelas atau ijma’ yang meyakinkan. Maka, ketika kami melihat ada orang yang suci dan tidak suci menyentuh mushaf, maka tahulah kami bahwa Allah ‘Azza wa Jalla tidaklah memaksudkan itu adalah mushaf, melainkan itu adalah kitab yang lain.” (Al Muhalla, 1/83. Mawqi’ Ruh Al Islam)
Maka, inilah pandangan mayoritas ahli tafsir  yang dimotori Abdullah bin Abbas Radhiallahu ‘Anhuma    dan juga orang-orang utama dalam tafsir Al Quran pada masa tabi’in, seperti Said bin Jubeir, Mujahid, dan Adh Dhahak. Bahwa ayat itu sedang membicarakan Lauh Mahfuzh, dan al muthahharun adalah malaikat.
Tentang keunggulan tafsir Ibnu Abbas, maka Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam telah mendoakannya:
اللهم فقهه في الدين، وعلمه التأويل
“Ya Allah fahamkanlah dia ilmu agama dan ajarkanlah takwil (Al Quran) padanya.” (HR. Bukhari No. 75)
Tentang keunggulan tafsir Mujahid, maka Imam Sufyan Ats Tsauri mengatakan:
إذا جاءك التفسير عن مجاهد فحسبك به
                “Jika datang kepadamu tafsir dari Mujahid maka itu  cukuplah itu bagimu.” (Tafsir Al Quran Al ‘Azhim, 1/10)
Maka, menurut golongan ini tidak benar berdalil dengan ayat ini untuk mengharamkan orang berhadats menyentuh Al Quran, dilihat dari dua hal:
-          Makna yang lebih benar adalah tidak ada yang menyentuh Lauh mahfuzh kecuali para malaikat.
-          Sekali pun benar diartikan tidak ada yang menyentuh Al Quran kecuali orang-orang suci, maka maksudnya adalah orang yang suci dari syirik dan munafik. Sebab mereka adalah najis aqidahnya. Ada pun orang mu’min selamanya adalah suci walau pun sedang berhadats, junub, dan haid: karena Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa sallam bersabda: Al Mu’min Laa yanjus (Orang beriman tidaklah najis), hal ini berlaku kapan saja.

                Kedua, alasan pihak yang membolehkan adalah hadits bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
ولا يمس القرآن إلا طاهر
                “Tidaklah menyentuh Al Quran kecuali orang suci.”
(HR.  Ad Daruquthni No. 222, Al Baihaqi dalam  Sunannya No. 412, 413, 1374,  dishahihkan oleh Syaikh Al Albani dalam Shahihul Jami’ No. 7780)
Mereka menyanggahnya, bahwa  makna orang suci di sini adalah orang yang suci aqidah dari kekafiran, sebagaimana ayat di atas. 
Sebab, seorang yang beriman kepada Allah Ta’ala, baik laki-laki dan perempuan, baik dalam keadaan haid, junub, dan hadats, maka mereka selalu suci sesuaim keumuman hadits: Al Mu’min laa yanjus (orang beriman tidaklah najis). Kesucian mereka tidak hilang karena faktor-faktor ini, sebab keimanan mereka kepada Allah Ta’ala jauh lebih tinggi dan berharga dibanding halangan-halangan ini.
Syaikh Sayyid Sabiq Rahimahullah mengomentari hadits ini:
فالحديث يدل على أنه لا يجوز مس المصحف، إلا لمن كان طاهرا ولكن (الطاهر) لفظ مشترك، يطلق على الطاهر من الحدث الاكبر، والطاهر من الحدث الاصغر، ويطلق على المؤمن، وعلى من ليس على بدنه نجاسة، ولابد لحمله على معين من قرينة. فلا يكون الحديث نصا في منع المحدث حدثا أصغر من مس المصحف

“Hadits ini menunjukkan bahwa tidak boleh menyentuh mushaf kecuali bagi orang yang keadaan suci. Tetapi, ‘keadaan suci’ merupakan lafaz musytarak (memiliki banyak arti), secara mutlak makna tersebut kepada orang yang suci dari hadats besar, suci dari hadats kecil, dan secara mutlak juga makna suci itu untuk orang beriman, untuk orang yang badannya tidak terdapat najis,  dan wajiblah mengembalikan makna tersebut kepada petunjuk (qarinah) makna   spesifik. Maka, tidaklah hadits ini menjadi dalil dalam melarang orang berhadats kecil untuk menyentuh mushaf.” (Fiqhus Sunnah, 1/57)
Jadi, menurut Syaikh Sayyid Sabiq, kebolehan menyentuh mushaf   hanya untuk yang berhadats kecil. Apa yang dikatakannya ini telah dikomentari oleh Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albani Rahimahullah  dalam kitab Tamamul Minnah:
 هذا الكلام اختصره المؤلف من كلام الشوكاني على الحديث في " نيل الأوطار " ( 1 / 180 - 181 ) وهو كلام مستقيم لا غبار عليه إلا قوله في آخره : " فلا يكون الحديث نصا في منع المحدث حدثا أصغر من مس المصحف " فإنه من كلام المؤلف ومفهومه أن الحديث نص في منع المحدث حدثا أكبر من مس المصحف وهو على هذا غير منسجم مع سياق كلامه لأنه قال فيه : " ولا بد لحمله على معين من قرينة " فها هو قد حمله على المحدث حدثا أكبر فأين القرينة ؟ فالأقرب - والله أعلم - أن المراد بالطاهر في هذا الحديث هو المؤمن سواء أكان محدثا حدثا أكبر أو أصغر أو حائضا أو على بدنه نجاسة لقوله صلى الله عليه وسلم : " المؤمن لا ينجس " وهو متفق على صحته والمراد عدم تمكين المشرك من مسه
“Perkataan ini beliau ringkas dari  komentar Asy Syaukani terhadap hadits dalam Nailul Authar (1/180-181), dan ini merupakan perkataan yang benar dan tidak ada  noda atasnya, kecuali perkataannya:  “ Maka, tidaklah hadits ini menjadi dalil dalam melarang orang berhadats kecil untuk menyentuh mushaf.” Dari perkataan penulis (Syaikh Sayyid Sabiq) dan pemahamannya yang tersirat, menunjukkan bahwa hadits ini menjadi dalil larangan bagi yang berhadats besar untuk menyentuh mushaf. Dan, hal itu tidaklah selaras dengan hubungan kalimat beliau sendiri,  karena dia telah mengatakan: “dan wajiblah mengembalikan makna tersebut kepada petunjuk (qarinah)   yang spesifik.” Nah, disinilah beliau telah menafsirkan petunjuk (qarinah) itu adalah hadats besar. Lalu, manakah  qarinah tersebut? Yang paling dekat –wallahu ‘alam- adalah maksud ‘orang keadaan suci’ dalam hadits ini adalah  orang beriman, sama saja baik dia hadats besar, kecil, haid, dan  di badannya terdapat najis, karena Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda: “Orang beriman tidaklah najis,” hadits ini disepakati keshahihannya. Maksud hadits ini adalah larangan bagi orang musyrik untuk menyentuhnya (mushaf).” (Tamamul Minnah, Hal. 107)
Imam Asy Syaukani Rahimahullah menjelaskan:
لأن المطهر من ليس بنجس والمؤمن ليس بنجس دائمًا لحديث " المؤمن لا ينجس " وهو متفق عليه فلا يصح حمل المطهر على من ليس بجنب أو حائض أو محدث أو متنجس بنجاسة عينية بل يتعين حمله على من ليس بمشرك كما في قوله تعالى {إِنَّمَا الْمُشْرِكُونَ نَجَسٌ}
                “Karena sesungguhnya ‘orang yang suci’ adalah yang tidak bernajis, dan orang beriman bukanlah najis selamanya, sesuai hadits: Al Mu’min laa yanjus (orang beriman tidaklah najis) hadits ini muttafaq ‘alaih. Maka, tidak benar mengartikan ‘orang yang suci’ untuk orang yang tidak  junub atau tidak haid atau tidak berhadats atau yang terkena zat najis (najis ‘aini), tetapi maknanya adalah untuk orang yang bukan musyrik, sebagaimana firmanNya: “Sesungguhnya orang-orang musyrik itu najis.”  (Nailul Authar, 1/206)
                Imam Asy Saukani  mengutip dari  As Sayyid Al ‘Allamah Muhammad bin Ibrahim Al Wazir Rahimahullah:
إن إطلاق اسم النجس على المؤمن الذي ليس بطاهر من الجنابة أو الحيض أو الحدث الأصغر لا يصح لا حقيقة ولا مجازًا ولا لغة صرح بذلك في جواب سؤال ورد عليه فإن ثبت هذا فالمؤمن طاهر دائمًا فلا يتناوله الحديث سواء كان جنبًا أو حائضًا أو محدثًا أو على بدنه نجاسة .
                “Sesungguhnya menggenaralisir penamaan najis untuk orang beriman yang sedang tidak suci dari junub, atau haid, atau hadats kecil dan besar, tidaklah benar secara hakikat, majaz, dan bahasa.” Beliau menjelaskan hal ini ketika menjawab pertanyaan yang sampai kepadanya. Jadi, benarlah hal ini, maka seorang mu’min adalah selalu suci, maka hadits tersebut tidaklah mencakup hal ini, sama saja apakah keadaan junub, haid, atau berhadats, atau pada badannya terkena najis.” (Ibid,1/207)
Renungan Seputar Hadits: Al Mu’min la Yanjus (orang beriman tidaklah najis)
                Tertulis dalam Shahih Bukhari, pada Kitab Al Janaiz Bab Ghuslil Mayyit wa Wudhu’ihi bil Maa’i was Sidr :
وَحَنَّطَ ابْنُ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا ابْنًا لِسَعِيدِ بْنِ زَيْدٍ وَحَمَلَهُ وَصَلَّى وَلَمْ يَتَوَضَّأْ وَقَالَ ابْنُ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا الْمُسْلِمُ لَا يَنْجُسُ حَيًّا وَلَا مَيِّتًا وَقَالَ سَعِيدٌ لَوْ كَانَ نَجِسًا مَا مَسِسْتُهُ وَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْمُؤْمِنُ لَا يَنْجُسُ
                Ibnu Umar Radhiallahu ‘Anhuma sedang membalsem anak dari Said bin Zaid, dia memanggulnya dan menshalatkannya tanpa berwudhu lagi. Ibnu Abbas Radhiallahu ‘Anhuma mengatakan: Seorang muslim tidaklah najis baik ketika hidup dan mati. Said berkata: seandainya dia najis tentulah saya tidak menyentuhnya. Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda: bahwa seorang mu’min tidaklah najis.”
                Perhatikan teks di atas. Kita mengetahui bahwa bangkai -mayat manusia termasuk bangkai- adalah najis, tetapi dalam kisah di atas ada pengecualian bagi manusia, bahwa hidup dan matinya tetaplah suci. Oleh karena itu, Ibnu Umar meshalatkannya setelah dia membalsemkan dan menggendongnya, tanpa dia berwudhu lagi. Jika memang mayat manusia adalah najis, tentu itu membatalkan wudhu Ibnu Umar, ternyata tidak! Ini membuktikan bahwa manusia memang selamanya suci walau telah menjadi bangkai!
                Masih dalam Shahih Bukhari, pada Kitab Al Ghusl Bab Al Junub Yakhruju wa Yamsyi fi Suuqi wa Ghairih:
لَقِيَنِي رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَأَنَا جُنُبٌ فَأَخَذَ بِيَدِي فَمَشَيْتُ مَعَهُ حَتَّى قَعَدَ فَانْسَلَلْتُ فَأَتَيْتُ الرَّحْلَ فَاغْتَسَلْتُ ثُمَّ جِئْتُ وَهُوَ قَاعِدٌ فَقَالَ أَيْنَ كُنْتَ يَا أَبَا هِرٍّ فَقُلْتُ لَهُ فَقَالَ سُبْحَانَ اللَّهِ يَا أَبَا هِرٍّ إِنَّ الْمُؤْمِنَ لَا يَنْجُسُ
                “Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam menemuiku dan aku sedang junub, dia meraih tanganku lalu aku berjalan besamanya, sampai dia duduk dan saya lepaskan tangannya. Maka, saya datangi kuda saya lalu mandi. Kemudian saya datang dan beliau masih kedaan duduk. Beliau bersabda: “Dari mana saja engkau Ya Abu Hirr?” maka saya ceritakan kepadanya. Beliau bersabda: “Subhanallah! Wahai Abu Hirr, sesungguhnya seorang mu’min itu tidaklah najis.”
                Perhatikan kisah ini. Walau pun dalam keadaan junub, seorang mukmin tetaplah suci, tidak najis. Ucapan nabi ini menganulir pemahaman yang dikira oleh Abu Hurairah bahwa orang junub itu najis. Maka, jika junub itu tetap suci, maka keadaan lainnya seperti haid, nifas, dan hadats kecil pun sama, tetaplah tidak mengubah keadaan mereka dari kesuciannya. Ringkasnya, seorang junub tetaplah suci, maka tak ada larangan baginya menyentuh Al Quran sebab Al Quran boleh dipegang oleh al muthahharun (yang suci), sebagaimana hal itu boleh pula bagi wanita haid, nifas, dan hadats kecil. Ini harus dikembalikan kepada bara’atul ashliyah (hukum asal segala sesuatu) ketika tidak adnaya larangan yakni boleh.
                Bagaimana mungkin seorang muslim adalah najis karena hal-hal itu, yang dengan itu dia dilarang untuk menyentuh kitab sucinya sendiri? Padahal  tubuh orang musyrik saja suci menurut jumhur. Tentang ayat yang berbunyi: “Sesungguhnya orang-orang muysrik itu najis.” Berkata Al Hafizh Ibnu Hajar Rahimahullah:
بِأَنَّ الْمُرَادَ أَنَّهُمْ نَجَسٌ فِي الِاعْتِقَادِ وَالِاسْتِقْذَارِ وَحُجَّتهمْ أَنَّ اللَّهَ تَعَالَى أَبَاحَ نِكَاح نِسَاء أَهْلِ الْكِتَابِ
                “Sesungguhnya maksud bahwa mereka najis adalah najis pada aqidahnya dan kotor. Alasan mereka (mayoritas ulama) adalah sesungguhnya Allah Ta’ala membolehkan menikahi wanita ahli kitab (Yahudi dan Nasrani). “ (Fathul Bari, 1/390)  
Imam An Nawawi Rahimahullah mengatakan:
وَذَكَرَ الْبُخَارِيّ فِي صَحِيحه عَنْ اِبْن عَبَّاس تَعْلِيقًا : الْمُسْلِم لَا يَنْجُس حَيًّا وَلَا مَيِّتًا . هَذَا حُكْم الْمُسْلِم . وَأَمَّا الْكَافِر فَحُكْمه فِي الطَّهَارَة وَالنَّجَاسَة حُكْم الْمُسْلِم هَذَا مَذْهَبنَا وَمَذْهَب الْجَمَاهِير مِنْ السَّلَف وَالْخَلَف . وَأَمَّا قَوْل اللَّه عَزَّ وَجَلَّ : { إِنَّمَا الْمُشْرِكُونَ نَجَس } فَالْمُرَاد نَجَاسَة الِاعْتِقَاد وَالِاسْتِقْذَار ، وَلَيْسَ الْمُرَاد أَنَّ أَعْضَاءَهُمْ نَجِسَة كَنَجَاسَةِ الْبَوْل وَالْغَائِط وَنَحْوهمَا . فَإِذَا ثَبَتَتْ طَهَارَة الْآدَمِيّ مُسْلِمًا كَانَ أَوْ كَافِرًا ، فَعِرْقه وَلُعَابه وَدَمْعه طَاهِرَات سَوَاء كَانَ مُحْدِثًا أَوْ جُنُبًا أَوْ حَائِضًا أَوْ نُفَسَاء ، وَهَذَا كُلّه بِإِجْمَاعِ الْمُسْلِمِينَ كَمَا قَدَّمْته فِي بَاب الْحَيْض
                “Imam Bukhari menyebutkan dalam Shahihnya, dari Ibnu Abbas secara mu’alaq (tidak disebut sanadnya): Seorang muslim tidaklah najis baik hidup dan matinya. Ini adalah hukum untuk seorang muslim. Ada pun orang kafir maka hukumnya dalam masalah  suci dan najisnya adalah sama dengan hukum seorang muslim (yakni suci). Ini adalah madzhab kami dan mayoritas salaf dan khalaf. Ada pun ayat (Sesungguhnya orang musyrik itu najis) maka maksudnya adalah najisnya aqidah  yang kotor, bukan maksudnya anggota badannya najis seperti najisnya kencing,  kotorannya , dan semisalnya. Jika sudah pasti kesucian manusia baik dia muslim atau kafir, maka keringat, ludah, darah, semuanya suci, sama saja apakah dia sedang berhadats, atau junub, atau haid, atau nifas. Semua ini adalah ijma’ kaum muslimin sebagaimana yang telah lalu saya jelaskan dalam Bab Haid.” (Al Minhaj Syarh Shahih Muslim, 2/87. Mawqi’ Ruh Al Islam)  selesai
                Hal ini sama dengan kenajisan haid, sesungguhnya yang najis adalah darah haid-nya, bukan wanitanya. Sebab, telah banyak riwayat yang shahih bahwa Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam tetap bergurau bahkan mubasyarah (bercumbu) dikala isterinya haid.
                Anas bin Malik Radhiallahu ‘Anhu mengadu kepada Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bahwa orang Yahudi jika isteri mereka sedang haid,   mereka tidak mau makan bersamanya dan tidak mau berkumpul dengan mereka di rumah. Maka turunlah ayat: Mereka bertanya kepadamu tentang haidh. Katakanlah: "Haidh itu adalah suatu kotoran." Oleh sebab itu hendaklah kamu menjauhkan diri   dari wanita di waktu haidh ..dst” (QS. Al Baqarah (2): 222)
                 Setelah itu Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda:
اصنعوا كل شيء إلا النكاح
                “Lakukan apa saja (kepada mereka), kecuali menggaulinya.” (HR. Muslim No. 302, Ibnu Hibban No. 1362, Ahmad No. 12354, 13576)
                Jadi, syariat Islam masih membolehkan untuk ‘melakukan apa saja’ tapi tidak sampai menggaulinya. Ada pun surat Al Baqarah ayat 222 di atas, maksud kalimat: .. hendaknya kamu  menjauhkan  diri  dari wanita di waktu haid.., adalah jangan berhubungan badan dengan mereka karena darah haid adalah kotoran dan najis. Demikian dikatakan para mufasir.
                Imam Ibnu Katsir mengatakan: yakni jauhi kemaluan (Al Farj). Lalu beliau menambahkan:
ولهذا ذهب كثير من العلماء أو أكثرهم إلى أنه تجوز مباشرة الحائض فيما عدا الفرج.
                “Oleh karenanya, banyak ulama atau  mayoritas  ulama berpendapat bahwa boleh bercumbu dengan isteri yang sedang haid,  kecuali pada kemaluannya.” (Tafsir Al Quran Al ‘Azhim, 1/585)
                Hal ini langsung dipraktekan oleh Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, kata ‘Aisyah Radhiallahu ‘Anha:
كان رسول الله صلى الله عليه وسلم يأمرني فأغسل رأسه وأنا حائض، وكان يتكئ في حجري وأنا حائض، فيقرأ القرآن
                “Dahulu Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam memerintahkan saya dan saya mencuci kepalanya dan saya sedang haid, dia menyandarkan diri di kamar saya, dan saya sedang haid, lalu dia membaca Al Quran.” (HR. Muslim No. 297)
                Dari Maimunah binti Al Harits Radhiallahu ‘Anha, katanya:
 كان النبي  صلى الله عليه وسلم إذا أراد أن يباشر امرأة من نسائه أمرها فاتزرت وهي حائض
                “Dahulu Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam jika hendak bercumbu dengan isterinya, dia memerintahkan agar istrinya menggunakan kain sarung dan dia sedang haid.” (HR. Bukhari No. 303 dan  Muslim No. 294) ada hadits serupa dari ‘Aisyah. (Bukhari No. 300 dan  Muslim No. 293)
                Maka jelaslah kesucian tubuh wanita haid, sebab yang najis adalah darahnya.  Selesai.
                Ketiga. Pihak yang membolehkan juga menyanggah pendalilan dengan hadits shahih riwayat Imam Muslim, tentang larangan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam membawa Al Quran ke negeri musuh (kafir). Larangan ini disebabkan khawatir mereka akan mencela Al Quran sebagaimana disebutkan dalam riwayat lain, bukan karena menyentuhnya.
                Bagi mereka, justru ini menjadi dalil bagi pihak mereka (yang membolehkan). Sebab, larangan nabi  sangat jelas, yakni jangan Al Quran di bawa ke negeri kafir. Kenapa? Karena mereka najis aqidahnya. Hal ini sesuai dengan pemahaman bahwa: janganlah menyentuhnya kecuali orang-orang suci yaitu janganlah menyentuh Al Quran kecuali orang yang suci dari kekafiran, kesyirikan, dan kemunafikan.  Larangan ini bukan larangan dibawanya Al Quran ke daerah muslim yang penduduknya sedang junub, haid, dan nifas. Maka, jangan samakan antara penduduk muslimin yang sedang junub, haid, dan nifas, dengan penduduk kaum kafirin.
                Imam Asy Syaukani Rahimahullah menjelaskan:
ولحديث النهي عن السفر بالقرآن إلى أرض العدو ولو سلم صدق اسم الطاهر على من ليس بمحدث حدثًا أكبر أو أصغر فقد عرفت أن الراجح كون المشترك مجملًا في معانيه فلا يعين حتى يبين
                “Hadits yang melarang bepergian membawa Al Quran ke negeri musuh walau dalam keadaan aman, justru membenarkan bahwa penaman ‘suci’ bukan hanya kepada orang yang sedang tidak hadats, baik hadats besar atau kecil. Anda telah mengetahui bahwa pendapat yang paling kuat adalah menjadikan makna-makna yang termasuk di dalamnya secara global, tidak boleh mengkhususkan maknanya  kecuali adanya penjelasan tentang hal itu.” (Nailul Authar, 1/206)
                Tentang hadits ini, berkata Imam Abu Muhammad bin Hazm Rahimahullah dalam kitabnya yang terkenal, Al Muhalla:
فَهَذَا حَقٌّ يَلْزَمُ اتِّبَاعُهُ وَلَيْسَ فِيهِ أَنْ لاَ يَمَسَّ الْمُصْحَفَ جُنُبٌ, وَلاَ كَافِرٌ. وَإِنَّمَا فِيهِ أَنْ لاَ يَنَالَ أَهْلُ أَرْضِ الْحَرْبِ الْقُرْآنَ فَقَطْ.
                “Maka, ini benar dan wajib kita mengikutinya, tetapi di dalamnya tidak ada larangan menyentuh mushaf bagi orang junub dan tidak pula bagi orang kafir. Yang ada hanyalah jangan sampai Al Quran jatuh ke tangan penduduk ahlul harbi (kaum kafir yang memerangi kaum muslimin, pen).” (Al Muhalla, 1/8. Mawqi’ Ruh Al Islam)
                Apa yang dikatakan Imam Ibnu Hazm ini  cukup telak, karena memang dalam hadits ini Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam menyebut dengan istilah ardhul ‘aduw (negeri musuh), yang berarti ada dua kemungkinan, pertama,   mereka dalam keadaan  berperang, kedua, atau bisa juga mereka kaum yang membenci , walau dalam keadan damai, maka mereka tetap di sebut musuh.
                Dari Ibnu Umar Radhiallahu ‘Anhuma, katanya:
أن رسول الله صلى الله عليه وسلم نهى أن يسافر بالقرآن إلى أرض العدو، مخافة أن يناله العدو.
                Bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam melarang bepergian dengan Al Quran ke negeri musuh, khawatir musuh akan mencelanya.” (HR. Muslim No. 1869, Ibnu Majah No. 2879, Ibnu Hibban No. 4715)
                Jadi, alasan dilarangnya membawa mushaf ke negeri musuh adalah khawatir Al Quran akan dijadikan bahan caci-makian mereka. Oleh karena itu, Imam An Nawawi Rahimahullah mengatakan:
النَّهْي عَنْ الْمُسَافَرَة بِالْمُصْحَفِ إِلَى أَرْض الْكُفَّار لِلْعِلَّةِ الْمَذْكُورَة فِي الْحَدِيث ، وَهِيَ خَوْف أَنْ يَنَالُوهُ فَيَنْتَهِكُوا حُرْمَته ، فَإِنْ أُمِنَتْ هَذِهِ الْعِلَّة بِأَنْ يَدْخُل فِي جَيْش الْمُسْلِمِينَ الظَّاهِرِينَ عَلَيْهِمْ فَلَا كَرَاهَة وَلَا مَنْع مِنْهُ حِينَئِذٍ لِعَدَمِ الْعِلَّة ، هَذَا هُوَ الصَّحِيح ، وَبِهِ قَالَ أَبُو حَنِيفَة وَالْبُخَارِيّ وَآخَرُونَ
                “Dilarang berpergian membawa mushaf ke negeri  kafir dengan ‘ilat (alasan) yang telah disebutkan dalam hadits. Yaitu, takut mereka akan mencaci dan memaki kehormatannya. Jika  keadaan telah aman dari itu,  karena pasukan muslimin telah menang melawan mereka, maka tidak makruh dan tidak dilarang ketika ‘ilat-nya sudah tidak ada. Inilah yang benar. Inilah pendapat Abu Hanifah, Al Bukhari, dan lainnya.” (Al Minhaj Syarh Shahih Muslim, 6/342. Mawqi’ Ruh Al Islam)
                Demikianlah, dalil ini pun telah dikoreksi dengan baik oleh golongan yang membolehkan. Wallahu A’lam
                Sebagaimana pihak yang melarang, pihak yang membolehkan pun bertingkat-tingkat:
-          Membolehkan hadats kecil saja, tapi tidak pada hadats besar. Ini pendapat Syaikh Sayyid Sabiq.
-          Membolehkan secara mutlak kepada semua, baik hadats kecil (belum berwudhu), atau hadats besar, seperti haid, nifas, dan junub. Inilah pendapat Ibnu Abbas, Asy Sya’bi, Abu Hanifah, Daud Azh Zhahiri, Ibnu Hazm, Asy Syaukani, Syaikh Al Albani, dll
Dalam pandangan kami -Wallahu A’lam- apa yang dikatakan oleh pihak yang membolehkan, baik membolehkan MEMBACA atau MENYENTUH, dalam keadaan hadats kecil,  haid, nifas, dan junub, adalah pendapat yang lebih kuat baik dari sisi tsubut (kekuatan riwayat) dan dalalah (implikasi/penunjukan) hukumnya. Sedangkan pandangan yang melarang, sudah dikoreksi satu per satu oleh pihak yang membolehkan. Namun, MEMBACA dan MENYENTUH Al Quran dengan didahului berwudhu adalah lebih utama dan lebih baik untuk dilakukan sebagai bentuk penghormatan kita terhadapnya.
(pembahasan tentang wanita haid, nifas, orang junub, bolehkah berdiam di masjid, sudah pernah kami bahas di abuhudzaifi.multiply.com, atau pada buku Yas’alunaka ‘An)
Semoga bermanfaat. Wallahu A’lam
Daftar Pustaka:

1.       Al Quran Al Karim
2.       Tafsir Al Quran Al ‘Azhim, karya Imam Ibnu Katsir
3.       Fathul Qadir, karya Imam Asy Syaukani
4.       Ahkamul Quran, karya Imam Ibnul ‘Arabi Al Maliki
5.       At Tibyan fi Adab Hamalatil Quran, karya Imam An Nawawi
6.       Studi Ilmu- Ilmu Al Quran, karya Syaikh Manna’ Khalil Al Qattan, Litera Antar Nusa
7.       Shahih Bukhari, karya Imam Al Bukhari
8.       Shahih Muslim, karya Imam Muslim
9.       Sunan At Tirmidzi, karya Imam At Tirmidzi
10.    Sunan Ibnu Majah, karya Imam Ibnu Majah
11.    As Sunan Al Kubra, karya Imam Al Baihaqi
12.    Shahih Ibnu Hibban, karya Imam Ibnu Hibban
13.    Sunan Ad Daruquthni, karya Imam Ad Daruquthni
14.    Musnad Ahmad, karya Imam Ahmad bin Hambal. Tahqiq: Syaikh Syau’aib Al Arna’uth
15.    Fathul Bari, karya Imam Ibnu Hajar Al ‘Asqalani
16.    Al Minhaj Syarh Shahih Muslim, karya Imam An Nawawi
17.    Ikmal Al Mu’allim Syarh Shahih Muslim, karya Imam Al Qadhi ‘Iyadh
18.    Tuhfah Al Ahwadzi, karya Syaikh Abdurrahman Al Mubarakfuri
19.    Syarh Riyadush Shalihin, karya Syaikh Ibnu Al ‘Utsaimin
20.    Nailul Authar, karya Imam Asy Syaukani
21.    Mizanul I’tidal, karya Imam Adz Dzahabi
22.    Tahdzibul Kamal, karya Imam Al Mizzi
23.    Al Jarh wat Ta’dil, karya Imam Abu Hatim Ar Razi
24.    At Taqribut Tahdzib, karya Imam Ibnu Hajar Al ‘Asqalani
25.    Majma’ Az Zawaid, karya Imam Nuruddin Al Haitsami
26.    Misykah Al Mashabih, karya Syaikh Al Albani
27.    Tamamul Minnah, karya Syaikh Al Albani
28.    Shahih wa Dhaiful Jami’, karya Syaikh Al Albani
29.    Shahih wa Dhaif Sunan Ibni Majah, karya Syaikh Al Albani
30.    Irwa’ul Ghalil, karya Syaikh Al Albani
31.    Al Muhalla, karya Imam Ibnu Hazm
32.    Fiqhus Sunnah, karya Syaikh Sayyid Sabiq
33.    Al Fiqhul Islami wa Adillatuhu, karya Syaikh Wahbah Az Zuhaili
34.    Al Mausu’ah Al Fiqhiyah Al Kuwaitiyah, karya para ulama Kuwait
35.    Al Khulashah Al Fiqhiyah ‘Ala Madzhabis Saadah Al Malikiyah
36.    Majmu’ Fatawa, karya Imam Ibnu Taimiyah
37.    Al Majmu’ Syarh Al Muhadzdzah, karya Imam An Nawawi
38.    Fatawa Nur ‘Alad Darb, karya Syaikh Ibnu Baz
39.    Majmu’ Fatawa war Rasail, karya Syaikh Ibnu Al Utsaimin




  

No comments:

Post a Comment