Berikut ini adalah deretan manusia yang shalat mereka sia-sia alias
tidak diterima oleh Allah Tabaraka wa Ta’ala. Sia-sianya shalat mereka
bukanlah faktor intrinsik seperti salahnya atau mereka meninggalkan
syarat dan rukun shalat. Tetapi faktor ekstrinsik yakni perbuatan mereka
di luar shalat, yaitu perbuatan yang
melanggar aturan Allah dan RasulNya.
Di sini kita tidak
membicarakan amal seorang muslim yang
menjadi kafir, murtad, dan musyrik, karena untuk mereka semua amalnya sia-sia,
bukan hanya shalat. Begitu pula orang
yang tidak ikhlas dalam beramal, tentu yang sia-sia adalah amal yang dia lakukan secara tidak ikhlas
itu, tidak terbatas pada shalat. Ada
pun di sini, kita hanya membatasi siapa saja dan sebab apa saja yang membuat
shalat seorang muslim menjadi sia-sia.
Tentunya dalam hal ini kita hanya menggunakan dasar dan rujukan yang bisa
dipercaya.
1.
Orang yang
mendatangi dukun dan mempercayainya
Mereka adalah orang yang mendatangi peramal,
paranormal, “orang pintar”, cenayang, atau apa pun istilahnya. Mereka
mendatangi dalam berbagai kepentingan;
seperti meramal nasib, meminta perlindungan, pengobatan, pesugihan,
jodoh, supaya bisnis dan karir lancar, pelet (teluh), sihir, dan
sebagainya. Di antara dukun-dukun ini ada yang
mengelabui pasiennya dengan menambahkan dan membungkus amal sihir mereka
dengan berbagai ayat dan dzikir agar terkesan apa yang dilakukannya adalah
benar. Padahal itu hanya bagian dari
jenis talbisul iblis (perangkap
syetan) kepada manusia. Justru ini lebih bahaya dibanding dukun yang tidak
memakai ayat-ayat dan dzikir, sebab dengannya banyak orang awam tertipu
olehnya. Sayangnya mereka merasa berjalan di atas kebenaran!
Allah Ta’ala berfirman:
قُلْ هَلْ نُنَبِّئُكُمْ بِالأَخْسَرِينَ
أَعْمَالا الَّذِينَ ضَلَّ سَعْيُهُمْ فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَهُمْ يَحْسَبُونَ
أَنَّهُمْ يُحْسِنُونَ صُنْعًا
Katakanlah: "Apakah akan Kami beritahukan
kepadamu tentang orang-orang yang paling merugi perbuatannya?" Yaitu orang-orang
yang telah sia-sia perbuatannya dalam kehidupan dunia ini, sedangkan mereka
menyangka bahwa mereka berbuat sebaik-baiknya. (QS. Al Kahfi: 103-104)
Dari Shafiyah Radhiallahu ‘Anha, dari
sebagian istri nabi, bahwa Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
مَنْ أَتَى عَرَّافًا فَسَأَلَهُ عَنْ شَيْءٍ لَمْ
تُقْبَلْ لَهُ صَلَاةٌ أَرْبَعِينَ لَيْلَةً
Barang siapa yang mendatangi peramal, lalu dia
menanyainya tentang sesuatu, maka shalatnya tidak diterima selama empat puluh
malam. (HR. Muslim No. 2230, Al Baihaqi dalam As
Sunan Al Kubra No. 16287, Al Baghawi dalam Syarhus Sunnah, 12/182)
Menurut Imam An Nawawi maksud shalatnya tidak
diterima adalah shalatnya tidak mengandung pahala. Begitulah yang dikatakan
mayoritas Syafi’iyah. Para ulama sepakat bahwa orang tersebut tidak wajib
mengulangi shalatnya yang empat puluh malam tersebut, tetapi wajib baginya
taubat. (Al Minhaj Syarh Shahih Muslim, 14/227)
2.
Para peminum
khamr
Golongan
selanjutnya adalah para peminum khamr (minuman keras). Baik dia
meminumnya hingga mabuk atau tidak, baik
meminumnya sedikit atau banyak. Semua keadaan ini, baik yang mabuk atau tidak,
diterangkan secara tegas bahwa keadaan mereka sama saja.
Ada beberapa
riwayat yang menerangkan hal itu dari beberapa sahabat Nabi Shallallahu
‘Alaihi wa Sallam. Di antaranya sebagai berikut:
Dari Abdullah
bin Umar Radhiallahu ‘Anhuma, bahwa Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa
Sallam bersabda:
مَنْ شَرِبَ الْخَمْرَ ، لَمْ تُقْبَلْ لَهُ صَلاةُ
أَرْبَعِينَ لَيْلَةً ، فَإِنْ تَابَ ، تَابَ اللَّهُ عَلَيْهِ ، فَإِنْ عَادَ ، لَمْ
تُقْبَلْ لَهُ صَلاةُ أَرْبَعِينَ لَيْلَةً ، فَإِنْ تَابَ ، تَابَ اللَّهُ عَلَيْهِ
، فَإِنْ عَادَ ، لَمْ تُقْبَلْ لَهُ صَلاةُ أَرْبَعِينَ لَيْلَةً ، فَإِنْ تَابَ ،
تَابَ اللَّهُ عَلَيْهِ ، فَإِنْ عَادَ الرَّابِعَةَ ، لَمْ تُقْبَلْ لَهُ صَلاةٌ أَرْبَعِينَ
لَيْلَةً ، فَإِنْ تَابَ ، لَمْ يَتُبِ اللَّهُ عَلَيْهِ ، وَكَانَ حَقًّا عَلَى اللَّهِ
أَنْ يُسْقِيَهُ مِنْ طِينَةِ الْخَبَالِ ، قَالُوا : يَا أَبَا عَبْدِ الرَّحْمَنِ
، وَمَا طِينَةُ الْخَبَالِ ؟ قَالَ : صَدِيدُ أَهْلِ النَّارِ
Barang
siapa yang meminum khamr maka shalatnya tidak diterima empat puluh malam, lalu
jika dia bertaubat maka Allah terima taubatnya, lalu jika dia kembali minum
maka shalatnya tidak diterima empat puluh malam, lalu jika dia taubat maka
Allah terima taubatnya, lalu jika dia kembali minum maka shalatnya tidak
diterima empat puluh malam, lalu jika dia taubat maka Allah terima taubatnya,
jika keempat kalinya dia minum lagi, maka tidak akan diterima shalatnya empat
puluh malam, dan jika dia bertaubat tidak akan diterima taubatnya oleh Allah.
Dan, Allah akan meminumkan dia dengan Thinatul Khabaal. Mereka bertanya:
“Wahai Abu Abdirrahman (Ibnu Umar), apakah Thinatul Khabaal?” Beliau
menjawab: “Nanah yang bercampur darah dari penduduk neraka.” (HR. At
Tirmidzi No. 1785, katanya: hasan, Al Baghawi dalam Syarhus Sunnah, 11/357-358.
Katanya: hasan)
Ada
pun dari Abdullah bin Amru Radhiallahu ‘Anhuma, bahwa Nabi Shallallahu
‘Alaihi wa Sallam bersabda:
مَنْ شَرِبَ الْخَمْرَ وَسَكِرَ لَمْ تُقْبَلْ لَهُ
صَلَاةٌ أَرْبَعِينَ صَبَاحًا وَإِنْ مَاتَ دَخَلَ النَّارَ فَإِنْ تَابَ تَابَ اللَّهُ
عَلَيْهِ وَإِنْ عَادَ فَشَرِبَ فَسَكِرَ لَمْ تُقْبَلْ لَهُ صَلَاةٌ أَرْبَعِينَ صَبَاحًا
فَإِنْ مَاتَ دَخَلَ النَّارَ فَإِنْ تَابَ تَابَ اللَّهُ عَلَيْهِ وَإِنْ عَادَ فَشَرِبَ
فَسَكِرَ لَمْ تُقْبَلْ لَهُ صَلَاةٌ أَرْبَعِينَ صَبَاحًا فَإِنْ مَاتَ دَخَلَ النَّارَ
فَإِنْ تَابَ تَابَ اللَّهُ عَلَيْهِ وَإِنْ عَادَ كَانَ حَقًّا عَلَى اللَّهِ أَنْ
يَسْقِيَهُ مِنْ رَدَغَةِ الْخَبَالِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ قَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ
وَمَا رَدَغَةُ الْخَبَالِ قَالَ عُصَارَةُ أَهْلِ النَّارِ
Barang
siapa yang meminum khamr dan dia mabuk, maka shalatnya tidak akan diterima
selama empat puluh pagi, jika dia mati maka akan masuk neraka, jika dia
bertaubat akan Allah terima taubatnya. Jika dia kembali mengulanginya, dia
minum dan mabuk lagi, maka shalatnya tidak akan diterima selama empat puluh
pagi, jika dia mati maka akan masuk neraka, jika dia bertaubat akan Allah
terima taubatnya. Jika dia kembali mengulanginya, dia minum dan mabuk lagi,
maka shalatnya tidak akan diterima selama empat puluh pagi, jika dia mati maka
akan masuk neraka, jika dia bertaubat akan Allah terima taubatnya. Jika dia
kembali mengulanginya, maka Allah akan
menuanginya dengan Radaghatul Khabaal pada hari kiamat nanti. Mereka
bertanya: Wahai Rasulullah apa itu Radaghatul Khabaal? Beliau bersabda: air
keringat penduduk neraka. (HR. Ibnu Majah No. 3377, Alauddin Al Muttaqi Al
Hindi dalam Kanzul ‘Ummal No. 13206, 13227. Al Bazzar No. 2429, dengan
lafaz: “empat puluh malam,” dan ‘Ainul Khabaal atau Nahrul
Khabaal. Dishahihkan oleh Syaikh Al Albani dalam beberapa kitabnya seperti Ash
Shahihah No. 709, Ta’liq ‘Ala Ibni Khuzaimah No. 939, dll)
Dari Ibnu Abbas Radhiallahu ‘Anhuma, bahwa Rasulullah
Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
كُلُّ مُخَمِّرٍ خَمْرٌ وَكُلُّ مُسْكِرٍ حَرَامٌ وَمَنْ
شَرِبَ مُسْكِرًا بُخِسَتْ صَلَاتُهُ أَرْبَعِينَ صَبَاحًا فَإِنْ تَابَ تَابَ اللَّهُ
عَلَيْهِ فَإِنْ عَادَ الرَّابِعَةَ كَانَ حَقًّا عَلَى اللَّهِ أَنْ يَسْقِيَهُ مِنْ
طِينَةِ الْخَبَالِ قِيلَ وَمَا طِينَةُ الْخَبَالِ يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ صَدِيدُ
أَهْلِ النَّارِ وَمَنْ سَقَاهُ صَغِيرًا لَا يَعْرِفُ حَلَالَهُ مِنْ حَرَامِهِ كَانَ
حَقًّا عَلَى اللَّهِ أَنْ يَسْقِيَهُ مِنْ طِينَةِ الْخَبَالِ
Semua
khamr dan semua yang memabukkan adalah haram,
dan barang siapa yang minum dan dia mabuk, maka shalatnya akan lepas selama
empat puluh pagi, dan jika dia taubat maka Allah akan terima taubatnya, lalu
jika dia mengulangi keempat kalinya maka Allah akan menuanginya dengan Thinatul
Khabaal. Ada yang bertanya: “Apa itu Thinatul Khabaal? Beliau
bersabda: “Nanah yang bercampur darah dari penduduk neraka.” Barang siapa yang
meminumkannya kepada anak kecil, dan anak itu tidak tahu kehalalan dari yang haram
itu, maka Allah akan menuanginya dengan Thinatul Khabaal. (HR. Abu
Daud No. 3680, Dishahihkan oleh Syaikh Al Albani dalam Ash Shahihah No.
2039)
3.
Budak
yang lari dari majikannya sampai dia kembali lagi
Dari Abu Umamah Radhiallahu ‘Anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu
‘Alaihi wa Sallam bersabda:
ثَلَاثَةٌ لَا تُجَاوِزُ صَلَاتُهُمْ آذَانَهُمْ الْعَبْدُ
الْآبِقُ حَتَّى يَرْجِعَ ….
“Tiga golongan manusia
yang shalatnya tidak sampai telinga mereka, yakni: budak yang kabur
sampai dia kembali
…
Apa maksud “shalatnya tidak
sampai telinga mereka” ? Berkata Syaikh Abul Hasan Al Mubarkafuri Rahimahullah:
وهو كناية عن عدم القبول
Itu adalah kiasan dari tidak
diterimanya shalat. (Mir’ah Al Mafatih, 4/55)
- Istri yang tidur sementara
suami marah kepadanya
Lanjutan hadits di atas:
وَامْرَأَةٌ بَاتَتْ وَزَوْجُهَا عَلَيْهَا سَاخِطٌ
……
Isteri yang tidur sementara suaminya
marah kepadanya
Bahkan ini merupakan dosa besar.
Syaikh Waliyuddin At Tibrizi, mengutip dari
Imam Asy Syaukani Rahimahullah, katanya:
إن اغضاب المرأة لزوجها حتى
يبيت ساخطاً عليها من الكبائر. وهذا إذا كان غضبها عليها بحق.
Sesungguhnya wanita yang membuat
marah suaminya sampai dia tertidur masih marah kepadanya, ini adalah termasuk
dosa besar. Ini jika marahnya disebabkan alasan yang haq (benar). (Misykah Al Mashabih,
4/109)
Marah kenapa? Yaitu marah disebabkan
alasan yang syar’i, marah karena buruknya perangai istri, tidak mentaati
Allah, tidak mentaati suaminya dalam
kebaikan, dan semisalnya. Sedangkan marahnya suami dengan sebab yang tidak benar,
misalnya istri menolak ajakan keburukan
suami lalu suami marah kepadanya, maka ini bukan termasuk yang dimaksud hadits
di atas. Justru wajib menolak ketaatan kepada makhluk dalam hal maksiat kepada
Allah Ta’ala.
Imam Ali Al Qari Rahimahullah
mengatakan:
هذا إذا كان السخط لسوء خلقها
أو سوء أدبها أو قلة طاعتها. أما إن كان سخط زوجها من غير جرم فلا إثم عليها
Marahnya ini jika disebabkan buruknya akhlak
istri, atau jeleknya adab, atau sedikit ketaatannya. Ada pun jika kemarahan
suaminya itu bukan karena kejelekan ini maka tidak ada dosa bagi si istri. (Misykah
Al Mashabih, 4/109)
- Pemimpin yang dibenci kaumnya
Lanjutan hadits di atas:
وَإِمَامُ قَوْمٍ وَهُمْ لَهُ
كَارِهُونَ………
dan pemimpin sebuah kaum yang kaum itu membencinya
(HR.
At Tirmidzi No. 360, dan At Tirmidzi berkata: hasan gharib.
Syaikh Al Albani menghasankan dalam beberapa kitabnya, Misykah Al Mashabih No. 1122. Shahih At Targhib wat Tarhib,
1/117/487, Shahihul
Jami’ No. 3057)
Yaitu
kebencian yang disebabkan bukan urusan dunia antara pemimpin dengan kaumnya
itu, tetapi urusan agama. Baik karena pemimpin itu fasik, suka bermaksiat, koruptor, ahli bid’ah, dan
sebagainya.
Syaikh
Abul ‘Ala Al Mubarkafuri Rahimahullah berkata:
لأمر مذموم في الشرع وإن كرهوا لخلاف ذلك فلا كراهة
قال بن الملك كارهون لبدعته أو فسقه أو جهله أما إذا كان بينه وبينهم كراهة عداوة بسبب
أمر دنيوي فلا يكون له هذا الحكم
Yaitu disebabkan urusan tercela dalam pandangan
syariat. Jika kaumnya membencinya pada masalah yang diperselisihkan maka tidak
dibenci (kepemimpinannya itu). Ibnu Al Malik berkata: mereka membencinya karena
kebid’ahannya, atau kefasikannya, atau kebodohannya. Ada pun jika antara
dirinya dan kaumnya ada kebencian yang disebabkan urusan duniawi, maka dia
tidak terkena hukum ini. (Tuhfah Al Ahwadzi, 2/288)
Misal
seseorang berkata: “Saya tidak menyukai dia menjadi imam bagi saya karena
dia sudah dua bulan belum bayar kontrakan rumah kepada saya ..,” maka ini
alasan kebencian yang tidak syar’i. Tetapi jika seseorang berkata: “Saya
tidak menyukai dia menjadi imam bagi saya karena dia laki-laki pemabuk dan
penjudi ..”, maka ini kebencian yang syar’i.
Hadits ini
menunjukkan, menurut para ulama, dimakruhkannya seorang menjadi imam dalam keadaan dia dibenci oleh
kaumnya. Tetapi jika pemimpin tersebut bukan orang zhalim, maka kaumnyalah yang
berdosa. Sementara Ahmad dan Ishaq mengatakan seandainya yang membenci pemimpin
tersebut hanya satu, dua, atau tiga orang maka tidak mengapa pemimpin tersebut shalat bersama mereka, kecuali jika yang
membenci lebih banyak. (Sunan At Tirmidzi No. 360)
6.
Orang
yang memutuskan silaturrahim
Dari Ibnu Abbas Radhiallahu ‘Anhuma,
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
ثَلَاثَةٌ لَا تَرْتَفِعُ صَلَاتُهُمْ فَوْقَ رُءُوسِهِمْ شِبْرًا
رَجُلٌ أَمَّ قَوْمًا وَهُمْ لَهُ كَارِهُونَ وَامْرَأَةٌ بَاتَتْ وَزَوْجُهَا عَلَيْهَا
سَاخِطٌ وَأَخَوَانِ مُتَصَارِمَانِ
“Ada tiga
manusia yang Shalat mereka tidaklah naik melebihi kepala mereka walau
sejengkal: yakni seorang yang mengimami sebuah kaum tetapi kaum itu
membencinya, seorang isteri yang tidur sementara suaminya sedang marah padanya,
dan dua orang bersaudara yang saling memutuskan silaturahim.” (HR. Ibnu Majah No. 971, Imam Muhammad bin
Abdil Hadi As Sindi mengatakan sanadnya shahih dan semua rijalnya tsiqat
(kredibel). Lihat Hasyiyah As Sindi ‘ala Ibni Majah, 2/338. Syaikh Al
Albani mengatakan hasan. Lihat Misykah Al Mashabih, 1/249/1128. Imam
Al ‘Iraqi juga mengatakan hasan. Lihat Tuhfah Al Ahwadzi, 2/289. Syaikh Ala’uddin bin Qalij bin Abdillah Al
Hanafi mengatakan sanad hadits ini laa ba’sa bihi (tidak apa-apa). Abu
Hatim berkata: Aku belum melihat ada orang yang mengingkarinya. Dalam sanadnya
terdapat ‘Ubaidah, berkata Ibnu Namir: dia tidak apa-apa. Ad Daruquthni
berkata: baik-baik saja mengambil ‘ibrah darinya. Abu Hatim mengatakan:
menurutku haditsnya tidak apa-apa. Sanadnya juga terdapat Al Qasim. Menurut Al
‘Ijili dan lainnya dia tsiqah (kredibel), Lihat dalam Syarh Sunan
Ibni Majah No. 172, karya Syaikh Ala’uddin Al Hanafi. Al Maktabah Al
Misykat)
Imam Al Munawi Rahimahullah memberikan
penjelasan:
( وأخوان ) من نسب أو
دين ( متصارمان ) أي متهاجران متقاطعان في غير ذات الله تعالى
(Akhwaani - dua orang bersaudara) baik dari
saudara karena nasab atau agama (mutashaarimaani) yaitu saling memboikot
(hajr) dan memutuskan hubungan bukan karena Allah Ta’ala. (At
Taisir bisy Syarhil Jaami’ Ash Shaghiir, 1/969)
Hal ini adalah jika terjadi karena urusan dunia,
seperti merebutkan warisan, persaingan bisnis, dan semisalnya, yang membuat
mereka memutuskan silaturrahim.
Namun, jika memutuskan hubungan karena faktor
kepentingan agama, seperti memutuskan hubungan terhadap ahli bid’ah dan ahli
maksiat, dalam rangka memberikan pelajaran kepada mereka, maka ini tidak
apa-apa. Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dan para sahabat pernah
memboikot tiga sahabat nabi yang tidak ikut perang tabuk, yaitu Ka‘ab bin
Malik, Murarah bin Ar Rabi‘ dan Hilal bin Umaiyah. Para sahabat mendiamkannya, tidak menegurnya,
tidak mengajaknya bercakap-cakap, bahkan tidak menjawab salamnya. Ini
berlangsung sampai lima puluh hari lamanya.
Hingga akhirnya mereka bertaubat dan Allah Ta’ala menerima taubat mereka
dengan turunnya ayat:
“Sesungguhnya Allah telah menerima taubat Nabi,
orang-orang Muhajirin dan Anshar yang mengikuti Nabi dalam masa kesulitan,
setelah hati segolongan dari mereka nyaris berpaling (tergelincir), namun
kemudian Allah menerima taubat mereka. Sesunguhnya Allah Mahaya Penyayang
terhadap mereka. Dan terhadap tiga orang yang ditangguhkan (penerimaan
taubatnya) sehingga bumi yang luas ini mereka rasakan amat sempit, dan jiwa
mereka pun dirasa sempit oleh mereka, kemudian mereka menyadari bahwa tidak ada
temapt lari dari (siksaan) Allah selain kepada-Nya, kemudian Allah menerima
taubat mereka agar mereka tetap bertaubat. Sesungguhnya Allah-lah Yang Maha
Penerima taubat lagi Maha Penyayang. Hari orang-orang yang beriman, tetapi
bertaqwalah kepada Allah dan hendaklah kalian bersama orang-orang yang selalu
benar“.(QS At-Taubah(9):117-119).
Demikian.[1] Was Shallallahu ‘Ala
Nabiyyina Muhammadin wa ‘Ala Aalihi wa Shabihi ajmain …
[1] Masih ada golongan lain yang tidak diterima
shalatnya, namun hadits yang menyebutkannya dhaif. Imam At Tirmidzi
meriwayatkan dari jalur lain, yakni Anas bin
Malik Radhiallahu ‘Anhu, dengan redaksi sedikit berbeda:
لَعَنَ
رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ثَلَاثَةً رَجُلٌ أَمَّ
قَوْمًا وَهُمْ لَهُ كَارِهُونَ وَامْرَأَةٌ بَاتَتْ وَزَوْجُهَا عَلَيْهَا
سَاخِطٌ وَرَجُلٌ سَمِعَ حَيَّ عَلَى الْفَلَاحِ ثُمَّ لَمْ يُجِبْ
“Rasulullah Shallallahu
‘Alaihi wa Sallam melaknat tiga golongan manusia, yakni seorang yang
mengimami sebuah kaum tetapi kaum itu membencinya, seorang isteri yang tidur
sementara suaminya sedang marah padanya, dan seorang yang mendengarkan Hayya
‘alal Falah tetapi dia tidak menjawabnya.” (HR. At Tirmidzi No. 358)
Apa maksudnya? Syaikh Abul ‘Ala Al Mubarkafuri
berkata:
أي لم يذهب إلى المسجد للصلاة
مع الجماعة من غير عذر
Yaitu tanpa ‘udzur
(alasan yang dibenarkan) dia tidak pergi ke masjid untuk shalat bersama jamaah.
(Tuhfah Al Ahwadzi, 2/288)
Imam At Tirmidzi berkata: “Tidak shahih, karena
hadits ini mursal (sanadnya terputus pada salah satu generasi) , dan dalam
sanadnya terdapat Muhammad bin Al Qasim.
Imam Ahmad mendhaifkannya dan dia bukan seorang yang terjaga hafalannya.”
(Sunan At Tirmidzi No. 358). Syaikh Al Albani menyatakan dhaif jiddan
(lemah sekali). (Lihat Shahih wa Dhaif Sunan At Tirmidzi, No. 358)
Dalam keterangan lain, Imam Ahmad dan Imam Ad
Daruquthni mengatakan bahwa dia pembohong. Imam Ahmad juga mengatakan:
hadits-haditsnya palsu dan bukan apa-apa. Imam An Nasa’i mengatakan: bukan
orang terpercaya. (Mizanul I’tidal, 1/143)
Namun, Syaikh Muhamamd bin Thahir bin Ali Al Hindi
mengatakan bahwa hadits ini memiliki sejumlah syawahid
(penguat)nya. Dan menurutnya, Muhammad bin Al Qasim tidaklah mengapa, dan dinilai
tsiqah (terpercaya) oleh Imam Yahya bin Ma’in. (Lihat Tadzkirah Al
Maudhu’at, Hal. 40)
Pihak yang
mendhaifkan lebih banyak dan terperinci, oleh karenanya kemungkinan kuatnya
adalah dhaif. Wallahu A’lam
No comments:
Post a Comment