Definisi
Secara Bahasa (Lughah):
-
الملازم – mengikuti, mengiringi, membiasakan,
menetapi (Lihat Imam Asy Syaukani, Fathul Qadir, 1/244. Mawqi’ Ruh Al
Islam)
يقال عكف على الشيء : إذا لازمه
Dikatakan, ‘akafa ‘ala Asy
Syai’ (Dia menetap di atas sesuatu),
artinya dia selalu bersamanya. (Ibid)
Syaikh Sayyid
Sabiq Rahimahullah mengatakan:
الاعتكاف لزوم الشئ وحبس النفس عليه، خيرا كان أم شرا
I’tikaf adalah menetapi sesuatu dan menutup diri, dalam hal baik atau buruk . (Fiqhus
Sunnah, 1/475)
Secara Istilah (Syara’) :
والاعتكاف في الشرع
: ملازمة طاعة مخصوصة على شرط مخصوص
Secara syara’: menetap dalam rangka taat secara khusus dengan syarat
khusus pula. (Fathl Qadir, 1/245)
Syaikh Sayyid Sabiq Rahimahullah mengatakan:
والمقصود به هنا لزوم المسجد والاقامة فيه بنية التقرب إلى الله عزوجل.
Yang dimaksud I’tikaf di sini adalah menetapi masjid dan menegakkan
shalat di dalamnya dengan niat mendekatkan diri kepada Allah ‘Azza wa Jalla.
(Fiqhus Sunnah, 1/475)
Dasar
Hukum
-
Al Quran
وَلا تُبَاشِرُوهُنَّ وَأَنْتُمْ عَاكِفُونَ فِي الْمَسَاجِدِ
Janganlah
kalian mencampuri mereka (Istri), sedang
kalian sedang I’tikaf di masjid. (QS. Al Baqarah : 187)
-
As Sunnah
Dari ‘Aisyah Radiallahu
‘Anha:
أَنَّ النَّبِيَّ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَعْتَكِفُ الْعَشْرَ الْأَوَاخِرَ مِنْ
رَمَضَانَ حَتَّى تَوَفَّاهُ اللَّهُ ثُمَّ اعْتَكَفَ أَزْوَاجُهُ مِنْ بَعْدِهِ
Bahwasanya Nabi
Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam beri’tikaf pada 10 hari terakhir bulan Ramadhan
sampai beliau diwafatka Allah, kemudian istri-istrinya pun I’tikaf setelah itu.(HR. Bukhari, No. 2026, Muslim No. 1171, Abu Daud No. 2462. Ahmad
No. 24613, dan lainnya)
Dari Abu
Hurairah Radhiallahu ‘Anhu, katanya:
كَانَ النَّبِيُّ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَعْتَكِفُ فِي كُلِّ رَمَضَانٍ عَشْرَةَ أَيَّامٍ
فَلَمَّا كَانَ الْعَامُ الَّذِي قُبِضَ فِيهِ اعْتَكَفَ عِشْرِينَ يَوْمًا
Dahulu Nabi Shallallahu
‘Alaihi wa Sallam I’tikaf di setiap Ramadhan 10 hari, tatkala pada tahun
beliau wafat, beliau I’tikaf 20 hari. (HR. Bukhari No. 694, Ahmad No. 8662,
Ibnu Hibban No. 2228, Al Baghawi No. 839,
Abu Ya’la No. 5843, Abu Nu’aim dalam Akhbar
Ashbahan, 2/53)
-
Ijma’
Syaikh Sayyid Sabiq Rahimahullah
menceritakan adanya ijma’ tentang
syariat I’tikaf:
وقد أجمع العلماء
على أنه مشروع، فقد كان النبي صلى الله عليه وسلم يعتكف في كل رمضان عشرة أيام،
فلما كان العام الذي قبض فيه اعتكف
عشرين يوما.
Ulama telah ijma’ bahwa
I’tikaf adalah disyariatkan, Nabi Shallallahu
‘Alaihi wa Sallam beri’tikaf setiap Ramadhan 10 hari, dan 20 hari ketika
tahun beliau wafat. (Fiqhus Sunnah, 1/475)
Hukumnya
Hukumnya
adalah sunnah alias tidak wajib, kecuali I’tikaf karena nazar.
Imam Asy Syaukani
Rahimahullah mengatakan:
وقد وقع الإجماع
على أنه ليس بواجب ، وعلى أنه لا يكون إلا في مسجد
Telah terjadi ijma’ bahwa I’tikaf
bukan kewajiban, dan bahwa dia tidak bisa dilaksanakan kecuali di masjid. (Fathul
Qadir, 1/245)
Namun jika ada seorang
yang bernazar untuk beri’tikaf, maka wajib baginya beri’tikaf.
Khadimus
Sunnah Asy Syaikh Sayyid Sabiq mengatakan:
الاعتكاف ينقسم إلى مسنون وإلى واجب، فالمسنون ما تطوع به المسلم تقربا
إلى الله، وطلبا لثوابه، واقتداء بالرسول صلوات الله وسلامه عليه، ويتأكد ذلك في العشر
الاواخر من رمضان لما تقدم، والاعتكاف الواجب ما أوجبه المرء على نفسه، إما بالنذر
المطلق، مثل أن يقول: لله علي أن أعتكف كذا، أو بالنذر المعلق كقوله: إن شفا الله مريضي
لاعتكفن كذا.
وفي صحيح البخاري أن النبي صلى الله عليه
وسلم قال: " من نذر أن يطيع الله فليطعه "
I’tikaf
terbagi menjadi dua bagian; sunah dan wajib. I’tikaf sunah adalah I’tikaf yang
dilakukan secara suka rela oleh seorang muslim dalam rangka taqarrub ilallahi
(mendekatkan diri kepada Allah), dalam rangka mencari pahalaNya dan mengikuti
sunah Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Hal itu ditekankan pada
10 hari terakhir bulan Ramadhan sebagaimana penjelasan sebelumnya.
I’tikaf
wajib adalah apa-apa yang diwajibkan seseorang atas dirinya sendiri, baik
karena nazar secara mutlak, seperti perkataan: wajib atasku untuk beri’tikaf
sekian karena Allah. Atau karena
nazar yang mu’alaq (terkait dengan sesuatu), seperti perkataan: jika
Allah menyembuhkan penyakitku saya akan I’tikaf sekian ..
Dalam
shahih Bukhari disebutkan, bahwa Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda: “Barang
siapa yang bernazar untuk mentaati Allah maka taatilah (tunaikanlah).” (Fiqhus
Sunnah, 1/475)
I’tikaf Kaum Wanita
Dari ‘Aisyah Radiallahu
‘Anha:
أَنَّ النَّبِيَّ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَعْتَكِفُ الْعَشْرَ الْأَوَاخِرَ مِنْ
رَمَضَانَ حَتَّى تَوَفَّاهُ اللَّهُ ثُمَّ اعْتَكَفَ أَزْوَاجُهُ مِنْ بَعْدِهِ
Bahwasanya Nabi
Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam beri’tikaf pada 10 hari terakhir bulan Ramadhan
sampai beliau diwafatka Allah, kemudian istri-istrinya pun I’tikaf setelah itu.(HR. Bukhari, No. 2026, Muslim No. 1171, Abu Daud No. 2462. Ahmad
No. 24613, dan lainnya)
Syaikh Al Albani Rahimahullah
mengomentari hadits ini:
وفيه دليل على جواز
اعتكاف النساء أيضا ولا شك أن ذلك مقيد بإذن أوليائهن بذلك وأمن الفتنة والخلوة مع
الرجال للأدلة الكثيرة في ذلك والقاعدة الفقهية : درء المفاسد مقدم على جلب
المصالح
Dalam hadits ini
terdapat dalil bolehnya I’tikaf bagi wanita juga, dan tidak ragu bahwa kebolehan
itu terikat dengan izin para walinya, atau aman dari fitnah, dan aman dari
berduaan dengan laki-laki lantaran banyak dalil yang menunjukkan hal itu, juga
kaidah fiqih: menolak kerusakan lebih diutamakan dibanding mengambil
maslahat. (Qiyamur Ramadhan, Hal. 35. Cet. 2. Maktabah Islamiyah,
‘Amman. Jordan)
Selain
itu, hendaknya wanita I’tikaf di masjid yang memungkinkan dan kondusif bagi
mereka.
Berkata Syaikh Wahbah Az Zuhaili Hafizhahullah:
وإذا اعتكفت المرأة في المسجد، استحب لها
أن تستتر بشيء؛ لأن أزواج النبي صلّى الله عليه وسلم لما أردن الاعتكاف أمرن بأبنيتهن،
فضربن في المسجد، ولأن المسجد يحضره الرجال، وخير لهم وللنساء ألا يرونهن ولا يرينهم.
“Jika
wanita I’tikaf di masjid, dianjurkan dia membuat penutup dengan sesuatu, karena
para isteri Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam ketika hendak i’tikaf,
Beliau memerintahkan mereka untuk menjaga diri, lalu mereka mendirikan kemah di
masjid, karena masjid dihadiri kaum laki-laki, dan itu lebih baik bagi mereka
(kaum laki-laki) dan bagi wanita, sehingga kaum laki-laki tidak melihat mereka dan sebaliknya.” (Al
Fiqhul Islami wa Adillatuhu, 3/125)
Keutamaannya
Tidak ada riwayat shahih yang
mendefinitkan keutamaan I’tikaf secara khusus. Namun, adanya berita shahih
bahwa nabi, para isterinya, dan para sahabat yang senantiasa melakukannya
setiap Ramadhan menunjukkan keutamaan I’tikaf. Sebab, tidak mungkin mereka
merutinkan amalan yang dianggap ‘biasa saja.’
Syaikh Sayyid Sabiq Rahimahullah menulis sbb:
قال أبوداود: قلت لاحمد رحمه الله: تعرف في فضل الاعتكاف شيئا؟ قال: لا،
إلا شيئا ضعيفا.
Berkata Abu Daud: Saya berkata
kepada Ahmad Rahimahullah: “Apakah engkau mengatahui tentang keutamaan
I’tikaf?” Beliau berkata: “Tidak, kecuali suatu riwayat yang dhaif.” (Fiqhus
Sunnah, 1/475)
Syarat-Syarat
I’tikaf
ويشترط في المعتكف أن يكون مسلما، مميزا طاهرا من الجنابة والحيض
والنفاس، فلا يصح من كافر ولا صبي غير مميز ولاجنب ولاحائض ولا نفساء.
Syarat bagi orang yang beri’tikaf adalah: muslim, mumayyiz (sudah
mampu membedakan salah benar, baik buruk), suci dari junub, haid, dan nifas,
tidak sah jika kafir, anak-anak yang belum mumayyiz, junub, haid, dan nifas. (Fiqhus
Sunnah, 1/477)
Rukun-Rukun
I’tikaf
أركانه: حقيقة الاعتكاف المكث في المسجد بنية التقرب إلى الله تعالى، فلو
لم يقع المكث في المسجد أو لم تحدث نية الطاعة لا ينعقد الاعتكاف.
Rukun-rukunnya: hakikat dari I’tikaf adalah tinggal di masjid dengan
niat taqarrub ilallah Ta’ala. Seandainya tidak menetap di masjid atau tidak ada
niat melaksanakan ketaatan, maka tidak sah disebut i’tikaf . (Ibid)
Jadi, ada dua rukun: niat untuk ibadah dan menetap di masjid.
Bolehkah
I’tikaf Selain Ramadhan dan Tanpa Puasa?
Dalam hal ini terjadi
khilafiyah, Syaikh Utsaimin berkata:
فالذي يظهر لي أن الإنسان لو اعتكف في غير رمضان، فإنه لا ينكر عليه
بدليل أن الرسول صلّى الله عليه وسلّم أذن لعمر بن الخطاب أن يوفي بنذره ولو كان
هذا النذر مكروهاً أو حراماً، لم يأذن له بوفاء نذره، لكننا لا نطلب من كل
واحد أن يعتكف في أي وقت شاء، بل نقول خير الهدي هدي محمد صلّى الله عليه وسلّم،
ولو كان الرسول صلّى الله عليه وسلّم يعلم أن في الاعتكاف في غير رمضان، بل وفي
غير العشر الأواخر منه سنة وأجراً لبينه للأمة حتى تعمل به
“Yang nampak benar
bagi saya, bahwa manusia jika i’tikaf pada selain Ramadhan, hal itu
tidaklah diingkari berdasarkan dalil
bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam mengizinkan Umar bin Al
Khathab menepati nazarnya. Seandainya nazar tesebut makruh atau haram, niscaya
Beliau tidak akan mengizinkan memenuhi nazarnya. Tetapi, kami tidak
menuntut setiap orang untuk beri’tikaf pada bulan apa saja semaunya dia, bahkan
kami katakan sebaiknya petunjuk adalah petunjuk Muhammad Shallallahu ‘Alaihi
wa Sallam . Seandainya Rasul Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam
mengajarkan I’tikaf selain Ramadan, bahkan diluar 10 hari terakhir adalah sunah
dan berpahala, niscaya Beliau akan menjelaskan kepada umat sehingga umat
mengerjakannya.” (Syarhul Mumti’, 6/164. Mawqi’ Ruh Al Islam)
Hadits yang
dimaksud oleh Syaikh Utsaimin, yakni Dari Ibnu Umar, bahwa Umar bin Khatab
berkata:
يا رسول الله إني نذرت في الجاهلية أن أعتكف ليلة في المسجد الحرام. فقال:
أوف بنذرك
“Wahai Rasulullah,
saya bernazar pada masa jahiliyah untuk i’tikaf pada malam hari
di masjidil haram.” Beliau bersabda: “Penuhi nazarmu.” (HR. Bukhari No.
1927, 1937,1938)
Syaikh Sayyid
Sabiq Rahimahullah berkata:
ففى أمر رسول الله صلى الله عليه وسلم له بالوفاء بالنذر دليل على ان
الصوم ليس شرطا في صحة الاعتكاف، إذ أنه لا يصح الصيام في الليل.
Maka, pada
perintah Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam kepadanya (Umar) untuk memenuhi nazar, merupakan dalil
bahwa berpuasa bukanlah syarat bagi sahnya i’tikaf, mengingat bahwa tidak
sahnya berpuasa malam hari. (Fiqhus Sunnah, 1/478)
Inilah pendapat
Ali, Ibnu Mas’ud, Al Hasan Al Bashri, Asy Syafi’i, dll. Sedangkan ‘Aisyah, Ibnu
Umar, Ibnu Abbas, Sa’id bin Al Musayyib,
Urwah bin Zubeir, Az Zuhri, Al
Auza’i, Malik, Abu Hanifah, menyatakan bahwa I’tikaf tidak sah tanpa berpuasa. (Ibid,
1/479)
Faktanya, Nabi
Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam pernah I’tikaf pada bulan Syawwal, yaitu 10
hari terakhir bulan Syawwal, sebagaimana diriwayatkan oleh Imam Al Bukhari
dalam kitab Shahihnya:
بَاب الِاعْتِكَافِ فِي شَوَّالٍ
Bab I’tkaf Pada Bulan Syawwal
Maka, pandangan yang lebih kuat adalah bahwa I’tikaf
tetap sah dilakukan tanpa puasa dan sah pula di luar Ramadhan. Jika ditambah
puasa maka itu afdhal. Wallahu A’lam
I’tikaf Wajib di Masjid;
Masjid yang bagaimanakah?
Di masjid adalah syarat sahnya I’tikaf sesuai
petunjuk Al Quran Al Baqarah ayat 187, juga contoh dari sunah Rasululah Shallallahu
‘Alaihi wa Sallam.
Disebutkan dalam Al Mausu’ah Al Fiqhiyah Al
Kuwaitiyah:
أَجْمَعَ الْفُقَهَاءُ عَلَى أَنَّهُ لاَ يَصِحُّ لِلرَّجُل أَنْ يَعْتَكِفَ
إِلاَّ فِي الْمَسْجِدِ لِقَوْلِهِ تَعَالَى : { وَأَنْتُمْ عَاكِفُونَ فِي الْمَسَاجِدِ
} ، وَلأَِنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَمْ يَعْتَكِفْ إِلاَّ
فِي الْمَسْجِدِ .
وَأَمَّا الْمَرْأَةُ فَقَدْ ذَهَبَ الْجُمْهُورُ إِلَى أَنَّهَا كَالرَّجُل
لاَ يَصِحُّ أَنْ تَعْتَكِفَ إِلاَّ فِي الْمَسْجِدِ ، مَا عَدَا الْحَنَفِيَّةَ فَإِنَّهُمْ
يَقُولُونَ إِنَّهَا تَعْتَكِفُ فِي مَسْجِدِ بَيْتِهَا لأَِنَّهُ هُوَ مَوْضِعُ صَلاَتِهَا
، وَلَوِ اعْتَكَفَتْ فِي مَسْجِدِ الْجَمَاعَةِ جَازَ مَعَ الْكَرَاهَةِ التَّنْزِيهِيَّةِ
.
“Fuqaha telah ijma’ bahwa tidak sah bagi laki-laki
yang beri’itikaf kecuali di masjid, sesuai firmanNya Ta’ala: sedang kalian sedang I’tikaf
di masjid. (QS. Al Baqarah : 187), dan karena Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam
tidak beri’tikaf kecuali di masjid.
Ada pun wanita, jumhur ulama
mengatakan bahwa mereka sama dengan laki-laki; tidak sah I’tikaf kecuali di
masjid, kecuali menurut Hanafiyah, mereka mengatakan bahwa waita I’tikaf di
masjid di rumahnya, karena di sanalah tempat shalat mereka, dan seandainya
mereka I’tikaf di masjid, boleh saja
namun makruh tanzih (makruh yang mendekati boleh).” (Al Mausu’ah,
37/213)
Berkata Al Hafizh
Ibnu Hajar Al ‘Asqalani Rahimahullah:
وَاتَّفَقَ
الْعُلَمَاءُ عَلَى مَشْرُوطِيَّة الْمَسْجِدِ لِلِاعْتِكَافِ ، إِلَّا مُحَمَّدَ بْن
عُمَر اِبْن لُبَابَةَ الْمَالِكِيَّ فَأَجَازَهُ فِي كُلِّ مَكَانٍ ، وَأَجَازَ الْحَنَفِيَّةُ
لِلْمَرْأَةِ أَنْ تَعْتَكِفَ فِي مَسْجِدِ بَيْتِهَا وَهُوَ الْمَكَان الْمُعَدُّ
لِلصَّلَاةِ فِيهِ
“Ulama telah
sepakat atas pensyaratan masjid untuk I’tikaf, kecuali Muhammad bin Umar bin
Lubabah Al Maliki yang membolehkan di setiap tempat. Kalangan Hanafiyah
membolehkan kaum wanita I’tikaf di masjid rumahnya, yaitu tempat yang
dipersiapkan untuk shalat di dalamnya.” (Fathul Bari, 4/272. Darul
Fikr)
Demikian
kesepakatannya, ada pun adanya pendapat yang menyendiri yang bertabrakan dengan
mainstream dalam hal ini, tidaklah dianggap. Namun walau mereka
bersepakat tentang keharusan di masjid, mereka berselisih pendapat tentang
jenis masjidnya.
Beliau
melanjutkan:
وَذَهَبَ
أَبُو حَنِيفَة وَأَحْمَد إِلَى اِخْتِصَاصه بِالْمَسَاجِدِ الَّتِي تُقَام فِيهَا
الصَّلَوَات ، وَخَصَّهُ أَبُو يُوسُف بِالْوَاجِبِ مِنْهُ وَأَمَّا النَّفْل فَفِي
كُلّ مَسْجِد ، وَقَالَ الْجُمْهُور بِعُمُومِهِ مِنْ كُلّ مَسْجِد إِلَّا لِمَنْ تَلْزَمهُ
الْجُمُعَةُ فَاسْتَحَبَّ لَهُ الشَّافِعِيّ فِي الْجَامِع ، وَشَرَطَهُ مَالِكٌ لِأَنَّ
الِاعْتِكَافَ عِنْدهمَا يَنْقَطِعُ بِالْجُمُعَةِ ، وَيَجِبُ بِالشُّرُوعِ عِنْد مَالِك
، وَخَصَّهُ طَائِفَةٌ مِنْ السَّلَف كَالزُّهْرِيِّ بِالْجَامِعِ مُطْلَقًا وَأَوْمَأَ
إِلَيْهِ الشَّافِعِيّ فِي الْقَدِيم ، وَخَصَّهُ حُذَيْفَةُ بْن الْيَمَانِ بِالْمَسَاجِدِ
الثَّلَاثَة ، وَعَطَاءٌ بِمَسْجِدِ مَكَّةَ وَالْمَدِينَةِ وَابْنُ الْمُسَيِّبِ بِمَسْجِدِ
الْمَدِينَةِ ، وَاتَّفَقُوا عَلَى أَنَّهُ لَا حَدَّ لِأَكْثَرِهِ
“Imam Abu Hanifah
dan Imam Ahmad berpendapat dikhususnya
I’tikaf hanya pada masjid yang di dalamnya dilaksanakan berbagai shalat, Imam
Abu Yusuf mengkhususkan pada shalat wajib saja, ada pun shalat sunah bisa di
semua masjid. Mayoritas (jumhur) berpendapat sesuai keumumannya pada
semua masjid, kecuali bagi orang yang juga sekalian shalat Jumat, maka kalangan
Imam Asy Syafi’i menyunnahkan di masjid Jami’, ada pun Imam Malik
mensyaratkan hal itu (Masjid Jami’) karena menurut mereka berdua, I’tikaf
menjadi terputus karena shalat Jumat. Imam Malik mewajibkan hal itu (keberadaan
di masjid Jami’) sejak permulaan I’tikaf. Sebagian salaf seperti Az Zuhri
mengkhususkan masjid jami’ secara mutlak, hal itu juga diisyaratkan Imam Asy
Syafi’i dalam pendapat lamanya.
Sedangkan Hudzaifah
bin Yaman mengkhususkan di tiga masjid saja (Masjidil Haram, Masjid Nabawi,
Masjidil Aqsha), Atha’ mengkhususkan pada masjid di Mekkah dan Madinah, Said
bin Al Musayyib mengkhususkan masjid di Madinah, dan mereka sepakat tidak ada
batasan dalam hal banyaknya.” (Ibid)
Dari penjelasan Al
Hafizh, kita bisa simpulkan, bahwa para fuqaha berselisih tentang jenis
masjid yang boleh dilakukan i’tikaf di dalamnya:
- Sahnya
I’tikaf hanya di masjid yang di dalamnya dilakukan shalat yang lima dan
shalat Jumat (Istilahnya: masjid jami’). Inilah pendapat Abu
Hanifah, Ahmad, Abu Tsaur, Malik, dll
- I’tikaf
sah di lakukan di semua masjid, termasuk masjid yang tidak mendirikan
shalat Jumat. (istilahnya: masjid ghairu Jami’ – surau), inilah
pendapat, Syafi’i, Daud, dll.
Inilah pendapat jumhur (mayoritas ulama). Imam Bukhari juga mengikuti pendapat ini,
beliau menulis dalam Shahihnya:
بَاب الِاعْتِكَافِ فِي
الْعَشْرِ الْأَوَاخِرِ وَالِاعْتِكَافِ فِي الْمَسَاجِدِ كُلِّهَا
Bab I’tikaf di 10 Hari terakhir dan I’tikaf Masjid-Masjid
Seluruhnya. (lalu beliau mengutip Al Baqarah 187)
- I’tikaf
hanya sah dilakukan di tiga masjid: Masjidil Haram, Masjid Nabawi, dan
Masjidil Aqsa. Ini pendapat Hudzaifah bin Yaman Radhiallahu ‘Ahu,
ini yang nampak dari pendapat
Syaikh Al Albani Rahimahullah, dalam As Silsilah Ash Shahihah
No. 2786.
- Hanya masjid di Mekkah dan Madinah, apa pun
masjid itu. Ini pendapat ‘Atha
- Hanya
masjid di Madinah, apa pun masjid itu. Ini pendapat Sa’id bin Al Musayyib
Nampak bahwa
pendapat jumhur adalah pendapat yang lebih kuat, sebagaimana penjelasan Syaikh
Ibnul Utsaimin pada pembahasan selanjutnya.
Hadits: Tidak Ada I’tikaf
Kecuali Pada Tiga Masjid
Bunyi hadits:
لا اعتكاف إلا في المساجد الثلاثة
“Tidak ada i’tikaf
kecuali pada 3 masjid.” (HR. Ath Thahawi, Syarh Musykilul Atsar No.
2771. Al Baihaqi , 4/316) yaitu masjidil haram, masjid nabawi, dan masjidil
aqsha
Syaikh Utsaimin
mengatakan: hadits ini dhaif (lemah). (Syarhul Mumti’, 6/164).
Sementara Syaikh
Al Albani mengatakan:
و هذا إسناد صحيح على شرط الشيخين
Isnad hadits ini shahih
sesuai syarat syaikhain (Bukhari-Muslim). (As Silsilah Ash Shahihah No.
2786)
Abdullah bin Mas’ud Radhiallahu ‘Anhu memaknai
bahwa hadits di atas, hanya mengingkari kesempurnaan I’tikaf saja, tidak sampai
mengingkari keabsahan I’tikaf di masjid lain. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa
Ibnu Mas’ud mentakwil demikian, Katanya:
لا اعتكاف كاملا ، كقوله صلى الله عليه وسلم : " لا إيمان لمن لا أمانة له ،
و لا دين لمن لا عهد له
" و الله أعلم
“I’tikafnya tidak
sempurna, sebagaimana Sabdanya Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam: “Tidak ada
iman bagi yang tidak menjaga amanah, dan tidak beragama bagi yang tidak
menepati janji.” Wallahu A’lam (Ibid)
Syaikh Utsaimin Rahimahullah
juga memahami demikian, katanya:
إن صح هذا الحديث فالمراد به لا اعتكاف تام، أي أن الاعتكاف في هذه
المساجد أتم وأفضل، من الاعتكاف في المساجد الأخرى، كما أن الصلاة فيها أفضل من
الصلاة في المساجد الأخرى. ويدل على أنه عام
في كل مسجد قوله تعالى: {{وَلاَ تُبَاشِرُوهُنَّ وَأَنْتُمْ عَاكِفُونَ فِي
الْمَسَاجِدِ}} [البقرة: 187] .فقوله تعالى: {{فِي الْمَسَاجِدِ}} (الـ) هنا
للعموم….
Jika hadits ini
shahih, maka maksudnya adalah I’tkafnya tidak sempurna, yaitu sesungguhnya
I’tikaf di masjid-masjid ini adalah lebih sempurna dan afdhal dibanding I’tikaf
di masjid lain sebagaimana shalat di dalamnya lebih afdhal dibanding shalat di
masjid lain. Hal yang menunjukkan bahwa ini berlaku untuk semua masjid adalah
firmanNya: (Janganlah kalian mencampuri mereka sedangkan kalian I’tikaf di
masjid-masjid), firman Allah fil Masajid (di masjid-masjid), Al (alif
lam) di sini menunjukkan umum … (Ibid)
Beliau
melanjutkan:
ثم كيف يكون هذا الحكم في كتاب الله للأمة من مشارق الأرض ومغاربها، ثم
نقول: لا يصح إلا في المساجد الثلاثة؟! فهذا بعيد أن يكون حكم مذكور على سبيل
العموم للأمة الإسلامية، ثم نقول: إن هذه العبادة لا تصح إلا في المساجد الثلاثة،
كالطواف لا يصح إلا في المسجد الحرام. فالصواب أنه عام في كل مسجد، لكن لا شك أن
الاعتكاف في المساجد الثلاثة أفضل، كما أن الصلاة في المساجد الثلاثة أفضل.
Lalu, bagaimana
bisa hukum yang terdapat dalam kitabullah yang berlaku bagi umat di timur dan
barat, lalu kita mengatakan kepada mereka: tidak sah kecuali di tiga masjid?
Ini adalah sangat jauh, jika hukum tersebut diterapkan secara umum bagi semua
umat Islam. Kemudian kita mengatakan ibadah ini tidak sah kecuali di tiga
masjid, seperti thawaf tidak sah kecuali di masjidil haram.
Yang benar adalah
bahwa ini berlaku umum pada setiap masjid, tetapi tidak ragu lagi I’tikaf di
tiga masjid tersebut lebih utama, sebagaimana shalat di dalamnya lebih utama. (Ibid)
Hanya saja Syaikh
Utsaimin menegaskan, bahwa yang disebut masjid adalah yang di dalamnya
ditegakkan shalat berjamaah dan shalat Jumat, jika tidak ada shalat Jumat, maka
itu bukan masjid. Dengan kata lain, beliau sebenarnya berada pada kelompok
pertama, yaitu hanya membolehkan I’tikaf pada masjid jami’, hanya saja
beliau tidak mengistilahkannya dengan masjid jami’.
Makna Masjid dan Batasannya
Secara bahasa (lughah) masjid adalah:
بَيْتُ الصَّلاَةِ
، وَمَوْضِعُ السُّجُودِ مِنْ بَدَنِ الإِْنْسَانِ وَالْجَمْعُ مَسَاجِدُ
Rumah untuk shalat, dan tempat sujud bagi badan
manusia, jamaknya adalah masajid. (Al Mausu’ah Al Fiqhiyah Al
Kuwaitiyah, 37/194)
Sedangkan,
secara istilah terdapat pendefinisian yang banyak dari para ulama, di
antaranya:
أَنَّهَا الْبُيُوتُ الْمَبْنِيَّةُ لِلصَّلاَةِ
فِيهَا لِلَّهِ فَهِيَ خَالِصَةٌ لَهُ سُبْحَانَهُ وَلِعِبَادَتِهِ
“Rumah-rumah yang yang dibangun untuk shalat di
dalamnya, ikhlas hanya untuk Allah semata dan untuk mengibadahiNya.” (Imam
An Nasafi, Madarik At Tanzil, 4/1-3. Darl Kutub Al ‘Arabi, Beirut)
وَكُل مَوْضِعٍ
يُمْكِنُ أَنْ يُعْبَدَ اللَّهُ فِيهِ وَيُسْجَدَ لَهُ لِقَوْلِهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
: جُعِلَتْ لِي الأَْرْضُ مَسْجِدًا وَطَهُورًا
“Setiap tempat yang memungkinkan di dalamnya untuk
menyembah Allah dan bersujud kepadaNya, sebab sabdanya Shallallahu ‘Alaihiwa
Sallam: “Dijadikan bagiku bumi sebagai masjid dan suci.”[1] (Imam Al Qurthubi, Al Jami’ Li Ahkamil
Quran, 2/78. Darul Kutub Al Mishriyah)
Berkata Syaikh Nashir bin Abdul Karim Al ‘Aql Hafizhahullah,
sebagai berikut:
المسجد هو مكان الصلاة للجماعة وللجمعة ، وكل ما اتخذه الناس مصلى فهو مسجد ؛ لأن النبي -صلى الله عليه وسلم- قال : « وجُعلَت لي الأرض مسجدا وطهورا » ، وإن كان مسمى المسجد صار أخص من سائر الأرض . والمسجد في الإسلام ، وكما كان في عهد النبي -صلى الله عليه وسلم- ليس مكان إقامة الصلاة فحسب ، بل كان منطلق أنشطة كثيرة . . . فكان النبي -صلى الله عليه وسلم- يعقد فيه الاجتماعات ، ويستقبل فيه الوفود ، ويقيم فيه حلق الذكر والعلم والإعلام ، ومنطلق الدعوة والبعوث ، ويبرم فيه كل أمر ذي بال في السلم والحرب . وأول عمل ذي بال بدأه النبي -صلى الله عليه وسلم- حين قدم المدينة مهاجرا أن شرع في بناء المسجد ، وكان النبي -صلى الله عليه وسلم- إذا قدم أن سفر بدأ بالمسجد ، كما ورد في الصحيح .
“Masjid adalah tempat shalat bagi (shalat) jamaah dan shalat jumat,
dan setiap tempat yang dijadikan oleh manusia sebagai tempat shalat maka itu
adalah masjid. Karena Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
“Dijadikan untukku bumi sebagai masjid yang suci.” Sesungguhnya penamaan masjid
merupakan sesuatu yang lebih khusus dibanding semua bagian bumi. Dan, masjid
dalam Islam, sebagaimana pada masa Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam
bukanlah hanya tempat shalat semata, bahkan di sana menjadi titik tolak
aktifitas yang banyak ... Dahulu Nabi Shallalahu ‘Alaihi wa Sallam
pernah mengikat (mengadakan) berbagai perkumpulan, menerima utusan, dan
mendirikan berbagai halaqah dzikir, ilmu, dan informasi, mengirim da’i dan
utusan, memperkuat segala urusan yang terkait hal perdamaian dan perang.
Aktifitas pertama yang dimulai oleh Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam ketika
datang hijrah ke Madinah adalah menetapkan pembangunan masjid, dan Nabi Shallalahu
‘Alaihi wa Sallam, jika datang dari berpergian juga mampir ke masjid dulu,
sebagaimana diriwayatkan dari hadits shahih.” (Syaikh Nashir bin Abdul Karim
Al ‘Aql, Atsarul ‘Ulama fi Tahqiqi Risalatil Masjid, Hal. 12. Mawqi’ Al
Islam)
Ada pun yang menjadi batasan
masjid telah terjadi perbedaan para ulama, namun pandangan yang lebih mengena
adalah ruang apa pun yang padanya jamaah sudah layak melakukan shalat tahiyatul
masjid, maka dia termasuk bagian masjid. Maka, taman masjid, parkiran, ruang
perpustakaan, aula yang disewakan, bukanlah termasuk masjid walau mereka di
lingkungan sekitar atau area masjid. Sebab, tempat-tempat ini tidak lazim
digunakan untuk tahiyatul masjid, dan biasanya manusia tidak akan berfikir
tahiyatul masjid di dalamnya. Sehingga jika mu’takif (orang yang
I’tikaf) ke tempat-tempat ini tanpa hajat yang syar’i, maka I’tikafnya
terputus.
Wallahu A’lam
Aktifitas
Yang Diperbolehkan Selama I’tikaf
Berikut ini aktifitas yang
diperbolehkan selama I’tikaf (diringkas dari Fiqhus Sunnah):
- Tawdi’ (melepas keluarga yang mengantar), sebagaimana yang nabi lakukan thdp Shafiyyah
2. Menyisir dan mencukur rambut, sebagaimana
yang ‘Aisyah lakukan terhadap nabi
- Keluar untuk memenuhi hajat manusiawi, seperti buang hajat
- Makan, minum, dan tidur ketika I’tikaf di masjid, atau mencuci pakaian, membersihkan najis, dan perbuatan lain yang tidak mungkin dilakukan di masjid.
Para ulama berselisih pendapat tentang kebolehan menjenguk orang
sakit, mengantar jenazah, dan shalat jumat bagi yang I’tikafnya di masjid ghairu
jami’, antara yang membolehkan dan yang mengatakan batal I’tikafnya.
Wallahu A’lam
Pembatal-Pembatal
I’tikaf
Pembatal-pembatal tersebut
antara lain:
1. Secara
sengaja Keluar dari masjid tanpa ada keperluan walau sebentar
2.
Murtad
3. Hilang akal
4. Gila
5. Mabuk
6. Jima’ (hubungan badan) (Lihat semua dalam Fiqhus
Sunnah, 1/481-483)
Aktifitas
Selama I’tikaf
Hendaknya para mu’takifin memanfaatkan waktunya selama
I’tikaf untuk aktifitas ketaatan, seperti membaca Al Quran, dzikir dengan
kalimat yang ma’tsur, muhasabah, shalat
sunnah mutlak, boleh saja diselingi
dengan kajian ilmu.
Berbincang dengan tema yang membawa manfaat juga tidak mengapa,
namun hal itu janganlah menjadi spirit utama. Tidak sedikit orang yang I’tikaf
berjumpa kawan lama, akhirnya mereka ngobrol urusan dunianya; nanya
kabar, jumlah anak, kerja di mana, dan seterusnya, atau disibukkan oleh SMS
yang keluar masuk tanpa hajat yang jelas, akhirnya membuatnya lalai dari
aktifitas ketaatan.
Syaikh Ibnul Utsaimin Rahimahullah mengomentari hal ini,
katanya:
وقوله: «لطاعة الله» اللام هنا للتعليل، أي: أنه لزمه لطاعة الله، لا
للانعزال عن الناس، ولا من أجل أن يأتيه أصحابه ورفقاؤه يتحدثون عنده، بل للتفرغ لطاعة
الله عزّ وجل.
وبهذا نعرف
أن أولئك الذين يعتكفون في المساجد، ثم يأتي إليهم أصحابهم، ويتحدثون بأحاديث لا فائدة
منها، فهؤلاء لم يأتوا بروح الاعتكاف؛ لأن روح الاعتكاف أن تمكث في المسجد لطاعة الله
ـ عزّ وجل ـ، صحيح أنه يجوز للإنسان أن يتحدث عنده بعض أهله لأجل ليس بكثير كما كان
الرسول صلّى الله عليه وسلّم يفعل ذلك
“Perkataannya (untuk ketaatan kepada Allah) huruf Lam di sini
adalah untuk menunjukkan sebab (‘ilat- istilahnya lam ta’lil),
yaitu bahwa dia menetap di masjid dalam rangka ketaatan kepada Allah, bukan
untuk memisahkan diri dari manusia, bukan pula karena ingin mengunjungi
sahabat-sahabatnya, kerabatnya, lalu berbincang dengan mereka, tetapi untuk
memfokuskan ketaatan kepada Allah ‘Azza wa Jalla.
Dengan inilah kita tahu bahwa mereka sedang i’tikaf di masjid. Lalu,
datang kepada mereka sahabat-sahabat mereka, dan ngobrol dengan tema
pembicaraan yang tidak berfaidah, mereka ini datang tidak dengan ruh (spirit)
untuk beri’tikaf, karena ruh yang ingin beri’tikaf, berdiamnya di masjid adalah
dalam rangka ketaatan kepada Allah ‘Azza wa Jalla. Benar, bahwa manusia
boleh saja berbincang kepada sebagian anggota keluarganya tetapi tidaklah memperbanyaknya, sebagaimana
yang dilakukan Rasul Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam.”
Ada pun untuk menuntut ilmu di majelis I’tikaf, beliau berkata:
لا شك أن طلب العلم من طاعة الله، لكن الاعتكاف يكون للطاعات الخاصة،
كالصلاة، والذكر، وقراءة القرآن، وما أشبه ذلك، ولا بأس أن يَحضر المعتكف درساً أو
درسين في يوم أو ليلة؛ لأن هذا لا يؤثر على الاعتكاف، لكن مجالس العلم إن دامت، وصار
يطالع دروسه، ويحضر الجلسات الكثيرة التي تشغله عن العبادة الخاصة، فهذا لا شك أن في
اعتكافه نقصاً، ولا أقول إن هذا ينافي الاعتكاف.
“Tidak ragu bahwa menuntut ilmu termasuk ketaatan kepada Allah,
tetapi i’tikaf terdapat ketaatan khusus, seperti shalat, dzikir, membaca Al
Quran, dan yang serupa itu. Tidak apa-apa mu’takif menghadiri satu pelajaran
atau dua dalam sehari atau malam, sebab itu tidak mempengaruhi I’tikafnya,
tetapi jika majelis ilmu diadakan terus menerus, akan membuatnya mengkaji
materinya, menghadiri berbagai majelis yang memalingkannya dari ibadah khusus,
ini tidak ragu lagi membuat I’tikafnya berkurang, di sini saya tidak katakan
menganulir I’tikafnya. (Lihat semua dalam Syarhul Mumti’, 6/163)
‘Ibrah dari I’tikaf
Pelajaran yang bisa kita petik
dari I’tikaf adalah:
-
Menegaskan kembali posisi
Masjid sebagai sentral pembinaan umat
-
Sesibuk apa pun seorang muslim
harus menyediakan waktunya untuk mendekatkan diri kepada Allah Ta’ala secara fokus
dan totalitas
-
Hidup di dunia hanya
persinggahan untuk menuju keabadian akhirat
Wallahu A’lam wa ilaihi musytaka
Refensi:
-
Al Quran Al Karim
-
Shahih Bukhari, karya Imam Al Bukhari
-
Shahih Muslim, karya Imam Muslim
-
Shahih Ibnu Hibban, karya Imam Ibnu Hibban
-
Shahih Ibnu Khuzaimah, karya Imam Ibnu Khuzaimah
-
Sunan Abi Daud, karya Imam Abu Daud
-
Sunan At Tirmidzi. Karya Imam Abu Isa At Tirmidzi
-
Sunan Ibnu Majah, karya Imam Ibnu Majah
-
Sunan Ad Darimi, karya Imam Ad Darimi
-
Musnad Ahmad, karya Imam Ahmad
-
Musnad Abu Ya’la, karya Imam Abu Ya’la Al Maushili
-
As Sunan Al Kubra, karya Imam Al Baihaqi
-
Akhbar Ashbahan, karya Imam Abu Nu’aim
-
Syarhus Sunnah, karya Imam Al Baghawi
-
Syarh Musykilul Atsar, karya Imam Abu Ja’far Ath Thahawi
-
Al Mushannaf, karya Imam Ibnu Abi Syaibah
-
Al Mustadrak ‘Ala Ash
Shahihain, karya Imam Al Hakim
-
Al Jami’ Li Ahkamil Quran,
karya Imam Al Qurthubi
-
Fathul Qadir, karya Imam Asy Syaukani
-
Madarik At Tanzil wa Haqaiq
At Ta’wil, karya Imam An Nasafi
-
Fathul Bari, karya Imam Ibnu Hajar Al ‘Asqalani
-
As Silsilah Ash Shahihah, karya Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albani
-
Al Mausu’ah Al Fiqhiyah Al
Kuwaitiyah, departemen Waqaf Kuwait
-
Fiqhus Sunnah, karya Syaikh Sayyid Sabiq
-
Fiqhul Islami wa Adillatuhu, karya Syaikh Wahbah Az Zuhaili
-
Syarhul Mumti’, karya Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin
-
Qiyamur Ramadhan, karya Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albani
-
Atsarul ‘Ulama fi Tahqiqi Risalatil
Masjid, karya Syaikh Nashir bin Abdul Karim Al ‘Aql
[1] Dari Hudzaifah
bin Yaman Radhiallahu ‘Anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa
Sallam bersabda:
وجعلت لنا الأرض كلها مسجدا. وجعلت تربتها لنا
طهورا
“Dijadikan
bagi kita semua bumi adalah masjid, dan dijadikan tanahnya bagi kita adalah
suci.” (HR. Muslim No. 522, Ibnu Hibban No. 6400, Al Baihaqi dalam As
Sunan Al Kubra No. 963, Ibnu Khuzaimah No. 263, 787, Ibnu Abi Syaibah dalam
Al Mushannaf, 7/411)
Sedangkan
hadits yang berbunyi:
وجعلت لي الأرض مسجدا وطهورا
“Bumi
dijadikan untukku sebagai masjid dan suci.”
Diriwayatkan
oleh: Bukhari No. 328, 427, 2954, dari Jabir bin Abdullah. Muslim No. 521, dari
Jabir bin Abdullah, dengan lafaz: “Bumi
dijadikan untukku dengan keadaan baik (thayyibah), suci dan sebagai masjid.” Abu Daud No. 489, dari Abu Dzar, dengan lafaz
terbalik: “Bumi dijadikan untukku suci dan sebagai masjid.” At Tirmidzi
No. 317, dari Abu Dzar. Ibnu Majah No. 567, dari Abu Hurairah. Ad Darimi No.
1389, dari Jabir bin Abdullah, dengan lafaz: “Bumi dijadikan untukku dengan
keadaan baik (thayyibah), sebagai masjid dan suci,” dan No. 2467, dari Abu
Dzar. Ibnu Hibban No. 2313, dari Abu Hurairah, dan No. 6398, dari Jabir bin
Abdullah. Al Baihaqi dalam As Sunan Al Kubra No. 958, 3612, 12489,
17493, semua dari Jabir bin Abdullah. Al Hakim dalam Al Mustadrak
No.3587, dari Abu Dzar. Ibnu Abi Syaibah dalam Al Mushannaf, 2/293, No.
2 dari Jabir bin Abdullah, No. 3 dari Ibnu Abbas, No. 8 dari Abu Dzar. Ahmad
No. 7266, dari Abu Hurairah.
No comments:
Post a Comment