Pertanyaan:
Assalamu
‘Alaikum, tadz batalkah wudhu apabila bersalaman dengan orang kafir atau
musyrik? (085252143xxx)
Jawaban:
Wa ‘Alaikum Salam wa Rahmatullah wa Barakatuh. Bismillah
wal Hamdulillah wash Shalatu was Salamu ‘Ala Rasulillah wa Ba’d:
Batal atau tidaknya wudhu kita
setelah bersalaman dengan orang kafir dan musyrik tergantung status tubuh
mereka, najis atau suci?
Menurut sebagian salaf, seperti Abbdullah bin ‘Abbas Radhiallahu
‘Anhuma dan Imam Al Hasan Al Bashri, juga sebagian kalangan
Zhahiriyah, tubuh mereka adalah najis.
Abdullah bin ‘Abbas berpendapat bahwa sesuai zahir ayat: innamal musyrikun
najasun – (sesungguhnya orang musyrik itu najis), maka tubuh orang musyrik
itu najis sebagaimana najisnya babi dan anjing. Diriwayatkan oleh Ibnu Jarir,
dari Al Hasan Al Bashri, katanya: “Barang siapa yang bersalaman dengan
mereka maka hendaknya berwudhu.” (Lihat
Tafsir Ayat Al Ahkam, 1/282)
Ini juga menjadi pendapat kaum zhahiriyah. Berkata
Imam Ibnu Katsir Rahimahullah:
وذهب
بعض الظاهرية إلى نجاسة أبدانهم.
Dan sebagian
Zhahiriyah menajiskan badan mereka. (Tafsir Al Quran Al ‘Azhim,
4/131)
Kami tekankan, yang
benar adalah tidak ada yang najis, kecuali
yang disebutkan oleh syariat. Oleh karenanya, jika tak ada keterangan yang
menyebutkan bahwa tubuh kaum Ahli Kitab adalah najis, maka tubuh mereka adalah
suci sebagaimana sucinya tubuh kaum muslimin. Bahkan, ini juga berlaku
bagi kaum musyrikin. Telah menjadi ijma’ –sebagaimana dikatakan
Imam An Nawawi, bahwa tubuh mereka adalah suci, yang najis adalah aqidah mereka
yang musyrik, bukan tubuhnya.
Tentang ayat yang berbunyi: “Sesungguhnya
orang-orang muysrik itu najis.” Berkata Al Hafizh Ibnu Hajar Rahimahullah:
بِأَنَّ
الْمُرَادَ أَنَّهُمْ نَجَسٌ فِي الِاعْتِقَادِ وَالِاسْتِقْذَارِ وَحُجَّتهمْ أَنَّ
اللَّهَ تَعَالَى أَبَاحَ نِكَاح نِسَاء أَهْلِ الْكِتَابِ
“Sesungguhnya
maksud bahwa mereka najis adalah najis pada aqidahnya dan kotor. Hujjah
mereka (mayoritas ulama) adalah sesungguhnya Allah Ta’ala membolehkan menikahi
wanita ahli kitab (Yahudi dan Nasrani). “ (Fathul Bari, 1/390)
Jadi,
bagaimana mungkin syariat membolehkan menikahi wanita mereka (Ahli Kitab),
namun di sisi lain menajiskan tubuh mereka?
Imam An Nawawi Rahimahullah
mengatakan:
وَذَكَرَ
الْبُخَارِيّ فِي صَحِيحه عَنْ اِبْن عَبَّاس تَعْلِيقًا : الْمُسْلِم لَا يَنْجُس
حَيًّا وَلَا مَيِّتًا . هَذَا حُكْم الْمُسْلِم . وَأَمَّا الْكَافِر فَحُكْمه فِي
الطَّهَارَة وَالنَّجَاسَة حُكْم الْمُسْلِم هَذَا مَذْهَبنَا وَمَذْهَب الْجَمَاهِير
مِنْ السَّلَف وَالْخَلَف . وَأَمَّا قَوْل اللَّه عَزَّ وَجَلَّ : { إِنَّمَا الْمُشْرِكُونَ
نَجَس } فَالْمُرَاد نَجَاسَة الِاعْتِقَاد وَالِاسْتِقْذَار ، وَلَيْسَ الْمُرَاد
أَنَّ أَعْضَاءَهُمْ نَجِسَة كَنَجَاسَةِ الْبَوْل وَالْغَائِط وَنَحْوهمَا . فَإِذَا
ثَبَتَتْ طَهَارَة الْآدَمِيّ مُسْلِمًا كَانَ أَوْ كَافِرًا ، فَعِرْقه وَلُعَابه
وَدَمْعه طَاهِرَات سَوَاء كَانَ مُحْدِثًا أَوْ جُنُبًا أَوْ حَائِضًا أَوْ نُفَسَاء
، وَهَذَا كُلّه بِإِجْمَاعِ الْمُسْلِمِينَ كَمَا قَدَّمْته فِي بَاب الْحَيْض
“Imam
Bukhari menyebutkan dalam Shahihnya, dari Ibnu Abbas secara mu’alaq
(tidak disebut sanadnya): Seorang muslim tidaklah najis baik hidup dan matinya.
Ini adalah hukum untuk seorang muslim. Ada pun orang kafir maka hukum
dalam masalah suci dan najisnya adalah
sama dengan hukum seorang muslim (yakni suci). Ini adalah madzhab kami dan
mayoritas salaf dan khalaf. Ada pun ayat (Sesungguhnya orang
musyrik itu najis) maka maksudnya adalah najisnya aqidah yang kotor, bukan maksudnya anggota badannya
najis seperti najisnya kencing,
kotorannya , dan semisalnya. Jika sudah pasti kesucian manusia
baik dia muslim atau kafir, maka keringat, ludah, darah, semuanya suci, sama
saja apakah dia sedang berhadats, atau junub, atau haid, atau nifas. Semua ini
adalah ijma’ kaum muslimin sebagaimana yang telah lalu saya jelaskan dalam Bab
Haid.” (Al Minhaj Syarh Shahih Muslim, 2/87. Mawqi’ Ruh
Al Islam) selesai
Untuk kaum musyrikin, sebenarnya tidak ada ijma’
dalam sucinya tubuh mereka sebagaimana klaim Imam An Nawawi. Dan, sudah kami sebutkan pendapat
Abdullah bin Abbas dan Hasan Al Bashri tentang najisnya mereka.
Berkata Imam Ibnu Katsir Rahimahullah:
فالجمهور على أنه
ليس بنجس البدن والذات؛ لأن الله تعالى أحل طعام أهل الكتاب
Maka, menurut jumhur (mayoritas) bukanlah najis badan dan zatnya, karena Allah Ta’ala
menghalalkan makanan Ahli Kitab. (Tafsir Al
Quran Al ‘Azhim, 4/131)
Pendapat yang kuat adalah pendapat jumhur bahwa mereka adalah
suci, sebagaimana disebutkan dalam Tafsir Ayat Al Ahkam berikut ini:
الترجيح : الصحيح رأي الجمهور لأن المسلم
له أن يتعامل معهم ، وقد كان عليه السلام يشرب من أواني المشركين ، ويصافح غير
المسلمين والله أعلم .
Tarjih: yang shahih
adalah pendapat jumhur (mayoritas) karena seorang muslim berinteraksi dengan
mereka, dahulu Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam minum dari wadah kaum
musyrikin, dan bersalaman dengan non
muslim. Wallahu A’lam (Ibid)
Alasan lain yang menguatkannya,
karena dahulu Jubair bin Muth’im –ketika masih musyrik- pernah bermalam di
masjid, bahkan mendengarkan pembacaan Al Quran. (Imam Asy Syafi’i, Al
Umm, 1/54). Ini jelas menunjukkan
kesuciannya, sebab jika mereka najis tentu mereka tidak akan diterima
kehadirannya di masjid.
Berikut dikatakan Imam Ibnul Qayyim Rahimahullah:
قال ابن إسحاق: وفد على رسول الله صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وفدُ نصارى نجران بالمدينة، فحدَّثنى محمد بن جعفر بن الزبير،
قال: لما قدم وفد نجرانَ على رسول الله صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، دخلُوا
عليه مسجدَه بعد صلاة العصر، فحانت صلاتُهم، فقاموا يُصَلُّون فى مسجده، فأراد
الناسُ منعهم، فقال رسول الله صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ:
"دَعُوهُم" فاسْتَقْبَلُوا المَشْرِقَ، فَصَلَّوا صَلاَتَهُمْ.
Berkata
Ibnu Ishaq: Di Madinah, datang delegasi Nasrani Najran kepada Rasulullah
Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Telah bercerita kepadaku Muhammad bin Ja’far
bin Az Zubeir, katanya: ketika ketika delegasi Najran datang kepada Rasulullah Shallallahu
‘Alaihi wa Sallam, mereka masuk ke dalam masjid setelah shalat ashar,
ketika datang waktu ibadah mereka, mereka
bangun untuk mendirikan ibadah mereka di
masjid nabi, maka manusia mencegahnya, lalu Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi
wa Sallam bersabda: “Biarkan mereka.” Lalu mereka menghadap ke Timur, dan
melaksanakan ibadah mereka. (Zaadul Ma’ad, 3/629. Cet.
27, 1994M-1415H. Muasasah Ar Risalah, Beirut)
Kisah
ini menunjukkan tubuh orang kafir tidak najis, sebab jika mereka najis tentu
mereka dilarang oleh Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam untuk masuk ke
masjid, sebab masjid harus bersih dari kotoran dan najis.
Maka, pendapat yang
lebih rajih tidak batal wudhu setelah bersalaman dengan mereka. Tetapi, jika
mau wudhu lagi juga tidak apa-apa, bahkan bisa jadi lebih utama untuk menjaga
kehati-hatian dan ketenangan. Wallahu A’lam
Wa
Shallallahu ‘Ala Nabiyyina Muhammadin wa ‘Ala Aalihi wa Ashhabihi ajmain.
No comments:
Post a Comment