Berikut ini adalah amalan yang sesuai sunah Nabi, baik sunah qauliyah
dan fi’liyah yang bisa kita lakukan selama bulan Ramadhan.
1. Bersahur
Dalilnya:
Dari Anas bin Malik Radhiallahu ‘Anhu, bahwa
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
تَسَحَّرُوا
فَإِنَّ فِي السَّحُورِ بَرَكَةً
“Bersahurlah kalian, karena pada santap sahur itu ada
keberkahan.” (HR. Bukhari No. 1923,
Muslim No. 1095)
Syaikh Sayyid Sabiq Rahimahullah
mengatakan:
وقد أجمعت الامة على استحبابه، وأنه لا
إثم على من تركه
Umat telah ijma’ atas kesunahannya, dan
tidak berdosa meninggalkannya. (Fiqhus Sunnah, 1/455)
Beliau menambahkan:
وسبب البركة: أنه يقوي الصائم، وينشطه،
ويهون عليه الصيام.
Sebab keberkahannya adalah karena sahur dapat
menguatkan orang yang berpuasa, menggiatkannya, dan membuatnya ringan
menjalankannya. (Ibid, 1/456)
Keutamaannya:
Dari Abu Sa’id Al Khudri Radhiallahu ‘Anhu,
bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
السَّحُورُ أَكْلُهُ بَرَكَةٌ، فَلَا
تَدَعُوهُ، وَلَوْ أَنْ يَجْرَعَ أَحَدُكُمْ جُرْعَةً مِنْ مَاءٍ، فَإِنَّ اللهَ
عَزَّ وَجَلَّ وَمَلَائِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى الْمُتَسَحِّرِينَ
Makan sahur adalah berkah, maka janganlah kalian
meninggalkannya, walau kalian hanya meminum seteguk air, karena Allah ‘Azza
wa Jalla dan para malaikat mendoakan orang yang makan sahur. (HR. Ahmad
No. 11086, Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan: sanadnya shahih. Lihat Ta’liq Musnad
Ahmad No. 11086)
Dari Amru bin Al ‘Ash Radhiallahu ‘Anhu,
bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
فَصْلُ مَا بَيْنَ صِيَامِنَا
وَصِيَامِ أَهْلِ الْكِتَابِ أَكْلَةُ السُّحُور
“Perbedaan antara puasa kita dan puasa Ahli Kitab
adalah pada makan sahur.” (HR. Muslim No. 1096)
Dari hadits dua ini ada beberapa faedah:
-
Anjurannya
begitu kuat, sampai nabi meminta untuk jangan ditinggalkan
-
Sahur sudah
mencukupi walau dengan seteguk air minum
-
Allah ‘Azza
wa Jalla dan para malaikat mendoakan (bershalawat) kepada yang makan sahur
-
Orang kafir
Ahli Kitab juga berpuasa, tapi tanpa sahur
-
Berpuasa
tanpa sahur secara sengaja dan terus menerus adalah menyerupai Ahli kitab
Disunnahkan menta’khirkan sahur:
Dari ‘Amru bin Maimun Radhiallahu ‘Anhu, katanya:
كان أصحاب محمد
صلى الله عليه و سلم أعجل الناس إفطارا وأبطأهم سحورا
Para sahabat Muhammad Shallallahu
‘Alaihi wa Sallam adalah manusia yang paling bersegera dalam berbuka puasa,
dan paling akhir dalam sahurnya. (HR. Al Baihaqi dalam As Sunan Al Kubra
No. 7916. Al Faryabi dalam Ash Shiyam No. 52. Ibnu Abi Syaibah dalam
Al Mushannaf No. 9025)
Imam An Nawawi mengatakan:
“sanadnya shahih.” (Lihat Al Majmu’ Syarh Al Muhadzdzab, 6/362), begitu
pula dishahihkan oleh Imam Ibnu Abdil Bar, bahkan menurutnya keshahihan hadits
tentang bersegera buka puasa dan mengakhirkan sahur adalah mutawatir. (Lihat
Imam Al ‘Aini, ‘Umdatul Qari, 17/9. Imam Ibnu Hajar, Fathul Bari,
4/199)
- Tadarus Al Quran dan Mengkhatamkannya
Bulan Ramadhan adalah bulan yang amat erat
hubungannya dengan Al Quran, karena saat itulah Al Quran diturunkan.[1]
Oleh karenanya aktifitas bertadarus (membaca sekaligus mengkaji) adalah hal
yang sangat utama saat itu, dan telah menjadi aktifitas utama sejak masa Nabi Shallallahu
‘Alaihi wa Sallam dan generasi terbaik.
Ibnu ‘Abbas Radhiallahu ‘Anhuma
menceritakan:
وَكَانَ جِبْرِيلُ يَلْقَاهُ فِي كُلِّ لَيْلَةٍ مِنْ رَمَضَانَ
فَيُدَارِسُهُ الْقُرْآنَ
Jibril menemuinya pada tiap malam malam bulan
Ramadhan, dan dia (Jibril) bertadarus Al
Quran bersamanya. (HR. Bukhari No. 3220)
Faedah dalam hadits ini adalah:
-
Rasulullah Shallallahu
‘Alaihi wa Sallam juga melakukan tadarus Al Quran bersama Malaikat Jibril
-
Beliau
melakukannya setiap malam, dan dipilihnya malam karena waktu tersebut biasanya
waktu kosong dari aktifitas keseharian,
dan malam hari suasana lebih kondusif dan khusyu.’
Bukan hanya Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam,
tetapi ini juga perilaku para sahabat dan generasi setelah mereka.
Imam
An Nawawi Rahimahullah menceritakan dalam kitab At Tibyan fi Aadab
Hamalatil Quran, bahwa diriwayatlan oleh As Sayyid Al Jalil Ahmad Ad
Dawraqi dengan sanadnya, dari Manshur bin Zaadaan, dari para ahli ibadah
tabi’in – semoga Allah meridhainya- bahwasanya pada bulan Ramadhan dia
mengkhatamkan Al Quran antara zhuhur dan ashar, dan juga mengkhatamkan antara
maghrib dan isya, dan mereka mengakhirkan isya hingga seperampat malam.
Imam Abu Daud
meriwayatkan dengan sanad yang shahih, bahwa Mujahid mengkhatamkan Al
Quran antara maghrib dan isya. Dari
Manshur, katanya bahwa Al Azdi mengkhatamkan Al Quran setiap malam antara maghrib
dan isya pada bulan Ramadhan.
Ibrahim bin Sa’ad
menceritakan: bahwa ayahku kuat menahan duduk dan sekaligus mengkhatamkan Al
Quran dalam sekali duduk. Ada pun yang sekali khatam dalam satu rakaat shalat
tidak terhitung jumlahnya karena banyak manusia yang melakukannya, seperti
Utsman bin ‘Affan, At Tamim Ad Dari, Sa’id bin Jubeir –semoga Allah meridhai
mereka- yang khatam satu rakaat ketika shalat di dalam Ka’bah.
Ada juga yang khatam
dalam sepekan, seperti Utsman bin ‘Affan, Ibnu Mas’ud, Zaid bin Tsabit, Ubai
bin Ka’ab, dan segolongan tabi’in
seperti Abdurrahman bin Yazid, Al Qamah, dan Ibrahim – semoga Allah merahmati
mereka semua. (Lingkapnya lihat Imam An Nawawi, At Tibyan, Hal.
60-61)
- Bersedekah
Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam sebagai
teladan kita telah mencontohkan akhlak
yang luar biasa yaitu kedermawanan. Hal itu semakin menjadi-jadi ketika bulan
Ramadhan.
Ibnu ‘Abbas Radhiallahu ‘Anhuma,
menceritakan:
كَانَ النَّبِيُّ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَجْوَدَ النَّاسِ وَأَجْوَدُ مَا يَكُونُ فِي
رَمَضَانَ حِينَ يَلْقَاهُ جِبْرِيلُ وَكَانَ جِبْرِيلُ عَلَيْهِ السَّلَام
يَلْقَاهُ فِي كُلِّ لَيْلَةٍ مِنْ رَمَضَانَ فَيُدَارِسُهُ الْقُرْآنَ
فَلَرَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَجْوَدُ بِالْخَيْرِ مِنْ
الرِّيحِ الْمُرْسَلَةِ
Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam adalah
manusia yang paling dermawan, dan kedermawanannya semakin menjadi-jadi saat
Ramadhan apalagi ketika Jibril menemuinya. Dan, Jibril menemuinya setiap malam
bulan Ramadhan dia bertadarus Al Quran bersamanya. Maka, Rasulullah Shallallahu
‘Alaihi wa Sallam benar-benar sangat dermawan dengan kebaikan laksana angin
yang berhembus. (HR. Bukhari No. 3220)
- Memberikan makanan buat orang yang berbuka
puasa
Dari Zaid bin Khalid Al Juhani Radhiallahu
‘Anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
مَنْ فَطَّرَ
صَائِمًا كَانَ لَهُ مِثْلُ أَجْرِهِ غَيْرَ أَنَّهُ لَا يَنْقُصُ مِنْ أَجْرِ
الصَّائِمِ شَيْئًا
Barang siapa yang memberikan makanan untuk berbuka
bagi orang berpuasa maka dia akan mendapatkan pahala sebagaimana orang
tersebut, tanpa mengurangi sedikit pun pahala orang itu. (HR. At Tirmidzi
No. 807, katanya: hasan shahih. Ahmad No. 21676, An Nasa’i dalam As
Sunan Al Kubra No. 3332. Al Baihaqi dalam Syu’abul Iman No. 3952.
Dishahihkan Syaikh Al Albani dalam Shahihul Jami’ No. 6415. Syaikh
Syu’aib Al Arnauth mengatakan: hasan lighairih. Lihat ta’liq Musnad
Ahmad No. 21676, Al Bazzar dalam Musnadnya No. 3775)
Para ulama berbeda pendapat tentang batasan
“memberikan makanan untuk berbuka”. Sebagian menilai itu adalah makanan yang
mengenyangkan selayaknya makanan yang wajar. Sebagian lain mengatakan bahwa hal
itu sudah cukup walau memberikan satu butir kurma dan seteguk air. Pendapat yang lebih kuat adalah –Wallahu
A’lam- pendapat yang kedua, bahwa apa yang tertulis dalam hadits ini sudah
mencukupi walau sekedar memberikan seteguk air minum dan sebutir kurma, sebab
hal itu sudah cukup bagi seseorang dikatakan telah ifthar (berbuka
puasa).
- Memperbanyak doa
Dari Abu Hurairah Radhiallahu ‘Anhu, bahwa
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
ثَلَاثَةٌ لَا
تُرَدُّ دَعْوَتُهُمْ الصَّائِمُ حَتَّى يُفْطِرَ وَالْإِمَامُ الْعَادِلُ
وَدَعْوَةُ الْمَظْلُوم
Ada tiga manusia yang doa mereka tidak akan
ditolak: 1. Doa orang yang berpuasa sampai dia berbuka, 2. Pemimpin yang adil,
3. Doa orang teraniaya. (HR. At Tirmidzi No. 2526, 3598, katanya: hasan. Ibnu Hibban No. 7387, Imam Ibnul Mulqin
mengatakan: “hadits ini shahih.” Lihat Badrul Munir, 5/152.
Dishahihkan oleh Imam Al Baihaqi. Lihat Shahih Kunuz As sunnah An Nabawiyah,
1/85. Sementara Syaikh Al Albani mendhaifkannya. Lihat Shahih wa Dhaif Sunan
At Tirmidzi No. 2526)
Berdoa diwaktu berbuka puasa juga diajarkan oleh
Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam Berikut ini adalah doanya:
كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا أَفْطَرَ قَالَ ذَهَبَ الظَّمَأُ وَابْتَلَّتْ
الْعُرُوقُ وَثَبَتَ الْأَجْرُ إِنْ شَاءَ اللَّهُ
“Adalah Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi
wa Sallam, jika sedang berbuka puasa dia membaca: “Dzahaba Azh Zhama’u
wab talatil ‘uruqu wa tsabatal ajru insya Allah.” (HR. Abu
Daud No. 2357, Al Baihaqi dalam As Sunan Al Kubra No. 7922, Ad
Daruquthni, 2/185, katanya: “isnadnya hasan.” An Nasa’i dalam As sunan Al Kubra No.
3329, Al Hakim dalam Al Mustadrak No. 1536, katanya: “Shahih sesuai
syarat Bukhari- Muslim”. Al Bazzar No. 4395. Dihasankan Syaikh Al Albani
dalam Shahihul Jami’ No. 4678)
Sedangkan doa berbuka puasa: Allahumma laka
shumtu ... dst, dengan berbagai macam versinya telah didhaifkan para ulama,
baik yang dari jalur Muadz bin Zuhrah secara mursal, juga jalur Anas bin
Malik, dan Ibnu Abbas. (Lihat Al
Hafizh Ibnu Hajar, At Talkhish Al Habir, 2/444-445. Imam An Nawawi, Al
Adzkar, 1/62. Imam Abu Daud, Al Maraasiil, 1/124, Imam Al Haitsami, Majma’
Az Zawaid, 3/371. Syaikh Al Albani juga mendhaifkan dalam berbagai kitabnya)
- Menyegerakan berbuka puasa
Dari ‘Amru bin Maimun Radhiallahu ‘Anhu, katanya:
كان أصحاب محمد
صلى الله عليه و سلم أعجل الناس إفطارا وأبطأهم سحورا
Para sahabat Muhammad Shallallahu
‘Alaihi wa Sallam adalah manusia yang paling bersegera dalam berbuka puasa,
dan paling akhir dalam sahurnya. (HR. Al Baihaqi dalam As Sunan Al Kubra
No. 7916. Al Faryabi dalam Ash Shiyam No. 52. Ibnu Abi Syaibah dalam
Al Mushannaf No. 9025)
Imam An Nawawi mengatakan:
“sanadnya shahih.” (Lihat Al Majmu’ Syarh Al Muhadzdzab, 6/362), begitu
pula dishahihkan oleh Imam Ibnu Abdil Bar, bahkan menurutnya keshahihan hadits
tentang bersegera buka puasa dan mengakhirkan sahur adalah mutawatir. (Lihat
Imam Al ‘Aini, ‘Umdatul Qari, 17/9. Imam Ibnu Hajar, Fathul Bari,
4/199)
- I’tikaf di - ‘asyrul awakhir
Dalilnya berdasarkan Al Quran, As Sunnah, dan
Ijma’, yakni sebagai berikut:
-
Al Quran
وَلا تُبَاشِرُوهُنَّ وَأَنْتُمْ عَاكِفُونَ فِي الْمَسَاجِدِ
Janganlah
kalian mencampuri mereka (Istri), sedang
kalian sedang I’tikaf di masjid. (QS. Al Baqarah : 187)
-
As Sunnah
Dari ‘Aisyah Radiallahu
‘Anha:
أَنَّ النَّبِيَّ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَعْتَكِفُ الْعَشْرَ الْأَوَاخِرَ مِنْ
رَمَضَانَ حَتَّى تَوَفَّاهُ اللَّهُ ثُمَّ اعْتَكَفَ أَزْوَاجُهُ مِنْ بَعْدِهِ
Bahwasanya Nabi
Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam beri’tikaf pada 10 hari terakhir bulan Ramadhan
sampai beliau diwafatka Allah, kemudian istri-istrinya pun I’tikaf setelah itu.(HR. Bukhari, No. 2026, Muslim No. 1171, Abu Daud No. 2462. Ahmad
No. 24613, dan lainnya)
Dari Abu
Hurairah Radhiallahu ‘Anhu, katanya:
كَانَ النَّبِيُّ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَعْتَكِفُ فِي كُلِّ رَمَضَانٍ عَشْرَةَ أَيَّامٍ
فَلَمَّا كَانَ الْعَامُ الَّذِي قُبِضَ فِيهِ اعْتَكَفَ عِشْرِينَ يَوْمًا
Dahulu Nabi Shallallahu
‘Alaihi wa Sallam I’tikaf di setiap Ramadhan 10 hari, tatkala pada tahun
beliau wafat, beliau I’tikaf 20 hari. (HR. Bukhari No. 694, Ahmad No. 8662,
Ibnu Hibban No. 2228, Al Baghawi No.
839, Abu Ya’la No. 5843, Abu Nu’aim
dalam Akhbar Ashbahan, 2/53)
-
Ijma’
Syaikh Sayyid Sabiq Rahimahullah
menceritakan adanya ijma’ tentang
syariat I’tikaf:
وقد أجمع العلماء
على أنه مشروع، فقد كان النبي صلى الله عليه وسلم يعتكف في كل رمضان عشرة أيام،
فلما كان العام الذي قبض فيه اعتكف
عشرين يوما.
Ulama telah ijma’ bahwa
I’tikaf adalah disyariatkan, Nabi Shallallahu
‘Alaihi wa Sallam beri’tikaf setiap Ramadhan 10 hari, dan 20 hari ketika
tahun beliau wafat. (Fiqhus Sunnah, 1/475)
Hukumnya
Hukumnya
adalah sunnah alias tidak wajib, kecuali I’tikaf karena nazar. Kesunahan ini juga berlaku bagi kaum wanita,
dengan syarat aman dari fitnah, dan izin dari walinya, dan masjidnya kondusif.
Imam Asy Syaukani
Rahimahullah mengatakan:
وقد وقع الإجماع
على أنه ليس بواجب ، وعلى أنه لا يكون إلا في مسجد
Telah terjadi ijma’ bahwa I’tikaf
bukan kewajiban, dan bahwa dia tidak bisa dilaksanakan kecuali di masjid. (Fathul
Qadir, 1/245)
Namun jika ada seorang
yang bernazar untuk beri’tikaf, maka wajib baginya beri’tikaf.
Khadimus
Sunnah Asy Syaikh Sayyid Sabiq mengatakan:
الاعتكاف ينقسم إلى مسنون وإلى واجب، فالمسنون ما تطوع به المسلم تقربا
إلى الله، وطلبا لثوابه، واقتداء بالرسول صلوات الله وسلامه عليه، ويتأكد ذلك في العشر
الاواخر من رمضان لما تقدم، والاعتكاف الواجب ما أوجبه المرء على نفسه، إما بالنذر
المطلق، مثل أن يقول: لله علي أن أعتكف كذا، أو بالنذر المعلق كقوله: إن شفا الله مريضي
لاعتكفن كذا.
وفي صحيح البخاري أن النبي صلى الله عليه
وسلم قال: " من نذر أن يطيع الله فليطعه "
I’tikaf
terbagi menjadi dua bagian; sunah dan wajib. I’tikaf sunah adalah I’tikaf yang
dilakukan secara suka rela oleh seorang muslim dalam rangka taqarrub ilallahi
(mendekatkan diri kepada Allah), dalam rangka mencari pahalaNya dan mengikuti
sunah Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Hal itu ditekankan pada
10 hari terakhir bulan Ramadhan sebagaimana penjelasan sebelumnya.
I’tikaf
wajib adalah apa-apa yang diwajibkan seseorang atas dirinya sendiri, baik
karena nazar secara mutlak, seperti perkataan: wajib atasku untuk beri’tikaf
sekian karena Allah. Atau karena
nazar yang mu’alaq (terkait dengan sesuatu), seperti perkataan: jika
Allah menyembuhkan penyakitku saya akan I’tikaf sekian ..
Dalam
shahih Bukhari disebutkan, bahwa Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
“Barang siapa yang bernazar untuk mentaati Allah maka taatilah
(tunaikanlah).” (Fiqhus Sunnah, 1/475)
Wallahu A’lam
8. Qiyamur Ramadhan (Shalat Tarawih)
-
Keutamaannya:
Shalat Tarawih memiliki keutamaan dan ganjaran
yang besar, sebagaimana yang disebutkan oleh berbagai hadits shahih,
yakni di antaranya:
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ مَنْ قَامَ رَمَضَانَ إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ
لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ
Dari Abu Hurairah Radhiallahu ‘Anhu, bahwa
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda: “Barangsiapa yang
shalat malam pada bulan Ramadhan karena iman dan mengharap ganjaran dari Allah,
maka akan diampuni dosa-dosanya yang lalu.” (HR. Bukhari No. 37, Muslim No. 759)
Hadits lain:
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ
عَنْهُ عَنْ
النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ مَنْ قَامَ لَيْلَةَ
الْقَدْرِ إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِ
Dari Abu Hurairah Radhiallahu ‘Anhu, dari
Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dia bersabda: “Barangsiapa yang
shalat malam ketika lailatul qadar karena iman dan mengharap ganjaran dari
Allah, maka akan diampuni dosa-dosanya yang lalu.” (HR. Bukhari No.
1901, Muslim No. 760, ini lafaz Bukhari)
Mengomentari hadits di atas, Imam An
Nawawi Rahimahullah berkata:
أَنْ
يُقَال قِيَام رَمَضَان مِنْ غَيْر مُوَافَقَةِ لَيْلَة الْقَدْر وَمَعْرِفَتهَا
سَبَب لِغُفْرَانِ الذُّنُوب ، وَقِيَام لَيْلَة الْقَدْر لِمَنْ وَافَقَهَا
وَعَرَفَهَا سَبَب لِلْغُفْرَانِ وَإِنْ لَمْ يَقُمْ غَيْرهَا
“Bahwa dikatakan, shalat malam pada bulan
Ramadhan yang tidak bertepatan dengan lailatul qadar dan tidak mengetahuinya,
merupakan sebab diampunya dosa-dosa. Begitu pula shalat malam pada bulan
Ramadhan yang bertepatan dan mengetahui lailatul qadar, itu merupakan sebab
diampuni dosa-dosa, walau pun dia tidak shalat malam pada malam-malam lainnya.”
(Al Minhaj Syarh Shahih
Muslim, 6/41)
Imam Abu Thayyib Muhammad Syamsuddin Abadi Rahimahullah
berkata dala kitabnya, ‘Aunul Ma’bud:
( إِيمَانًا ) : أَيْ مُؤْمِنًا بِاللَّهِ وَمُصَدِّقًا بِأَنَّهُ
تَقَرُّب إِلَيْهِ ( وَاحْتِسَابًا ) : أَيْ مُحْتَسِبًا بِمَا فَعَلَهُ عِنْد
اللَّه أَجْرًا لَمْ يَقْصِد بِهِ غَيْره
“(Dengan keimanan) maksudnya
adalah dengan keimanan kepada Allah, dan meyakini bahwa hal itu merupakan
taqarrub kepada Allah Ta’ala. (Ihtisab) maksudnya adalah mengharapkan
bahwa apa yang dilakukannya akan mendapat pahala dari Allah, dan tidak
mengharapkan yang lainnya.” (‘Aunul Ma’bud, 4/171)
Begitu pula yang dikatakan oleh Imam
Ibnu Hajar Al Asqalani Rahimahullah:
وَالْمُرَاد
بِالْإِيمَانِ الِاعْتِقَاد بِحَقِّ فَرْضِيَّةِ صَوْمِهِ ، وَبِالِاحْتِسَابِ
طَلَب الثَّوَابِ مِنْ اللَّهِ تَعَالَى
“Yang dimaksud ‘dengan keimanan’
adalah keyakinan dengan benar terhadap kewajiban puasanya, dan yang dimaksud dengan
‘ihtisab’ adalah mengharap pahala dari Allah Ta’ala.” (Fathul Bari, 4/115)
-
Hukumnya
Hukum shalat tarawih adalah sunah bagi muslim dan muslimah, dan
itu merupakan ijma’ (kesepakatan) para ulama sejak dahulu. Berkata Imam
An Nawawi Rahimahullah:
وَاجْتَمَعَتْ الْأُمَّة
أَنَّ قِيَام رَمَضَان لَيْسَ بِوَاجِبٍ بَلْ هُوَ مَنْدُوب
“Umat telah ijma’ bahwa qiyam
ramadhan (tarawih) tidaklah wajib, melainkan sunah.” (Al Minhaj Syarh Shahih Muslim, 6/40, Imam Abu Thayyib, ‘Aunul
Ma’bud, 4/171)
Sunahnya tarawih, karena tak lain dan tak bukan adalah ia merupakan tahajudnya
manusia pada bulan Ramadhan, oleh karena itu ia disebut Qiyam Ramadhan,
dan istilah tarawih baru ada belakangan. Sedangkan tahajjud adalah sunah
(mustahab/ mandub/ tathawwu’/nafilah).
Allah Ta’ala berfirman:
وَمِنَ اللَّيْلِ فَتَهَجَّدْ بِهِ
نَافِلَةً لَكَ
“Dan pada sebagian malam, lakukanlah
tahajjud sebagai nafilah (tambahan) bagimu.” (QS. Al Isra’ (17): 79)
Imam Qatadah Radhiallahu ‘Anhu berkata tentang maksud ayat “ nafilah
bagimu”:
تطوّعا وفضيلة لك.
“Sunah dan keutamaan bagimu.” (Imam
Abu Ja’far Ath Thabari, Jami’ Al Bayan Fi Ta’wil Al Quran, 17/526)
-
Boleh dilakukan
sendiri, tapi berjamaah lebih afdhal
Shalat terawih dapat dilakukan
berjamaah atau sendiri, keduanya pernah dilakukan oleh Rasulullah Shallallahu
‘Alaihi wa sallam dan para sahabatnya.
Berkata
Asy Syaikh Sayyid Sabiq Rahimahullah:
قيام رمضان يجوز أن يصلى
في جماعة كما يجوز أن يصلى على انفراد، ولكن صلاته جماعة في المسجد أفضل عند
الجمهور.
“Qiyam
Ramadhan boleh dilakukan secara berjamaah sebagaimana boleh pula dilakukan
secara sendiri, tetapi dilakukan secara berjamaah adalah lebih utama menurut
pandangan jumhur (mayoritas) ulama.” (Fiqhus Sunnah, 1/207)
Dari
‘Aisyah Radhiallahu ‘Anha, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa
Sallam shalat di masjid, lalu manusia mengikutinya, keesokannya shalat lagi
dan manusia semakin banyak, lalu pada malam ketiga atau keempat mereka
berkumpul namun Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam tidak keluar bersama
mereka, ketika pagi hari beliau bersabda:
قَدْ رَأَيْتُ الَّذِي صَنَعْتُمْ
فَلَمْ يَمْنَعْنِي مِنْ الْخُرُوجِ إِلَيْكُمْ إِلَّا أَنِّي خَشِيتُ أَنْ
تُفْرَضَ عَلَيْكُمْ وَذَلِكَ فِي رَمَضَانَ
“Aku
melihat apa yang kalian lakukan, dan tidak ada yang mencegahku keluar menuju
kalian melainkan aku khawatir hal itu kalian anggap kewajiban.” Itu terjadi
pada bulan
Ramadhan. (HR. Bukhari No. 1129,
Muslim No. 761)
Imam
An Nawawi Rahimahullah mengatakan:
فَفِيهِ : جَوَاز
النَّافِلَة جَمَاعَة ، وَلَكِنَّ الِاخْتِيَار فِيهَا الِانْفِرَاد إِلَّا فِي
نَوَافِل مَخْصُوصَة وَهِيَ : الْعِيد وَالْكُسُوف وَالِاسْتِسْقَاء وَكَذَا
التَّرَاوِيح عِنْد الْجُمْهُور كَمَا سَبَق
“Dalam hadits ini, menunjukkan bolehnya shalat
nafilah dilakukan berjamaah, tetapi lebih diutamakan adalah sendiri, kecuali
shalat-shalat nafilah tertentu (yang memang dilakukan berjamaah, pen)
seperti: shalat ‘Ied, shalat gerhana, shalat minta hujan, demikian juga tarawih
menurut pandangan jumhur, sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya.” (Al
Minhaj Syarh Shahih Muslim, 6/41)
Di dalam sejarah, sejak saat itu, manusia
melakukan shalat tarawih sendiri-sendiri, hingga akhirnya pada zaman Umar Radhiallahu
‘Anhu, dia melihat manusia shalat tarawih sendiri-sendiri dan semrawut,
akhirnya dia menunjuk Ubay bin Ka’ab Radhiallahu ‘Anhu untuk menjadi
imam shalat tarawih mereka, lalu Umar berkata:
نِعْمَ الْبِدْعَةُ هَذِهِ
“Sebaik-baiknya bid’ah adalah ini.” (HR. Bukhari No. 2010)
-
Jumlah Rakaat
Masalah
jumlah rakaat shalat tarawih sejak dahulu telah menjadi polemik hingga hari
ini. Antara yang menganjurkan 8 rakaat dengan 3 rakaat witir, atau 20 rakaat
dengan 3 rakaat witir, bahkan ada yang lebih dari itu. Manakah yang sebaiknya
kita jadikan pegangan? Ataukah semuanya benar, karena memang tak ada ketentuan
baku walau pun Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam sepanjang
hidupnya hanya melaksanakan 11 rakaat? Dan apakah yang dilakukan oleh nabi
tidak berarti wajib, melainkan hanya contoh saja?
Tarawih Pada Masa Rasulullah Shallallahu
‘Alaihi wa Sallam
Dari ‘Aisyah Radhiallahu ‘Anha, dia
berkata:
مَا كَانَ يَزِيدُ فِي
رَمَضَانَ وَلَا فِي غَيْرِهِ عَلَى إِحْدَى عَشْرَةَ رَكْعَة
“Bahwa
Rasulullah tidak pernah menambah lebih dari sebelas rakaat shalat malam, baik
pada bulan Ramadhan atau selainnya.” (HR. Bukhari No. 2013, 3569, Muslim No. 738)
Dari Jabir bin Abdillah Radhiallahu ‘Anhu,
dia berkata:
جاء أبي بن كعب إلى رسول الله صلى
الله عليه وسلم فقال : يا رسول الله ، إن كان مني الليلة شيء يعني في رمضان ، قال
: « وما ذاك يا أبي ؟ » ، قال : نسوة في داري ، قلن : إنا لا نقرأ القرآن فنصلي
بصلاتك ، قال : فصليت بهن ثمان ركعات ، ثم أوترت ، قال : فكان شبه الرضا ولم يقل
شيئا
Ubay bin
Ka’ab datang kepada Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dan
berkata: “Wahai Rasulullah, semalam ada peristiwa pada diri saya (yaitu pada
bulan Ramadhan).” Rasulullah bertanya: “Kejadian apa itu Ubay?”,
Ubay menjawab: “Ada beberapa wanita di rumahku, mereka berkata: “Kami tidak
membaca Al Quran, maka kami akan shalat bersamamu.” Lalu Ubay berkata: “Lalu
aku shalat bersama mereka sebanyak delapan rakaat, lalu aku witir,” lalu Ubay
berkata: “Nampaknya nabi ridha dan dia tidak mengatakan apa-apa.” (HR.
Abu Ya’la dalam Musnadnya No.
1801. Ibnu Hibban No. 2550, Imam Al Haitsami mengatakan:
sanadnya hasan. Lihat Majma’ az Zawaid, Juz. 2, Hal. 74)
Dari keterangan dua hadits di atas, kita bisa
mengetahui bahwa shalat tarawih pada masa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa
Sallam masih hidup adalah delapan rakaat, dan ditambah witir, dan tidak
sampai dua puluh rakaat. Oleh karena itu Syaikh Sayyid Sabiq berkomentar:
هذا هو المسنون الوارد عن
النبي صلى الله عليه وسلم ولم يصح عنه شئ غير ذلك
“Inilah sunah yang datang dari Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam,
dan tidak ada sesuatu pun yang shahih selain ini.” (Fiqhus Sunnah, 1/206)
Imam Ibnu Hajar Al
Asqalani berkata:
وَأَمَّا مَا رَوَاهُ
اِبْنُ أَبِي شَيْبَةَ مِنْ حَدِيث اِبْن عَبَّاسٍ " كَانَ رَسُول اللَّه
صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُصَلِّي فِي رَمَضَان عِشْرِينَ رَكْعَة
وَالْوِتْرَ " فَإِسْنَادُهُ ضَعِيفٌ ، وَقَدْ عَارَضَهُ حَدِيثُ عَائِشَة
هَذَا الَّذِي فِي الصَّحِيحَيْن
“Dan ada pun yang diriwayatkan
oleh Ibnu Abi Syaibah, dari hadits Ibnu Abbas, “Bahwa dahulu Rasulullah Shallallahu
‘Alaihi wa Sallam shalat pada bulan Ramadhan dua puluh rakaat dan ditambah
witir” maka sanadnya dha’if, dan telah bertentangan dengan hadits dari
‘Aisyah yang terdapat dalam shahihain (Bukhari dan Muslim).” (Fathul
Bari, 4/253) Imam Al Haitsami
juga mengatakan: Dhaif. Lihat Majma’ Az Zawaid, 3/ 172)
Demikian keadaan shalat Tarawih pada masa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa
Sallam masih hidup.
Tarawih Pada masa Sahabat Radhiallahu
‘Anhum dan generasi setelahnya
Pada masa sahabat, khususnya sejak masa khalifah Umar bin Al Khathab Radhilallahu
‘Anhu dan seterusnya, manusia saat itu melaksanakan shalat tarawih dua
puluh rakaat.
وصح أن الناس كانوا يصلون
على عهد عمر وعثمان وعلي عشرين ركعة، وهو رأي جمهور الفقهاء من الحنفية والحنابلة
وداود، قال الترمذي: وأكثر أهل العلم على ما روي عن عمر وعلي وغيرهما من أصحاب
النبي صلى الله عليه وسلم عشرين ركعة، وهو قول الثوري وابن المبارك والشافعي، وقال:
هكذا أدركت الناس بمكة يصلون عشرين ركعة
“Dan telah shah, bahwa manusia shalat pada masa Umar, Utsman, dan Ali sebanyak
20 rakaat, dan itulah pendapat jumhur (mayoritas) ahli fiqih dari kalangan
Hanafi, Hambali, dan Daud. Berkata At Tirmidzi: ‘Kebanyakan ulama berpendapat
seperti yang diriwayatkan dari Umar dan Ali, dan selain keduanya dari kalangan
sahabat nabi yakni sebanyak 20 rakaat. Itulah pendapat Ats Tsauri, Ibnul
Mubarak. Berkata Asy Syafi’i: “Demikianlah, aku melihat manusia di Mekkah
mereka shalat 20 rakaat.” (Syaikh Sayyid Sabiq, Fiqhus Sunnah, 1/206
Imam Ibnu Hajar menyebutkan:
وَعَنْ يَزِيد بْن رُومَانَ قَالَ
" كَانَ النَّاس يَقُومُونَ فِي زَمَانِ عُمَر بِثَلَاثٍ وَعِشْرِينَ "
وَرَوَى مُحَمَّد بْن نَصْر مِنْ طَرِيق عَطَاء قَالَ " أَدْرَكْتهمْ فِي
رَمَضَان يُصَلُّونَ عِشْرِينَ رَكْعَة وَثَلَاثَ رَكَعَاتِ الْوِتْر "
“Dari Yazid bin Ruman, dia berkata: “Dahulu
manusia pada zaman Umar melakukan 23 rakaat.” Dan Muhammad bin Nashr
meriwayatkan dari Atha’, dia berkata: “Aku berjumpa dengan mereka pada bulan
Ramadhan, mereka shalat 20 rakaat dan tiga rakaat witir.” (Fathul Bari, 4/253)
Beliau melanjutkan:
وَرَوَى مُحَمَّد اِبْن
نَصْر مِنْ طَرِيق دَاوُدَ بْن قَيْس قَالَ " أَدْرَكْت النَّاس فِي إِمَارَة
أَبَانَ بْن عُثْمَان وَعُمْر بْن عَبْد الْعَزِيز - يَعْنِي بِالْمَدِينَةِ -
يَقُومُونَ بِسِتٍّ وَثَلَاثِينَ رَكْعَةً وَيُوتِرُونَ بِثَلَاثٍ " وَقَالَ
مَالِك هُوَ الْأَمْرُ الْقَدِيمُ عِنْدَنَا . وَعَنْ الزَّعْفَرَانِيِّ عَنْ
الشَّافِعِيِّ " رَأَيْت النَّاس يَقُومُونَ بِالْمَدِينَةِ بِتِسْعٍ
وَثَلَاثِينَ وَبِمَكَّة بِثَلَاثٍ وَعِشْرِينَ ، وَلَيْسَ فِي شَيْء مِنْ ذَلِكَ
ضِيقٌ "
Muhammad bin Nashr meriwayatkan dari jalur Daud bin Qais, dia berkata: “Aku
menjumpai manusia pada masa pemerintahan Aban bin Utsman dan Umar bin Abdul
Aziz –yakni di Madinah- mereka shalat 39 rakaat dan ditambah witir tiga
rakaat.” Imam Malik berkata,”Menurut saya itu adalah perkara yang sudah lama.”
Dari Az Za’farani, dari Asy Syafi’i: “Aku melihat manusia shalat di Madinah 39
rakaat, dan 23 di Mekkah, dan ini adalah masalah yang lapang.” (Ibid)
Sementara itu, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah ketika mengomentari tarawih-nya Ubay bin Ka’ab yang
20 rakaat, beliau berkata:
فَرَأَى كَثِيرٌ مِنْ
الْعُلَمَاءِ أَنَّ ذَلِكَ هُوَ السُّنَّةُ ؛ لِأَنَّهُ أَقَامَهُ بَيْن
الْمُهَاجِرِينَ وَالْأَنْصَارِ وَلَمْ يُنْكِرْهُ مُنْكِرٌ . وَاسْتَحَبَّ
آخَرُونَ : تِسْعَةً وَثَلَاثِينَ رَكْعَةً ؛ بِنَاءً عَلَى أَنَّهُ عَمَلُ أَهْلِ
الْمَدِينَةِ الْقَدِيمِ .
“Kebanyakan ulama berpendapat bahwa itu adalah sunah, karena itu ditegakkan di
antara kaum Muhajirin dan Anshar dan tidak ada yang mengingkarinya. Sedangkan
ulama lainnya menyunnahkan 39 rakaat, lantaran itu adalah perbuatan penduduk
Madinah yang telah lampau.” (Majmu’ Al Fatawa, 23/112)
Lalu, yang lebih baik dari semua ini? Imam Ibnu
Taimiyah berkata:
وَالصَّوَابُ أَنَّ
ذَلِكَ جَمِيعَهُ حَسَنٌ كَمَا قَدْ نَصَّ عَلَى ذَلِكَ الْإِمَامُ أَحْمَد رَضِيَ
اللَّهُ عَنْه
“Yang benar adalah bahwa itu semua adalah baik, sebagaimana yang telah
dikatakan oleh Imam Ahmad Radhiallahu ‘Anhu.” (Ibid). Semoga Allah merahmati Imam IbnuTaimiyah.
Telah masyhur dalam madzhab Imam Malik adalah 39
rakaat, demikian keterangannya:
وذهب مالك الى أن عددها
ست وثلاثون ركعة غير الوتر.
قال الزرقاني: وذكر ابن
حبان أن التراويح كانت أولا إحدى عشرة ركعة، وكانوا يطيلون القراءة فثقل عليهم
فخففوا القراءة وزادوا في عدد الركعات فكانوا يصلون عشرين ركعة غير الشفع والوتر
بقراءة متوسطة، ثم خففوا القراءة وجعلوا الركعات ستا وثلاثين غير الشفع والوتر،
ومضى الامر على ذلك.
“Dan madzhab Imam Malik adalah 39 rakaat belum termasuk
witir. Berkata Imam Az Zarqani: ‘Ibnu Hibban menyebutkan bahwa shalat Tarawih dahulunya
adalah sebelas rakaat, mereka membaca surat yang panjang dan itu memberatkan
bagi mereka, lalu mereka meringankan bacaan namun menambah rakaat, maka mereka
shalat 20 rakaat belum termasuk witir dengan bacaan yang sedang-sedang,
kemudian mereka meringankan lagi bacaannya dan rakaatnya menjadi 39 rakaat
belum termasuk witir, dan perkara ini telah berlangsung sejak lama.” (Syaikh
Sayyid Sabiq, Fiqhus Sunnah, 1/206, cat kaki no. 2)
Jadi, para imam ini, tidak mempermasalahkan banyak sedikitnya rakaat. Namun
mereka melihat pada esensinya yakni ketenangan dan kekhusyu’an. Jika mereka
ingin membaca surat yang panjang, mereka menyedikitkan jumlah rakaat, jika
mereka memendekkan bacaan, maka mereka memperbanyak jumlah rakaat.
Berkata Imam Asy Syafi’i Radhiallahu ‘Anhu:
إِنْ أَطَالُوا
الْقِيَامَ وَأَقَلُّوا السُّجُودَ فَحَسَنٌ ، وَإِنْ أَكْثَرُوا السُّجُود
وَأَخَفُّوا الْقِرَاءَةَ فَحَسَنٌ ، وَالْأَوَّل أَحَبُّ إِلَيَّ
“Sesungguhnya mereka memanjangkan berdiri dan menyedikitkan sujud maka itu
baik, dan jika mereka memperbanyak sujud dan meringankan bacaan, maka itu juga
baik, dan yang pertama lebih aku sukai.” (Fathul Bari, 4/253)
Demikianlah pandangan bijak
para imam kaum muslimin tentang perbedaan jumlah rakaat tarawih, mereka
memandangnya bukan suatu hal yang saling bertentangan. Tetapi, semuanya benar
dan baik, dan yang terpenting adalah mana yang paling dekat membawa kekhusyuan
dan ketenangan bagi manusianya.
9.
Umrah ketika Ramadhan adalah sebanding pahalanya seperti
haji bersama Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam
Dari Ibnu ‘Abbas
Radhiallahu ‘Anhuma, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam
berkata kepada seorang wanita Anshar bernama Ummu Sinan:
فَإِنَّ عُمْرَةً فِي رَمَضَانَ تَقْضِي حَجَّةً
أَوْ حَجَّةً مَعِي
“Sesungguhnya
Umrah ketika bulan Ramadhan sama dengan memunaikan haji atau haji bersamaku.” (HR.
Bukhari No. 1863, Muslim No. 1256)
10. Menjauhi perbuatan yang merusak puasa
Perbuatan seperti menggunjing (ghibah), adu
domba (namimah), menuruti syahwat (rafats), berjudi, dan berbagai perbuatan fasik lainnya, mesti
dijauhi sejauh-jauhnya agar shaum kita tidak sia-sia.
Dari Abu Hurairah Radhiallahu ‘Anhu, bahwa
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
كَمْ مِنْ صَائِمٍ لَيْسَ لَهُ مِنْ
صِيَامِهِ إِلَّا الْجُوعُ
Betapa banyak orang berpuasa yang tidak mendapatkan apa-apa dari puasanya
kecuali hanya lapar saja. (HR. Ahmad No. 9685, Ibnu Majah No. 1690, Ad
Darimi No. 2720)
Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan: hasan.
(Ta’liq Musnad Ahmad No. 9685), Syaikh Husein Salim Asad mengatakan:
hadits ini shahih. (Sunan Ad Darimi No. 2720. Cet. 1, 1407H.
Darul Kitab Al ‘Arabi, Beirut)
Sekian. Wallahu A’lam
شَهْرُ رَمَضَانَ الَّذِي أُنْزِلَ
فِيهِ الْقُرْآَنُ هُدًى لِلنَّاسِ وَبَيِّنَاتٍ مِنَ الْهُدَى وَالْفُرْقَانِ
(Beberapa
hari yang ditentukan itu ialah) bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya
diturunkan (permulaan) Al Quran sebagai petunjuk bagi manusia dan
penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan
yang bathil). (QS. Al Baqarah (2): 185)
Tepatnya,
Al Quran diturunkan selama dua tahap sebagaimana dikatakan Ibnu ‘Abbas dan Asy
Sya’bi Radhiallahu ‘Anhuma. (Rinciannya
lihat dalam Tafsir Imam Ibnu Jarir Ath Thabari,
Jami’ul Bayan, 24/531-532)
Tahap
pertama, pada malam qadar (Lailatul Qadr) Al Quran diturunkan dalam satu
kesatuan dari Lauh Mahfuzh ke langit dunia. Allah ‘Azza wa Jalla
berfirman:
إِنَّا أَنْزَلْنَاهُ
فِي لَيْلَةِ الْقَدْرِ
“Sesungguhnya
Kami telah menurunkannya (Al Quran) pada Lailatul Qadar (malam kemuliaan).” (QS. Al Qadr (97): 1)
Tahap
kedua diturunkan secara bertahap, sejak 17 Ramadhan, hal ini diterangkan oleh
ayat:
وَاعْلَمُوا
أَنَّمَا غَنِمْتُمْ مِنْ شَيْءٍ فَأَنَّ لِلَّهِ خُمُسَهُ وَلِلرَّسُولِ وَلِذِي الْقُرْبَى
وَالْيَتَامَى وَالْمَسَاكِينِ وَابْنِ السَّبِيلِ إِنْ كُنْتُمْ آَمَنْتُمْ بِاللَّهِ
وَمَا أَنْزَلْنَا عَلَى عَبْدِنَا يَوْمَ الْفُرْقَانِ يَوْمَ الْتَقَى الْجَمْعَانِ
وَاللَّهُ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ
“Ketahuilah, Sesungguhnya
apa saja yang dapat kamu peroleh sebagai rampasan perang, Maka Sesungguhnya
seperlima untuk Allah, rasul, Kerabat rasul, anak-anak yatim, orang-orang
miskin dan ibnussabil, jika kamu beriman kepada Allah dan kepada apa yang
Kami turunkan kepada hamba Kami (Muhammad) di hari Furqaan, Yaitu di hari
bertemunya dua pasukan. dan Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu.” (QS. Al
Anfal (8): 41)
Imam Ibnu Jarir Rahimahullah meriwayatkan demikian:
قال الحسن بن علي بن أبي طالب رضي الله عنه: كانت ليلة "الفرقان يوم
التقى الجمعان"، لسبع عشرة من شهر رمضان.
“Berkata Al Hasan bin Abi
Thalib Radhiallahu ‘Anhu: Adalah ‘malam Al Furqan hari di mana
bertemuanya dua pasukan’ terjadi pada 17 Ramadhan.” (Jami’ Al Bayan,
13/562. Muasasah Ar Risalah)
No comments:
Post a Comment