Assalamu
‘Alaikum, Wr.Wb. Apa hukumnya akhawat (muslimah) yang sedang haid
berdiam di dalam masjid? (Tri Noviantoro - Depok)
Jawab:
Wa’alaikum Salam Wr Wb.
Bismillahirrahmanirrahim wal hamdulillah wash
shalatu was salamu ‘ala rasulillah, wa ba’du:
Masalah ini adalah masalah
khilafiyah, yang sudah lama menjadi bahan silang pendapat di antara ulama.
Secara garis besar mereka terbagi menjadi dua kelompok, ada yang mengharamkan
wanita haid berdiam di mesjid (kecuali sekedar lewat), ada pula yang mengatakan
boleh dan tak ada larangan asalkan berwudhu. Namun demikian Allah Ta’ala
berfirman:
Kemudian jika kamu
berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al
Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan
hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya. (QS. An Nisa (4): 59)
Kita akan lihat dalil
masing-masing kelompok, sebagai berikut:
1. Alasan yang Mengharamkan kecuali sekedar lewat
saja
Kelompok ini yakni madzhab
Abu Hanifah, Malik, dan Asy Syafi’i, memiliki beberapa dalil untuk menguatkan
pendapat mereka. Yaitu:
A. Firman Allah Ta’ala:
“Hai orang-orang yang
beriman, janganlah kamu shalat, sedang kamu dalam keadaan mabuk, sampai kamu
mengerti apa yang kamu ucapkan, dan jangan pula bagii yang sedang dalam keadaan
junub, terkecuali sekedar lewat saja, hingga kamu mandi. Dan jika kamu sakit
atau sedang dalam musafir atau datang dari tempat buang air atau kamu telah
menyentuh perempuan, kemudian kamu tidak mendapat air, maka bertayamumlah kamu
dengan tanah yang baik (suci); sapulah mukamu dan tanganmu. Sesungguhnya Allah
Maha Pemaaf lagi Maha Pengampun.” (QS.An Nisa (4): 43).
Tentang ayat di atas, Imam
Ibnu Katsir Rahimahullah[1] berkata:
ينهى تعالى عباده المؤمنين عن
فعل الصلاة في حال السُّكْرِ، الذي لا يدري معه المصلي ما يقول، وعن قربان محلها
-وهي المساجد-للجُنُب، إلا أن يكون مجتازا من باب إلى باب من غير مُكْثٍ وقد كان
هذا قبل تحريم الخمر
“Allah Ta’ala melarang hambanya orang-orang
beriman melakukan shalat dalam keadaan mabuk, yang membuatnya selagi shalat
tidak memahami apa yang sedang diucapkan, begitu pula dilarang mendekati tempat
shalat –yakni mesjid- kecuali sekedar melintas saja, dari pintu menuju pintu,
bukan untuk berdiam, ayat ini turun sebelum diharamkannya khamr.”[2]
Selanjutnya, katanya:
عن ابن عباس في قوله: { وَلا جُنُبًا
إِلا عَابِرِي سَبِيلٍ حَتَّى تَغْتَسِلُوا } قال: لا تدخلوا المسجد وأنتم جنب إلا
عابري سبيل، قال: تمر به مرًّا ولا تجلس. ثم قال: ورُوي عن عبد الله بن مسعود،
وأنس، وأبي عُبَيْدَةَ، وسعيد بن المُسَيَّبِ، وأبي الضُّحَى، وعطاء، ومُجَاهد،
ومسروق، وإبراهيم النَّخَعي، وزيد بن أسلم، وأبي مالك، وعَمْرو بن دينار، والحكم
بن عُتَيْبَة وعِكْرِمَة، والحسن البصري،
ويَحْيَى بن سعيد الأنصاري، وابن شهاب، وقتادَة، نحوُ ذلك.
Berkata Ibnu ‘Abbas
tentang firman Allah Ta’ala ‘Dan jangan pula bagi yang sedang dalam keadaan
junub, kecuali sekedar lewat saja,’ yaitu jangan kamu masuk ke mesjid dalam
keadaan junub, kecuali hanya sekedar lewat saja. Dia berkata: sekali lewat saja
tidak duduk. Ini juga diriwayatkan dari Abdullah bin Mas’ud, Anas, Abu Ubaidah,
Said bin al Musayyab, Abu adh Dhuha, Atha’, Masruq. Mujahid, ‘Ikrimah, Ibrahim
an Nakha’i, Ibnu Syihab, Zaid bin Aslam, Abu Malik, Amru bin Dinar, Al Hakam
bin Utaibah, Yahya bin Said, Qatadah, dan lain-lain. [3]
Imam Ibnu Katsir Rahimahullah
berkata:
ومن هذه الآية احتج كثير من
الأئمة على أنه يحرم على الجنب اللبث في المسجد، ويجوز له المرور، وكذا الحائض
والنفساء أيضًا في معناه
“Dari ayat ini, para imam
berhujjah bahwa diharamkannya orang yang junub berdiam di mesjid, kecuali
sekedar melewati, begitu pula bagi wanita haid dan nifas, pada dasarnya sama.” (Ibid, Juz. 2, hal. 311)
Sebagian ulama salaf
menafsiri bahwa maksud kalimat,‘Dan jangan pula bagi yang sedang dalam
keadaan junub, kecuali sekedar lewat saja,’ adalah kecuali sekedar lewat
untuk keluar darinya (mesjid).
Dari Abu Ubaidah bin
Abdullah, dari ayahnya (yakni Ibnu Mas’ud), dia berkata: “yaitu lewat di
mesjid.”
Dari Qatadah, dari Sa’id,
tentang orang junub: “yaitu sekedar lewat di mesjid hanya berdiri, tidak duduk,
dan bukan dengan berwudhu.”
Dari Ibnu Abbas: “Tidak
mengapa bagi orang yang junub dan haid untuk melewati saja, selama dia tidak
duduk di dalamnya (mesjid).”
Dari
Abu Az Zubeir, dia berkata: “Salah seorang di antara kami ada yang junub lalu
dia melewati mesjid.”
Dari
Al Hasan, dia berkata: “Orang junub melewati mesjid, tanpa duduk di dalamnya.”
Dari
Ibrahim, dia berkata: “Jika dia tidak menemukan jalan lain, kecuali mesjid,
maka hendaknya dia sekedar lewat di dalamnya.” Dari dia juga, “Jika seorang
junub, tidak mengapa dia melewati mesjid, jika memang tidak ada jalan lain.”
Dari
Said bin Jubeir, dia berkata: “Orang junub hanya melewati mesjid, tidak boleh
duduk di dalamnya.” Dan yang serupa juga diriwayatkan oleh Ikrimah, Ibnu Syihab
Az Zuhri, dan lan-lain. [4]
Imam
Ibnu Jarir dan Imam Ibnu Katsir juga mendukung pendapat ini. Dan Imam Ibnu
Katsir berkata:
وقوله: { حَتَّى تَغْتَسِلُوا
} دليل لما ذهب إليه الأئمة الثلاثة: أبو حنيفة ومالك والشافعي: أنه يحرم على
الجنب المكث في المسجدِ حتى يغتسل أو يتيمم، إن عدم الماء، أو لم يقدر على
استعماله بطريقة. وذهب الإمام أحمد إلى أنه متى توضأ الجنب جاز له المكث في المسجدِ،
لما روى هو وسعيد بن منصور في سننه بإسناد صحيح: أن الصحابة كانوا يفعلون ذلك
FirmanNya:
“hingga kalian mandi,” merupakan dalil bagi tiga Imam, yakni Abu Hanifah, Malik
dan Syafi’i bahwa haram bagi seorang yang junub berdiam di mesjid, sampi dia
mandi atau tayamum, jika tidak ditemukan air. Jika tidak maka cukup untuk
melewati saja. Sedangkan madzhab Imam Ahmad, baginya jika seorang junub
berwudhu maka baginya boleh diam dimesjid, sebagaimana riwayat dari Said bin
Manshur dalam Sunannya dengan sanad yang shahih bahwa para sahabat nabi
melakukan hal tersebut. [5]
B. Hadits-Hadits
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam
Hadits pertama:
عَنْ
عَائِشَةَ قَالَتْ قَالَ لِي رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
نَاوِلِينِي الْخُمْرَةَ مِنْ الْمَسْجِدِ قَالَتْ فَقُلْتُ إِنِّي حَائِضٌ
فَقَالَ إِنَّ حَيْضَتَكِ لَيْسَتْ فِي يَدِكِ
Dari ‘Aisyah, dia berkata:
Berkata kepadaku Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam: “Ambilkan
untukku khumrah (kain penutup kepala) dari mesjid.” ‘Aisyah berkata, “Aku
menjawab: “Sesungguhnya aku sedang haid.” Beliau bersabda: “Sesungguhnya haidmu
bukan di tanganmu.” [6]
Hadits tersebut
menunjukkan bahwa jika sekedar lewat, yakni mengambil barang saja tanpa duduk
atau berdiam, tidaklah mengapa. Penegasan ‘Aisyah, “Sesungguhnya aku sedang
haid.” Merupakan dalil yang menunjukkan kelaziman saat itu bahwa wanita haid
tidak boleh masuk mesjid. Jika boleh, tentu ‘Aisyah langsung mengambil khumrah
tersebut, tanpa harus memberitahu Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bahwa
beliau sedang haid.
Hadits kedua:
Dari ‘Aisyah, bahwa
Rasulullah Shallalalhu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
إني لا أحلّ المسجد لحائض ولا
جنبٍ
“Sesungguhnya aku, tidak
halalkan mesjid untuk wanita haid dan orang junub.” [7]
Hadits ketiga:
عن أبي سعيد الخُدري قال: قال
رسول الله صلى الله عليه وسلم: يا علي، لا يحل لأحد أن يُجْنب في هذا المسجد غيري
وغيرك
Dari Abu Said al Khudri,
dia berkata, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
“Wahai Ali, tidak dihalalkan bagi seseorang yang junub terhadap mesjid ini,
selainku dan selainmu.”[9]
Demikianlah dalil-dalil
yang digunakan oleh kelompok imam madzhab yang mengharamkan wanita haid (juga
nifas dan orang junub) berdiam di mesjid, kecuali sekedar lewat saja.
2. Alasan Kelompok yang membolehkannya (asalkan
dia berwudhu)
Ini adalah pendapat dari
Imam Ahmad bin Hambal, Imam Ibnu Hazm,
Imam Al Khathabi, dan sebagian para sahabat nabi, dan ulama salaf.
Mereka beralasan:
A. Firman Allah Ta’ala
Mereka beralasan dengan
ayat yang sama dengan kelompok yang mengharamkan (QS.An Nisa (4): 43). Bagi
mereka ayat tersebut tidak ada kaitannya dengan mesjid, melainkan tentang orang
yang safar (bepergian) yang sedang mengalami junub dan tidak mendapatkan air.
Faktanya, secara lahiriyah, ayat tersebut memang tidak menyebut-nyebut mesjid.
Silahkan lihat ayat tersebut dan terjemahannya.
Dari Ali bin Abi Thalib
dia berkata tentang ayat, ‘Dan jangan pula bagi yang sedang dalam keadaan
junub, kecuali sekedar lewat saja,’ artinya janganlah dia mendekati shalat,
kecuali jika dia musafir yang mengalami janabah, dia tidak menemukan air, maka
shalatlah ketika sudah menemukan air (untuk mandi).” [10]
Imam Abu
Ja’far bin Jarir ath Thabari telah memaparkan dalam tafsirnya, keterangan dari para
salaf bahwa maksud ayat itu adalah
tentang safar dan musafir, yang tidak menemukan air, maka boleh baginya tayamum.
Contohnya:
Dari Ibnu Abbas tentang
firmanNya ‘Dan jangan pula bagi yang sedang dalam keadaan junub, kecuali
sekedar lewat saja,’ dia berkata: “Musafir.” Ibnu Al Mutsanna berkata:
“tentang safar.”
Dari Ali bin Abi Thalib:
“Jika kalian musafir, dan tidak menemukan air, maka tayamumlah.”
Dari Said bin Jubair:
“Musafir.”
Dari Mujahid: “Musafir,
jika dia tidak menemukan air, maka dia bertayamum dan shalat ketika tiba
waktunya.”
Dari Hasan bin Muslim:
“Jika ia musafir, dan tidak menemukan air, maka tayamumlah.”
Dari Al Hakam: “Musafir
yang mengalami junub, jika ia tidak menemukan air maka hendaknya dia tayamum.”
Dari Abdullah bin Katsir:
“Dahulu kami mendengar bahwa ayat itu tentang safar.”
Dari Ibnu Zaid: “Itu
adalah musafir yang tidak menemukan air, maka wajib baginya bertayamum dan
shalat.” Dia berkata: “Ayahku juga berkata demikian.” [11]
B. Dalil dari Hadits-Hadits Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam
Kelompok yang membolehkan
juga menggunakan dalil yang digunakan kelompok yang mengharamkan.
Hadits pertama:
عَنْ عَائِشَةَ
قَالَتْ
قَالَ لِي رَسُولُ
اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَاوِلِينِي الْخُمْرَةَ مِنْ
الْمَسْجِدِ قَالَتْ فَقُلْتُ إِنِّي حَائِضٌ فَقَالَ إِنَّ حَيْضَتَكِ لَيْسَتْ
فِي يَدِكِ
Dari ‘Aisyah, dia berkata:
Berkata kepadaku Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam: “Ambilkan
untukku khumrah (kain penutup kepala) dari mesjid.” ‘Aisyah berkata, “Aku
menjawab: “Sesungguhnya aku sedang haid.” Beliau bersabda: “Sesungguhnya haidmu
bukan di tanganmu.” [12]
Menurut kelompok ini,
hadits ini jelas-jelas membolehkan seseorang yang haid untuk masuk ke mesjid,
bahkan Rasulullah sendiri yang memerintahkan, sebagai bantahan bagi
kekhawatiran ‘Aisyah yang terkesan enggan ke mesjid karena haid. Adapun, alasan
kelompok yang mengharamkan, bahwa hadits ini hanya membolehkan sekedar lewat
saja, adalah tidak benar. Sebab, saat itu memang keperluannya hanya untuk
mengambil khumrah yang tidak membutuhkan waktu lama. Tidak
berarti hal itu, bermakna jika lebih lama dari itu atau berdiam di dalamnya
adalah haram. Sebab
memang dilakukan sesuai keperluan saja. Wallahu A’lam
Hadits kedua:
Dari ‘Aisyah bahwa
Rasulullah Shallalalhu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
إني لا أحلّ المسجد لحائض ولا
جنبٍ
“Sesungguhnya aku, tidak
halalkan mesjid untuk wanita haid dan orang junub.” [13]
Hadits ini dishahihkan
oleh Imam Ibnu Khuzaimah. [14]
Menurut kelompok yang
membolehkan, hadits ini tidak bisa dijadikan hujjah, sebab dhaif
(lemah).
Imam Abu Muslim Al
Khathabi berkata: “Jamaah (Ahli hadits) mendhaifkan hadits ini.” Mereka
berkata: Aflat (salah seorang rawi)
adalah majhul (tidak dikenal).” [15]
Dalam kitab Tahdzibut
Tahdzib disebutkan:
وقال ابن حزم افلت غير
مشهور ولا معروف بالثقة وحديثه هذا باطل.
وقال البغوي في شرح
السنة ضعيف أحمد هذا الحديث لان راويه افلت وهو مجهول.
“Berkata Ibnu Hazm, Aflat ini tidaklah terkenal dan tidak diketahui
ketsiqahannya (kredibelitasnya), dan haditsnya ini batil. Al Baghawi[16] berkata dalam Syarhus
Sunnah, bahwa Imam Ahmad mendhaifkan hadits ini karena periwayatnya yang bernama Aflat, dan dia itu majhul
(tidak dikenal identitasnya).” [17]
Hadits ketiga:
عن أبي سعيد الخُدري قال: قال
رسول الله صلى الله عليه وسلم: يا علي، لا يحل لأحد أن يُجْنب في هذا المسجد غيري وغيرك
Dari Abu Said al Khudri,
dia berkata, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
“Wahai Ali, tidak dihalalkan bagi seseorang yang junub terhadap mesjid ini,
selainku dan selainmu.”[18]
Menurut kelompok yang
membolehkan, hadits ini juga tidak bisa dijadikan dalil sebab kedhaifannya.
Berkata Imam Ibnu Katsir: “Ini hadits dhaif,
tidak kuat. Karena Salim (bin Abi Hafshah, perawi hadits ini) adalah seorang
yang matruk (ditinggalkan haditsnya). Sedangkan gurunya, yakni ‘Athiyah,
juga dhaif. Wallahu A’lam.[19]
Syaikh Al Albany
mengatakan hadits tersebut dhaif (lemah). [20]
Hadits keempat:
Banyak riwayat yang
menyebutkan bahwa para sahabat ketika masih muda, mereka tidur di mesjid,
bahkan ada beberapa sahabat memang tinggal di pelataran mesjid. Mereka disebut Ash habus Shuffah atau Ahlus
Shuffah. Padahal jika mereka tidur di
mesjid, dan bertempat tinggal di sana , maka hari-hari junub mereka
karena mimpi basah, pasti mereka alami di dalam mesjid. Jikalau memang haram,
pasti mereka sudah diminta keluar atau kesadaran mereka sendiri. Namun, tidak
ada riwayat tentang hal itu.
Dari
Ibnu Umar, dia berkata: “Pada zaman Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam:
“Kami tidur di mesjid.
Saat itu kami masih muda.” [21]
Syaikh Sayyid Sabiq
berkata, “Berkata Imam An Nawawi, “Dari sini jelaslah, bahwa Ash Habus
Shufah, para sahabat yang tinggal di mesjid, Ali, Shafwan bin Umayyah, dan
segolongan sahabat nabi yang lainnya, mereka pernah tidur di dalam mesjid.
Bahkan Tsumamah sebelum masuk Islam juga pernah tidur di mesjid. Semua itu
terjadi di masa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam.”
Dalam Al Umm,
Imam Asy Syafi’i berkata: “Jika orang musyrik saja diperkenankan tidur di dalam
mesjid, apa lagi seorang muslim.”
Di dalam kitab Al
Muhktashar dijelaskan, “Tidak apa-apa orang musyrik tidur di mesjid
manapun, kecuali Masjidil Haram.” [22]
Nah, orang musyrik, mereka
tidak akan pernah mandi wajib, wudhu, atau tayamum, artinya mereka tidak pernah
lepas dari junub. Ternyata mereka boleh masuk ke masjid, tentunya seorang
muslim lebih boleh lagi ke mesjid walau haid atau junub.
Sementara Imam Ibnu Hazm
Rahimahullah berkata:
وجائز للحائض والنفساء أن
يتزوجا وأن يدخلا المسجد وكذلك الجنب، لانه لم يأت نهى عن شئ من
ذلك، وقد قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: (المؤمن لا ينجس) وقد كان أهل الصفة
يبيتون في المسجد بحضرة رسول الله صلى الله عليه وسلم، وهم جماعة كثيرة ولا شك في
أن فيهم من يحتلم، فما نهوا قط عن ذلك
“Dan dibolehkan bagi
wanita haid dan nifas untuk nikah, dan masuk ke dalam mesjid, begitu pula bagi
orang yang junub. Karena tidak ada satu pun dalil yang melarangnya. Rasulullah Shallallahu
‘Alaihi wa Sallam telah bersabda: “Orang beriman tidaklah najis.” Para Ahlush
Shufah bermalam di mesjid pada masa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa
Sallam, mereka adalah kelompok dalam jumlah yang banyak dan tidak diragukan
lagi bahwa pada mereka ada yang mengalami mimpi basah namun tidak ada yang
melarang mereka bermalam di sana.” [23]
3. Dalil Perilaku
Para Sahabat dan Fakta Sejarah
لما روى هو وسعيد بن منصور في سننه بإسناد صحيح: أن
الصحابة كانوا يفعلون ذلك
Diriwayatkan
oleh Said bin Manshur dalam Sunannya dengan sanad yang shahih, bahwa para sahabat berdiam
mesjid walau junub, tetapi mereka berwudhu dulu. [24]
عن عطاء بن يَسَار قال: رأيت
رجالا من أصحاب رسول الله صلى الله عليه
وسلم يجلسون في المسجد وهم مجنبون إذا
توضؤوا وضوء الصلاة.
وهذا
إسناد صحيح على شرط مسلم
‘Atha
bin Yasar berkata: “Aku melihat para laki-laki dari sahabat Rasulullah Shallallahu
‘Alaihi wa Sallam, Jika mereka wudhu seperti wudhu shalat mereka
duduk-duduk di mesjid padahal mereka sedang keadaan junub.” Sanadnya shahih sesuai syarat Imam Muslim. [25]
Imam
Bukhari juga meriwayatkan tentang seorang wanita yang diberi tempat tinggal
oleh Rasulullah berupa kemah di dalam mesjidnya, ia tinggal di sana hingga
wafatnya. Tentunya wanita tersebut ketika haid, akan melewati hari-hari haidnya
di dalam mesjid sebab ia tinggal di sana . Ini adalah dalil yang sangat kuat
bagi mereka yang meyakini kebolehannya. Ibnu Ishaq dalam Sirahnya menceritakan
bahwa utusan Bani Najran –beragama Nasrani- datang menemui Rasulullah Shallallahu
‘Alaihi wa Sallam di mesjid setelah shalat Ashar. Maka tibalah waktu ibadah
mereka, lantas mereka sembahyang di mesjid rasulullah. Manusia hendak
menecegahnya, tetapi Rasulullah bersabda; “Biarkanlah mereka!” Lantas mereka
menghadap Timur dan memulai ibadah mereka.
Imam
Ibnul Qayyim mengomentari dalam Zaadul Ma’ad-nya, bahwa
dibolehkan Ahli kitab masuk ke masjid kaum muslimin …. Dan mereka bisa
beribadah di dalamnya, jika terjadi tidak direncanakan dan bukan kebiasaan.”
Kita
tahu bahwa Ahli Kitab tidak mungkin suci, karena mereka tidak pernah mandi
junub. Penerimaan Rasulullah terhadap mereka di mesjid merupakan bukti kuat
kebolehannya. Jika mereka saja dibolehkan, maka apalagi bagi umat Islam, walau
sedang haid dan junub. Dilihat di sisi keadilan Islam pun, tidak adil jika
seorang muslimah dilarang masuk ke mesjid hanya karena haid, sementara orang
kafir boleh. Demikian
argumen kelompok ini.
Dan
Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albani Rahimahullah juga menyatakan
kebolehannya, dengan sebab bara’atul ashliyah (kembali ke hukum asal
segala sesuatu yakni boleh), lantaran tak satu pun dalil yang shahih dan sharih
(jelas) yang menyatakan larangannya.
Demikianlah, dua kelompok
ini dengan argumen masing-masing. Semoga bisa diambil
pelajaran, dan pembaca bisa menyimpulkannya. Wallahu A’lam
[1] Dia adalah ‘Imaduddin Abul
Fida ‘Ismail bin ‘Amru Al Bashri. Lahir
di Bashrah tahun 700H. Setelah ayahnya wafat, pindah ke Damaskus dengan
saudaranya tahun 706H. Di sana dia berguru kepada Al Amidi, Ibnu Taimiyah,
bahkan dia ikut disiksa lantaran kesertaannya dengan Ibnu Taimiyah. Dia adalah
ulama tsiqat, mutqin (teliti), yang sangat pawai dalam tafsir,
hadits, sejarah, dan fiqih. Karyanya yang terkenal adalah Tafsir Al Quran Al
‘Azhim, Bidayah wan Nihayah, dan lainnya. Wafat di Damaskus (Siria) tahun
774H.
[2]
Imam Ibnu Katsir, Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim,
Juz. 2, Hal. 308. Darut Thayyibah linnasyr wa Tauzi’. Cet. 2, 1999M/1420H.
tahqiq: Sami bin Muhamamd Salamah.
[4]
Imam Abu Ja’far Ibnu
Jarir Ath Thabari, Jami’ul Bayan fi Ta’wilil Qur’an, Juz. 8, Hal.
382-384. Cet. 1, 2000M/1420H. Mu’asasah ar Risalah. Tahqiq: Ahmad Muhammad
Syakir.
[5] Imam Ibnu Katsir, Tafsir Al Qur’an
Al Azhim, Juz. 2, hal. 313. Daruth Thayyibah Lin Nasyr wat
Tauzi’
[6]
HR. Muslim, Juz. 2, Hal. 162, No hadits. 450, di
hadits no 452, bukannya khumrah tetapi tsaub (baju). Sunan Abu
Daud, Juz 1, Hal. 332, No hadits. 28. Sunan At Tirmidzi, Juz. 1, Hal. 227, No
hadits. 124. Sunan An Nasa’i, Juz. 1, Hal. 445, No hadits. 270, riwayat ini
juga disebut tsaub. Sunan Ibnu Majah, Juz. 2, Hal. 293, No hadits. 624. Musnad
Ahmad, Juz. 11, Hal. 162, No hadits. 5126. Al Maktabah Asy Syamilah
[7]
HR. Abu Daud, Juz. 1, Hal. 294, No hadits. 201. Al
Baihaqi, As Sunan Al Kubra, Juz.
2, Hal. 442. Shahih Ibnu Khuzaimah, Juz. 5, Hal. 136, No hadits. 1263. Ma’rifatus
Sunan wa Atsar Lil Baihaqi, Juz. 4, Hal. 126, No hadits. 1376. Al Maktabah
Asy Syamilah
[8]
Imam Ibnu Hajar al Asqalani, Bulughul Maram min Adillatil Ahkam, Hal. 29, Bab al Ghusli wa Hukmi
al Junubi, No hadits 104. Cet.1, 2004M/1425H. Darul Kutub al Islamiyah. Tahqiq:
Syaikh ‘Idrus bin Al ‘Idrus dan Syaikh ‘Ali bin Abi Bakar as Saqqaf
[9]
HR. At Tirmidzi, Juz. 12, Hal. 190. No hadits. 3661.
Kata Imam At Tirmidzi hadits ini hasan gharib, tidak dikenal jalurnya
kecuali dari jalan ini. Al Baihaqi, As Sunan Al Kubra, Juz. 7, Hal. 66. Al Maktabah Asy Syamilah
[10]
Imam Ibnu Katsir, Tafsir Al Qur’an Al Azhim,
Juz. 2, Hal. 312. Daruth Thayyibah Lin Nasyr wat Tauzi’
[11]
Imam Abu Ja’far Ibnu Jarir Ath Thabari, Jami’ul
Bayan fi Ta’wilil Qur’an, Juz. 8, hal. 380-382. Cet. 1, 2000M/1420H.
Mu’assah Ar Risalah. Tahqiq: Ahmad Muhammad Syakir.
[12]
HR. Muslim, Juz. 2, Hal. 162, No hadits. 450, di
hadits no 452, bukannya khumrah tetapi tsaub (baju). Sunan Abu
Daud, Juz 1, Hal. 332, No hadits. 28. Sunan At Tirmidzi, Juz. 1, Hal. 227, No
hadits. 124. Sunan An Nasa’i, Juz. 1, Hal. 445, No hadits. 270, riwayat ini
juga disebukan tsaub. Sunan Ibnu Majah, Juz. 2, Hal. 293, No hadits.
624. Musnad Ahmad, Juz. 11, Hal. 162, No hadits. 5126. Al Maktabah Asy Syamilah
[13]
HR. Abu Daud, Juz. 1, Hal. 294, No hadits. 201. As
Sunan Al Kubra Lil Baihaqi, Juz. 2, Hal. 442. Shahih Ibnu Khuzaimah, Juz.
5, Hal. 136, No hadits. 1263. Ma’rifatus Sunan wa Atsar Lil Baihaqi,
Juz. 4, Hal. 126, No hadits. 1376. Al Maktabah Asy Syamilah
[14]
Imam Ibnu Hajar, Bulughul Maram min Adillatil
Ahkam, Hal. 29, Bab al Ghusli wa Hukmi al Junubi, No hadits 104.
Cet.1, 2004M/1425H. Darul Kutub al Islamiyah. Tahqiq: Syaikh ‘Idrus bin Al
‘Idrus dan ‘Ali bin Abi Bakar as Saqqaf
[15]
Imam Ibnu Katsir, Tafsir Al Qur’an Al Azhim,
Juz. 2, Hal. 312. Daruth Thayyibah Lin Nasyr wat Tauzi’
[16] Dia adalah Al Husein bin Mas’ud bin
Muhammad bin Al Farra’ Al Baghawi Asy Syafi’i. Lahir di Khurasan 436H (1045M).
Dia dijuluki ‘tiang agama’ dan ‘penghidup sunah’. Ia ahli dalam bidang hadits,
tafsir, dan fiqih, bermadzhab Syafi’i, zuhud, qana’ah, imam pada zamannya.
Berguru kepada Al Qadhi Husein bin Muhammad Asy Syafi’i, Abu Umar Abdul Wahid Al Mahili, dan
lainnya. Kitabnya yang terkenal adalah Ma’alimut
Tanzil, Al Mashabih, At Tahdzib fi Fiqhi Asy Syafi’iyah, dan lainnya. Wafat
di Khurasan tahun 510H (1117M).
[17]
Imam Ibnu Hajar, Tahdzibut Tahdzib, Juz. 1,
Hal. 320. Cet.1, 1984M/1404H. Darul Fikri. Libanon.
[18] .HR. At
Tirmidzi, Juz. 12, Hal. 190. No hadits. 3661. Kata At Tirmidzi hadits ini
hasan gharib, tidak dikenal jalurnya kecuali dari jalan ini. As Sunan Al
Kubra Lil Baihaqi, Juz. 7, Hal. 66. Al Maktabah Asy Syamilah
[20]
Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albani, Shahih wa
Dhaif Sunan At Tirmidzi, Juz. 8, Hal. 227.
Markaz Nur Al Islam Li Abhats Al Qur’an was Sunnah, Iskandariah. Al Maktabah
Asy Syamilah
[21]
HR. Ibnu Majah, Juz. 2, Hal. 461, No hadits. 743.
Ahmad, Juz. 9, Hal. 414, No hadits. 4378. Al Maktabah Asy Syamilah
[22]
Syaikh Sayyid Sabiq, Fiqhus
Sunnah, Jilid. 1, Hal. 213. Cet.5, 1971M/1391H. Darul Fikr. Beirut
[23]
Imam Ibnu Hazm, Al Muhalla, Juz. 1, Hal. 184.
Al Maktabah Asy Syamilah
[24]
Imam Ibnu Katsir, Tafsir Al Qur’an
Al Azhim, Juz. 2, Hal. 313. Daruth Thayyibah Lin Nasyr wat Tauzi’
No comments:
Post a Comment