Pertanyaan:
Assalamu ‘Alaikum, Ust. Mau nanya berhubung bulan
depan Idul Adha, boleh tidak qurban atas nama orang tua yang sudah meninggal?
Jazakallah. (082156137xxx)
Jawaban:
Wa
‘Alaikum Salam wa Rahmatullah wa Barakatuh.
Bismillah wal Hamdulillah wash
Shalatu was Salamu ‘ala Rasulillah wa ba’d:
Semoga
Allah Ta’ala memberikan keistiqamahan kepada Anda dan kita semua …
Tentang amal shalih orang hidup, apakah bermanfaat
buat mayat? Imam Al Bahuti mengatakan:
قَالَ أَحْمَدُ : الْمَيِّتُ يَصِلُ إلَيْهِ كُلُّ شَيْءٍ مِنْ الْخَيْرِ
مِنْ صَدَقَةٍ أَوْ صَلَاةٍ أَوْ غَيْرِهِ لِلْأَخْبَارِ .
Imam
Ahmad berkata: bahwa semua bentuk amal
shalih dapat sampai kepada mayit baik berupa doa,
sedekah, dan amal shalih lainnya, karena adanya riwayat tentang itu. [1]
Imam Ibnu Taimiyah Rahimahullah
mengatakan:
الْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ . لَيْسَ فِي الْآيَةِ وَلَا
فِي الْحَدِيثِ أَنَّ الْمَيِّتَ لَا يَنْتَفِعُ بِدُعَاءِ الْخَلْقِ لَهُ وَبِمَا
يُعْمَلُ عَنْهُ مِنْ الْبِرِّ بَلْ أَئِمَّةُ الْإِسْلَامِ مُتَّفِقُونَ عَلَى
انْتِفَاعِ الْمَيِّتِ بِذَلِكَ وَهَذَا مِمَّا يُعْلَمُ بِالِاضْطِرَارِ مِنْ
دِينِ الْإِسْلَامِ وَقَدْ دَلَّ عَلَيْهِ الْكِتَابُ وَالسُّنَّةُ وَالْإِجْمَاعُ
فَمَنْ خَالَفَ ذَلِكَ كَانَ مِنْ أَهْلِ الْبِدَعِ .
“Segala puji bagi Allah. Tidak ada
dalam ayat, dan tidak pula dalam hadits, yang mengatakan bahwa ‘Tidak
Bermanfaat’ doa seorang hamba bagi mayit, dan juga amal perbuatan yang
diperuntukkannya berupa amal kebaikan, bahkan para imam Islam sepakat
hal itu bermanfaat bagi mayit, hal ini sudah ketahui secara pasti dalam agama
Islam, hal itu telah ditunjukkan oleh Al Quran, As Sunnah, dan ijma’. Barang siapa
yang menyelesihinya, maka dia adalah ahli bid’ah.” [2]
Beliau juga berkata:
وَالْأَئِمَّةُ اتَّفَقُوا عَلَى أَنَّ الصَّدَقَةَ تَصِلُ إلَى
الْمَيِّتِ وَكَذَلِكَ الْعِبَادَاتُ الْمَالِيَّةُ : كَالْعِتْقِ
“Para imam telah sepakat bahwa sedekah akan sampai kepada mayit, demikian juga
ibadah maaliyah (harta), seperti membebaskan budak.” [3]
Dan,
qurban termasuk ibadah maaliyah.
Imam Ibnu Qudamah Rahimahullah
mengatakan:
أَيَّ قُرْبَةٍ فَعَلَهَا الإِْنْسَانُ وَجَعَل ثَوَابَهَا
لِلْمَيِّتِ الْمُسْلِمِ نَفَعَهُ ذَلِكَ إِنْ شَاءَ اللَّهُ تَعَالَى :
كَالدُّعَاءِ وَالاِسْتِغْفَارِ ، وَالصَّدَقَةِ وَالْوَاجِبَاتِ الَّتِي
تَدْخُلُهَا النِّيَابَةُ
“Amal apa pun demi mendekatkan diri kepada Allah yang dilakukan oleh manusia
dan menjadikan pahalanya untuk mayit seorang muslim, maka hal itu membawa
manfaat bagi mayit itu, Insya Allah, seperti: doa, istighfar, sedekah, dan berbagai
kewajiban yang bisa diwakilkan.” [4]
Kelompok yang membolehkan berdalil:
1.
Diqiyaskan
dengan amalan orang hidup yang sampai kepada orang yang sudah wafat, seperti
doa, sedekah, dan haji.
2.
Ibadah
maaliyah (harta) bisa diniatkan untuk orang yang sudah wafat seperti
sedekah, dan berqurban jelas-jelas ibadah maaliyah.
3.
Hadits
Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam mengisyaratkan bahwa qurban untuk
orang yang sudah wafat adalah boleh dan pahalanya sampai, Insya Allah.
Dari ‘Aisyah Radhiallahu ‘Anha:
قَالَ
بِاسْمِ اللَّهِ اللَّهُمَّ تَقَبَّلْ مِنْ مُحَمَّدٍ وَآلِ مُحَمَّدٍ وَمِنْ
أُمَّةِ مُحَمَّدٍ ثُمَّ ضَحَّى بِهِ
‘Nabi
mengucapkan: “Bismillahi Allahumma taqabbal min Muhammadin wa min ummati Muhamamdin (Dengan Nama Allah,
Ya Allah terimalah Kurban dari Muhammad dan umat Muhammad),” lalu beliau
pun menyembelih.” [5]
Nabi
Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam mendoakan agar qurban dari Beliau, dan
umatnya diterima Allah Ta’ala. Hadits ini menyebut “umat Muhammad” secara umum,
tidak dikhususkan untuk yang masih hidup saja. Sebab, “umat Muhammad” ada yang
masih hidup dan yang sudah wafat. Pendapat yang membolehkan ini adalah pendapat
mayoritas ulama.
Sebenarnya,
telah terjadi perbedaan pandangan para ulama tentang berqurban untuk orang yang
sudah wafat. Mayoritas – Hanafiyah, Malikiyah, dan Hanabilah- membolehkannya,
sedangkan Syafi’iyah tidak membolehkan kecuali jika si mayit bernadzar atau
berwasiat. Berikut ini rinciannya:
إِذَا أَوْصَى الْمَيِّتُ بِالتَّضْحِيَةِ عَنْهُ ، أَوْ وَقَفَ وَقْفًا
لِذَلِكَ جَازَ بِالاِتِّفَاقِ . فَإِنْ كَانَتْ وَاجِبَةً بِالنَّذْرِ وَغَيْرِهِ
وَجَبَ عَلَى الْوَارِثِ إِنْفَاذُ ذَلِكَ . أَمَّا إِذَا لَمْ يُوصِ بِهَا فَأَرَادَ الْوَارِثُ أَوْ غَيْرُهُ أَنْ يُضَحِّيَ عَنْهُ مِنْ مَال
نَفْسِهِ ، فَذَهَبَ الْحَنَفِيَّةُ وَالْمَالِكِيَّةُ وَالْحَنَابِلَةُ إِلَى جَوَازِ
التَّضْحِيَةِ عَنْهُ ، إِلاَّ أَنَّ الْمَالِكِيَّةَ أَجَازُوا ذَلِكَ مَعَ الْكَرَاهَةِ
. وَإِنَّمَا أَجَازُوهُ لأَِنَّ الْمَوْتَ لاَ يَمْنَعُ التَّقَرُّبَ عَنِ الْمَيِّتِ
كَمَا فِي الصَّدَقَةِ وَالْحَجِّ .
وَقَدْ صَحَّ أَنَّ رَسُول اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
ضَحَّى بِكَبْشَيْنِ أَحَدُهُمَا عَنْ نَفْسِهِ ، وَالآْخَرُ عَمَّنْ لَمْ يُضَحِّ
مِنْ أُمَّتِهِ . وَعَلَى هَذَا لَوِ اشْتَرَكَ سَبْعَةٌ فِي بَدَنَةٍ فَمَاتَ
أَحَدُهُمْ قَبْل الذَّبْحِ ، فَقَال وَرَثَتُهُ - وَكَانُوا بَالِغِينَ - اذْبَحُوا
عَنْهُ ، جَازَ ذَلِكَ . وَذَهَبَ الشَّافِعِيَّةُ إِلَى أَنَّ الذَّبْحَ عَنِ الْمَيِّتِ
لاَ يَجُوزُ بِغَيْرِ وَصِيَّةٍ أَوْ وَقْفٍ .
Jika seseorang berwasiat untuk
berkurban atau berwaqaf untuk itu, maka dibolehkan berkurban baginya menurut
kesepakatan ulama. Jika dia memiliki kewajiban karena nazar atau selainnya,
maka ahli warisnya wajib melaksanakannya. Ada pun jika dia tidak berwasiat, dan
ahli waris dan selainnya nya hendak berkurban untuknya dari hartanya sendiri,
maka menurut Hanafiyah, Malikiyah, dan Hanabilah, membolehkan berkurban
untuknya, hanya saja Malikiyah membolehkan dengan kemakruhan. Mereka
membolehkan karena kematian tidaklah membuat mayit terhalang mendekatkan diri
kepada Allah Ta’ala sebagaimana sedekah dan haji.
Telah shahih bahwa Nabi Shallallahu
‘Alaihi wa Sallam berkurban dengan dua kambing kibas, satu untuk dirinya
dan satu untuk umatnya yang belum berkurban. Atas dasar ini, seandainya tujuh
orang berpartisipasi dalam kurban Unta, lalu salah seorang ada yang wafat
sebelum penyembelihan. Lalu ahli warisnya mengatakan –dan mereka sudah baligh-
: sembelihlah untuknya, maka itu boleh. Sedangkan kalangan Syafi’iyah
berpendapat tidak boleh berkurban untuk mayit
tanpa diwasiatkan dan waqaf. [6]
Demikian. Wallahu A’lam
Wa
Shallallahu ‘Ala NAbiyyina Muhammadin wa ‘ala Aalihi wa Ashhabihi ajma’in ……….
[6] Al Bada’i Shana’i, 5/72. Hasyiyah Ibnu Abidin, 5/214. Hasyiyah Ad Dasuqi, 2/122, 123.
Hasyiyah Al Bujirumi ‘alal Minhaj, 4/300. Nihayatul Muhtaj, 8/136. Al Mughni
‘Alal Asy Syarh Al Kabir, 11/107. Muthalib Ulin Nuha, 2/472
No comments:
Post a Comment