- Definisi
Al Aqsha
Secara bahasa (etimologis) Al
Aqsha bermakna Al Ab’ad (yang paling jauh), maksimum, atau puncak.
Secara istilah
(terminologis), berkata Imam Ibnu Hajar Al Asqalani Rahimahullah:
يَعْنِي مَسْجِد بَيْت الْمَقْدِس ، وَقِيلَ لَهُ الْأَقْصَى
لِبُعْدِ الْمَسَافَة بَيْنه وَبَيْن الْكَعْبَة ، وَقِيلَ لِأَنَّهُ لَمْ يَكُنْ
وَرَاءَهُ مَوْضِع عِبَادَة ، وَقِيلَ لِبُعْدِهِ عَنْ الْأَقْذَار وَالْخَبَائِث
، وَالْمَقْدِس الْمُطَهَّر عَنْ ذَلِكَ .
“Yakni masjid baitul maqdis,
dikatakan pula baginya Al Aqsha, karena jauhnya jarak antara dia dengan Ka’bah.
Dikatakan pula, karena dibelakangnya tidak ada tempat ibadah lainnya. Dikatakan
juga, karena dia jauh dari kotoran dan kekejian, dan Al Maqdis merupakan
pensuci dari hal itu.” (Fathul Bari, 6/408. Darul Fikr. Lihat juga
Imam Asy Syaukani, Fathul Qadir, 4/280. Mawqi’ Ruh Al Islam)
- Masjid
Tertua Kedua Setelah Masjidil Haram
Abu Dzar Radhiallahu ‘Anhu
bertanya kepada Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam:
يَا رَسُولَ اللَّهِ أَيُّ مَسْجِدٍ وُضِعَ فِي الْأَرْضِ أَوَّلَ
قَالَ الْمَسْجِدُ الْحَرَامُ قَالَ قُلْتُ ثُمَّ أَيٌّ قَالَ الْمَسْجِدُ
الْأَقْصَى قُلْتُ كَمْ كَانَ بَيْنَهُمَا قَالَ أَرْبَعُونَ سَنَةً
“Wahai Rasulullah,
masjid apa yang dibangun pertama kali di muka bumi?” Beliau menjawab: “Masjidil
Haram.” Aku (Abu Dzar) berkata: “lalu apa lagi?” Beliau menjawab: “Masjidi
Aqsha.” Aku bertanya lagi: “berapa lama jarak keduanya?” Beliau menjawab:
“empat puluh tahun.” (HR. Bukhari No. 3186, Muslim No. 520, Ibnu Majah No.
753, Ibnu Hibban No. 1598, 6228, Al Baihaqi dalam As Sunan Al Kubra No.
4061, Ibnu Khuzaimah No. 787)
Yang dimaksud adalah
fondasi dari kedua masjid itu. Sebab jika makna keduanya adalah masjid yang
utuh, maka ada musykil. Berkata Imam Ibnul Jauzi:
فيه إشكال، لأن إبراهيم بنى الكعبة وسليمان بنى بيت المقدس وبينهما
أكثر من ألف سنة انتهى
“Dalam hadits ini terdapat musykil, karena Ibrahim membangun
Ka’bah dan Sulaiman membangun Baitul Maqdis, padahal antara keduanya
terpaut jarak lebih dari seribu tahun. Selesai.” (Fathul Bari,
6/408)
Ya, karena memang dibeberapa riwayat shahih disebutkan bahwa Nabi Ibrahim
membangun Ka’bah dan Nabi Sulaiman yang membangun Masjidil Aqsha. Maka, hadits
di atas harus dipahami bahwa yang dibangun saat itu adalah
fondasinya. Kemusykilan ini dijawab oleh Imam Ibnu Al Jauzi dengan
jawaban yang memuaskan. Katanya:
وجوابه أن الإشارة إلى أول البناء ووضع أساس المسجد وليس إبراهيم أول
من بنى الكعبة ولا سليمان أول من بنى بيت المقدس، فقد روينا أن أول من بنى الكعبة
آدم ثم انتشر ولده في الأرض، فجائز أن يكون بعضهم قد وضع بيت المقدس ثم بنى
إبراهيم الكعبة بنص القرآن
“Jawabannya adalah bahwa isyaratnya menunjukkan yang dibangun adalah fondasinya
masjid, Ibrahim bukanlah yang pertama membangun Ka’bah, dan Sulaiman bukanlah
yang pertama kali membangun Baitul Maqdis. Kami telah meriwayatkan bahwa yang
pertama kali membangun Ka’bah adalah Adam, kemudian anak-anaknya menyebar di
muka bumi. Maka, boleh saja sebagian mereka membangun Baitul Maqdis, kemudian
Ibrahim yang menbangun Al Quran menurut Nash Al Quran. “ (Ibid)
Imam Al Qurthubi Rahimahullah juga mengatakan hal yang sama:
وكذا قال القرطبي: إن الحديث لا يدل على أن إبراهيم وسليمان لما بنيا
المسجدين ابتدا وضعهما لهما، بل ذلك تجديد لما كان أسسه غيرهما.
Demikian juga yang
dikatakan oleh Al Qurthubi: sesungguhnya hadits ini tidaklah menunjukkan bahwa
Ibrahim dan Sulaiman ketika mereka berdua membangun dua
masjid sebagai yang mengawali, tetapi mereka hanya memperbarui apa-apa yang
telah difondasikan oleh selain mereka berdua.” (Ibid)
- Masjid
Al Aqsha Termasuk Tiga Masjid Yang Paling Dianjurkan Dikunjungi
Dari Abu Hurairah Radhiallahu
‘Anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
لَا تُشَدُّ الرِّحَالُ إِلَّا إِلَى ثَلَاثَةِ مَسَاجِدَ
الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ وَمَسْجِدِ الرَّسُولِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
وَمَسْجِدِ الْأَقْصَى
“Janganlah bertekad kuat
untuk melakukan perjalanan kecuali menuju tiga masjid: Masjidil Haram, Masjid
Rasul Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, dan Masjidil Aqsha.” (HR.
Bukhari No. 1132, 1139, Muslim No. 1338, Ibnu Majah No. 1409, 1410, Al Baihaqi
dalam As Sunan Al Kubra No. 19920)
Maksudnya adalah
berkunjung untuk berniat shalat, janganlah terlalu bertekad kecuali ke tiga
masjid ini. Ada pun sekedar, kunjungan biasa, silaturrahim, maka tentu tidak
mengapa mengunjungi selain tiga masjid ini; seperti mengunjungi orang shalih,
silaturrahim ke rumah saudara dan family, ziarah kubur, mengunjungi ulama,
mendatangi majelis ilmu, berdagang, dan perjalanan kebaikan lainnya.
Berkata Al Hafizh Ibnu
Hajar Rahimahullah:
أن النهي مخصوص بمن نذر على نفسه الصلاة في مسجد من سائر المساجد غير
الثلاثة فإنه لا يجب الوفاء به قاله ابن بطال.
“Bahwa larangan
dikhususkan bagi orang yang bernazar atas dirinya untuk shalat di masjid
selain tiga masjid ini, maka tidak wajib memenuhi nazar tersebut, sebagaimana
dikatakan Ibnu Baththal.” (Fathul Bari, 3/65)
Imam Al Khathabi Rahimahullah
mengatakan:
وأنه لا تشد الرحال إلى مسجد من
المساجد للصلاة فيه غير هذه الثلاثة؛ وأما قصد غير المساجد لزيارة صالح أو قريب أو
صاحب أو طلب علم أو تجارة أو نزهة فلا يدخل في النهي، ويؤيده ما روى أحمد من طريق
شهر بن حوشب قال: سمعت أبا سعيد وذكرت عنده الصلاة في الطور فقال: قال رسول الله
صلى الله عليه وسلم: "لا ينبغي للمصلي أن يشد رحاله إلى مسجد تبتغى فيه
الصلاة غير المسجد الحرام والمسجد الأقصى ومسجدي"
“Bahwa sesungguhnya
janganlah bertekad kuat mengadakan perjalanan menuju masjid untuk shalat di
dalamnya selain tiga masjid ini. Ada pun bermaksud selain masjid-masjid ini
untuk berziarah kepada orang shalih, kerabat, sahabat, menuntut ilmu,
berdagang, atau berwisata, maka tidaklah termasuk dalam larangan. Hal yang
menguatkan ini adalah apa yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad dari jalan Syahr
bin Hausyab, dia berkata: aku mendengar Abu Said, dan aku menyebutkan padanya
tentang shalat di Ath thur, dia berkata: “Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa
Sallam bersabda: “Hendaknya janganlah orang yang shalat itu
bersungguh-sungguh mengadakan perjalanan untuk shalat menuju masjid selain
Masjidil Haram, Masjid Al Aqsha, dan masjidku (Masjid nabawi).” (Ibid)
- Shalat
Di Dalamnya Bernilai Ratusan kali di masjid lain, kecuali Masjidil
Haram dan Masjid An Nabawi
Sebenarnya ada beberapa
riwayat yang berlainan berkenaan keutamaan shalat di dalamnya, ada yang
menyebut 1000 kali, 500 kali, dan 250 kali lebih utama dibanding masjid biasa.
Dari Abu Dzar Radhiallahu
‘Anhu, ketika kami sedang berada di sisi Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi
wa Sallam, kami bertanya: “Lebih utama mana, shalat di masjid Rasulullah
atau di masjid Al Aqsha?”
Beliau bersabda:
صلاة في مسجدي هذا أفضل من أربع صلوات فيه
“Shalat di masjidku ini
lebih utama empat kali lipat dibanding shalat di dalam masjidil Aqsha.” (HR.
Al Hakim 4/509. Katanya: isnadnya shahih, dan disepakati oleh Adz Dzahabi)
Ini menunjukkan, shalat
di masjid Al Aqsha adalah ¼ kali nilainya shalat di Masjid Nabawi. Jika Masjid
Nabawi bernilai 1000 kali shalat di masjid biasa, maka nilai shalat di masjid
Al Aqsha adalah 250 kali shalat di masjid biasa.
Sementara dalam
riwayat Maimunah disebutkan bahwa shalat di Masjid Al Aqsha sama dengan 1000
shalat di masjid biasa, ada pun dalam riwayat Abu Darda disebutkan 500 kali
lipat. Syaikh Al Albani Rahimahullah mengatakan:
فيقال : إن الله سبحانه وتعالى جعل فضيلة الصلاة في الأقصى
مائتين وخمسين صلاة أولا ثم أوصلها إلى الخمسمائة ثم إلى الألف فضلا منه تعالى على
عباده ورحمة . والله تعالى أعلم بحقيقة الحال
“Maka disebutkan: Sesungguhnya Allah Ta’ala pada awalnya menjadikan
fadhilah shalat di Al Aqsha adalah 250 kali, kemudian menaikkannya menjadi 500
kali, kemudian menjadi 1000 kali, sebagai keutamaan dan rahmat dariNya untuk
hamba-hambaNya. Allah Yang Maha Tahu hakikat keadaannya.” (Syaikh Al
Albani, Ats tsamar Al Mustathab fi Fiqhis Sunnah wal Kitab, Hal. 549.
Cet. 1, Ghiras Lin Nasyr wat Tauzi’)
- Masjidil
Aqsha dan Sekitarnya Adalah Diberkahi
Allah Ta’ala berfirman:
سُبْحَانَ الذى أسرى بِعَبْدِهِ لَيْلاً مّنَ المسجد الحرام إلى
المسجد الاقصى الذى بَارَكْنَا حَوْلَهُ لِنُرِيَهُ مِنْ ءاياتنا إنَّهُ هُوَ
السميع البصير
“Maha suci Allah, yang telah
memperjalankan hamba-Nya pada suatu malam dari Al Masjidil Haram ke Al Masjidil
Aqsha yang telah Kami berkahi sekelilingnya agar Kami perlihatkan kepadanya
sebagian dari tanda-tanda (kebesaran) kami. Sesungguhnya Dia adalah Maha
mendengar lagi Maha mengetahui.” (QS. Al Isra’ (17): 1)
Berkata Imam Ali Asy
Syaukani Rahimahullah tentang makna “telah Kami berkahi
sekelilingnya”:
بالثمار والأنهار والأنبياء والصالحين ، فقد بارك الله سبحانه حول
المسجد الأقصى ببركات الدنيا والآخرة
“Dengan buah-buahan, sungai, para
nabi dan shalihin, maka Allah Subhanahu wa Ta’ala telah memberikan
keberkahan di sekitar masjid Al Aqsha dengan keberkahan dunia dan akhirat.” (Imam
Asy Syaukani, Fathul Qadir, 4/280. Mawqi’ Ruh Al Islam)
- Tempat
Terjadinya Peristiwa Isra
Surat Al Isra ayat pertama di atas
menunjukkan bahwa Al Aqsha –bersama Masjidil Haram- merupakan tempat
terjadinya peristiwa Isra (perjalanan di malam hari). Hal ini
menunjukkan kedudukannya yang tinggi sehingga dia dipilih sebagai tujuan
dari Isra di dunia, dan titik tolak terjadinya Mi’raj ke langit tujuh.
Ada pun tentang Isra’ Mi’raj,
benarkah peristiwa ini terjadi pada bulan Rajab? Atau tepatnya 27 Rajab? Jawab:
Wallahu A’lam. Sebab, tidak ada kesepakatan para ulama hadits dan para
sejarawan muslim tentang kapan peristiwa ini terjadi, ada yang menyebutnya
Rajab, dikatakan Rabiul Akhir, dan dikatakan pula Ramadhan atau Syawal. (Imam
Ibnu Hajar, Fathul Bari, 7/242-243)
Imam Ibnu Rajab Al
Hambali mengatakan, bahwa banyak ulama yang melemahkan pendapat bahwa
peristiwa Isra terjadi pada bulan Rajab, sedangkan Ibrahim Al Harbi dan lainnya
mengatakan itu terjadi pada Rabi'ul Awal. (Ibid Hal. 95).
Beliau juga berkata:
و قد روي: أنه في شهر رجب حوادث عظيمة ولم يصح شيء من ذلك فروي: أن
النبي صلى الله عليه وسلم ولد في أول ليلة منه وأنه بعث في السابع والعشرين منه
وقيل: في الخامس والعشرين ولا يصح شيء من ذلك وروى بإسناد لا يصح عن القاسم بن
محمد: أن الإسراء بالنبي
صلى الله عليه وسلم كان في سابع وعشرين من رجب وانكر ذلك إبراهيم الحربي وغيره
"Telah diriwayatkan bahwa pada
bulan Rajab banyak terjadi peristiwa agung dan itu tidak ada yang shahih satu
pun. Diriwayatkan bahwa Nabi Shallallahu 'Alaihi wa Sallam dilahirkan
pada awal malam bulan itu, dan dia diutus pada malam 27-nya, ada juga yang
mengatakan pada malam ke-25, ini pun tak ada yang shahih. Diriwayatkan pula
dengan sanad yang tidak shahih dari Al Qasim bin Muhammad bahwa peristiwa
Isra-nya Nabi Shallallahu 'Alaihi wa Sallam terjadi pada malam ke-27
Rajab, dan ini diingkari oleh Ibrahim Al Harbi dan lainnya." (Lathaif
Al Ma'arif Hal. 121. Mawqi' Ruh Al Islam)
Sementara, Imam Ibnu Hajar mengutip
dari Ibnu Dihyah, bahwa: “Hal itu adalah dusta.” (Tabyinul ‘Ajab
hal. 6). Imam Ibnu Taimiyah juga menyatakan peristiwa Isra’ Mi’raj tidak
diketahui secara pasti, baik tanggal, bulan, dan semua riwayat tentang ini
terputus dan berbeda-beda.
- Kiblat
Pertama Umat Islam
Allah Ta’ala berfirman:
سَيَقُولُ السُّفَهَاءُ مِنَ النَّاسِ مَا وَلاهُمْ عَنْ
قِبْلَتِهِمُ الَّتِي كَانُوا عَلَيْهَا قُلْ لِلَّهِ الْمَشْرِقُ وَالْمَغْرِبُ
يَهْدِي مَنْ يَشَاءُ إِلَى صِرَاطٍ مُسْتَقِيمٍ (142) وَكَذَلِكَ جَعَلْنَاكُمْ أُمَّةً وَسَطًا لِتَكُونُوا
شُهَدَاءَ عَلَى النَّاسِ وَيَكُونَ الرَّسُولُ عَلَيْكُمْ شَهِيدًا وَمَا
جَعَلْنَا الْقِبْلَةَ الَّتِي كُنْتَ عَلَيْهَا إِلا لِنَعْلَمَ مَنْ يَتَّبِعُ
الرَّسُولَ مِمَّنْ يَنْقَلِبُ عَلَى عَقِبَيْهِ وَإِنْ كَانَتْ لَكَبِيرَةً إِلا
عَلَى الَّذِينَ هَدَى اللَّهُ وَمَا كَانَ اللَّهُ لِيُضِيعَ إِيمَانَكُمْ إِنَّ
اللَّهَ بِالنَّاسِ لَرَءُوفٌ رَحِيمٌ (143) قَدْ نَرَى تَقَلُّبَ وَجْهِكَ
فِي السَّمَاءِ فَلَنُوَلِّيَنَّكَ قِبْلَةً تَرْضَاهَا فَوَلِّ وَجْهَكَ شَطْرَ
الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ وَحَيْثُمَا كُنْتُمْ فَوَلُّوا وُجُوهَكُمْ شَطْرَهُ
وَإِنَّ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ لَيَعْلَمُونَ أَنَّهُ الْحَقُّ مِنْ
رَبِّهِمْ وَمَا اللَّهُ بِغَافِلٍ عَمَّا يَعْمَلُونَ (144)
Orang-orang yang kurang akalnya
diantara manusia akan berkata: "Apakah yang memalingkan
mereka (umat Islam) dari kiblatnya (Baitul Maqdis) yang dahulu mereka telah
berkiblat kepadanya?" Katakanlah: "Kepunyaan Allah-lah timur dan
barat; Dia memberi petunjuk kepada siapa yang dikehendaki-Nya ke jalan yang
lurus.” Dan demikian (pula) Kami telah menjadikan kamu (umat Islam), umat yang
adil dan pilihan agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan)
manusia dan agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kamu. Dan Kami
tidak menetapkan kiblat yang menjadi kiblatmu (sekarang) melainkan agar Kami
mengetahui (supaya nyata) siapa yang mengikuti Rasul dan siapa yang membelot.
Dan sungguh (pemindahan kiblat) itu terasa amat berat, kecuali bagi orang-orang
yang telah diberi petunjuk oleh Allah; dan Allah tidak akan menyia-nyiakan
imanmu. Sesungguhnya Allah Maha Pengasih lagi Maha Penyayang kepada manusia.
Sungguh Kami (sering) melihat mukamu menengadah ke langit ,
maka sungguh Kami akan memalingkan kamu ke kiblat yang kamu sukai. Palingkanlah
mukamu ke arah Masjidil Haram. Dan dimana saja kamu berada, palingkanlah mukamu
ke arahnya. Dan sesungguhnya orang-orang (Yahudi dan Nasrani) yang diberi Al
Kitab (Taurat dan Injil) memang mengetahui, bahwa berpaling ke Masjidil Haram
itu adalah benar dari Tuhannya; dan Allah sekali-kali tidak lengah dari apa
yang mereka kerjakan. (QS. Al Baqarah (2): 142-144)
Imam Bukhari meriwayatkan bahwa
Baitul Maqdis telah menjadi kiblat selama 16 atau 17 bulan lamanya. (HR.
Bukhari No. 4488)
Ada beberapa hikmah dari ayat-ayat tahwilul
qiblah di atas:
1.
Ujian Keimanan dan Ketaatan untuk kaum mukminin (para sahabat saat itu).
2.
Simbol persatuan dan kebersamaan seluruh kaum muslimin.
3.
Keseragaman arah ibadah kaum muslimin
Imam Ibnu Katsir Rahimahullah
mengatakan:
إنما شرعنا لك -يا محمد -التوجه أولا إلى بيت المقدس، ثم صرفناك عنها
إلى الكعبة، ليظهر حالُ من يَتَّبعك ويُطيعك ويستقبل معك حيثما توجهتَ مِمَّن
ينقلب على عَقبَيْه، أي: مُرْتَدّاً عن دينه
“Sesungguhnya syariat kami untukmu –wahai Muhammad- pertama-tamanya
adalah mengarah ke Baitul Maqdis, kemudian merubahmu darinya kearah
Ka’bah, untuk menampakkan/memenangkan keadaan orang yang
mengikutimu, mentaatimu, dan berkiblat bersamamu di mana saja kamu
menghadap, terhadap orang-orang yang murtad dari agamanya.” (Tafsir Al
Quran Al ‘Azhim, 1/457. Dar Lin Nasyr wat Tauzi’)
Lalu, setelah ini Apa?
Telah diketahui berbagai keutamaan dan kemuliaan Masjid Al
Aqsha. Tulisan ini bukanlah yang pertama (dan mungkin bukan yang terakhir).
Semua sudah diketahui bersama, dan keadaan Al Aqsha saat ini pun sudah diketahui
bersama. Lebih setengah abad lamanya dia berada di bawah cengkraman Zionis
Yahudi. Berkali-kali pula kaum muslimin di usir, dibantai, wanitanya diperkosa,
rumah-rumah dirubuhkan, dan semua ini terlihat jelas di mata dunia, sampai pula
di kamar-kamar kita.
Tidak cukup mengutuk, tidak cukup KTT, dan tidak cukup melakukan kajian-kajian,
harus ada amal nyata, terprogram, dan massiv agar Al Aqsha kembali ke
tangan kaum muslimin. Baik dilakukan oleh pribadi, lembaga, atau negara-negara
muslim. Semuanya tidak boleh tinggal diam atas kewajiban ini. Lakukanlah apa
yang bisa kita lakukan.
Dari Zaid bin Khalid Radhiallahu ‘Anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu
‘Alaihi wa Sallam bersabda:
مَنْ جَهَّزَ غَازِيًا فِي سَبِيلِ اللَّهِ فَقَدْ غَزَا
“Barangsiapa yang membantu persiapan orang yang berjihad, maka dia juga telah
berjihad.” (HR. Bukhari No. 2688)
Rasulullah
Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam telah menetapkan, orang yang
mempertahankan harta pribadi dan membela keluarga adalah syahid, maka apalagi
mempertahankan bumi yang diberkahi ini, milik kaum muslimin -bukan milik
pribadi- dan segudang keutamaan lainnya.
Dari Ibnu Umar Radhiallahu ‘Anhuma, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa
Sallam bersabda:
مَنْ
قُتِلَ دُونَ مَالِهِ فَهُوَ شَهِيدٌ
“Barangsiapa yang dibunuh karena hartanya, maka dia syahid.” (HR. Bukhari
No. 2348, At Tirmidzi No. 1418I, bnu Majah No. 2580, An Nasa’i No. 4087)
Dari Sa’id bin Zaid Radhiallahu ‘Anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu
‘Alaihi wa Sallam bersabda:
مَنْ
قُتِلَ دُونَ مَالِهِ فَهُوَ شَهِيدٌ وَمَنْ قُتِلَ دُونَ دِينِهِ فَهُوَ شَهِيدٌ
وَمَنْ قُتِلَ دُونَ دَمِهِ فَهُوَ شَهِيدٌ وَمَنْ قُتِلَ دُونَ أَهْلِهِ فَهُوَ
شَهِيدٌ
“Barangsiapa yang dibunuh karena hartanya maka dia syahid, barangsiapa dibunuh
karena agamanya maka dia syahid, barangsiapa yang dibunuh karena darahnya maka
dia syahid, barangsiapa yang dibunuh karena membela keluarganya maka dia
syahid.” (HR. At Tirmidzi No. 1421, katanya: hasan shahih, Abu
Daud No. 4772, Syaikh Al Albani menshahihkan di berbagai kitabnya)
Sesungguhnya berperang membela Al Aqsha sudah wajib –semampu yang kita berikan-
bagi kaum muslimin. Berkata Syaikh Sayyid Sabiq Rahimahullah:
متى تشرع الحرب وإذا كانت القاعدة هي السلام، والحرب هي الاستثناء
فلا مسوغ لهذه الحرب - في نظر الاسلام - مهما كانت الظروف، إلا في إحدى حالتين:
(الحالة الاولى) حالة الدفاع عن النفس، والعرض، والمال، والوطن عند الاعتداء. يقول
الله تعالى: " وقاتلوا في سبيل الله الذين يقاتلونكم. ولا تعتدوا إن الله لا
يحب المعتدين ".
“Jika yang menjadi kaidah dasar adalah berdamai (As Salam), sedangkan perang
adalah pengecualian, maka berarti menurut ajaran Islam perang sama sekali tidak
dikenal; dalam keadaan bagaimana pun kecuali pada dua keadaan:
Pertama. Mempertahankan diri,
nama baik, harta dan tanah air ketika diserang musuh, firman Allah ta’ala: “Dan
berperanglah di jalan Allah melawan meraka yang memerangi kamu, janganlah
sekali-kali kamu melampaui batas. Sesungguhnya Allah tidak menyukai
orang-orang yang melampaui batas.” (QS. Al Baqarah (2): 190)”
Lalu, Syaikh Sayyid Sabiq Rahimahullah menambahkan:
(الحالة
الثانية) حالة الدفاع عن الدعوة إلى الله إذا وقف أحد في سبيلها. بتعذيب من آمن
بها، أو بصد من أراد الدخول فيها، أو بمنع الداعي من تبليغها، ودليل ذلك: (أولا)
أن الله سبحانه يقول: " وقاتلوا في سبيل الله الذين يقاتلونكم ولا تعتدوا إن
الله لا يحب المعتدين واقتلوهم حيث ثقفتموهم وأخرجوهم من حيث أخرجوكم والفتنة أشد
من القتل ولا تقاتلوهم عند المسجد الحرام حتى يقاتلوكم فيه، فإن قاتلوكم فاقتلوهم
كذلك جزاء الكافرين - فإن انتهوا فإن الله غفور رحيم - وقاتلوهم حتى لا تكون فتنة
ويكون الدين لله فإن انتهوا فلا عدوان إلا على الظالمين "
“Keadaan Kedua, dalam keadaan mempertahankan dakwah ke jalan Allah. Jika ada
orang yang menghentikan dakwah ini dengan jalan menyiksa orang-orang yang
seharusnya terjamin keamanannya, atau dengan jalan merintangi mereka yang ingin
memeluk ajaran Allah, atau melarang juru dakwah menyampaikan ajaran Allah.
Allah Ta’ala berfirman:
Dan perangilah di jalan Allah
orang-orang yang memerangi kamu, (tetapi) janganlah kamu melampaui batas,
karena sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas. Dan
bunuhlah mereka di mana saja kamu jumpai mereka, dan usirlah mereka dari tempat
mereka telah mengusir kamu (Mekah); dan fitnah itu lebih besar bahayanya dari
pembunuhan, dan janganlah kamu memerangi mereka di Masjidil Haram, kecuali jika
mereka memerangi kamu di tempat itu. Jika mereka memerangi kamu (di tempat
itu), maka bunuhlah mereka. Demikanlah balasan bagi orang-orang kafir. Kemudian
jika mereka berhenti (dari memusuhi kamu), maka sesungguhnya Allah Maha
Pengampun lagi Maha Penyayang. Dan perangilah mereka itu, sehingga tidak ada
fitnah lagi dan (sehingga) ketaatan itu hanya semata-mata untuk Allah. Jika
mereka berhenti (dari memusuhi kamu), maka tidak ada permusuhan (lagi), kecuali
terhadap orang-orang yang zalim. (QS. Al Baqarah (2): 190-194) (Fiqhus
Sunnah, 2/613-614. Dar Al Kitab Al ‘Arabi)
Wallahu
A’lam
No comments:
Post a Comment