Pertanyaan:
Bissmillah.
Assalamu 'alaikum Wr. Wb.
Bang Farid, ane mau tanya ttg Sistem Pembinaan yang dilakukan oleh Jamaah
Tarbiyah (Kader PKS) dan Wahdah Islamiyyah yang menggunakan Sistem Marhalah.
Kata seorang Ustadz yg mengaku sbg Ustadz Salafi katanya kedua fikroh itu
sesat karena menggunakan sistem yang marhalah yang bidah dan tdk sesuai dgn
syariat Islam. Memangnya tdk boleh ya menggunakan Sistem Marhalah kaya gitu? Syukron Katsir. (Irwan Abu Sattar)
Assalamu 'alaikum Wr. Wb.
Bang Farid, ane mau tanya ttg Sistem Pembinaan yang dilakukan oleh Jamaah
Tarbiyah (Kader PKS) dan Wahdah Islamiyyah yang menggunakan Sistem Marhalah.
Kata seorang Ustadz yg mengaku sbg Ustadz Salafi katanya kedua fikroh itu
sesat karena menggunakan sistem yang marhalah yang bidah dan tdk sesuai dgn
syariat Islam. Memangnya tdk boleh ya menggunakan Sistem Marhalah kaya gitu? Syukron Katsir. (Irwan Abu Sattar)
Jawaban:
Wa
‘Alaikum Salam wa Rahmatullah wa Barakatuh. Bismillah wal hamdulillah wash
Shalatu was Salamu ‘Ala Rasulillah wa ba’d:
Menuduh
bid’ah dan sesat bukanlah perkara kecil, sebab ada konsekuensi dosa besar dan
neraka bagi pelakunya. Oleh karena itu, bagi seorang ustadz, muballigh,
mu’allim, dan ulama, hendaknya sangat hati-hati dalam menetapkan hukum bid’ah
dan sesat kepada sesama muslim. Seorang yang mendalam ilmunya, dia akan
mempertimbangkan sebuah masalah dengan penuh perenungan dan hati-hati, tidak
cukup like and dislike hanya karena perkara itu dilakukan oleh bukan
kelompoknya. Hal itu, selain menunjukkan kekacauan manhaj, juga menunjukkan
kelancangan terhadap syariat bagi pelakunya.
Masalah
penetapan jenjang keanggotaan dan marhalah dalam sebuah organisasi
–dalam hal ini penjenjangan yang dilakukan oleh PKS (pemula,
muda, madya, dewasa, ahli, dan purna), ormas Wahdah Islamiyah-
dan wadah pendidikan (tarbiyah); seperti jenjang dalam sekolah dan
kampus (SD, SMP, SMA, S1, S2, S3, i’dad, takmili, syariah, dll) juga
jenjang-jenjang dalam bidang lainnya seperti kepegawaian (eselon 1, eselon 2,
dll), militer (kopral, sersan, hingga jenderal), dan sebagainya, maka itu perkara yang
dilapangkan oleh syariat. Pelevelan mereka
ini biasanya ditentukan oleh lamanya bergabung, prestasi kerja, loyalitas,
kontribusi, bahkan bisa juga usia.
Ada
beberapa alasan yang mendasarinya:
Pertama, ini merupakan perkara
duniawi yang diberikan keluasan kemaafan (ma’fu ‘anhu) oleh syariat
sesuai hajat dan perkembangan zaman. Tak ditemukan satu sisi pun yang bertentangan dengan
syariat.
Rasulullah Shallallahu
‘Alaihi wa Sallam bersabda:
الحلال ما أحل الله في كتابه
والحرام ما حرم الله في كتابه وما سكت عنه فهو مما عفا عنه
“Yang halal adalah apa yang
Allah halalkan dalam kitabNya, yang haram adalah yang Allah haramkan dalam
kitabNya, dan apa saja yang di diamkanNya, maka itu termasuk yang dimaafkan.” (HR. At Tirmidzi No. 1726, katanya: hadits
gharib. Ibnu Majah No. 3367, Ath
Thabarani dalam Al Mu’jam Al Kabir No. 6124. Syaikh Al Albani mengatakan: hasan. Lihat
Shahih wa Dhaif Sunan At Tirmidzi No. 1726. Juga dihasankan oleh Syaikh Baari’ ‘Irfan Taufiq
dalam Shahih Kunuz As sunnah An Nabawiyah, Bab Al Halal wal Haram wal
Manhi ‘Anhu, No. 1 )
Oleh karenanya ada kaidah berbunyi:
والأصل
في العقود والمعاملات الصحة حتى يقوم دليل على البطلان والتحريم
Hukum
asal dalam berbagai perjanjian dan muamalat adalah sah sampai adanya dalil yang
menunjukkan kebatilan dan keharamannya. (I’lamul
Muwaqi’in, 1/344)
Atau yang serupa dengan itu:
أن الأصل في
الأشياء المخلوقة الإباحة حتى يقوم دليل يدل على النقل عن هذا الأصل
Sesungguhnya
hukum asal dari segala ciptaan adalah
mubah, sampai tegaknya dalil yang menunjukkan berubahnya hukum asal ini. (Imam Asy Syaukani, Fathul Qadir, 1/64.
Mawqi’ Ruh Al Islam)
Imam Muhammad bin Abdul Wahhab At Tamimi Rahimahullah juga berkata:
أن كل شيء سكت عنه الشارع فهو عفو لا يحل لأحد أن يحرمه
أو يوجبه أو يستحبه أو يكرهه
“Sesungguhnya segala sesuatu yang didiamkan oleh Syari’ (pembuat
Syariat) maka hal itu dimaafkan, dan tidak boleh bagi seorang pun untuk
mengharamkan, atau mewajibkan, atau menyunnahkan, atau memakruhkan.” (Imam Muhammad At Tamimi, Arba’u Qawaid Taduru al Ahkam ‘Alaiha,
Hal. 3. Maktabah Al Misykah)
Imam Ibnul
Qayyim Rahimahullah mengatakan:
وهو سبحانه لو سكت عن إباحة
ذلك وتحريمه لكان ذلك عفوا لا يجوز الحكم بتحريمه وإبطاله فإن الحلال ما أحله الله
والحرام ما حرمه وما سكت عنه فهو عفو فكل شرط وعقد ومعاملة سكت عنها فإنه لا يجوز
القول بتحريمها فإنه سكت عنها رحمة منه من غير نسيان وإهمال
Dia –Subhanahu wa Ta’ala- seandainya
mendiamkan tentang kebolehan dan keharaman sesuatu, tetapi memaafkan hal itu,
maka tidak boleh menghukuminya dengan haram dan membatalkannya, karena halal
adalah apa-apa yang Allah halalkan, dan haram adalah apa-apa yang Allah haramkan,
dan apa-apa yang Dia diamkan maka itu dimaafkan. Jadi, semua syarat,
perjanjian, dan muamalah yang didiamkan oleh syariat, maka tidak boleh
mengatakannya haram, karena mendiamkan hal itu merupakan kasih sayang dariNya,
bukan karena lupa dan membiarkannya. (I’lamul Muwaqi’in, 1/344-345)
Sedangkan,
dalam perkara ta’abudiyah (peribadatan) barulah didahului dengan adanya
dalil-dalil syara’, baik secara global
atau/dan terperinci.
Oleh karena itu Syaikhul Islam Ibnu
Taimiyah Rahimahullah mengatakan:
فَلَيْسَ لِأَحَدِ أَنْ يَعْبُدَ اللَّهَ إلَّا بِمَا شَرَعَهُ
رَسُولُهُ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِنْ وَاجِبٍ وَمُسْتَحَبٍّ لَا
يَعْبُدُهُ بِالْأُمُورِ الْمُبْتَدَعَةِ
“Maka, tidak boleh bagi seorang pun menyembah Allah kecuali dengan apa-apa yang
telah disyariatkan oleh RasulNya Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, baik
berupa kewajiban atau sunah, serta tidak menyembahNya dengan perkara-perkara
yang baru (Al Umur Al Mubtadi’ah) .” (Majmu’ Fatawa, 1/12.
Mawqi’ Al Islam)
Murid beliau, Imam Ibnul Qayyim Rahimahullah
mengatakan:
...أنه لا واجب إلا ما أوجبه
الله ولا حرام إلا ما حرمه الله ولا دينا إلا ما شرعه الله
“ ... sesungguhnya tidak ada kewajiban kecuali
sesuatu yang diwajibkan oleh Allah, dan tidak ada keharaman kecuali sesuatu
yang diharamkan Allah, dan tidak ada agama kecuali yang Allah syariatkan. (I’lamul
Muwaqi’in, 1/344)
Beliau juga mengatakan:
...أن الله سبحانه لا يعبد إلا
بما شرعه على ألسنة رسله فإن العبادة حقه على عباده
“ ... sesungguhnya Allah Ta’ala tidaklah disembah
kecuali dengan apa-apa yang disyariatkanNya melalui lisan para RasulNya, karena
ibadah adalah hakNya atas hambaNya .. (Ibid)
Kedua, para ulama
Islam telah menyebutkan tentang penggolongan para sahabat sesuai level mereka
masing-masing. Pelevelan ini menunjukkan
perbedaan keutamaan, disebabkan oleh
usia keislamanannya, peran sertanya dalam hijrah dan jihad, dan sebagainya.
Bahkan secara umum Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam menyebutkan tiga
zaman terbaik, yakni manusia zamannya (para sahabat), lalu setelahnya (tabi’in),
dan setelahnya lagi (tabi’ut tabi’in). Hal ini sebagaimana terekam dalam
hadits,
Dari Abdullah bin Mas’ud Radhiallahu ‘Anhu,
bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
خَيْرُ النَّاسِ قَرْنِي ثُمَّ الَّذِينَ
يَلُونَهُمْ ثُمَّ الَّذِينَ يَلُونَهُمْ
“Sebaik-baik manusia adalah zamanku, dan kemudian
setelahnya, dan kemudian setelahnya.” (HR. Bukhari No. 2509, 3451, 6065,
6282. Muslim No. 2533. At Tirmidzi No. 2320, dari Imran bin Al Hushain)
Manusia zaman nabi tentunya adalah para sahabat Nabi Shallallahu
‘Alaihi wa Sallam. Imam An Nawawi Rahimahullah menerangkan:
الصحيح أن قرنه صلى الله عليه وسلم والصحابة، والثاني التابعون، والثالث
تابعوهم
“Yang benar adalah bahwa manusia terbaik adalah zaman Rasulullah Shallallahu
‘Alaihi wa Sallam dan sahabat, kedua tabi’in, ketiga adalah orang-orang
yang mengikuti mereka.” (Syarh Shahih Muslim, Bab Fadhlush Shahabah,
No. 4603. Mausu’ah Syuruh Al Hadits)
Berkata Syaikh Abdurrahman Al Mubarakfuri:
قوله: "خير الناس قرني" أي أهل قرني. قال الحافظ والمراد بقرن النبي
صلى الله عليه وسلم في هذا الحديث الصحابة
“Sabdanya: Sebaik-baik manusia adalah zamanku, yaitu yang
hidup pada zamanku. Berkata Al Hafizh (Ibnu Hajar), yang dimaksud pada
zaman Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dalam hadits ini adalah sahabat
nabi.” (Syaikh Abdurrahman Al Mubarakfuri, Tuhfah Al Ahwadzi, 6/469.
Al Maktabah As Salafiyah. Madinah Al Munawarah)
Kita simak
penuturan Imam An Nawawi Rahimahullah
berikut
ini:
وَاتَّفَقَ أَهْل السُّنَّة عَلَى أَنَّ أَفْضَلهمْ أَبُو بَكْر ، ثُمَّ عُمَر
. قَالَ جُمْهُورهمْ : ثُمَّ عُثْمَان ، ثُمَّ عَلِيّ . وَقَالَ بَعْض أَهْل
السُّنَّة مِنْ أَهْل الْكُوفَة بِتَقْدِيمِ عَلِيّ عَلَى عُثْمَان ، وَالصَّحِيح
الْمَشْهُور تَقْدِيم عُثْمَان . قَالَ أَبُو مَنْصُور الْبَغْدَادِيّ :
أَصْحَابنَا مُجْمِعُونَ عَلَى أَنَّ أَفْضَلهمْ الْخُلَفَاء الْأَرْبَعَة عَلَى
التَّرْتِيب الْمَذْكُورَة ثُمَّ تَمَام الْعَشَرَة ، ثُمَّ أَهْل بَدْر ، ثُمَّ
أُحُد ، ثُمَّ بَيْعَة الرِّضْوَان ، وَمِمَّنْ لَهُ مَزِيَّة أَهْل
الْعَقَبَتَيْنِ مِنْ الْأَنْصَار ، وَكَذَلِكَ السَّابِقُونَ الْأَوَّلُونَ ،
وَهُمْ مَنْ صَلَّى إِلَى الْقِبْلَتَيْنِ فِي قَوْل اِبْن الْمُسَيِّب وَطَائِفَة
، وَفِي قَوْل الشَّعْبِيّ أَهْل بَيْعَة الرِّضْوَان ، وَفِي قَوْل عَطَاء
وَمُحَمَّد بْن كَعْب أَهْل بَدْر
“Ahlus Sunnah telah sepakat bahwa sahabat yang paling
utama adalah Abu Bakar, kemudian Umar. Lalu mayoritas mengatakan: Utsman,
kemudian Ali. Sebagian Ahlus Sunnah mengatakan dari Penduduk Kufah lebih mengutamakan Ali dibanding Utsman, yang
shahih adalah mengutamakan Utsman. Abu Manshur Al Baghdadi berkata:
‘Sahabat-sahabat kami telah ijma’ bahwa para sahabat yang paling
utama adalah khalifah yang empat sesuai urutan yang telah disebutkan, kemudian
sepuluh orang (yang dijamin masuk surga), kemudian Ahli Badr, kemudian Uhud,
kemudian Bai’atur Ridhwan, dan orang-orang mulia yang ikut serta dalam dua kali
Bai’at ‘Aqabah dari kalangan Anshar, demikian juga as sabiqunal
awwalun, mereka adalah orang
yang pernah mengenyam dua buah kiblat menurut Said bin Al Musayyib, dan menurut
Asy Sya’bi mereka adalah pengikut Bai’atur Ridhwan, ada pun menurut
Atha’, Muhammad bin Ka’ab, mereka adalah Ahli Badr. (Al Minhaj Syarh
Shahih Muslim, Muqadimah Bab Fadhailush Shahabah, Mausu’ah Syuruh Al
Hadits)
Kita
lihat, pelevelan memang ada terhadap para sahabat Radhiallahu ‘Anhum.
Level yang satu tidaklah sama dengan level yang lainnya. Ada yang termasuk Kibarush
Shahabah (sahabat senior) seperti Khalifah yang empat, dan ada pula Shigharus
Shahabah (sahabat junior), seperti Ibnu abbas, Ibnu Umar, dan Usamah bin
Zaid. Dan, Pelevelan ini bukan bid’ah, bukan pula kesesatan.
Ketiga,
para ulama pun terklasifikasi. Antara salaf (terdahulu) dan khalaf
(kemudian), mutaqaddimin (masa lalu) dan muta’akhirin (masa
kini). Di mana para ulama salaf dan mutaqaddimin, sering
diutamakan di atas khalaf dan muta’akhirin, karena mereka ada
pada masa zaman terbaik minimal mendekati zaman itu. Pemetaan ini sudah terjadi
sejak lama, dan terus berlangsung dari zaman ke zaman, dan tersebar di berbagai
kitab para ulama, namun tidak ada yang menyebut ini adalah bid’ah.
Keempat,
ulama zaman ini pun ada yang disebut dengan ulama kibar (Senior),
sebagaimana wadah yang terbentuk di Kerajaan Arab Saudi, Hai’ah Kibaril
Ulama (Dewan Ulama Senior). Lembaga ini pernah di dalamnya terdapat Syaikh
Abdul Aziz bin Abdullah bin Baaz, Syaikh Sulaiman bin Mani’, Syaikh Abdullah
bin Abdurrahman Al Jibrin, Syaikh Bakr Abu Zaid, Syaikh Abdurrazzaq ‘Afifi, dan
lainnya.
Ada
pun ulama mudanya seperti Syaikh ‘Aidh Al Qarni, Syaikh Salman Fahd Al ‘Audah,
Syaikh Said Wahf Al Qahthani, Syaikh Safar Al Hawali, dan lainnya. Pelevelan
ini pun tidak ada yang mempermasalahkannya.
Marhalah dalam Tarbiyah adalah Sunnatullah
Dalam
kehidupan adalah menjadi ketetapan yang pasti adanya pentahapan. Kejadian bayi
dan proses pertumbuhan manusia. Apa-apa yang dikonsumsi bayi bukanlah konsumsi
orang dewasa, dan sebaliknya. Begitu pula dalam membina manusia. Barangsiapa
yang mengingkari hal ini maka dia buta dan tuli terhadap kenyataan.
Allah
Ta’ala menurunkan Al Quran secara bertahap. Penanaman Islam kepada generasai
pertama Islam juga bertahap, tidak sama antara periode Mekkah dan Madinah.
Allah Ta’ala mengharamkan khamr juga bertahap, sampai tiga kali
tahap.
Para Salaf juga memperhatikan sunah tadarruj (sunah
pentahapan) dalam Tarbiyah.
Imam
Al Bukhari membuat bab:
بَاب مَنْ خَصَّ
بِالْعِلْمِ قَوْمًا دُونَ قَوْمٍ كَرَاهِيَةَ أَنْ لَا يَفْهَمُوا
“Bab manusia
yang mengkhususkan ilmu kepada sebuah kaum tapi tidak pada kaum lainnya
khawatir mereka tidak memahaminya.” (Shahih Al Bukhari, Kitabul
‘Ilmi)
Dalam Bab ini, terdapat dialog antara Nabi Shallallahu
‘Alaihi wa Sallam dengan Mu’adz bin Jabal Radhiallahu ‘Anhu. Beliau
bersabda:
مَا مِنْ أَحَدٍ يَشْهَدُ
أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللَّهِ صِدْقًا مِنْ
قَلْبِهِ إِلَّا حَرَّمَهُ اللَّهُ عَلَى النَّارِ قَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ
أَفَلَا أُخْبِرُ بِهِ النَّاسَ فَيَسْتَبْشِرُوا قَالَ إِذًا يَتَّكِلُوا
وَأَخْبَرَ بِهَا مُعَاذٌ عِنْدَ مَوْتِهِ تَأَثُّمًا
Tidaklah
seseorang yang bersaksi tidak ada Ilah kecuali Allah dan bahwasanya Muhammad adalah
utusan Allah secara tulus dari hatinya, melainkan Allah akan haramkan neraka
baginya. Muadz berkata: “Wahai Rasulullah, apakah saya boleh sebarkan kabar
gembira ini kepada manusia?” Beliau bersabda: “Jangan! Sebab nanti mereka akan
bergantung saja pada hal itu.” Muadz baru mengabarkannya sebelum kematiannya
sebab khwatir dia berdosa jika tidak menyebarkannya. (HR. Bukhari No. 128)
Dalam kitab yang sama, Imam
Al Bukhari terdapat Bab Al ‘Ilmu Qabla Al Qaul wal ‘Amal, di sana terdapat keterangan tentang makna ayat Kuunuu
Rabbiyuun - jadilah kalian orang-orang yang Rabbani. (QS. Ali Imran: 79) menurut
Abdullah bin Abbas Radhiallahu ‘Anhu sebagai berikut:
{ كُونُوا رَبَّانِيِّينَ }
حُلَمَاءَ فُقَهَاءَ
وَيُقَالُ الرَّبَّانِيُّ الَّذِي يُرَبِّي النَّاسَ بِصِغَارِ الْعِلْمِ قَبْلَ
كِبَارِهِ
(Jadilah
kalian kaum yang Rabbani) yakni orang yang sabar dan berilmu, ada juga yang
mengatakan: yaitu orang yang mendidik manusia dengan ilmu-ilmu yang kecil
sebelum ilmu-ilmu yang besar. (Lihat Shahih Bukhari, Kitabul ‘Ilmi)
Maksud dari “mendidik manusia dengan
ilmu-ilmu yang kecil sebelum ilmu-ilmu yang besar” adalah bi at tadriij
– dengan bertahap. (Fathul Bari, 1/121)
Imam Al ‘Aini mengatakan:
أي
الذي يربي الناس بجزئيات العلم قبل كلياته أو بفروعه قبل أصوله أو بمقدماته قبل
مقاصده
Yaitu
orang yang mendidik manusia dengan bagian-bagian dari ilmu sebelum total
keseluruhannya, atau mengajarkan yang cabang-cabang sebelum yang pokoknya, atau
mengajarkan pengantarnya sebelum isi utamanya. (‘Umadatul Qari,
2/487)
Imam Al Munawi mengatakan tentang makna Tarbiyah:
التربية إنشاء الشيء حالا فحالا إلى حد التمام
Tarbiyah adalah mengembangkan sesuatu dari satu keadaan kepada keadaan
berikutnya sampai batas sempurna. (At Ta’aariif, Hal. 169. Darul Fikr)
Kita lihat dari sisi maknanya saja sudah jelas,
bahwa tarbiyah itu mesti melewati pentahapan (marhalah), dan pentahapan ini
masing-masingnya memiliki karakteristiknya sendiri untuk mencapai kesempurnaan.
Syaikh Shalih Al Munajid Hafizhahullah bercerita tentang Syaikh Muhammad bin Ibrahim Rahimahullah – mantan Mufti
Kerajaan Arab Saudi, dan guru dari Syaikh Abdul Aziz bin Baaz:
"Beliau Rahimahullah memiliki tiga majelis,
mengajar tiga mustawayat (tingkatan), untuk penuntut ilmu yang sudah
lama satu pelajaran, untuk yang pertengahan satu pelajaran, dan untuk penuntut
ilmu yang pemula juga satu pelajaran, dan jika beliau melihat ada seorang
penuntut ilmu yang baru lalu duduk di majlis penuntut ilmu yang lama, maka
beliau akan mengusirnya dan membentaknya, seraya berkata: "Di sini bukan
tempatmu, bukan dari sini kamu memulai, dan perkara ini bisa melahirkan rasa
ujub (bagimu). " (Majmu'ah
Muhammad Al Munajjid, Mawaaqif Tarbawiyah Muattsirah min Siyar Al Ulama,
33/29)
Maka,
begitu jelas bahwa marhalah dalam tarbiyah (membina), mengajak, dan memperbaiki
manusia adalah masyru’, serta benar menurut akal dan budaya manusia dan
kehidupan. Alangkah mengagetkan jika pentahapan dalam membina dan mendidik
manusia dalam sebuah wadah organisasi da’wah, dunia pendidikan, dan lainnya,
disebut sebagai bid’ah dan kesesatan. Laa hawlaa wa laa quwwata illa billah.
Segitu
dulu. Wallahu A’lam
Wa Shallallahu ‘Ala Nabiyyina Muhamamdin wa ‘Ala
Aalihi wa Shahbihi ajmain.
No comments:
Post a Comment