Hukum oral seks, baik yang melakukan adalah suami (cunilingus),
atau isteri (fellatio), para ulama kontemporer (zaman sekarang)
berbeda pendapat. Mereka terbagi atas tiga golongan. Ada yang mengharamkan,
memakruhkan, dan membolehkan. Sedangkan ulama klasik, setahu saya belum pernah
membahasnya. Wallahu A’lam.
Golongan
yang mengharamkan,
mereka beralasan dengan najisnya madzi yang ada pada kemaluan
baik laki atau wanita ketika sedang syahwat, yang jika tertelan maka itu haram.
Tentang najisnya madzi, para ulama kita semua sepakat, tidak
berbeda pendapat.
عَنْ عَلِيٍّ قَالَ
كُنْتُ رَجُلًا مَذَّاءً فَأَمَرْتُ رَجُلًا أَنْ يَسْأَلَ النَّبِيَّ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لِمَكَانِ ابْنَتِهِ فَسَأَلَ فَقَالَ تَوَضَّأْ
وَاغْسِلْ ذَكَرَكَ
Dari
‘Ali, dia berkata: “Saya adalah laki-laki yang mudah keluar madzi, maka aku
perintah seseorang untuk bertanya kepada Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam
lantaran posisiku sebagai mantu beliau (maksudnya Ali malu bertanya sendiri),
maka orang itu bertanya, lalu Rasulullah menjawab: “Wudhulah dan cuci
kemaluanmu.” (HR. Bukhari)
Hadits ini menunjukkan kenajisan
madzi, hanya saja tidaklah wajib mandi janabah, melainkan hanya wudhu
sebagaimana teks hadits tersebut. Oleh karena madzi adalah najis
maka ia haram tertelan, yang sangat mungkin terjadi ketika oral seks. Alasan
lainnya, karena oral seks merupakan cara binatang, dan kita dilarang menyerupai
binatang. Wallahu A’lam.
Golongan
yang memakruhkan,
mereka beralasan bahwa oral seks belum
tentu menelan madzi melainkan hanya sekedar kena, baik karena
dikecup atau jilat. Mulut atau lidah yang terkena madzi, tentunya
sama saja dengan kemaluan suami yang menyentuh madzi
isteri ketika coitus (jima’). Sebab ketika jima’, otomatis madzi tersebut
pasti mengenai kemaluan ‘lawannya.’ Nah, jika itu boleh, lalu apa bedanya jika
mengenai anggota tubuh lainnya, seperti mulut? Sama saja. Hanya saja, hal
tersebut merusak muru’ah (akhlak baik) dan menjijikan. Lagi
pula tidak sepantasnya, mulut dan lidah yang senantiasa berdzikir dan membaca
Al Quran, digunakan untuk hal itu. Oleh karena itu bagi mereka hal tersebut
adalah makruh, tidak sampai haram.
Golongan
yang membolehkan, mereka beralasan bahwa suami bagi isteri, atau isteri
bagi suami adalah halal seluruhnya, kecuali dubur dan ketika haid. Sedangkan
alasan-alasan pihak yang mengharamkan (tertelannya madzi) sudah dijawab, dan
alasan pihak yang memakruhkan (merusak muru’ah dan menjijikkan) pun
bagi golongan ini tidak bisa diterima.
Alasan
merusak muru’ah (citra diri/akhlak baik) adalah alasan yang
lemah, sebab dahulu Umar bin Al Khathab ketika dia menjima’
isterinya dari belakang (tapi bukan dari dubur) istilahnya doggy style
yang jelas-jelas menyerupai
binatang, ternyata itu
dibolehkan oleh Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Padahal Umar
merasa bersalah, karena itu bukan kebiasaannya dan bukan kebiasaan kaumnya.
Sebagaimana oral seks hari ini bukanlah kebiasaan orang Timur, melainkan
kebiasaan orang Barat. Namun, demikian tidak ada satu pun riwayat yang
berindikasi mencela Umar dalam hal ini, yang ada justru sebaliknya.
Alasan
menjijikan juga alasan yang lemah, sebab
jijik atau tidak, sifatnya sangat relatif dan personally (pribadi).
Tidak sama pada masing-masing orang. Bila ada
orang merasa jijik dengan kulit ayam, tidak berarti kulit ayam adalah
haram atau makruh. Khalid bin Walid pernah makan biawak di depan Rasulullah Shallallahu
‘Alaihi wa Sallam namun tidak dilarang oleh Rasulullah, walau pun dia tidak
suka, walau itu menjijikan, karena makan biawak bukanlah kebiasaan manusia di
daerah Rasulullah.
Dalam
riwayat yang shahih dari Anas bin Malik bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa
Sallam pernah menyuruh suku Urainah untuk meminum air kencing Unta
untuk obat. Padahal, bisa jadi bagi sebagian orang kencing Unta adalah
menjijikan, tapi riwayat itu dijadikan dalil oleh sebagian ulama tentang
sucinya air kencing Unta. Wal hasil, masalah ‘perasaan’ jijik bukanlah ukuran
dan alasan diharamkannya sesuatu.
Golongan
yang membolehkan juga beralasan pada ayat berikut:
نِسَاؤُكُمْ
حَرْثٌ لَكُمْ فَأْتُوا حَرْثَكُمْ أَنَّى شِئْتُمْ
“Isteri-isterimu
adalah (seperti) tanah tempat kamu bercocok tanam, Maka datangilah tanah tempat
bercocok-tanammu itu bagaimana saja kamu kehendaki.” (QS. Al Baqarah
(2): 223)
Anna
syi’tum (bagaimana saja kamu kehendaki) hanya berlaku pada qubul
(kemaluan) bukan dubur.
Imam
Al Qurthubi –seorang ulama tafsir madzhab maliki- berkata:
وقد قال أصبغ من علمائنا: يجوز له أن
يلحسه بلسانه.
“Telah
berkata Ashbagh dari golongan ulama kami (Maliki): “Boleh bagi suami menjilat
kemaluan isterinya dengan lidahnya.” (Imam Al Qurthubi,
Jami’ Li Ahkamil Qur’an, Juz. 12, Hal. 222. Dar Ihya Ats Turats Al
‘Araby, Beirut – Libanon. 1985M-1405H)
Perlu
diketahui, semua hadits-hadits yang melarang melihat kemaluan isteri atau
suami, adalah dha’if bahkan ada yang maudhu’ (palsu).
Justru bertentangan dengan hadits-hadits shahih yang menunjukkan sebaliknya.
Insya Allah Ta’ala akan saya bahas di lain kesempatan.
Pandangan Syaikh Al ‘Allamah Yusuf Al Qaradhawy hafizhahullah:
Beliau
berkata: “Di dalam masyarakat seperti Amerika dan masyarakat Barat lainnya,
terdapat tradisi dan kebiasaan dalam hubungan biologis antara suami isteri yang
berbeda dengan kebiasaan kita, seperti bertelanjang bulat, suami melihat kemaluan isteri, atau isteri
mempermainkan kemaluan suami, atau mengecup kemaluan suami, dan sebagainya yang
apabila telah menjadi biasa menjadi tidak menarik dan membangkitkan syahwat
lagi, sehingga memerlukan cara-cara lain yang kadang hati kita tidak
menyetujuinya. Ini merupakan suatu persoalan dan mengharamkannya –atas nama
agama- juga merupakan persoalan lain lagi. Dan tidak boleh sesuatu diharamkan
kecuali jika ditemukan nash (teks agama) yang sharih (jelas) dari
Al Quran dan As Sunnah yang mengharamkannya. Kalau tidak ada nash, maka
pada dasarnya adalah boleh.
Ternyata,
tidak ada nash yang shahih dan sharih yang menunjukkan haramnya
tindakan suami isteri seperti itu. Oleh karena itu, dalam kunjungan saya ke
Amerika yakni ketika menghadiri Muktamar Persatuan Mahasiswa Islam dan
mengunjungi pusat-pusat Islam di berbagai wilayah di sana, apabila saya
menerima pertanyaan mengenai masalah itu –biasanya pertanyaan datangnya dari
wanita muslimah Amerika- maka saya cenderung memudahkannya, bukan mempersulit,
melonggarkannya bukan mengetatkannya, memperbolehkannya dan tidak melarangnya.”
(Dr. Yusuf Al
Qaradhawy, Fatwa-Fatwa Kontemporer, Jilid. 2, Hal. 492-493. Cet. 2
1996M. Gema Insani Press, Jakarta)
Demikian. Wallahu A’lam.
No comments:
Post a Comment