Diterjemahkan oleh Farid Nu’man dari Kitab Rawa’i
al Bayan tafsir Ayat al Ahkam min al Qur’an, karya Syaikh Muhammad Ali Ash
Shabuni, Juz II, hal. 328-340 (tafsir Surat As Saba: 10-14). Cet. 1,
1422H/2001M, Darul Kutub al Islamiyah
Hukum
pertama: Apakah patung-patung dibolehkan dalam syariat (hukum agama) pada
masa Nabi Sulaiman ‘Alaihissalam?
Menurut zahir (teks) ayat yang mulia,
firman Allah Ta’ala: “Mereka (para jin) membuat untuk Sulaiman apa
yang dikehendakinya berupa gedung-gedung yang tinggi, patung-patung, ….dst
(QS. As Saba (34): 13)
Ayat ini menunjukkan kehalalan
patung-patung dan kebolehannya menurut syariat pada zaman Nabi Sulaiman ‘Alaihissalam.
Al Qur’anul Karim menjelaskan tentang anugerah AllahTa’ala atas Nabi Sulaiman ‘Alaihissalam,
bahwa bangsa jin ditundukkan baginya untuk melayani sesuai kemauannya.
Semua ini, disebutkan secara khusus sebagai
kebaikan, menunjukkan kebolehannya dan merupakan ijin Allah untuk
menggunakannya (pada zaman Nabi Sulaiman ‘Alaihissalam –pent). Dari ayat
tersebut, para ulama memiliki beberapa pendapat, secara global adalah sebagai
berikut:
1. Patung yang diisyarakatkan ayat ini adalah mubah (boleh) menurut syariat zaman
Nabi Sulaiman ‘Alaihissalam, namun syariat Islam (zaman Nabi Muhammad Shallallahu
‘Alaihi wa Sallam) telah menghapus (nasakh) kebolehannya. Telah
diketahui bahwa syariat manusia zaman sebelum kita juga menjadi syariat kita,
jika tidak dihapus. Ternyata kita telah temukan penghapusan itu yang
menunjukkan bahwa patung-patung adalah haram secara qath’i (pasti)
menurut syariat kita (saat ini).
2. Sesungguhnya patung pada masa Nabi Sulaiman ‘Alaihissalam
bukanlah patung yang memiliki ruh (nyawa) seperti manusia, burung, atau hewan
lain, melainkan patung yang tidak bernyawa seperti pohon-pohon, lautan, dan
pemandangan alam. Maka, syariat Nabi Sulaiman ‘Alaihissalam sebenarnya
sesuai dengan syariat kita sebagaimana yang akan kami jelaskan nanti, Insya Allah
Ta’ala.
Hukum kedua: Apa hukum patung dan
gambar menurut syariat Islam?
Al Qur’an telah mengabarkan tentang patung
dan mencela orang-orang yang berdiam memandangnya.[1]
Allah Ta’ala berfirman:
إِذْ قَالَ لِأَبِيهِ وَقَوْمِهِ مَا
هَذِهِ التَّمَاثِيلُ الَّتِي
أَنتُمْ لَهَا عَاكِفُونَ
“(Ingatlah), ketika
Ibrahim berkata kepada bapaknya dan kaumnya: "Patung-patung apakah ini
yang kamu berdiam (i’tikaf) kepadanya?" (QS. Al Anbiya (21): 52)
Allah Ta’ala juga mencela orang-orang yang menjadikan berhala (baik dari batu atau kayu) sebagai sesembahan, “Apakah kalian menyembah apa-apa yang kalian ciptakan sendiri?”
Allah Ta’ala juga mencela orang-orang yang menjadikan berhala (baik dari batu atau kayu) sebagai sesembahan, “Apakah kalian menyembah apa-apa yang kalian ciptakan sendiri?”
Dalam Al Qur’an terdapat kisah terkenal,
tentang Nabi Ibrahim ‘Alaihissalam yang menghancurkan berhala-berhala.
Telah sampai (keterangan) bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam
telah menghancurkan berhala-berhala di dalam Ka’bah dan juga di Shafa dan
Marwa.
Islam adalah agama tauhid, memusuhi
segala bentuk syirik. Dalam Islam tidak ada dosa yang lebih besar dibanding
syirik. Oleh karena itu Islam memberikan sanksi yang sangat berat bagi
paganisme (paham keberhalaan) dan penyembahan kepada berhala. Syariat Islam
mengharamkan patung-patung, karena berpotensi mengarah kepada kemungkaran keji
tersebut.
Sunnah Nabi yang suci telah datang
mengabarkan tentang lukisan (gambar) dan pelukis, isinya mencela dan melarang
lukisan. Karena itu, telah pasti dengannya, bahwa Islam mengharamkan patung dan
lukisan, dengan keharaman yang pasti dan meyakinkan.
Banyak hadits-hadits Nabi yang menunjukkan
keharamannya, sampai-sampai pada tingkat mutawatir[2],
saya (Syaikh Ali Ash Shabuni) akan memaparkan sebagian saja hadits-hadits
tersebut.
Dalil-dalil pasti atas haramnya lukisan
- Imam
Bukhari dan Imam Muslim meriwayatkan dari ‘Aisyah Radhiallahu ‘Anha,
bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda: “Manusia
yang paling keras siksanya pada hari kiamat adalah orang-orang yang membuat sesuatu
yang serupa dengan makhluk Allah.”
- Imam
Bukhari, Imam Muslim, dan Ash Habussunan (para pengarang kitab Sunan)
meriwayatkan bahwa Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda: “Sesungguhnya
para pembuat gambar ini akan di azab di hari kiamat nanti.” Kepada
mereka diperintahkan, “Hidupkan apa-apa yang engkau ciptakan!”
- Imam
Bukhari, Imam Muslim, dan Imam Ahmad meriwayatkan dari Abu Zur’ah,
katanya: Aku masuk bersama Abu Hurairah ke rumah Marwan bin al Hakam, ia
(Abu Hurairah) melihat di dalamnya ada lukisan di dinding. Berkatalah Abu
Hurairah: Aku mendengar Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam
bersabda: “Allah ‘Azza wa Jalla berfirman; ‘Dan siapakah yang
lebih zalim dari orang-orang yang menciptakan seperti ciptaanKu, maka
hendaklah mereka menciptakan biji jagung, atau biji-bijian, atau gandum.’
- Imam
Bukhari, Imam Muslim, dan Imam an Nasa’i, meriwayatkan dari Ibnu Abbas Radhiallahu
‘Anhu, bahwa ada laki-laki yang berkata kepadanya: “Sesungguhnya
akulah yang menggambar ini, berikanlah fatwamu untukku tentang masalah
ini.” Ibnu Abbas berkata kepadanya: “Mendekatlah kepadaku.” Kemudian
orang itu mendekat dan tangan Ibnu Abbas menyentuh kepalanya, dan Ibnu
Abbas berkata: “Aku kabarkan kepadamu apa-apa yang aku dengar dari
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, aku dengar beliau
bersabda: “Setiap penggambar adalah di neraka, dijadikan untuknya jiwa
pada setiap gambar yang dibuatnya. Maka ia akan diazab di jahanam.”
Berkata Ibnu Abbas: “Maka, jika engkau ingin menggambar, maka gambarlah
pepohonan, atau apa-apa yang tidak memiliki ruh.”
Dalam riwayat lain, dari Ibnu Abbas juga:
Aku mendengar Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda: “Barangsiapa
yang membuat gambar maka Allah akan mengazabnya hingga ditiupkan ruh pada
gambar itu, dan tidaklah gambar itu (mampu) ditiupkan ruh di dalamnya
selamanya.”[3] Kemudian Ibnu Abbas berkata kepadanya: “Jika
engkau ingin membuat, maka buatlah pohon-pohon ini, dan segala sesuatu yang di
dalamnya tidak memiliki ruh.” [4]
- Imam Bukhari, Imam Muslim, dan Ash
Habussunan, meriwayatkan dari ‘Aisyah Radhiallahu ‘Anha bahwa
ia membeli bantal kecil yang memiliki gambar, maka ketika Nabi
Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam melihatnya dia berdiri di depan pintu
dan tidak masuk (ke rumah). ‘Aisyah berkata: “Aku tahu di wajahnya ada
ketidaksukaan.” Aku berkata: “Wahai Rasulullah, aku bertobat kepada Allah
dan RasulNya, apa salah saya?” Rasulullah bertanya: “Bantal apa ini?”
Aku menjawab: “Aku membelinya untukmu agar engkau duduk di atasnya dan
bersandar dengannya.” Ia bersabda: “Sungguh para pembuat gambar ini
akan diazab pada hari kiamat nanti, lalu dikatakan kepada mereka, ‘Hidupkan apa-apa yang engkau ciptakan!”
dan ia bersabda: “Sesungguhnya rumah yang di dalamnya terdapat
gambar, malaikat tidak akan memasukinya.”
- Imam
Muslim meriwayatkan dalam kitab Shahih-nya, dari Abu Hiyaj al
Asady, ia berkata: Berkata kepadaku Ali Radhiallahu ‘Anhu: “Maukah
kau aku sampaikan apa-apa yang telah Rasulullah sampaikan kepadaku?
(yaitu) Jauhilah gambar-gambar kecuali engkau menghapusnya, janganlah
memuliakan kuburan kecuali engkau meratakannya.”
- Diriwayatkan
oleh Imam Bukhari, Imam Muslim, Imam Ahmad, Imam Tirmidzi, Imam Abu Daud,
dan Imam an Nasa’i, dari ‘Aisyah Radhiallahu ‘Anha ia berkata:
“Nabi keluar dalam peperangan, lalu aku mengambil namath (kain bergambar yang dicelup beragam
warna), aku tutupi pintu dengannya. Ketika ia pulang, ia melihatnya, dan
aku mengetahui adanya ketidaksukaan pada wajahnya, ia menariknya hingga
terkoyak, dan bersabda: “Sesungguhnya Allah tidak memerintahkan kita
untuk tunduk kepada batu dan tanah!” ‘Aisyah berkata: “Maka aku
potong kain itu, lalu aku jadikan dua bantal dan sabut (lap – keset), aku
tidak melihat ia mencelaku karena itu.”
- Imam
Bukhari, Imam Muslim. Dan Imam an Nasa’i meriwayatkan dari ‘Aisyah
Radhiallahu ‘Anha, ia berkata: ketika beberapa isteri Nabi mengadu
tentang gereja Nasrani, di dalamnya terdapat lukisan Mariah (Bunda Maria).
Saat itu Umu Salamah dan Umu Habibah habis mengunjungi negeri habasyah
(etiopia). Mereka bercerita tentang keindahannya dan gambar-gambarnya.
Maka Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam mengangkat kepalanya
dan berkata: “Mereka itulah jika ada orang shalih yang wafat, mereka
membangun kuburnya sebagai tempat beribadah, kemudian mereka membuat
gambar di dalamnya, mereka adalah seburuk-buruknya makhluk Allah.” [5]
Saya (Ali Ash Shabuni) katakan: Nash-nash
(teks syariat) seperti ini banyak jumlahnya, menunjukkan kepastian haramnya
lukisan, dan seluruh kajian Islam yang mempelajari ilmu yang membawa keyakinkan
menunjukkan bahwa Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam mengharamkan
gambar, menyimpannya, dan memperjualbelikannya, jika melihatnya harus
dihancurkan. Telah datang ancaman yang keras buat para pembuat gambar.
Para imam madzhab sepakat atas keharamannya
tanpa perselisihan sama sekali. Untuk sebagain ulama ada yang memberikan
pengecualian tentang adanya gambar (yang dibolehkan) nanti akan kami sebutkan, juga akan kami
sebutkan ‘ilat (alasan) pengharaman, setelah itu kita mambahas hukum
fotografi dan pendapat para ulama tentang itu, berdasarkan nash-nash (teks
syariat) yang mulia.
‘Ilat (alasan) Pengharaman Gambar
Tampak bagi kita, dalil-dalil kenabian
yang telah lalu, bahwa alasan diharamkannya patung dan gambar adalah bentuk penyerupaan dan penyamaan
terhadap makhluk Allah Ta’ala. Hal yang menunjukkan itu adalah:
1.
Hadits:
“Manusia yang paling keras siksaannya pada hari kiamat nanti adalah
orang-orang yang membuat penyerupaan terhadap makhluk Allah.”
- Hadits: “Sesungguhnya
para pembuat gambar ini akan diazab, diperintahkan kepada mereka,’hidupkan
apa-apa yang engkau ciptakan.’ “
- Hadits: “Dan
Siapakah yang lebih zalim dari pada orang yang membuat ciptaan seperti
ciptaanKu ….., maka hendaklah ia membuat gandum, atau biji-bijian.”
Jadi, alasannya adalah tasyabbuh
(penyerupaan) terhadap makhluk Allah, dan menyamakan dengan apa yang dibuat
Allah Jalla wa ‘Ala.
Hikmah pengharaman gambar adalah menjauhkan
diri dari fenomena watsaniyah (paganisme - keberhalaan), melindungi
aqidah dari bahaya syirik dan penyembahan terhadap berhala. Tidaklah masuk
paham keberhalaan pada umat terdahulu, melainkan karena gambar dan patung
sebagaimana yang diterangkan oleh hadits dari Umu Salamah dan Umu Habibah yang
lalu (hadits no. 8). Di dalamnya ada sabda Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa
Sallam: “Mereka itulah jika ada orang shalih wafat, mereka membangun
kuburnya sebagai tempat ibadah, kemudian mereka membuat gambarnya di dalamnya,
mereka adalah seburuk-buruknya makhluk Allah di hari kiamat nanti.”
Telah diriwayatkan, bahwa berhala-berhala
yang disembah oleh kaum Nabi Nuh (yaitu berhala Wadd, Suwa’, Yaghuts, Ya’uq,
dan Nasr) sebagaimana yang tertera dalam Al Qur’anul Karim, dahulu mereka
adalah nama-nama orang shalih pada zaman kaum Nabi Nuh ‘Alaihissalam.
Ketika orang-orang shalih itu wafat, kaum tersebut membuat gambar mereka
sebagai upaya mengingat mereka dan amal-amalnya, lalu setelah selesai dibuat
gambar, mereka menyembahnya.
Ats Tsa’laby menyebutkan dari Ibnu Abbas
tentang ayat: Dan
mereka berkata: "Jangan sekali-kali kamu meninggalkan (penyembahan)
tuhan-tuhan kamu dan jangan pula sekali-kali kamu meninggalkan (penyembahan)
wadd, dan jangan pula suwwa', yaghuts, ya'uq dan nasr” (QS. Nuh (71): 23),
menurut Ibnu Abbas, maksud ayat ini adalah, “Berhala-berhala itu adalah
nama-nama orang shalih dari kaum Nabi Nuh, ketika mereka telah wafat, syetan
mengilhamkan kepada kaum orang-orang shalih tersebut agar memuliakan
orang-orang shalih tersebut dalam majelis-majelis yang mereka adakan. Mereka menamakan berhala
dengan nama-nama orang shalih tersebut, dan mereka selalu mengingatnya, mereka
menjalankan bisikan syetan itu, maka tidaklah berhala itu disembah hingga
mereka binasa. Maka hilanglah ilmu dan disembahlah selain Allah.” (Tafsir
Al Qurthuby, Juz 18, hal. 308)
Abu Bakar Ibnul ‘Araby
berkata: “Dan yang menyebabkan
wajibnya pelarangan dalam syariat kita –wallahu a’lam- adalah apa-apa yang terjadi pada orang-orang
Arab, berupa penyembahan terhadap berhala (baik dari batu dan kayu), dahulu
mereka membuat gambar lalu menyembahnya, maka Allah menetapkan upaya pencegahan
demi menjaga pintu (aqidah).”
Ibnul Araby juga berkata: “Aku
telah saksikan di pelabuhan Iskandariah (Alexandria-Mesir), jika ada orang yang
wafat mereka menggambar orang itu dari kayu (maksudnya dibuat patung –pent)
dengan rupa yang amat bagus, dan mereka meletakkan pada bagian dari rumahnya.
Jika ia laki-laki, mereka menghiasi dengan perhiasan yang megah, jika ia
perempuan mereka juga meriasnya, lalu mereka menutupnya dengan pintu. Jika di antara mereka sedang dilanda
kesulitan atau hal yang dibenci, maka pintu tersebut dibuka dan mereka
bersimpuh di depan patung kayu tersebut, menangis dan berdoa kepadanya, hingga
mereka menumpahkan air mata dan menampakkan kesedihan yang luar biasa. Setelah
itu pintu ditutup kembali lalu mereka pergi.
Sungguh, peribadatan mereka terhadap berhala telah berlangsung sejak
lama.” (Ahkamul Qur’an, karya Ibnul Araby, Juz 3. Lihat Juga Ahkamul Qur’an karya As
Sayis, Juz 3, hal. 60)
Macam-macam Gambar
Para ulama membagi gambar menjadi dua bagian:
- Gambar
yang memiliki bayangan, terbuat dari batu kapur, tembaga, batu atau
lainnya. Ini dinamakan tamaatsiil
- التماثيل(patung).
- Gambar
yang tidak memiliki bayangan, yang digambar pada kertas, diukir pada
dinding, permadani dan sarung
bantal, dan lain-lain. Ini dinamakan shuwar
الصور - (gambar/lukisan)
Jadi, patung memiliki bayangan sedangkan
lukisan tidak. Setiap patung adalah gambar, tetapi tidak setiap gambar adalah
patung.
Ibnul Manzhur berkata dalam Lisanul
‘Arab: “Timtsaal-التمثال (patung) adalah shurah (gambar/lukisan),
jamaknya adalah tamaatsiil, dan bayangan bagi segala sesuatu adalah bukti patung
baginya. Timtsal adalah nama sesuatu yang dibuat menyerupai makhluk Allah.
Asalnya adalah dari penyerupaan sesuatu dengan sesuatu, yang ukurannya sesuai
dengan yang diserupai, sehingga dengan penyerupaan itu menjadi mirip dengannya.
Maka, penyerupaan itu dinamakan patung.”
Berkata Imam al Qurthuby: “Firman Allah Ta’ala,
“…wa tamaatsiil ..” ( ..dan patung-patung..), jamak dari timtsaal, adalah
segala sesuatu yang digambar serupa hewan atau selainnya. Disebutkan: bisa
berasal dari kaca, tembaga, batu pualam, lalu mereka menganggap itu adalah rupa
para nabi dan ulama. Mereka (pada masa Sualiman ‘Alaihissalam –pent)
membuatnya di dalam masjid-masjid agar manusia melihatnya, sehingga ibadah
mereka bertambah serius.
Jika ditanya: “Bagaimana hal itu dibolehkan
pada masa lalu, sementara masa kita dilarang?”
Jawab: “Demikian itu memang dibolehkan
dalam syariat Nabi Sulaiman, namun telah dihapus oleh syariat kita” [6]
Patung dan Gambar seperti apa yang Diharamkan?
Patung dan gambar yang diharamkan adalah sebagai
berikut:
1. Patung berbentuk tubuh yang
memiliki ruh (nyawa) seperti patung manusia dan hewan. Ini haram menurut ijma’ (konsensus/kesepakatan).
Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda: “Sesungguhnya
malaikat tidak akan masuk ke rumah yang di dalamnya ada anjing, gambar, patung,
dan orang junub.” (HR. Imam Bukhari)[7]
2. Gambar yang dibuat oleh
tangan (melukis), berupa bentuk yang memiliki ruh. Ini juga disepakati
keharamannya. Rasulullah Shallallahu
‘Alaihi wa Sallam bersabda: “Sesungguhnya pembuat gambar ini akan diazab
pada hari kiamat. Diperintahkan kepada mereka, ‘Hidupkan apa-apa yang kau
ciptakan.’ ” (HR. Bukhari, Muslim, Ahmad, Tirmidzi, Abu Daud, An Nasa’i)
3. Gambar yang bentuknya lengkap (sempurna), tidak ada
yang kurang kecuali ruh saja, ini juga disepakati haramnya berdasarkan
hadits-hadits sebelumnya, seperti: “Diperintahkan untuk meniupkan
(memberikan) ruh pada gambar tersebut, dan tidaklah mampu untuk meniupkannya.” Juga hadits lain dari ‘Aisyah Radhiallahu
‘Anha: “Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam masuk menemuiku, saat
itu aku mengenakan kain lembut yang bergambar, maka raut mukanya berubah,
kemudian ia mengambilnya dan merobeknya. Lalu berkata, ‘Sesungguhnya manusia
yang paling keras azabnya pada hari kiamat nanti adalah orang-orang yang
membuat hal yang serupa dengan makhluk Allah.’ “ ‘Aisyah berkata: “Maka
aku potong kain itu dan aku jadikan dua bantal, dan Rasulullah bersandar di
atasnya.”
“Kemudian
ia mengambil dan merobeknya” menunjukkan keharaman gambar. Lalu, dipotong oleh
‘Aisyah menjadi dua bantal sehingga gambar menjadi terbagi dan tidak sempurna,
ini menunjukkan kebolehannya. Dari sinilah para ulama menyimpulkan, bahwa
gambar jika tidak lengkap (sempurna) tidaklah haram.
4. Gambar-gambar yang diagungkan, digantung
(pajang-pamer) agar dilihat-lihat, maka ini juga haram tanpa diperselisihkan.
Hadits dari ‘Aisyah Radhiallahu ‘Anha, bahwa dahulu ia punya kain yang
memiliki gambar burung, jika ada orang masuk pasti akan melihatnya, maka
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda: “Jauhkan ini
dariku, sebab tiap aku melihatnya membuat aku ingat dengan dunia.” (HR.
Imam Muslim, lihat juga Tafsir al Qurthuby dan Ahkamul Qur’an-nya Ibnul
‘Araby)
Hadits dari Abu Thalhah Radhiallahu
‘Anhu, bahwa ‘Aisyah berkata: “Nabi keluar pada hari peperangan, lalu aku
mengambil namath (kain bergambar yang dicelupi banyak warna), aku tutupi pintu dengannya. Ketika ia pulang,
ia melihatnya, dan aku mengetahui adanya ketidaksukaan pada wajahnya, ia
menariknya hingga terkoyak, dan bersabda: “Sesungguhnya Allah tidak
memerintahkan kita untuk tunduk kepada batu dan tanah!” ‘Aisyah berkata:
“Maka aku potong kain itu, lalu aku jadikan dua bantal dan sabut (lap – keset),
aku tidak melihat ia mencelaku karena itu.” (HR. Bukhari, Muslim, Ahmad,
Tirmidzi, Abu Daud, An Nasa’I, lihat Jam’ul Fawaaid, juz 1, hal. 825)
Patung dan Gambar yang Dibolehkan
1. Setiap Patung atau gambar yang tidak bernyawa,
seperti bentuk bangunan, sungai, pepohonan, pemandangan alam. Dan seleruh yang
tidak memiliki ruh (nyawa). Maka tidak haram menggambarkannya, sebagaimana
hadits dari Ibnu Abbas Radhiallahu ‘Anhu
terdahulu ketika ia ditanya seseorang, “Sesungguhnya akulah yang
menggambar ini, berikan fatwamu untukku tentang hal ini?…” lalu Ibnu Abbas
memberitahukan hadits nabi, lalu ia berkata: “Jika engkau ingin menggambar,
gambarlah pepohonan, dan apa-apa yang tidak memiliki ruh.” (HR. Imam
Bukhari dan Imam Muslim)
2. Setiap
gambar yang tidak utuh, seperti salah satu tangan misalnya, atau mata, atau
kaki, maka itu tidak haram karena itu bukanlah gambaran makhluk yang sempurna.
Ini sesuai hadits dari ‘Aisyah, katanya: “Aku memotongnya, lalu aku jadikan
dua bantal, aku tidak melihat ia mencelaku karena itu.”
3. Juga dikecualikan mainan (boneka) anak perempuan (la’ibul
banaat). Telah ada berita yang pasti dari ‘Aisyah Radhiallahu ‘Anha bahwa Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam
menikahinya saat usianya baru tujuh tahun, lalu ia membawa ‘Aisyah ke rumahnya
saat ‘Aisyah berusia sembilan tahun, dan saat itu ia masih bersama bonekanya.
Rasulullah wafat saat usianya baru delapan belas tahun. (HR. Muslim, lihat juga
Jam’ul Fawaaid)
Dari
‘Aisyah dia berkata, “Aku bermain bersama anak-anak perempuan di dekat Nabi
Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam, saat itu aku memiliki sahabat yang bermain
bersamaku, jika beliau Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam masuk ke rumah,
sahabat-sahabatku malu kepadanya dan pergi, lalu beliau memangil mereka dan
mendatangkan mereka untukku agar bermain
bersamaku lagi.”
Berkata
para ulama: Sesungguhnya dibolehkannya boneka anak-anak karena adanya kebutuhan
terhadapnya, yaitu kebutuhan anak perempuan agar ia memiliki pengalaman dalam
mengasuh anak-anak, namun tidak boleh terus menerus sebab dibolehkannya karena
adanya kebutuhan tadi.[8]
Serupa dengan ini adalah bentuk yang terbuat dari permen dan adonan kue. Ini
adalah keringanan (dispensasi) dalam masalah ini.[9]
Wallahu A’lam
Pandangan Ulama Tentang Gambar
Berkata
Al Qadhy Ibnul ‘Araby, “Hadits telah menunjukkan bahwa gambar itu
terlarang, kemudian datang hadits (kecuali apa-apa yang tergambar pada
pakaian/kain) sebagai keringanan untuk gambar-gambar tertentu. Lalu, telah
kokoh kebencian terhadap gambar sebagaimana sabdanya Shallallahu ‘Alaihi wa
Sallam kepada ‘Aisyah tentang pakaian yang bergambar: “Jauhkanlah ini
dariku, sesungguhnya ketika aku melihatnya aku teringat dengan dunia.”
Kemudian Rasulullah mengoyaknya, dan ‘Aisyah memotongnya menjadi dua bantal
sehingga gambarnya berubah, tidak lagi seperti semula. Jadi, dibolehkannya
gambar jika gambar tersebut tidak sempurna bentuknya, jika masih sempurna maka
tidak boleh. Sebagaimana ucapan ‘Aisyah tentang kain bergambar, “Aku belikan
untukmu agar kau duduk di atasnya, dan bersandar kepadanya.” Maka Rasulullah
melarangnya dan menerangkan ancaman, dan menjelaskan hadits tentang shalat di
depan gambar bahwa hal itu boleh jika gambar di pakaian, kemudian ia hapus
larangan itu. Demikianlah keputusan dalam masalah ini.” (Ahkamul Qur’an,
Juz 3)
Berkata
Abu Hayyan, “Menggambar diharamkan dalam syariat kita. Telah datang
ancaman keras bagi para penggambar, dan bagi sebagian ulama memang ada yang
mengecualikan pada gambar tertentu (tentang kebolehannya). Dalam hadits riwayat
Sahl bin Hanif: Allah melaknat para
penggambar, (dalam riwayat ini) Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam tidak
memberikan pengecualian. Dihikayatkan ada kaum yang membolehkannya. Berkata
Ibnu ‘Athiyah: Aku tidak hafal, siapa para imam yang membolehkannya.”
(Abu Hayyan, Al Bahrul Muhith, Juz.7, hal. 265)
Berkata
Al Alusi, “Yang benar adalah haramnya gambar hewan secara utuh tidak
terjadi pada syariat Nabi Sulaiman ‘Alaihissalam, (keharaman) itu terjadi hanya
disyariat kita. Tidak ada bedanya bagi kita,
antara gambar yang memiliki bayangan atau yang tidak seperti gambar kuda yang dirukir
pada papan atau tembok. Telah datang ancaman keras untuk para penggambar. Maka,
jangan alihkan kepada maksud lain, dan tidak dibenarkan berhujjah (argumentasi)
dengan ayat (tentang Nabi Sulaiman) untuk membolehkannya.” (Al Alusi, Ruhul
Ma’any, Juz. 22, hal. 119)
Berkata
Al Qurthuby, “Rasulullah melaknat para penggambar tanpa kecuali.
Sabdanya: Sesungguhnya para pembuat gambar ini akan diazab pada hari kiamat
nanti. Diperintahkan kepada mereka, ‘Hidupkan apa-apa yang kau ciptakan!’ “
Dalam
hadits riwayat Imam at Tirmidzi, dari Abu Hurairah Radhiallahu ‘Anhu,
bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda: Leher akan
keluar dari api neraka pada hari kiamat nanti, padanya ada dua mata yang
melihat, dua telinga yang mendengar, dan lidah yang berbicara berkata, ‘Aku
berlepas diri dari tiga hal, yaitu; kepada setiap pemaksa yang keras kepala
(otoriter), kepada orang yang berdoa kepada Allah dan juga berdoa kepada yang
lainnya, dan kepada para penggambar,’ “ (HR. Imam at Tirmidzi, hadits hasan
shahih gharib)
Imam
Bukhari meriwayatkan, “Sekeras-kerasnya manusia yang akan mendapat siksa pada
hari kiamat nanti adalah para penggambar.” Hadits ini menunjukkan larangan
menggambar, seperti apa pun juga. (Tafsir al Qurthuby, Juz 14, hal. 274)
Berkata
Imam an Nawawi, “Sesungguhnya bolehnya gambar, hanyalah jika tidak
memiliki bayangan, yaitu berupa gambar yang rata dan tersembunyi, atau yang dihinakan seperti
digunakan menjadi bantal (karena diduduki-pent).”
Berkata
al ‘Allamah Ibnu Hajar dalam
kitabnya Fathul Bari, “Kesimpulan tentang gambar adalah jika gambar
berbentuk jism (anggota tubuh-patung tiga dimensi -pent) maka
diharamkan menurut ijma’ (kesepakatan ulama), sedangkan jika gambar pada pakaian (seperti sablon, batik, bordir –pent)
, maka ada empat pendapat:
Pertama: membolehkan secara mutlak, dengan alasan hadits “kecuali gambar
pada pakaian/kain.”
Kedua: melarang secara mutlak, dengan alasan makna umum hadits yang
melarangnya.
Ketiga: jika gambarnya lengkap dan utuh maka itu haram, tetapi jika terpotong
kepalanya, atau terpish bagian-bagian lainnya maka itu boleh. Ia (Ibnu Hajar)
berkata: “Inilah pendapat yang paling benar.”
Keempat: jika ia dihinakan maka boleh, jika tidak maka tidak boleh.
Dikecualikan boneka anak-anak.
Hukum Fotografi
Sebagian Ahli Fiqih generasi belekangan (muta’akhirin)
berpendapat bahwa gambar foto (tashwirul syamsi) bukanlah termasuk
kategori yang diharamkan, sebagaimana gambar yang dibuat oleh tangan yang
diharamkan itu. Tidak ada nash nabawiyah (hadits) yang mengharamkannya.
Didalamnya tidak ada unsur penyerupaan terhadap ciptaan Allah, dan hukumnya
sama dengan hukum gambar di baju yang telah dikecualikan oleh nash.
Berkata
Fadhilatus Syaikh as Sayis: “Anda berharap mengetahui hukum fotografi,
maka kami katakan, ‘Mungkin menurut anda hukumnya sama dengan hukum gambar di
pakaian/kain, dan anda telah mengetahui ada nash yang mengecualikannya. Anda
juga mengatakan, ‘Sesungguhnya fotografi bukanlah menggambar, tetapi menahan
(merekam-pent) gambar, sebagaimana gambar di cermin, tidak mungkin anda
mengatakan yang di cermin itu adalah gambar (lukisan), dan sesungguhnya itu
satu bentuk (dengan aslinya).
Apa-apa
yang dibuat oleh alatut tashwir (tustel)
adalah gambar sebagaimana di cermin, tujuan dari ini adalah bahwa alat
tersebut menghasilkan dengan pasti bayangan nyata[10]
yang terjadi padanya (negatif film – klise), sedangkan cermin tidak
seperti itu. Kemudian klise itu diletakkan pada zat asam tertentu, maka
tercetaklah sejumlah gambar/foto (proses ini disebut cuci cetak-pent).
Jelas ini secara hakiki bukanlah
menggambar. Sebab ini sekadar upaya memperjelas dan menampakkan gambar yang
sudah ada, supaya tertahan dari sinar matahari langsung (agar tidak terbakar –pent).
Mereka berkata: “Sesungguhnya seluruh foto yang ada bukanlah hasil dari
pemindahan (gambar) dengan
perbuatan sinar dan cahaya, selamanya tidak ada larangan
dalam memindahkan dan mengasamkannya, dan selamanya di dalam syariat yang luas
ini foto itu dibolehkan, sebagaimana pengecualian gambar pada pakaian/kain,
tidak ada dalil secara khusus yang mengharamkannya. Telah tampak bahwa manusia
menjadikannya sebagai barang kebutuhan yang sangat penting bagi mereka.” (Ayatul
Ahkam lis Sayis, Juz. 4, hal. 61)
Aku
(Ali Ash Shabuni) mengatakan, “Sesungguhnya fotografi tidaklah keluar dari
prinsip larangan menggambar, tidak juga keluar dari apa-apa yang oleh ayat
disebut shurah (gambar/lukisan),
dan orang yang membuatnya oleh bahasa dan tradisi disebut mushawwir (pelukis).
Jika pun foto tidak termasuk yang dimaksud oleh ayat yang jelas ini -lantaran
ia tidak dibuat langsung oleh tangan, dan tidak ada unsur penyerupaan terhadap
ciptaan Allah- namun ia tidak keluar dari keumuman maksud dari pembuatan gambar/lukisan (tashwiir). Maka
hendaknya pembolehan foto dibatasi atas dasar kebutuhan mendesak (dharurah),
dan karena jelas manfaatnya. Sebab, telah terjadi kerusakan besar yang
dihasilkan oleh foto, sebagaimana keadaan majalah-majalah hari ini yang telah
menyemburkan racunnya kepada pemuda-pemuda kita, sehingga lahirlah fitnah
(bencana) dan kelalaian, di mana terpampang foto-foto bentuk tubuh wanita dan
wajah-wajah mereka[11],
dengan kepalsuan dan penampilan yang merusak agama dan akhlak.
Adapun
foto-foto telanjang, pemandangan yang rendah dan hina, dan rupa-rupa yang
membawa fitnah (kerusakan) yang terlihat pada majalah-majalah porno, di mana
kebanyakan halamannya mengandung kegilaan, maka akal tidak ragu atas
keharamannya, walau gambar tersebut bukan buatan tangan secara langsung, namun
kerusakan dan bencana yang dihasilkannya lebih besar dibanding lukisan dengan
tangan.
Kemudian,
sesungguhnya ‘Ilat (alasan) pengharaman foto bukan karena ia menyerupai dan menyamai makhluk Allah, tetapi
karena adanya titik persamaan dengan jenis gambar yang telah diberi peringatan,
yaitu bahwa watsaniyah (paganisme – keberhalaan) yang merasuki umat-umat
terdahulu terjadi karena melalui jalan ‘gambar’. Di mana jika orang shalih
mereka wafat, mereka membuat gambarnya (patung) dan mengabadikannya untuk
mengingatnya dan mengikutinya. Kemudian datang generasi setelah mereka,
menyembah patung tersebut. Maka apa-apa yang dilakukan manusia, menggantung
foto besar yang diberi perhiasan di
dinding rumah, walau sekadar untuk kenang-kenangan, dan tidak dibuat dengan tangan
(bukan lukisan), ini termasuk yang tidak dibolehkan oleh syariat. Karena,
nantinya berpotensi untuk mengagungkannya dan menyembahnya,
sebagaimana yang dilakukan Ahli Kitab terhadap para nabi dan orang-orang shalih
mereka.[12]
Maka
pemutlakan kebolehan foto dengan alasan ia bukanlah melukis melainkan menahan
(merekam) bayangan. Seharusnya pembolehannya terikat yaitu karena dharurat kebutuhan seperti foto
identitas pribadi, dan semua hal yang berkaitan dengan maslahat dunia yang
dibutuhkan manusia. Wallahu A’lam
Upaya penyamaran (syubhat) atas haramnya gambar (patung dan lukisan utuh makhluk bernyawa)
Sebagian penyeru ilmu pengetahuan,
khususnya yang telah terpengaruh oleh peradaban barat, menghembuskan upaya
penyamaran atas haramnya gambar, dengan maksud mengejar kesetaraan derajat
dengan peradaban barat, atau meraih kemewahan dan kemegahan hawa hafsu mereka.
Alasan polos yang masuk dalam benak mereka adalah bahwa gambar adalah seni yang
lembut dan cita rasa yang bersih.
Syubhat pertama
Mereka menyangka bahwa adanya nash-nash yang
mengharamkan gambar, karena disesuaikan
kondisi da’wah Islam saat itu yang sedang melakukan perlawanan terhadap
syirk dan paganisme. Pengharaman itu bertujuan agar jalan menuju paganisme
terputus. Maka ketika kekhawatiran terhadap penyembahan berhala telah hilang,
maka hilang pula alasan diharamkannya gambar.
Untuk
menyanggah syubhat ini, cukup bagi kita mengutip ucapan Fadhilatus Syaikh
Ahmad Syakir rahimahullah ketika mematahkan argumen syubhat ini,
dalam komentarnya terhadap hadits no. 7166 dalam kitab Al Musnad karya
Imam Ahmad bin Hambal. Ia berkata:
“Diantara
hujjah (argumen) mereka adalah …. Bahwa nash-nash yang mengharamkan memiliki ‘ilat
(alasan) yang tidak disebut oleh syari’ (pembuat syariat –Allah) yaitu
karena saat itu masih dekat dengan masa-masa penyembahan berhala. Ada pun
sekarang, telah lama sekali berlalu zaman tersebut.sehingga hilanglah ‘ilat
(alasan) keharaman gambar (patung), dan janganlah takut dengan kembalinya
manusia kepada penyembahan berhala.
Mereka
telah lupa, bahwa di depan mereka telah terjadi fenomena keberhalaan, yaitu
dengan cara bertaqarrub (mendekatkan diri) kepada kuburan dan orang
mati, meminta perlindungan kepada mereka dari kesulitan dan kesempitan, dan
sesungguhnya paganisme-keberhalaan (watsaniyah) menyusup ke dalam hati
pelakunya tanpa disadari.
Sesungguhnya
fatwa bodoh tersebut akan membawa dampak, negeri kita akan dipenuhi fenomena
keberhalaan, patung-patung mendapatkan posisi tinggi dan memenuhi negeri,
dimuliakan dan diagungkan untuk mengingatnya. Kemudian mereka berkata: “Tidak
ada maksud untuk mengagungkannya.” Kemudian negara membuat –dan menyangka hal
itu sebagai perilaku Islami di tengah umat Islam- perguruan (ma’had) seni rupa
dan keindahan ….. perguruan yang penuh kefujuran (perbuatan
buruk). Lalu para pemuda masuk ke dalamnya, baik laki-laki dan perempuan, mereka
telanjang ketika berdiri, duduk, dan berbaring, dan pada seluruh
posisinya ada perbuatan buruk di dalamnya. Tak ada apa pun yang menutupi tubuh
mereka, lalu mereka berkata kepada kita: Inilah seni …![13]
(Lihat Musnad Imam Ahmad, hadits no. 7166)
Syubhat Kedua
Mereka
berkata: sesungguhnya hadits-hadits yang menunjukkan haramnya gambar, adalah
hadits ahad[14],
tidak qath’i (pasti), maka tidak mungkin disandarkan kepada Islam
tentang pengharaman salah satu seni ini, selama tidak ada nash qath’i
yang mengharamkannya.
Untuk
menyanggah syubhat ini, kami katakan: ini adalah kebodohan yang jelas
terhadap hukum syariat. Sesungguhnya, jika telah tsabit (kukuh – kuat)
dari Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam baik berupa ucapannya, atau
perilaku, atau perbuatan, maka wajib mengambilnya sebagai hujjah
(argumen), sama saja baik dengan jalan mutawatir atau ahad. Ini
telah disepakati oleh para ulama. Telah
diketahui bersama bahwa mayoritas ketetapan hukum syar’i ditetapkan
berdasarkan hadits ahad, walau ia tidak qath’i –menurut anggapan
mereka- mayoritas ketetapan syariat
didirikan di atasnya. Syubhat mereka ini membuktikan tidak bersumber
dari pemahaman orang yang berilmu, melainkan dari orang yang bodoh terhadap
prinsip-prinsip syariah dan metode istimbath (penyimpulan hukum).
Namun
anehnya, orang-orang yang berhujjah dengan argumentasi yang lemah ini -untuk
menguatkan pendapat mereka- justru menggunakan hadits-hadits mungkar,[15]
lemah sanad[16]nya,
dan bodoh para periwayatnya, namun karena hadits tersebut sesuai dengan hawa
nafsu mereka, maka mereka berpegang kepadanya. Mereka berdebat dengan
menggunakannya, yaitu perdebatan para ahlul
ahwa (pengikut hawa nafsu).
Para ahli ushul telah membantah syubhat
mereka ini, dan yang terdepan adalah al Imam Asy Syafi’i rahimahullah
dengan bantahan yang telak. Mereka (para ahli ushul) menetapkan bahwa wajib
berpegang pada hadits ahad jika hadits tersebut shahih, dan para ulama
Islam senantiasa beramal dan berargumentasi dengan hadits ahad. Sebab, jika
kita tidak menggunakannya, maka akan teranulir-lah mayoritas ketetapan hukum
syariat.
Kedua,
sesungguhnya nash-nash (teks syariat) tentang pengharaman gambar,
ternyata telah sampai pada tingkat mutawatir (bukan ahad seperti
anggapan mereka –pent), umat Islam menukilnya dari generasi ke generasi,
maka tidak ada celah bagi kaum yang ragu-ragu untuk menolaknya dari sisi ini.
Kami tambahkan, bahwa sesungguhnya tidaklah ditemukan pada bangsa-bangsa Islam
gambar atau pahatan dalam ukuran besar. Sesungguhnya kesenian kaum muslimin
berpaling dari gambar (makhluk bernyawa -pent), pembuatan patung, menuju
pembuatan seni bangunan, hiasan arab, bentuk tumbuhan, dan lain-lan … semua itu
disebabkan pengetahuan mereka tentang pengharaman Islam terhadap gambar. Maka,
seandainya keyakinan mereka tidak menetapkan keharamannya, niscaya mereka akan
berpaling kepada yang lain. Cukuplah ini untuk membantah mereka, kelompok
penuduh itu.
Syubhat ketiga
Mereka menguatkan pendapat kebolehan gambar
berdasarkan ayat Al Qur’an (yakni ayat tentang jin Nabi Sulaiman ‘Alaihissalam
-pent). Tidak sah berargumentasi dengan ayat tersebut, karena isi ayat
tersebut tidak bercerita tentang syariat kita, melainkan tentang syariat
terdahulu yang telah dihapus oleh syariat Islam. Ayat mulia tersebut telah kita
bahas, yaitu firman Allah Ta’ala:
“Mereka (para jin) membuat untuk Sulaiman
apa yang dikehendakinya berupa gedung-gedung yang tinggi, patung-patung, ….dst (QS. As Saba (34): 13)
Dalam ayat ini tidak ada petunjuk tentang
halalnya gambar, karena ayat ini mengabarkan tentang apa yang dilakukan oleh
pasukan jin Nabi Sulaiman ‘Alaihissalam, tidak pula di dalamnya petunjuk
tentang patung-patung yang memiliki ruh. Selain itu, ini juga syariat terdahulu,
telah ada ketetapan para ulama bahwa ‘Syariat manusia sebelum kita adalah
syariat kita juga, selama belum dihapus’ , dan syariat Islam telah
menghapusnya (nasikh) maka tidak bisa berhujjah dengan ayat tersebut.
Ini adalah kaidah yang telah disepakati para
ulama Islam. Sujud dengan maksud memberikan penghormatan kepada selain Allah Ta’ala
dibolehkan pada syariat Nabi Yusuf ‘Alaihissalam.
Namun, syariat kita telah mengharamkannya, maka tidak sah pula berhujjah dengan
apa yang Allah sebutkan tentang sujudnya
saudara-saudara Yusuf kepada Yusuf untuk
dijadikan dasar kebolehan bersujud kepada selain Allah. Syariat kita telah
menghapus syariat-syariat sebelumnya, karena itulah patung-patung adalah haram
dan tidak sah berhujjah dengan ayat tersebut. Wallahu A’lam.
[1] Ini peringatan untuk para penikmat pameran
patung –pent.
[2] Mutawatir adalah
hadits yang diriwayatkan banyak manusia, dari generasi ke generasi, yang
mustahil mereka berbohong. Sehingga hadits mutawatir pasti shahih (valid
– autentic tex) –pent.
[3] Artinya azab baru berhenti jika lukisan
tersebut bisa diberikan ruh, ternyata lukisan tersebut selamanya tidak dapat
ditiupkan ruh di dalamnya, berarti siksaan akan berlangsung terus menerus –pent.
[4] Ini menunjukkan bahwa gambar yang
diharamkan adalah gambar makhluk yang memiliki ruh (nyawa) seperti manusia dan
hewan, sedangkan yang tidak memiliki ruh adalah boleh, seperti pemandangan,
kubus, abstrak, dan lain-lain semisalnya. Nanti akan dijelaskan oleh Syaikh Ali
ash Shabuni -pent.
[5] Lihatlah sebagian
umat Islam saat ini, ketika ada orang shalih wafat, maka makamnya dibuat
bangunan bahkan dijadikan tempat ibadah, baik mushalla atau masjid, lalu mereka
pajang foto orang-orang shalih tersebut. Ini merupakan perbuatan tasyabbuh bil kuffar (menyerupai orang
kafir) yang amat dicela sebagaimana
hadits di atas -pent.
[6] Telah diketahui bersama, bahwa seluruh
Rasul dan Nabi, dakwah mereka adalah sama yaitu ‘ani’budullaha wajtanibuth
thaghut (sembahlah Allah semata dan jauhilah thaghut/sembahan selain
Allah). Namun mereka berbeda dalam urusan syariah; seperti tata cara ibadah,
sebagian masalah halal-haram, dan lain-lain. Patung dan gambar termasuk di
dalamnya, ia dibolehkan pada masa Nabi
Sulaiman ‘Alaihissalam, namun diharamkan pada masa Nabi Muhammad Shalallahu
‘Alaihi wa. Sallam.
[7] Sebagian orang mengatakan, “Rasulullah
mengharamkan patung, karena saat itu manusia imannya masih lemah, segingga jika
dihalalkan khawatir mereka kembali meyembah patung, tetapi setelah iman sudah
kuat dan tak ada lagi yang menyembah patung dan kekhawatiran untuk
menyembahnya, maka tak ada alasan lagi
patung diharamkan.” Perkataan ini ada
beberapa kesalahan. Pertama, 2,5 milyar manusia masih menyembah patung di
India, Cina, Thailand, Bali, dan
lain-lain, baik itu pemeluk Hindu, Budha, Konghucu, dan sebagainya. Kedua,
patung diharamkan bukan karena alasan itu (faktor kuat atau lemahnya iman),
tetapi karena patung (dan lukisan) adalah penyerupaan terhadap makhluk Allah ‘Azza
wa Jalla, belum lagi alas an lain yakni tidak masuknya malaikat ke rumah
yang ada patung, dan patung merupakan tempat bersemayamnya syetan –pent.
[8] Artinya ketika si anak perempuan telah beranjak remaja dan seterusnya, ia
tidak dibenarkan lagi memainkannya. Sebab ia telah keluar dari kategori al
banaat (gadis cilik) -pent.
[9] Tidak hanya itu, tetapi juga bentuk
manusia, hewan, atau robot-robotan
berukuran sangat kecil yang terbuat dari pelastik atau karet yang biasa
dimainkan juga oleh bocah laki-laki, atau gambar kartun, bahkan Syaikh Yusuf al
Qaradhawy memuji kartun-katun Islami untuk kepentingan da’wah Islam dalam
rangka mengimbangi kartun-kartun jahili. Juga patung untuk keperluan ilmu
pengetahuan, yang menggambarkan anatomi
tubuh. Ini semua juga diberi dispensasi (keringanan) sesuai kebutuhannya saja –pent.
[10] Dalam Ilmu Fisika kita ketahui bayangan ada
dua, yaitu bayangan nyata dan maya, fotografi dan cermin adalah bayangan nyata
–pent.
[11] Syaikh Ali Ash Shabuni termasuk ulama yang
berpandangan bahwa wajah wanita adalah aurat, wajib ditutup (cadar), itu juga
pendapat para ulama di Saudi Arabia seperti
Syaikh Abdul Aziz bin Bazz, Syaikh Ibnu ‘Utsaimin, Syaikh Shalih
Fauzan, ulama Mesir seperti Syaikh Said Ramadhan al Buthy (menantu Imam
Hasan al Banna), atau para ulama di India seperti Syaikh Abul A’la al
Maududi. Sedangkan sebagian ulama
menyatakan bahwa wajah wanita bukan aurat seperti Syaikh Yusuf al Qaradhawy,
Syaikh Muhammad al Ghazaly, Syaik
Muhammad Nashiruddin al Albany, dan para ulama di Al Azhar University.
[12] Orang Kristen biasa menggantung lukisan
Yesus Kristus di tembok rumah mereka, maka wajib bagi seorang muslim untuk
berbeda dengan mereka!
[13] Ini mengingatkan kita kepada kaum munafikin
para penyeru pornografi dan pornoaksi di Indonesia. Ketika gunjang ganjing
Rancangan Undang –Undang Anti Pornografi
Pornoaksi (RUU APP) yang lalu, mereka
juga menyebut porno adalah seni. Setelah alasan ini gagal, mereka membuat
alasan baru, bahwa RUU APP akan mengekang perempuan, membawa disintegrasi bangsa, lebih mementingkan kepentingan satu kelompok
agama (Islam), dan lain-lain. Seakan-akan mereka (para penolak RUU APP) adalah
orang yang ingin membangun bangsa, sedangkan yang pro RUU APP adalah perusak
bangsa. Terbalik! Allah Ta’ala
berfirman: “Dan jika dikatakan kepada mereka, ‘janganlah kalian membuat
kerusakan di muka bumi,’ mereka menjawab, ‘Sesungguhnya kami ini hanya
mengadakan perbaikan saja.’ Ketahuilah, sesungguhnya mereka itu adalah perusak,
tetapi mereka tidak menyadarinya.” (QS. Al Baqarah (2): 11-12) – pent.
[14]Ditinjau dari jumlah periwayat, hadits ada
beberapa klasifikasi, yaitu mutawatir dan ahad. Hadits mutawatir
adalah hadits yang diriwayatkan oleh banyak orang dari generasi ke generasi,
yang tidak mungkin mereka sepakat untuk berbohong, sehingga hadits mutawatir
pasti shahih (valid-autentic) dari Nabi. Ada yang mengatakan
diriwayatkan minimal empat orang, atau 20, atau 40 orang lebih. Sedangkan
hadits ahad, adalah hadits yang diriwayatkan sejumlah orang yang lebih
sedikit dari jumlah mutawatir,
sehingga bisa shahih bisa tidak.
Hadits ahad dibagi menjadi tiga kelompok, yaitu masyhur
(diriwaytkan tiga orang), aziz (diriwayatkan dua orang), dan gharib
(diriwayatkan satu orang) –pent.
[15] Hadits mungkar adalah salah satu hadits dhaif
(lemah), bermakna hadits yang menyendiri dalam periwayatannya, yang
diriwayatkan oleh orang yang banyak salahnya, banyak lengahnya atau jelas
kefasikannya bukan karena berbohong. Ada juga yang mendefinisikan, hadits yang
diriwayatkan oleh periwayat yang tidak terpercaya (ghairu tsiqah),
berlawanan dengan riwayat orang yang terpercaya (tsiqah). (Lihat Ikhtishar
Musthalah al Hadits, hal 185-186.
Drs. Fatchur Rahman, Ushulul Hadits, hal. 313. Dr. Muh. ‘Ajaj al
Khatib. Juga Taysir Mushthalah al Hadits, hal. 80. Syaikh Dr. Mahmud ath
Thahhan –pent)
[16] Sanad adalah jalan yang dapat menghubungkan
teks hadits kepada Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. -pent
No comments:
Post a Comment