Pertanyaan:
Ust. Pernah dengar hadits ini. Nyaris orang-orang
memukul perut onta untuk mencari ilmu, tapi ternyata mereka tidak menemukan
seorang pun yang lebih alim dari orang alim Madinah. Ada yang bilang ini bukti
alumni Universitas Islam Madinah lebih unggul dibanding yang lainnya. (083181358xxx)
Jawaban:
Bismillah wal Hamdulillah wash Shalatu was Salamu ‘ala
Rasulillah wa ‘ala Aalihi wa Shahbihi wa Man waalah, wa ba’d:
Universitas
Islam Madinah adalah salah satu kampus Islam paling bergengsi saat ini,
tercatat nama-nama besar ulama pernah menjadi pengajar di sana seperti Syaikh
Muhammad Nashiruddin Al Albani, Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baaz, dan lain-lain. Syaikh Yusuf Al Qaradhawi pun
pernah menjadi anggota majelis tinggi kampus tersebut.
Tetapi,
nama-nama ini ternyata bukan alumni
Universitas Islam Madinah, walau mereka pernah mengajar di sana dan telah
menjadi ulama rujukan saat ini, bahkan Syaikh Ibnu Baaz pernah menjadi
rektornya. Di Indonesia pun banyak tokoh-tokoh nasional yang pernah belajar di
sana hingga belasan tahun lamanya, seperti Dr. Hidayat Nur Wahid (mantan Ketua
MPR periode 2004-2009), Dr. Salim Seggaf Al Jufri (Mentri sosial), Dr. Said
Aqil Al Munawar, dan lain-lainnya.
Kenyataan
ini, tidak berarti menegasi para ulama dan sarjana alumni Al Azhar
(Kairo), Ummul Qurra (Mekkah), Jami’atul Imam (Riyadh), Darul
Hadits di Dammaj – Yaman, dan lainnya. Bahkan tidak dibenarkan mengeluarkan
pernyataan itu, dan tidak pada tempatnya menjadikan hadits itu sebagai
alasannya. Tentunya masalah ini sangat sensitif dan memancing fanatisme
almamater. Banyak ulama besar yang menjadi rujukan umat ternyata bukan alumni
Universitas Islam Madinah, sebut saja para ulama Al Azhar seperti Imam Ibnu
Hajar dan Imam As Suyuthi pada masa lalu, lalu zaman ini ada Syaikh Abu Zahrah,
Syaikh Mahmud Syaltut, Syaikh Mutawalli Asy Sya’rawi, Syaikh Bukhait Al
Muthi’i, Syaikh ‘Athiyah Saqr, Syaikh Ali Ath Thanthawi, Syaikh Al Qaradhawi,
dan lainnya.
Lagi
pula, apakah yang dimaksud ulama Madinah? Apakah ulama yang asli orang Madinah,
lalu dia tinggal di Madinah dan/atau di luar Madinah? Ataukah hanya berlaku
yang masa hidupnya dihabiskan di Madinah? Atau ulama yang tinggal di Madinah
walau dia asalnya dari luar Madinah? Atau ...?
Bagaimana
dengan imam empat madzhab? Hanya satu yang lahir di Madinah, kecil hingga
besarnya di Madinah, menuntut ilmu dengan para imam Madinah, wafat pun di
Madinah, dia tidak pernah keluar Madinah kecuali ketika Haji ke Mekkah, dialah
Al Imam Malik Radhiallahu ’Anhu.
Sedangkan
Imam Abu Hanifah, dia adalah orang Persia, dan menjadi tokoh ulama Persia,
khususnya Kufah (saat ini Iraq).
Imam Asy Syafi’i dilahirkan di Gaza (Palestina), lalu
Beliau berguru kepada murid-muridnya Imam Abu Hanifah di Baghdad seperti Imam
Muhammad bin Hasan, lalu ke Madinah berguru kepada Imam Malik, lalu kembali ke
Baghdad dan menjadi imam di Baghdad
serta lahirnya qaul qadim, lalu hijrah ke Mesir serta lahirnya qaul jadid,
dan wafat di sana.
Imam Ahmad bin Hambal, Beliau adalah ulama Iraq, di
Baghdad dia menggantikan posisi Imam Asy Syafi’i ketika gurunya itu ke Mesir.
Nah, apakah ketiga imam ini tidak apa-apanya dibanding
Imam Malik karena mereka bukan ulama Madinah? Padahal tidak sedikit ulama yang
lebih mengunggulkan Imam Asy Syafi’i dibanding lainnya, karena dia mampu
menggabungkan ilmunya para Ahli Hadits yang diwakili Imam Malik dan ilmunya
Ahli Ra’yu yang diwakili Imam Abu Hanifah. Sedangkan Imam Ahmad bin Hambal,
tidak sedikit yang menyebutnya bahwa posisinya
sebagai imam hadits lebih Nampak
dibanding sebagai imam fiqih.
Ada
pun hadits yang antum maksud adalah sebagai berikut:
يُوشِكُ أَنْ يَضْرِبَ
النَّاسُ أَكْبَادَ الْإِبِلِ يَطْلُبُونَ الْعِلْمَ فَلَا يَجِدُونَ أَحَدًا
أَعْلَمَ مِنْ عَالِمِ الْمَدِينَةِ
Hampir
saja manusia memukul perut Unta demi mencari ilmu, dan mereka tidak mendapatkan
seorang pun yang lebih berilmu dibanding ‘alim (orang berilmu)-nya
Madinah. (HR. At Tirmidzi No. 2680, katanya: hasan. Ahmad dalam Musnadnya
No. 7980, An Nasa’i dalam As Sunan Al Kubra No. 4291, Al Bazzar dalam Musnadnya
No. 8935, Al Baihaqi dalam Ma’rifatus Sunan wal Aatsar No. 30, dll)
Sanad hadits ini:
-
Al Hasan bin Ash Shabah Al
Bazzar, Ishaq bin Musa Al Anshari, Sufyan bin ‘Uyainah, Ibnu
Juraij, Abu Zubeir, Abu Shalih, Abu
Hurairah.
Hadits ini dihasankan oleh Imam At Tirmidzi dalam Sunan-nya,
juga dishahihkan oleh Imam Al Hakim, dan disepakati Imam Adz Dzahabi. (Al
Mustadrak No. 307), namun para ulama mengoreksinya.
Di antaranya, Imam Abul Hasan Ali bin Al Qaththan Al
Fasi, Beliau mengatakan, “Ibnu ‘Uyainah, Ibnu Juraij, dan Abu Az Zubeir, semuanya
adalah mudallis (orang yang melakukan keterangan tidak jelas pada sanad
dan/atau matan).” (Bayanul Wahm wal Iham fi Kitabil Ahkam, No. 1865)
Hadits ini diriwayatkan secara ‘an’anah (yakni
‘an fulan – dari fulan), menunjukkan keterputusan sanadnya. Hadits yang
diriwayatkan secara ‘an’anah bisa saja shahih jika para perawinya bukan
mudallis, tapi nyatanya hadits ini diriwayatkan tiga orang para mudallis
(perbuatannya disebut tadlis).
Imam Ad Daruquthni menyebut Ibnu Juraij sebagai
seburuk-buruknya pelaku tadlis. (Al Hafizh Ibnu Hajar, Thabaqat Al
Mudallisin, No. 83)
Imam Ibnu Hajar menyebut bahwa Abu Az Zubeir terkenal
sebagai pelaku tadlis, dan Imam An Nasai juga lainnya menyatakan
demikian. (Ibid, No. 101)
Syaikh Al Albani mendhaifkan hadits
ini, dan dia mengomentari penshahihan
Imam Al Hakim dan Imam Adz Dzahabi, katanya:
قلت : وهو كما قالا ؛ لولا عنعنة
ابن جريج وأبي الزبير ؛ فإنهما مدلسان ، لا سيما الأول منهما ؛ فإنه سيىء التدليس كما
هو مشروح في ترجمته
Aku
(Syaikh Al Albani) berkata: “Hadits ini seperti yang dikatakan oleh mereka
berdua (shahih) seandainya tidak dilakukan secara ‘an’anah oleh Ibnu
Juraij dan Abu Az Zubeir, karena keduanya adalah mudallis, apalagi yang
pertama (Ibnu Juraij), dia adalah orang yang buruk tadlisnya,
sebagaimana dijelaskan dalam biografinya.” (As Silsilah Adh Dhaifah
No. 4833)
Syaikh Ali Hasyisy memberikan penjelasan yang cukup
bagus, katanya:
قلت: هذا الحديث غريب غرابة مطلقة؛ فلم يرو هذا الحديث
إلا أبو هريرة، ولم يروه عن أبي هريرة إلا أبو صالح، ولم يروه عن أبي صالح إلا أبو
الزبير، ولم يروه عن أبي الزبير إلا ابن جريج تفرد به ابن عيينة.
ولم يخرج البخاري ولا مسلم من
هذا الطريق حديثا واحدا، بل وأصحاب السنن لم يخرج أحد منهم من هذا الطريق إلا الترمذي
والنسائي هذا الحديث فقط
Aku
berkata: Hadits ini gharib (menyendiri) dengan keghariban yang mutlak.
Hadits ini tidak pernah diriwayatkan kecuali oleh Abu Hurairah saja, dan tidak
ada yang meriwayatkan dari Abu Hurairah kecuali Abu Shalih, dan tidak ada yang
meriwayatkan dari Abu Shalih kecuali Abu Az Zubeir, dan tidak ada yang
meriwayatkan dari Abu Az Zubeir kecuali Ibnu Juraij, dan Ibnu ‘Uyainah
meriwayatkan secara menyendiri darinya.
Hadits
ini tidak pernah diriwayatkan oleh Al Bukhari, tidak pula oleh Muslim, dari jalan
hadits seperti ini walau pun satu saja, bahkan para penyusun kitab Sunan
tidak ada yang meriwayatkan jalur seperti ini kecuali At Tirmidzi dan An Nasa’i
pada hadits ini saja. (Silsilah Al Ahadits Al Wahiyah, Hal. 93)
Syaikh Ali Hasyisy menyebutkan dua ‘ilat
(cacat) pada hadits ini yakni Ibnu Juraij dan Abu Az Zubeir. Lalu Beliau
menyimpulkan:
وبهذا يكون الحديث غير صحيح،
والسند واه لما فيه من تدليس شديد ومركب
Dengan ini, hadits ini menjadi tidak shahih, dan
sanadnya lemah, karena di dalamnya terdapat tadlis yang berat dan
bertumpuk-tumpuk. (Ibid, Hal. 94)
Dengan dua cacat ini pula yang membuat Syaikh Syu’aib
Al Arnauth juga mendhaifkan hadits ini. (Ta’liq Musnad Ahmad No.
13/358)
Demikianlah status hadits ini. Wallahu A’lam
Taruhlah hadits ini shahih, lalu apakah makna ‘Aalimul
Madinah (Ulama Madinah) dalam hadits ini? Lebih selamat nampaknya jika kita
mengikuti apa yang diyakini oleh ulama salaf.
Para ulama salaf seperti Imam Abdurazzaq, Imam Sufyan
bin ‘Uyainah mengatakan maksud ulama Madinah dalam hadits ini adalah Imam Malik
bin Anas. Imam Ibnu ‘Uyainah juga mengatakan tentang ulama Madinah adalah Abdul
Aziz bin Abdullah Al ‘Umari, keturunan Umar bin Al Khathab. Dia seorang yang
zuhud, dan bukan ulama. (Lihat keterangan ini dalam Sunan At Tirmidzi No.
2680, juga Al Ahkam Asy Syar’iyah Al
Kubra, 1/285, juga Musnad Ahmad No. 7980)
Tentunya keutamaan Imam Malik ini tidak diraihnya
semata-mata karena domisilinya di Madinah dan berguru kepada ulama-ulama
Madinah, tetapi karena ketinggian ilmu yang dimilikinya, keshalihan, ibadahnya,
dan keutamaan lainnya. Inilah yang menjadi kuncinya.
Sekian. Wa
Shallallahu ‘Ala Nabiyyina Muhammadin wa ‘Ala Aalihi wa ashhabihi ajmain.
No comments:
Post a Comment