Sunday, February 16, 2014

alumni madinah lebih baik?

Pertanyaan:

Ust. Pernah dengar hadits ini. Nyaris orang-orang memukul perut onta untuk mencari ilmu, tapi ternyata mereka tidak menemukan seorang pun yang lebih alim dari orang alim Madinah. Ada yang bilang ini bukti alumni Universitas Islam Madinah lebih unggul dibanding yang lainnya. (083181358xxx)

Jawaban:

            Bismillah wal Hamdulillah wash Shalatu was Salamu ‘ala Rasulillah wa ‘ala Aalihi wa Shahbihi wa Man waalah, wa ba’d:

            Universitas Islam Madinah adalah salah satu kampus Islam paling bergengsi saat ini, tercatat nama-nama besar ulama pernah menjadi pengajar di sana seperti Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albani, Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baaz,   dan lain-lain. Syaikh Yusuf Al Qaradhawi pun pernah menjadi anggota majelis tinggi kampus tersebut.

            Tetapi, nama-nama ini  ternyata bukan alumni Universitas Islam Madinah, walau mereka pernah mengajar di sana dan telah menjadi ulama rujukan saat ini, bahkan Syaikh Ibnu Baaz pernah menjadi rektornya. Di Indonesia pun banyak tokoh-tokoh nasional yang pernah belajar di sana hingga belasan tahun lamanya, seperti Dr. Hidayat Nur Wahid (mantan Ketua MPR periode 2004-2009), Dr. Salim Seggaf Al Jufri (Mentri sosial), Dr. Said Aqil Al Munawar, dan lain-lainnya.

            Kenyataan ini, tidak berarti menegasi para ulama dan sarjana alumni Al Azhar (Kairo), Ummul Qurra (Mekkah), Jami’atul Imam (Riyadh), Darul Hadits di Dammaj – Yaman, dan lainnya. Bahkan tidak dibenarkan mengeluarkan pernyataan itu, dan tidak pada tempatnya menjadikan hadits itu sebagai alasannya. Tentunya masalah ini sangat sensitif dan memancing fanatisme almamater. Banyak ulama besar yang menjadi rujukan umat ternyata bukan alumni Universitas Islam Madinah, sebut saja para ulama Al Azhar seperti Imam Ibnu Hajar dan Imam As Suyuthi pada masa lalu, lalu zaman ini ada Syaikh Abu Zahrah, Syaikh Mahmud Syaltut, Syaikh Mutawalli Asy Sya’rawi, Syaikh Bukhait Al Muthi’i, Syaikh ‘Athiyah Saqr, Syaikh Ali Ath Thanthawi, Syaikh Al Qaradhawi, dan lainnya.

            Lagi pula, apakah yang dimaksud ulama Madinah? Apakah ulama yang asli orang Madinah, lalu dia tinggal di Madinah dan/atau di luar Madinah? Ataukah hanya berlaku yang masa hidupnya dihabiskan di Madinah? Atau ulama yang tinggal di Madinah walau dia asalnya dari luar Madinah? Atau ...?

            Bagaimana dengan imam empat madzhab? Hanya satu yang lahir di Madinah, kecil hingga besarnya di Madinah, menuntut ilmu dengan para imam Madinah, wafat pun di Madinah, dia tidak pernah keluar Madinah kecuali ketika Haji ke Mekkah, dialah Al Imam Malik Radhiallahu ’Anhu.

            Sedangkan Imam Abu Hanifah, dia adalah orang Persia, dan menjadi tokoh ulama Persia, khususnya Kufah (saat ini Iraq).

Imam Asy Syafi’i dilahirkan di Gaza (Palestina), lalu Beliau berguru kepada murid-muridnya Imam Abu Hanifah di Baghdad seperti Imam Muhammad bin Hasan, lalu ke Madinah berguru kepada Imam Malik, lalu kembali ke Baghdad dan menjadi imam di  Baghdad serta lahirnya qaul qadim, lalu hijrah ke Mesir serta lahirnya qaul jadid, dan wafat di sana.

Imam Ahmad bin Hambal, Beliau adalah ulama Iraq, di Baghdad dia menggantikan posisi Imam Asy Syafi’i ketika gurunya itu ke Mesir.

Nah, apakah ketiga imam ini tidak apa-apanya dibanding Imam Malik karena mereka bukan ulama Madinah? Padahal tidak sedikit ulama yang lebih mengunggulkan Imam Asy Syafi’i dibanding lainnya, karena dia mampu menggabungkan ilmunya para Ahli Hadits yang diwakili Imam Malik dan ilmunya Ahli Ra’yu yang diwakili Imam Abu Hanifah. Sedangkan Imam Ahmad bin Hambal, tidak sedikit yang menyebutnya  bahwa posisinya sebagai  imam hadits lebih Nampak dibanding sebagai imam fiqih.

            Ada pun hadits yang antum maksud adalah sebagai berikut:

يُوشِكُ أَنْ يَضْرِبَ النَّاسُ أَكْبَادَ الْإِبِلِ يَطْلُبُونَ الْعِلْمَ فَلَا يَجِدُونَ أَحَدًا أَعْلَمَ مِنْ عَالِمِ الْمَدِينَةِ

            Hampir saja manusia memukul perut Unta demi mencari ilmu, dan mereka tidak mendapatkan seorang pun yang lebih berilmu dibanding ‘alim (orang berilmu)-nya Madinah. (HR. At Tirmidzi No. 2680, katanya: hasan. Ahmad dalam Musnadnya No. 7980, An Nasa’i dalam As Sunan Al Kubra No. 4291, Al Bazzar dalam Musnadnya No. 8935, Al Baihaqi dalam Ma’rifatus Sunan wal Aatsar No. 30, dll)

Sanad hadits ini:

-          Al Hasan bin Ash Shabah Al Bazzar, Ishaq bin Musa Al Anshari, Sufyan bin ‘Uyainah,   Ibnu Juraij,  Abu Zubeir, Abu Shalih, Abu Hurairah.

Hadits ini dihasankan oleh Imam At Tirmidzi dalam Sunan-nya, juga dishahihkan oleh Imam Al Hakim, dan disepakati Imam Adz Dzahabi. (Al Mustadrak No. 307), namun para ulama mengoreksinya.

Di antaranya, Imam Abul Hasan Ali bin Al Qaththan Al Fasi, Beliau mengatakan, “Ibnu ‘Uyainah, Ibnu Juraij, dan Abu Az Zubeir, semuanya adalah mudallis (orang yang melakukan keterangan tidak jelas pada sanad dan/atau matan).” (Bayanul Wahm wal Iham fi Kitabil Ahkam, No. 1865)

Hadits ini diriwayatkan secara ‘an’anah (yakni ‘an fulan – dari fulan), menunjukkan keterputusan sanadnya. Hadits yang diriwayatkan secara ‘an’anah bisa saja shahih jika para perawinya bukan mudallis, tapi nyatanya hadits ini diriwayatkan tiga orang para mudallis (perbuatannya disebut tadlis).

Imam Ad Daruquthni menyebut Ibnu Juraij sebagai seburuk-buruknya pelaku tadlis. (Al Hafizh Ibnu Hajar, Thabaqat Al Mudallisin, No. 83)

Imam Ibnu Hajar menyebut bahwa Abu Az Zubeir terkenal sebagai pelaku tadlis, dan Imam An Nasai juga lainnya menyatakan demikian. (Ibid, No. 101)

            Syaikh Al Albani mendhaifkan hadits ini, dan dia  mengomentari penshahihan Imam Al Hakim dan Imam Adz Dzahabi, katanya:

قلت : وهو كما قالا ؛ لولا عنعنة ابن جريج وأبي الزبير ؛ فإنهما مدلسان ، لا سيما الأول منهما ؛ فإنه سيىء التدليس كما هو مشروح في ترجمته
            Aku (Syaikh Al Albani) berkata: “Hadits ini seperti yang dikatakan oleh mereka berdua (shahih) seandainya tidak dilakukan secara ‘an’anah oleh Ibnu Juraij dan Abu Az Zubeir, karena keduanya adalah mudallis, apalagi yang pertama (Ibnu Juraij), dia adalah orang yang buruk tadlisnya, sebagaimana dijelaskan dalam biografinya.” (As Silsilah Adh Dhaifah No. 4833)

            Syaikh Ali Hasyisy memberikan penjelasan yang cukup bagus, katanya:

قلت: هذا الحديث غريب غرابة مطلقة؛ فلم يرو هذا الحديث إلا أبو هريرة، ولم يروه عن أبي هريرة إلا أبو صالح، ولم يروه عن أبي صالح إلا أبو الزبير، ولم يروه عن أبي الزبير إلا ابن جريج تفرد به ابن عيينة.
ولم يخرج البخاري ولا مسلم من هذا الطريق حديثا واحدا، بل وأصحاب السنن لم يخرج أحد منهم من هذا الطريق إلا الترمذي والنسائي هذا الحديث فقط

            Aku berkata: Hadits ini gharib (menyendiri) dengan keghariban yang mutlak. Hadits ini tidak pernah diriwayatkan kecuali oleh Abu Hurairah saja, dan tidak ada yang meriwayatkan dari Abu Hurairah kecuali Abu Shalih, dan tidak ada yang meriwayatkan dari Abu Shalih kecuali Abu Az Zubeir, dan tidak ada yang meriwayatkan dari Abu Az Zubeir kecuali Ibnu Juraij, dan Ibnu ‘Uyainah meriwayatkan secara menyendiri darinya.

            Hadits ini tidak pernah diriwayatkan oleh Al Bukhari, tidak pula oleh Muslim, dari jalan hadits seperti ini walau pun satu saja, bahkan para penyusun kitab Sunan tidak ada yang meriwayatkan jalur seperti ini kecuali At Tirmidzi dan An Nasa’i pada hadits ini saja. (Silsilah Al Ahadits Al Wahiyah, Hal. 93)

            Syaikh Ali Hasyisy menyebutkan dua ‘ilat (cacat) pada hadits ini yakni Ibnu Juraij dan Abu Az Zubeir. Lalu Beliau menyimpulkan:

وبهذا يكون الحديث غير صحيح، والسند واه لما فيه من تدليس شديد ومركب
           
Dengan ini, hadits ini menjadi tidak shahih, dan sanadnya lemah, karena di dalamnya terdapat tadlis yang berat dan bertumpuk-tumpuk. (Ibid, Hal. 94)

Dengan dua cacat ini pula yang membuat Syaikh Syu’aib Al Arnauth juga mendhaifkan hadits ini. (Ta’liq Musnad Ahmad No. 13/358)

Demikianlah status hadits ini. Wallahu A’lam

Taruhlah hadits ini shahih, lalu apakah makna ‘Aalimul Madinah (Ulama Madinah) dalam hadits ini? Lebih selamat nampaknya jika kita mengikuti apa yang diyakini oleh ulama salaf.

Para ulama salaf seperti Imam Abdurazzaq, Imam Sufyan bin ‘Uyainah mengatakan maksud ulama Madinah dalam hadits ini adalah Imam Malik bin Anas. Imam Ibnu ‘Uyainah juga mengatakan tentang ulama Madinah adalah Abdul Aziz bin Abdullah Al ‘Umari, keturunan Umar bin Al Khathab. Dia seorang yang zuhud, dan bukan ulama. (Lihat keterangan ini dalam Sunan At Tirmidzi No. 2680, juga  Al Ahkam Asy Syar’iyah Al Kubra, 1/285, juga Musnad Ahmad No. 7980)

Tentunya keutamaan Imam Malik ini tidak diraihnya semata-mata karena domisilinya di Madinah dan berguru kepada ulama-ulama Madinah, tetapi karena ketinggian ilmu yang dimilikinya, keshalihan, ibadahnya, dan keutamaan lainnya. Inilah yang menjadi kuncinya.


Sekian.  Wa Shallallahu ‘Ala Nabiyyina Muhammadin wa ‘Ala Aalihi wa ashhabihi ajmain.

No comments:

Post a Comment