Pertanyaan:
Assalamu ‘Alaikum ..., Ust. Sebenarnya bagaimana hukum berdzikir dengan
tasbih, apakah ada dalilnya? (Ikhwan, Alumni LPDI, Kota Sambas)
Jawaban:
Wa ‘Alaikum Salam wa Rahmatullah wa Barakatuh.
Bismillah wal
Hamdulillah wash Shalatu was Salamu ‘Al Rasulillah wa ‘ala Aalihi wa Ashhabihi
wa Man waalah, wa ba’d:
Telah
terjadi perselisihan ditengah masyarakat tentang berdzikir menggunakan biji
tasbih (sub-hah). Sebagian mereka bersikap keras mengingkarinya dan
membid’ahkannya. Sebagian lain membolehkan, bahkan menganggapnya sunah. Ini
terjadi lantaran para ulama pun tidak ada kata sepakat, tetapi mayoritas
mengatakan boleh; seperti Imam Ibnu Taimiyah, Imam As Suyuthi, Imam Asy
Syaukani, Imam Ibnu Hajar Al Haitami, Imam Ibnu Abidin, Imam Al Hashfaki, Imam
Al Munawi, Imam Abul ‘Ala Muhammad Abdurrahman bin Abdurrahim Al Mubarakfuri,
Syaikh ‘Athiyah Shaqr, Syaikh Abdul Aziz bin Abdulah bin Baz, Syaikh Muhammad
bin Shalih Al ‘Utsaimin, Syaikh Shalih Fauzan, Syaikh Ali Jum’ah, para
ulama di Al Azhar, pakistan, dan lain sebagainya, bahkan Imam As Suyuthi
mengatakan tak ada yang mengingkari kebolehannya baik kaum salaf maupun khalaf.
Sedangkan, yang mengingkarinya dan menyatakan sebagai bid’ah adalah beberapa
ulama sekarang, seperti Syaikh Al Albani, Syaikh Abdul Muhsin Al ‘Abbad Al Badr, Syaikh Bakr Abu Zaid (Beliau telah menyusun kitab As
Subhah Tarikhuha wa Hukmuha), dan lainnya. Tetapi semua sepakat
bahwa berdzikir dengan jari tangan adalah lebih afdhal, sebab itulah yang
dicontohkan oleh Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam.
Sebelum kami paparkan fatwa para ulama, ada baiknya kami
sampaikan beberapa hadits tentang berdzikir menggunakan jari dan
biji/kerikil.
Pertama. Dari Yusairah seorang wanita Muhajirah, dia berkata:
قَالَ لَنَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَيْكُنَّ بِالتَّسْبِيحِ وَالتَّهْلِيلِ وَالتَّقْدِيسِ
وَاعْقِدْنَ بِالْأَنَامِلِ فَإِنَّهُنَّ مَسْئُولَاتٌ مُسْتَنْطَقَاتٌ وَلَا تَغْفُلْنَ فَتَنْسَيْنَ الرَّحْمَة
“Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam berkata kepada kami:
“Hendaknya kalian bertahlil, bertasbih, dan bertaqdis (mensucikan), dan
himpunkanlah (hitunglah) dengan ujung jari jemari, karena itu semua akan
ditanya dan diajak bicara, janganlah kalian lalai yang membuat kalian
lupa dengan rahmat.” (HR. At Tirmidzi No. 3583, Abu Daud No. 1501, Ahmad No.
27089, Ath Thabrani, Al Mu’jam Al Kabir No. 180, lihat juga Ad Du’a, No. 1662, Musnad Ishaq bin Rahawaih No. 2327, Alauddin Al Muttaqi Al Hindi, Kanzul ‘Ummal No. 2006)
Al Hafizh Zainuddin Al ‘Iraqi mengatakan sanadnya Jayyid (baik). (Takhrij
Ahadits Al Ihya No. 958). Imam An
Nawawi menyatakan hasan. (Al Adzkar No. 27. Darul Fikr, Lihat juga Al Khulashah Al Ahkam, 1/472).
Al Hafizh Ibnu Hajar juga menghasankan dalam Nataij Al Afkar. (Raudhatul
Muhadditsin No. 4969). Syaikh Syu’aib Al
Arnauth mengatakan: muhtamal lit tahsin (dimungkinkan hasan).
(Ta’liq Musnad Ahmad No. 27089). Syaikh Abu Muhammad Syahatah juga
mengatakan hasan. (Al Musyarikat Hal. 16)
Syaikh
Al Albani juga menghasankan. (Shahih wa Dhaif Sunan Abi Daud No.
1501. Misykah Al Mashabih No 2316)
Kedua. Dari Sa’ad bin Abi Waqqash Radhiallahu ‘Anhu:
أَنَّهُ دَخَلَ مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ عَلَى امْرَأَةٍ وَبَيْنَ يَدَيْهَا نَوًى أَوْ قَالَ حَصًى تُسَبِّحُ
بِهِ فَقَالَ أَلَا أُخْبِرُكِ بِمَا هُوَ أَيْسَرُ عَلَيْكِ مِنْ هَذَا أَوْ
أَفْضَلُ سُبْحَانَ اللَّهِ عَدَدَ مَا خَلَقَ فِي السَّمَاءِ وَسُبْحَانَ اللَّهِ
عَدَدَ مَا خَلَقَ فِي الْأَرْضِ وَسُبْحَانَ اللَّهِ عَدَدَ مَا بَيْنَ ذَلِكَ
وَسُبْحَانَ اللَّهِ عَدَدَ مَا هُوَ خَالِقٌ وَاللَّهُ أَكْبَرُ مِثْلَ ذَلِكَ
وَالْحَمْدُ لِلَّهِ مِثْلَ ذَلِكَ وَلَا حَوْلَ وَلَا قُوَّةَ إِلَّا بِاللَّهِ
مِثْلَ ذَلِكَ
“Bahwa dia (Sa’ad) bersama Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam
masuk menemui seorang wanita, dan dihadapan wanita itu
terdapat biji-bijian atau kerikil. Lalu Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa
Sallam bersabda: “Maukah kau aku beritahu dengan yang lebih mudah bagimu
dari ini atau lebih utama? (Lalu nabi menyebutkan macam-macam dzikir yang
tertulis dalam teks di atas ..) (HR. Abu Daud No. 1500, At Tirmidzi No.
3568, katanya: hasan gharib. Ibnu Hibban No. 837, Al Hakim No. 2009, Al Bazzar No. 1201)
Syaikh
Al Albani mendhaifkannya dalam berbagai kitabnya. (Shahih wa Dhaif
Sunan Abi Daud No. 1500, Shahih wa Dhaif Sunan At Tirmidzi No.
3568, Misykah Al Mashabih No. 2311, Dhaif Al Jami’ Ash Shaghir
No. 2155, As Silsilah Adh Dhaifah No. 83), juga didhaifkan oleh Syaikh Abdul Muhsin Al ‘Abbad Al
Badr. (Syarh Sunan Abi Daud, 8/228)
Namun segenap imam muhadditsin dan para huffazh menyatakan maqbul(diterima)-nya
hadits ini. Imam
An Nawawi mengikuti penghasanan Imam At
Tirmidzi. (Al Adzkar, Hal. 17 No. 26. Darul Fikr). Hadits ini
dimasukkan oleh Imam Ibnu Hibban dalam kitab Shahihnya. Dishahihkan pula
oleh Imam Al Hakim dan Imam Adz Dzahabi dalam At Talkhish-nya, lalu oleh Imam As Suyuthi,
dan Imam Asy Syaukani pun menyetujuinya. (Imam Asy Syaukani, Nailul
Authar, 2/316. Maktabah Ad Da’wah Al Islamiyah).
Al
Hafizh Ibnu Hajar menghasankan dalam Nataij Al Afkar. (Raudhatul
Muhadditsin, No. 4966), Al Hafizh Al Mundziri juga menyetujui penghasanan Imam At Tirmidzi. (Tuhfah
Al Ahwadzi, 9/322)
Hadits ini –jika shahih atau minimal hasan- menunjukkan bahwa Rasulullah Shallallahu
‘Alaihi wa Sallam tidak mengingkari yang dilakukan wanita itu, beliau hanya
memberikan cara yang lebih mudah atau lebih utama, dibanding apa yang
dilakukannya dengan menghitung banyak biji atau kerikil. Dan, yang jelas
penghasanan atau penshahihan yang dilakukan oleh sederetan imam seperti: Imam
At Tirmidzi, Imam Al Hakim, Imam Ibnu Hibban, Imam An Nawawi, Imam Ibnu Hajar,
Imam As Suyuthi, dan Imam Asy Syaukani, tidaklah serta merta gugur karena
pendhaifan yang dilakukan oleh Syaikh Al Albani.
Ketiga. Dari
Shafiyah binti Huyai Radhiallahu ‘Anha, dia berkata:
دخل علي رسول الله صلى الله عليه وسلم وبين يدي
أربعة آلاف نواة أسبح بها فقال لقد سبحت بهذه ألا أعلمك بأكثر مما سبحت به فقلت
بلى علمني فقال قولي سبحان الله عدد خلقه
“Rasulullah
Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam masuk menemui saya, dan dihadapan saya ada
4000 biji yang saya gunakan untuk bertasbih. Beliau bersabda: “Engkau bertasbih
dengan ini, maukah kau aku ajarkan dengan sesuatu yang nilainya lebih banyak
dari tasbihmu ini?” Aku menjawab: “Tentu, ajarkanlah aku.” Beliau bersabda:
“Ucapkanlah, Subhanallah ‘Adada Khalqihi (Maha Suci Allah Sebanyak
jumlah makhlukNya).” (HR. At Tirmidzi No. 3554, Al Hakim No. 2008, Abu Ya’la No. 7118)
Imam Al Hakim menshahihkannya, dan menurutnya hadits ini
memiliki syahid (penguat) dari hadits orang-orang Mesir, yang yang lebih
shahih dari ini. (Al Mustadrak No. 2008),
Imam
Adz Dzahabi menyepakatinya. Imam As Suyuthi juga menshahihkannya. (Imam
Asy Syaukani, Nailul Authar, 2/316. Maktabah Ad Da’wah Al Islamiyah) Sedangkan
Al Hafizh Ibnu Hajar menghasankan dalam Nataij Al Afkar. (Raudhatul
Muhadditsin No. 4967). Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah menjadikan hadits
ini sebagai dalil kebolehan menghitung tasbih dengan subhah.
(Lihat fatwanya nanti).
Sedangkan
Syaikh Al Albani menyatakan munkar. (Shahih wa Dhaif Sunan At
Tirmdizi No. 3554), Syaikh Husein Salim Asad mendhaifkan dalam ta’liqnya terhadap Musnad Abi
Ya’la. (No. 7118)
Hadits
ini –seandainya shahih- merupakan dalil bolehnya bertasbih menggunakan
biji bijian. Seandainya hal itu terlarang, pasti nabi mengingkarinya. Apa yang
nabi lakukan hanyalah alternatif yang lebih mudah dibanding menghitung tasbih
sebanyak 4000 kali.
Berikut ini fatwa para ulama –baik terdahulu atau modern- yang menyatakan
kebolehan berdzikir dengan untaian biji tasbih.
1.
Syaikhul
Islam Ibnu Taimiyah Al Hambali Rahimahullah
Beliau
mengatakan bertasbih dengan biji, atau kerikil, atau yang semisalnya adalah
perbuatan yang hasan (bagus/baik). Beliau berkata dalam Majmu’ Fatawa-nya:
وَعَدُّ
التَّسْبِيحِ بِالْأَصَابِعِ سُنَّةٌ كَمَا قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لِلنِّسَاءِ : { سَبِّحْنَ وَاعْقِدْنَ بِالْأَصَابِعِ
فَإِنَّهُنَّ مَسْئُولَاتٌ مُسْتَنْطَقَاتٌ } . وَأَمَّا عَدُّهُ بِالنَّوَى
وَالْحَصَى وَنَحْوُ ذَلِكَ فَحَسَنٌ وَكَانَ مِنْ الصَّحَابَةِ رَضِيَ
اللَّهُ عَنْهُمْ مَنْ يَفْعَلُ ذَلِكَ وَقَدْ رَأَى النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أُمَّ الْمُؤْمِنِينَ تُسَبِّحُ بِالْحَصَى وَأَقَرَّهَا عَلَى
ذَلِكَ وَرُوِيَ أَنَّ أَبَا هُرَيْرَةَ كَانَ يُسَبِّحُ بِهِ .
“Menghitung tasbih dengan jari jemari adalah
sunah, sebagaimana sabda Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam kepada kaum
wanita: “Bertasbihlah dan menghitunglah dengan jari jemari, karena jari jemari
itu akan ditanya dan diajak bicara.”
Adapun
menghitung tasbih dengan biji-bijian dan batu-batu kecil (semacam kerikil) dan
semisalnya, maka hal itu perbuatan baik (hasan). Dan,
dahulu sebagian sahabat Radhiallahu ‘Anhumi ada yang memakainya, dan
Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam telah melihat ummul mukminin
bertasbih dengan batu-batu kecil, dan beliau mentaqrirkannya (menyetujuinya),
dan diriwayatkan pula bahwa Abu Hurairah pernah bertasbih dengannya.” (Majmu’
Fatawa, 5/225. Mawqi’ Al Islam)
Beliau
juga mengatakan:
وَالتَّسْبِيحُ بِالْمَسَابِحِ مِنْ
النَّاسِ مَنْ كَرِهَهُ وَمِنْهُمْ مَنْ رَخَّصَ فِيهِ لَكِنْ لَمْ يَقُلْ أَحَدٌ
: أَنَّ التَّسْبِيحَ بِهِ أَفْضَلُ مِنْ التَّسْبِيحِ بِالْأَصَابِعِ وَغَيْرِهَا
وَإِذَا كَانَ هَذَا مُسْتَحَبًّا يَظْهَرُ فَقَصْدُ إظْهَارِ ذَلِكَ
وَالتَّمَيُّزُ بِهِ عَلَى النَّاسِ مَذْمُومٌ
“Bertasbih
dengan menggunakan alat tasbih, diantara manusia ada yang memakruhkannya, dan
ada pula yang memberikan keringanan terhadapnya. Tetapi tidak ada satu pun yang
mengatakan bahwa bertasbih dengannya itu lebih afdhal dibanding tasbih dengan
jari jemari dan selainnya. Dan, jika hal ini dianjurkan untuk menampakkan
dengan maksud pamer dan berbeda dengan manusia, maka ini tercela.” (Ibid,
5/134)
2.
Imam
Asy Syaukani Rahimahullah
Beliau
mengomentari ketiga hadits di atas dalam kitabnya, Nailul Authar,
sebagai berikut:
...بأن الأنامل مسئولات مستنطقات يعني أنهن يشهدن بذلك فكان عقدهن
بالتسبيح من هذه الحيثية أولى من السبحة والحصى . والحديثان الآخران يدلان على
جواز عد التسبيح بالنوى والحصى وكذا بالسبحة لعدم الفارق لتقريره صلى اللَّه
عليه وآله وسلم للمرأتين على ذلك . وعدم إنكاره والإرشاد إلى ما هو أفضل لا ينافي
الجواز
“ ... sesungguhnya ujung jari jemari akan
ditanyakan dan diajak bicara, yakni mereka akan menjadi saksi hal itu. Maka,
menghimpun (menghitung) tasbih dengan jari adalah lebih utama dibanding dengan
untaian biji tasbih dan kerikil. Dua hadits yang lainnya, menunjukkan
bolehnya menghitung tasbih dengan biji, kerikil, dan juga dengan untaian biji
tasbih karena tidak ada bedanya, dan ini perbuatan yang ditaqrirkan
(didiamkan/disetujui) oleh Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam terhadap
dua wanita tersebut atas perbuatan itu. Dan, hal yang menunjukkan dan
mengarahkan kepada hukum yang lebih utama tidak berarti menghilangkan hukum
boleh.” (Imam Asy Syaukani, Nailul Authar, 2/316-317. Maktabah Ad
Da’wah Al Islamiyah)
Imam Asy
Syaukani dalam kitabnya ini banyak membeberkan riwayat para sahabat yang
bertasbih menggunakan biji, krikil, atau subhah. Silahkan merujuk.
3.
Imam
Jalaluddin As Suyuthi Asy Syafi’i Rahimahullah
Disebutkan
oleh Imam Asy Syaukani sebagai berikut:
وقد ساق السيوطي آثارًا في الجزء الذي
سماه المنحة في السبحة وهو من جملة كتابه المجموع في الفتاوى وقال في آخره : ولم
ينقل عن أحد من السلف ولا من الخلف المنع من جواز عد الذكر بالسبحة بل كان أكثرهم
يعدونه بها ولا يرون في ذلك مكروهًا انتهى .
Imam As Suyuthi telah mengemukakan berbagai atsar dalam juz yang dia
namakan Al Minhah fi As Subhah, yang merupakan bagian dari kumpulan
fatwa-fatwa, dia berkata pada bagian akhirnya: “Tidaklah ada
nukilan seorang pun dari kalangan salaf dan tidak pula khalaf yang
melarang kebolehan menghitung dzikir dengan subhah, bahkan justru
kebanyakan mereka menghitung dengannya, dan mereka tidak memandangnya sebagai
perbuatan yang dibenci. Selesai” (Imam Asy Syaukani, Nailul Authar,
Hal. 317. Maktabah Ad Da’wah Al Islamiyah)
4.
Imam
Ibnu Hajar Al Makki Al Haitami Asy Syafi’i Rahimahullah
Dalam
kitab Al Fatawa Al Fiqhiyah Al Kubra tertulis demikian:
"وسئل" رضي الله عنه هل للسبحة أصل
في السنة أو لا؟ "فأجاب" بقوله: نعم, وقد ألف في ذلك الحافظ السيوطي؛
فمن ذلك ما صح عن ابن عمر رضي الله عنهما رأيت النبي صلى الله عليه وسلم يعقد
التسبيح بيده. وما صح عن صفية: رضي الله عنها دخل علي رسول الله صلى الله عليه
وسلم وبين يدي أربعة آلاف نواة أسبح بهن, فقال: ما هذا يا بنت حيي. قلت: أسبح بهن,
قال: قد سبحت منذ قمت على رأسك أكثر من هذا, قلت: علمني يا رسول الله قال: قولي
سبحان الله عدد ما خلق من شيء. وأخرج ابن أبي شيبة وأبو داود والترمذي:
"عليكن بالتسبيح والتهليل والتقديس ولا تغفلن فتنسين التوحيد, واعقدن
بالأنامل فإنهن مسئولات ومستنطقات". وجاء التسبيح بالحصى والنوى والخيط المعقود
فيه عقد عن جماعة من الصحابة ومن بعدهم وأخرج الديلمي مرفوعا: نعم المذكر السبحة.
وعن بعض العلماء: عقد التسبيح بالأنامل أفضل من السبحة لحديث ابن عمر. وفصل بعضهم
فقال: إن أمن المسبح الغلط كان عقده بالأنامل أفضل وإلا فالسبحة أفضل .
“Beliau (Imam Ibnu Hajar Al Haitami), semoga Allah meridhainya, ditanya:
“Apakah menggunakan sub-hah ada dasarnya dalam sunah atau tidak?”
Beliau menjawab: “Ya, Al Hafizh As Suyuthi telah menyebutkan hal itu, di
antaranya yang shahih dari Ibnu Umar (yang benar adalah Ibnu Amr –pen) Radhiallahu
‘Anhuma: “Aku melihat Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bertasbih
menggunakan tangannya.” Juga riwayat shaihh dari Shafiyah (binti Huyay) Radhiallahu
‘Anha: “ Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam masuk menemuinya,
dan ditanganku ada 4000 biji yang aku gunakan untuk bertasbih.
Beliau bertanya: “Apa ini wahai Binti Huyai?” Aku menjawab: “Aku bertasbih
dengannya.” Beliau bersabda: “Aku telah bertasbih sejak aku bersandar di
kepalamu lebih banyak dari ini.” Aku berkata: “Ajarkanlah aku wahai
Rasulullah.” Beliau bersabda: “Katakanlah, Subhanallah ‘adada maa khalaqa
min syai’ (Maha Suci Allah sesuatu yang Dia ciptakan).” Dikeluarkan oleh
Ibnu Abi Syaibah, Abu Daud, dan At Tirmidzi: “Hendaknya kalian bertasbih,
tahlil, dan taqdis (mensucikan). Janganlah kalian lalai hingga kalian lupa
dengan tauhid. Dan, himpunlah (hitunglah) dengan jari-jari karena mereka akan
ditanya dan diajak bicara (menjadi saksi).”
Telah terdapat keterangan tentang bertasbih menggunakan kerikil, biji, dan
benang yang diikat menjadi beberapa himpunan dari jamaah para
sahabat dan manusia setelah mereka. Ad Dailami telah mengeluarkan secara marfu’:
“Ya, berdzikir dengan biji tasbih.” Dan, dari sebagian ulama: “Menghitung
tasbih dengan ujung jari adalah lebih afdhal dibanding biji tasbih (sub-hah)
karena hadits Ibnu Amr di atas. Sebagian mereka merinci: “Jika dia merasa aman
dari kekeliruan, maka menggunakan ujung jari adalah lebih utama, jika tidak,
maka dengan biji tasbih lebih utama.” (Imam Ibnu Hajar Al Makki Al Haitami, Al
Fatawa Al Fiqhiyyah Al Kubra, 1/219. Cet. 1. 1417H-1997M. Darul kutub Al
‘Ilmiyah. Beirut - Libanon)
5.
Imam
Ibnu ‘Abidin Al Hanafi Rahimahullah
Beliau
mengatakan dalam Hasyiah-nya:
( قَوْلُهُ لَا بَأْسَ
بِاِتِّخَاذِ الْمِسْبَحَةِ ) بِكَسْرِ الْمِيمِ : آلَةُ التَّسْبِيحِ ،
وَاَلَّذِي فِي الْبَحْرِ وَالْحِلْيَةِ وَالْخَزَائِنِ بِدُونِ مِيمٍ . قَالَ فِي الْمِصْبَاحِ : السُّبْحَةُ
خَرَزَاتٌ مَنْظُومَةٌ ، وَهُوَ يُقْتَضَى كَوْنَهَا عَرَبِيَّةً . وَقَالَ الْأَزْهَرِيُّ : كَلِمَةٌ
مُوَلَّدَةٌ ، وَجَمْعُهَا مِثْلُ غُرْفَةٍ وَغُرَفٍ . ا هـ . وَالْمَشْهُورُ
شَرْعًا إطْلَاقُ السُّبْحَةِ بِالضَّمِّ عَلَى النَّافِلَةِ . قَالَ فِي الْمُغْرِبِ : لِأَنَّهُ
يُسَبَّحُ فِيهَا . وَدَلِيلُ
الْجَوَازِ مَا رَوَاهُ أَبُو دَاوُد وَالتِّرْمِذِيُّ وَالنَّسَائِيُّ وَابْنُ
حِبَّانَ وَالْحَاكِمُ وَقَالَ صَحِيحَ الْإِسْنَادِ عَنْ سَعْدِ بْنِ أَبِي
وَقَّاصٍ { أَنَّهُ دَخَلَ مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ عَلَى امْرَأَةٍ وَبَيْنَ يَدَيْهَا نَوًى أَوْ حَصًى تُسَبِّحُ بِهِ
فَقَالَ : أُخْبِرُك بِمَا هُوَ أَيْسَرُ عَلَيْك مِنْ هَذَا أَوْ أَفْضَلُ ؟
فَقَالَ : سُبْحَانَ اللَّهِ عَدَدَ مَا خَلَقَ فِي السَّمَاءِ ، وَسُبْحَانَ
اللَّهِ عَدَدَ مَا خَلَقَ فِي الْأَرْضِ ، وَسُبْحَانَ اللَّهِ عَدَدَ مَا بَيْنَ
ذَلِكَ ، وَسُبْحَانَ اللَّهِ عَدَدَ مَا هُوَ خَالِقٌ ؛ وَالْحَمْدُ لِلَّهِ
مِثْلُ ذَلِكَ ، وَاَللَّهُ أَكْبَرُ مِثْلُ ذَلِكَ ، وَلَا إلَهَ إلَّا اللَّهُ
مِثْل ذَلِكَ ، وَلَا حَوْلَ وَلَا قُوَّةَ إلَّا بِاَللَّهِ مِثْلُ ذَلِكَ } :
فَلَمْ يَنْهَهَا عَنْ ذَلِكَ . وَإِنَّمَا أَرْشَدَهَا إلَى مَا هُوَ أَيْسَرُ وَأَفْضَلُ وَلَوْ
كَانَ مَكْرُوهًا لَبَيَّنَ لَهَا ذَلِكَ
، وَلَا يَزِيدُ السُّبْحَةُ عَلَى مَضْمُونِ هَذَا الْحَدِيثِ إلَّا بِضَمِّ
النَّوَى فِي خَيْطٍ ، وَمِثْلُ ذَلِكَ لَا يَظْهَرُ تَأْثِيرُهُ فِي الْمَنْعِ ،
فَلَا جَرَمَ أَنْ نُقِلَ اتِّخَاذُهَا وَالْعَمَلُ بِهَا عَنْ جَمَاعَةٍ مِنْ
الصُّوفِيَّةِ الْأَخْيَارِ وَغَيْرِهِمْ ؛ اللَّهُمَّ إلَّا إذَا تَرَتَّبَ
عَلَيْهِ رِيَاءٌ وَسُمْعَةٌ فَلَا كَلَامَ لَنَا فِيهِ ، وَهَذَا الْحَدِيثُ
أَيْضًا يَشْهَدُ لِأَفْضَلِيَّةِ هَذَا الذِّكْرِ الْمَخْصُوصِ عَلَى ذِكْرٍ
مُجَرَّدٍ عَنْ هَذِهِ الصِّيغَةِ وَلَوْ تَكَرَّرَ يَسِيرًا كَذَا فِي
الْحِلْيَةِ وَالْبَحْرِ
(Ucapannya:
tidak mengapa menggunakan misbahah) dengan huruf mim dikasrahkan
adalah alat untuk bertasbih, ada pun yang tertulis dalam Al Bahr, Al
Hilyah, dan Al Khazain adalah tanpa mim. Disebutkan dalam Al
Mishbah: “Subhah adalah manik-manik yang terangkai, kata ini
menuntut bahwa ia adalah asli Arab. Al Azhari berkata: “Itu kata yang muwalladah
(tidak asli Arab), bentuk jamaknya seperti ghurfah dan ghuraf.
Yang
masyhur secara syariat adalah penggunaaan subhah ini terdapat pada
shalat sunah. Disebutkan dalam Al Maghrib: “karena dia bertasbih
padanya.”
Ada pun
dalil kebolehannya adalah hadits yang diriwayatkan oleh Abu Daud, At Tirmidzi,
An Nasa’i, Ibnu Hibban, dan Al Hakim, dia berkata: shahih sanadnya. Dari
Sa’ad bin Abi Waqqash: (Lalu disebutlah hadits sebagaimana tertulis dalam
jawaban ini pada
hadits kedua)
Lalu
katanya: “Nabi tidak melarangnya. Beliau hanyalah menunjukkan kepada
cara yang lebih mudah dan utama, seandainya makruh tentu Beliau akan
menjelaskan kepada wanita itu. Dari kandungan hadits ini, kita memahami
bahwa subhah hanyalah kumpulan bijian yang dirangkai benang.
Masalah seperti ini tidak tampak pengaruhnya pada pelarangan. Maka, bukan pula
kesalahan jika mengikuti penggunaannya itu sebagaimana sekelompok kaum sufi
yang baik dan selain mereka. Kecuali jika didalamnya tercampur muatan riya dan
sum’ah, tetapi kami tidak membahas hal ini.
Hadits ini juga menjadi saksi lebih utamanya dzikir khusus dibanding dzikir
mutlak yang bebas dari bentuk ungkapan ini, walau pengucapannya banyak
berulang-ulang. Demikian dalam Al Hilyah dan Al Bahr. (Imam
Ibnu ‘Abidin, Raddul Muhtar, 5/54. Mawqi’ Al Islam)
6.
Imam
Muhammad Abdurrauf Al Munawi Rahimahullah
Beliau
menjelaskan dalam kitab Faidhul Qadir, ketika menerangkan hadits
Yusairah:
وهذا أصل في ندب السبحة المعروفة وكان
ذلك معروفا بين الصحابة فقد أخرج عبد الله بن أحمد أن أبا هريرة كان له خيط فيه
ألفا عقدة فلا ينام حتى يسبح به وفي حديث رواه الديلمي نعم المذكر السبحة لكن نقل
المؤلف عن بعض معاصري الجلال البلقيني أنه نقل عن بعضهم أن عقد التسبيح بالأنامل
أفضل لظاهر هذا الحديث
“Hadits
ini merupakan dasar terhadap sunahnya subhah (untaian biji tasbih) yang
sudah dikenal. Hal itu dikenal pada masa sahabat, Abdullah bin Ahmad telah
meriwayatkan bahwa Abu Hurairah memiliki benang yang memiliki seribu himpunan,
beliau tidaklah tidur sampai dia bertasbih dengannya. Dalam riwayat Ad Dailami:
“Sebaik-baiknya dzikir adalah subhah.” Tetapi mu’allif (yakni
Imam As Suyuthi) mengutip dari sebagian ulama belakangan, Al Jalal Al Bulqini,
dari sebagian mereka bahwa menghitung tasbih dengan jari jemari adalah lebih
utama sesuai zhahir hadits.” (Faidhul Qadir, 4/468. Cet. 1, 1415H-1994M.
Darul Kutub Al ‘Ilmiyah, Beirut - Libanon)
Catatan:
riwayat Ad Dailami yang dikutip oleh Imam Al Munawi adalah maudhu’
(palsu). (As Silsilah Adh Dha’ifah, 1/184, No. 83)
7. Imam Abu Thayyib Abdul ‘Azhim Syamsul Haq Abad Rahimahullah
Beliau berkata ketika mengomentari hadits Sa’ad bin Abi Waqash Radhiallahu
‘Anhu, sebagai berikut:
الْحَدِيثُ دَلِيلٌ عَلَى جَوَازِ
عَدِّ التَّسْبِيحِ بِالنَّوَى وَالْحَصَى ، وَكَذَا بِالسُّبْحَةِ لِعَدَمِ
الْفَارِقِ ، لِتَقْرِيرِهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لِلْمَرْأَةِ عَلَى
ذَلِكَ وَعَدَمِ إِنْكَارِهِ ، وَالإْرْشَادُ إِلَى مَا هُوَ أَفْضَل مِنْهُ لاَ
يُنَافِي الْجَوَازَ . قَال : وَقَدْ وَرَدَتْ فِي ذَلِكَ آثَارٌ ، وَلَمْ يُصِبْ
مَنْ قَال إِنَّ ذَلِكَ بِدْعَةٌ
Hadits ini merupakan dalil bolehnya menghitung tasbih
dengan biji-bijian dan kerikil, begitu juga dengan subhah karena tidak ada
bedanya, hal ini karena setujunya Rasul Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam terhadap
wanita tersebut Beliau tidak mengingkarinya, dan petunjuk Beliau kepada sesuatu yang lebih
utama tidaklah menghilangkan kebolehannya. Dia (Abu Thayyib) berkata: telah
banyak atsar tentang hal itu, dan sama sekali tidak benar bagi yang mengatakan
itu adalah bid’ah. (‘Aunul Ma’bud, 4/367, sebagaimana dikutip dalam Al
Mausu’ah Al Fiqhiyah Al Kuwaitiyah, 21/259)
8.
Syaikh
Abu Al ‘Ala Muhammad Abdurrahman bin Abdurrahim Al Mubarakfuri Rahimahullah
Beliau
menerangkan dalam Tuhfah Al Ahwadzi, ketika menjelaskan hadits
Ibnu Amr dan Yusairah binti Yasir, sebagai berikut:
وَفِي الْحَدِيثِ مَشْرُوعِيَّةُ
عَقْدِ التَّسْبِيحِ بِالْأَنَامِلِ وَعَلَّلَ ذَلِكَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي حَدِيثِ يَسِيرَةَ الَّذِي أَشَارَ إِلَيْهِ
التِّرْمِذِيُّ بِأَنَّ الْأَنَامِلَ مَسْئُولَاتٌ مُسْتَنْطَقَاتٌ يَعْنِي
أَنَّهُنَّ يَشْهَدْنَ بِذَلِكَ ، فَكَانَ عَقْدُهُنَّ بِالتَّسْبِيحِ مِنْ هَذِهِ
الْحَيْثِيَّةِ أَوْلَى مِنْ السُّبْحَةِ وَالْحَصَى ، وَيَدُلُّ عَلَى جَوَازِ
عَدِّ التَّسْبِيحِ بِالنَّوَى وَالْحَصَى حَدِيثُ سَعْدِ بْنِ أَبِي وَقَّاصٍ
أَنَّهُ دَخَلَ مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَى
اِمْرَأَةٍ وَبَيْنَ يَدَيْهَا نَوًى أَوْ حَصًى تُسَبِّحُ بِهِ الْحَدِيثَ ،
وَحَدِيثُ صَفِيَّةَ قَالَتْ دَخَلَ عَلَيَّ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَبَيْنَ يَدَيَّ أَرْبَعَةُ آلَافِ نَوَاةٍ أُسَبِّحُ بِهَا
الْحَدِيثَ .
“Hadits ini menunjukkan disyariatkannya
bertasbih menggunakan ujung jari jemari, alasan hal ini adalah Rasulullah Shallallahu
‘Alaihi wa Sallam dalam hadits Yusairah yang diisyaratkan oleh At Tirmidzi
menyebutkan bahwa ujung jari jemari akan ditanyakan dan diajak bicara, yakni
mereka akan menjadi saksi hal itu. Dalam hal ini, menghitung tasbih dengan
menggunakan ujung jari adalah lebih utama dibanding dengan subhah
(untaian biji tasbih) dan kerikil. Dalil yang menunjukkan
kebolehannya menghitung tasbih dengan kerikil dan biji-bijian adalah
hadits Sa’ad bin Abi Waqqash, bahwa beliau bersama Rasulullah Shallallahu
‘Alaihi wa Sallam masuk menemui seorang wnaita yang dihadapannya terdapat
bijian atau kerikil yang digunakannya untuk bertasbih (Al Hadits). Dan
juga hadits Shafiyah bin Huyai, dia berkata: “Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi
wa Sallam masuk menemuiku dan dihadapanku ada 4000 biji-bijian yang aku
gunakan untuk bertasbih. (Al Hadits).” (Tuhfah Al Ahwadzi, 9/458.
Cet. 2, 1383H-1963M. Al Maktabah As Salafiyah, Madinah. Tahqiq: Abdul Wahhab
bin Abdul Lathif)
9.
Syaikh
Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz Al Hambali Rahimahullah
Beliau
ditanya tentang seseorang yang berdzikir setelah shalat menggunakan subhah,
bid’ahkah? Beliau menjawab:
المسبحة لا ينبغي فعلها ،
تركها أولى وأحوط ، والتسبيح بالأصابع أفضل ، لكن يجوز له لو سبح بشيء كالحصى أو
المسبحة أو النوى ، وتركها ذلك في بيته ، حتى لا يقلده الناس فقد كان بعض
السلف يعمله ، والأمر واسع لكن الأصابع أفضل في كل مكان ، والأفضل باليد
اليمنى ، أما كونها في يده وفي المساجد فهذا لا ينبغي ، أقل الأحوال الكراهة .
“Seharusnya tidak memakainya, meninggalkannya
adalah lebih utama dan lebih hati-hati. Tetapi boleh baginya seandainya
bertasbih menggunakan kerikil atau misbahah (alat tasbih) atau
biji-bijian dan meninggalkan hal itu dirumahnya, sampai-sampai manusia
menggantungkannya dan dahulu para salaf melakukannya. Masalah ini
lapang, tetapi menggunakan jari adalah lebih utama pada setiap tempat, dan
utamanya dengan tangan kanan. Ada pun memeganginya pada tangannya di
masjid sebagusnya jangan dilakukan, minimal hal itu makruh.” (Syaikh Abdul
Aziz bin Abdullah bin Baz, Majmu’ Fatawa wa Maqallat, 29/318.
Mawqi’ Ruh Al Islam)
10.
Syaikh
Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin Al Hambali Rahimahullah
Beliau ditanya oleh seorang dari Jeddah bernama Ahmad Shalih, dia terbiasa
berdzikir menggunakan biji tasbih baik pagi atau sore, sedangkan jika dengan
jari seringkali melakukan kesalahan hitung, bolehkah ini, bid’ah atau tidak?
Syaikh
Ibnu ‘Utsaimin menjawab:
السبحة ليست بدعة لأن النبي صلى الله عليه وسلم مر على نساء وهن
يسبحن بالحصى فقال عليه الصلاة والسلام اعقدن بالأنامل فإنهن مستنطقات فقد بينت
السنة حكم التسبيح بغير الأصابع وأن الأولى التسبيح بالأصابع فالأولى أن يسبح
الإنسان بالأصابع وإن كان لا يستطيع الإحصاء بالأصابع فلا حرج أن يسبح بحصى أو
بمسبحة لكن بشرط أن يبتعد في ذلك عن الرياء بأن لا يسبح بذلك أمام الناس في غير
وقت التسبيح فيعجب الناس به ويخشى عليه من الرياء في هذه الحال
“As
Sub-hah
(untaian biji tasbih) bukanlah bid’ah, karena Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa
Sallam pernah melewati para wanita, dan mereka sedang bertasbih
menggunakan batu-batu kecil (semacam kerikil). Maka Nabi Shallallahu ‘Alaihi
wa Sallam bersabda: “Hitunglah bilangannya dengan ujung-ujung jari, karena
nanti itu akan diajak bicara (pada hari kiamat).” Saya telah menjelaskan
tentang kesunnahan hukum bertasbih dengan selain jari jemari dan lebih
utamanya bertasbih adalah dengan jari jemari. Lebih utama adalah
dengan jari jemari, dan jika dia tidak bisa menghitung dengan jari jemari, maka
tidak apa-apa bertasbih dengan kerikil atau misbahah (untaian biji
tasbih), tetapi dengan syarat dia menjauhi riya’, tidak menggunakannya di depan
manusia pada selain waktu bertasbih demi mencari decak kagum manusia. Dan,
hendaknya dalam keadaan ini dia takut terhadap riya’.” (Syaikh
Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin, Fatawa Nur ‘alad Darb, Bab
Mutafariqah, No. 708. Mawqi’ Ruh Al Islam)
11.
Syaikh
Shalih bin Fauzan bin Abdullah Fauzan Al Hambali Rahimahullah
Dalam Al
Mulakhash Al Fiqhi, beliau berkata:
ويباح
استعمال السبحة ليعد بها الأذكار والتسبيحات، من غير اعتقاد أن فيها فضيلة خاصة،
وكرهها بعض العلماء، وإن اعتقد أن لها فضيلة؛ فاتخاذها بدعة، وذلك مثل السبح التي
يتخذها الصوفية، ويعلقونها في أعناقهم، أو يجعلونها كالأسورة في أيديهم، وهذا مع
كونه بدعة؛ فإن فيه رياء وتكلفا.
“Dibolehkan menggunakan untaian biji tasbih untuk menghitung dzikir dan
tasbih, dengan tanpa meyakini adanya keutamaan khusus padanya. Sebagian
ulama ada yang memakruhkan. Jika dibarengi keyakinan memiliki keutamaan, maka
menggunakannya adalah bid’ah. Itulah bertasbihnya kaum sufi, mereka
mengkalungkannya pada leher-leher mereka, atau menjadikannya gelang pada
tangan-tangan mereka, ini semua bid’ah, di dalamnya terdapat riya’ dan
memaksakan diri.” (Syaikh Shalih Fauzan, Al Mulakhash Al Fiqhi,
1/159. Mawqi’ Ruh Al Islam)
12.
Syaikh
‘Athiyah Shaqr Rahimahullah
Beliau
mengatakan, ketika ditanya bid’ahkah menghitung tasbih dengan sub-hah?
Katanya:
أن الأمر بالعد
بالأصابع ليس على سبيل الحصر بحيث يمنع العد بغيرها ، صحيح أن العد بالأصابع فيه
اقتداء النبى صلى الله عليه وسلم لكنه هو نفسه لم يمنع العد بغيرها ، بل أقر ه ،
وإقراره من أدلة المشروعية .
“Sesungguhnya perintah menghitung tasbih dengan jari tidaklah membatasi
yang lainnya, yang membuat terlarang menghitung dengan selainnya. Benar bahwa
menghitung dengan jari jemari merupakan upaya mengikuti Nabi Shallallahu
‘Alaihi wa Sallam, tetapi hal itu sendiri tidaklah melarang menggunakan selainnya. Bahkan
Beliau menyetujuinya, dan persetujuannya itu merupakan dalil disyariatkannya.”
(Lalu Beliau memaparkan berbagai riwayat tentang berdzikir menggunakan biji dan
kerikil, baik pada masa Rasulullah, sahabat, dan tabi’in)
Beliau
melanjutkan;
وبناء
على ما سبق ذكره يكون التسبيح بغير عقد الأصابع مشروعا، لكن أيهما أفضل ؟ يقول
السيوطى : رأيت فى كتاب "تحفه العباد " ومصنفه متأخر عاصر الجلال
البلقينى فصلا حسنا فى السبحة قال فيه ما نصه : قال بعض العلماء : عقد التسبيح
بالأنامل أفضل من السبحة لحديث ابن عمرو، لكن يقال : إن المسبح إن أمن الغلط كان
عقده بالأنامل أميل وإلا فالسبحة أولى . والسنة أن يكون باليمين كما فعل الرسول
صلى الله عليه وسلم وجاء ذلك فى رواية لأبى داود وغيره .
“Penjelasan
yang telah lalu menunjukkan bahwa bertasbih dengan selain jari jemari adalah masyru’
(disyariatkan), tetapi mana yang lebih utama? Berkata Imam As Suyuthi: “Aku
melihat dalam kitab Tuhfah Al ‘Ibad, yang disusun oleh ulama belakangan
Al Jalal Al Bulqini, dengan penjelasan yang bagus tentang Sub-hah, dia
berkata: “Berkata sebagian ulama: “Menghimpun tasbih dengan ujung jari jemari
adalah lebih utama dibanding biji tasbih, lantaran hadits Ibnu Amr. Tetapi
disebutkan: “Jika merasa aman dari kesalahan menghitung tasbih dengan tangan,
maka dengan tangan adalah lebih utama, jika tidak, maka dengan subhah
adalah lebih utama.” Sunnahnya menggunakan jari kanan, sebagaimana yang
dilakukan oleh Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, yang telah
diriwayatkan oleh Abu Daud dan lainnya.” (Fatawa Al Azhar, 9/11)
Demikianlah para ulama yang dengan tegas menyatakan kebolehan bertasbih dengan subhah
atau yang semisalnya. Nama-nama mereka sudah menjadi garansi hal ini. Namun
mereka sepakat, bahwa menggunakan jari jemari adalah lebih utama dan lebih
hati-hati. Bagi seorang muslim yang wara’, tentu dia akan menempuh
jalan yang lebih utama dan hati-hati itu. Apalagi bagi yang mudah terserang penyakit
riya dan sum’ah maka menghindarinya adalah lebih utama lagi.
Dari Abdullah bin Amr Radhiallahu ‘Anhuma, katanya:
رَأَيْتُ
رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَعْقِدُ التَّسْبِيحَ قَالَ
ابْنُ قُدَامَةَ بِيَمِينِهِ
“Aku melihat Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam menghimpun
tasbih.” Ibnu Qudamah mengatakan: “Dengan jari tangan kanannya.” (HR. Abu
Daud No. 1502)
Imam
An Nawawi mengatakan hasan. (Al Adzkar, Hal. 18, No. 28) Syaikh
Al Albani mengatakan shahih. (Shahih wa Dhaif Sunan Abi Daud
No. 1502)
Pendapat Yang Tidak Menyetujui bahkan Membid’ahkan
Berikut ini beberapa ulama yang tidak membolehkan dzikir dengan menggunakan
subhah.
1.
Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albani Rahimahullah
Beliau menjelaskan tentang hadits di atas:
فهذا هو السنة في عد الذكر المشروع عده ، إنما هو باليد ، و باليمنى
فقط ، فالعد باليسرى أو باليدين معا ، أو بالحصى كل ذلك خلاف السنة ، و لم يصح في
العد بالحصى فضلا عن السبحة شيء
“Inilah sunah dalam hal menghitung dzikir yang disyariatkan, yaitu hanyalah
dengan tangan, bagian kanan saja. Sedangkan menghitung dengan kiri atau dua
tangan bersamaan, atau dengan batu-batu kecil, maka semua itu bertentangan
dengan sunah. Tidak ada yang shahih satu pun tentang menghitung dzikir dengan
batu-batu kecil yang tersusun seperti biji tasbih.” (As Silsilah Adh
Dhaifah 3/47, No. 1002)
Demikianlah menurut Syaikh Al Albani, sementara imam lainnya –Imam At Tirmidzi,
Imam Al Hakim, Imam Ibnu Hibban, Imam As Suyuthi, Imam Asy Syaukani, Imam
Al ‘Iraqi, Imam Ibnu Hajar, Imam An Nawawi- mengatakan bahwa hadits-hadits
tentang menghitung dzikir dengan kerikil atau biji-bijian adalah antara
shahih dan hasan. Bahkan Imam Ibnu Taimiyah
berhujjah dengan hadits Shafiyah.
2.
Syaikh Abdul Muhsin Al
‘Abbad Al Badr Hafizhahullah
Beliau mengomentari
kisah Abdullah bin Mas’ud Radhiallahu ‘Anhu yang sedang
mengingkari halaqah dzikir yang menghitung dzikir menggunakan batu-batu kecil:
ولا يكون ذلك بالعد بالحصى، ولا بغير الحصى، وإنما الإنسان يعد ما
ورد عده، مثل التسبيح بعد الصلاة ثلاثاً وثلاثين، والتحميد ثلاثاً وثلاثين،
والتكبير ثلاثاً وثلاثين، ويقول عند تمام المائة: لا إله إلا الله وحده لا شريك
له، له الملك وله الحمد، وهو على كل شيء قدير، فهذا شيء جاءت به السنة، والإنسان
يعد بأصابعه، ولكن كون الإنسان يسبح بحصى هذا شيء لم يأت به السنة عن رسول الله
عليه الصلاة والسلام، ولهذا قال أبو عبد الرحمن ما قال، ونبه إلى أن الصحابة هم
القدوة وهم الأسوة وهم السابقون إلى كل خير، ولو كان خيراً لسبقوا إليه.
“Tidaklah perhitungan dzikir itu menggunakan batu-batu kecil, tidak pula yang
lain. Sesungguhnya manusia menghitungnya sebagaimana hitungan yang telah
warid (datang) riwayatnya, seperti tasbih setelah shalat 33 kali, tahmid 33
kali, takbir 33 kali, lalu melengkapinya hingga seratus dengan membaca:
Laa Ilaha Illallahu wahdahu laa syarika lahu, lahul mulku wa lahul hamdu wa
huwa ‘ala kulli syai’in qadir. Inilah dzikir yang ada pada sunah, dan
manusia menghitungnya dengan jari jemarinya, tetapi perilaku menusia yang
menghitungnya dengan batu-batu kecil, maka itu tidak ada dasarnya dari sunah
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Oleh karena itu berkatalah Abu
Abdurrahman (Ibnu Mas’ud) sebagaimana yang telah dikatakannya. Seraya
mengabarkan mereka bahwa sahabat nabi adalah teladan dan contoh, mereka adalah
orang yang awal dalam setiap kebaikan, seandainya hal ini baik niscaya mereka
sudah mendahuluinya.” (Syaikh Abdul Muhsin Al ‘Abbad Al Badr, Syarh Sunan
Abi Daud, 8/228)
Beliau
juga menjelaskan di halaman lain, ketika mengomentari hadits dari Sa’ad bin Abi
Waqqash:
والحديث ضعيف غير ثابت؛ لأن في إسناده مجهولاً لا يعرف وهو خزيمة
المذكور في الإسناد، فالحديث غير صحيح، وعلى هذا فلا يجوز العد والتسبيح بالحصى
ولا بالنوى، وكذلك ليس للإنسان التسبيح بالمسبحة، فأقل أحواله أن يكون خلاف
الأولى، وبعض أهل العلم يقول: إنه بدعة، فالذي ينبغي أن يبتعد الإنسان عنه ولا
يفعله، وإنما يسبح بالأصابع؛ لأنه كما جاء في الحديث: (فإنهن مسئولات مستنطقات)
كما سيأتي، والنبي صلى الله عليه وسلم كان يسبح بأصابعه، يعني: بأنامل يمينه كما
سيأتي.
“Dan hadits ini dhaif, tidak kuat. Karena dalam sanadnya terdapat rawi
yang majhul, tidak dikenal, yakni bernama Khuzaimah yang tertera dalam
sanadnya. Maka, hadits ini tidak shahih. Oleh karena itu tidak boleh manusia
bertasbih dengan batu-batu kecil, bijji-bijian, demikian juga dengan subhah,
minimal keadaan ini bertentangan dengan perbuatan yang pertama (yakni dengan
jari jemari). Sebagian ulama mengatakan: itu adalah bid’ah. Maka hendaknya
manusia dijauhkan darinya dan tidak melakukannya. Sesungguhnya bertasbih itu
hanyalah dengan jari jemari, sebagaimana hadits:
(Sesungguhnya jari jemari akan ditanya dan diajak bicara), sebagaimana
penjelasan yang akan datang. Dan, Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam
bertasbih dengan jari-jemarinya, yaitu ujung jari bagian tangan kanan sebagaimana
penjelasan selanjutnya.” (Ibid, 8/228)
Saya sudah sebutkan di atas (lihat keterangan hadits kedua), bahwa hadits yang
didhaifkan Syaikh Abdul Muhsin ini, adalah hadits yang dihasankan oleh Imam At
Tirmidzi, Imam An Nawawi, dan Imam Ibnu Hajar, serta dishahihkan oleh Imam Ibnu
Hibban, Imam Al Hakim, Imam As Suyuthi, dan disetujui oleh Imam Asy Syaukani.
Demikianlah masalah ini. Kami -walaupun cenderung mengikuti pendapat yang membolehkannya sebab dia
hanyalah alat bantu hitung saja, bukan dzikir itu sendiri- tetap berharap agar
kita tidak bersikap intoleran dan kasar terhadap saudara-saudara kita yang
tidak sepaham. Sudah seharusnya seorang muslim bertoleransi dalam masalah furu’
(cabang) yang dijadikan ajang berdebatan para imam kaum muslimin, khususnya
pada masa belakangan.
Wallahu A’lam
No comments:
Post a Comment