Yang dimaksud Hal-Hal Yang Dibolehkan adalah
Perbuatan yang tidak membatalkan shalat dan tidak pula haram dan makruh. Di
antaranya adalah:
1. Menangis, baik karena takut kepada
Allah atau sebab lainnya selama tidak dibuat-buat.
Dalil-Dalil:
Allah Ta’ala berfirman:
إِذَا
تُتْلَى عَلَيْهِمْ آيَاتُ الرَّحْمَنِ خَرُّوا سُجَّدًا وَبُكِيًّا
“Jika dibacakan kepada mereka ayat-ayat Allah, maka mereka
tersungkur sambil sujud dan menangis.” (QS. Maryam: 58)
Berkata Syaikh Sayyid Sabiq:
والاية تشمل المصلي وغيره.
“Ayat ini juga mencakup bagi orang shalat dan selainnya.”
(Fiqhus Sunnah, 1/259)
Dari Abdullah bin Syikhir, dia berkata:
رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ يُصَلِّي وَفِي صَدْرِهِ أَزِيزٌ كَأَزِيزِ الرَّحَى مِنْ الْبُكَاءِ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
“Aku melihat Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam
shalat dan di dadanya ada suara seperti air mendidih karena nangisnya beliau Shallallahu
‘Alaihi wa Sallam.” (HR. Abu Daud No. 904, dishahihkan oleh Syaikh Al
Albani dalam Misykah Al Mashabih No. 1000)
Dan masih banyak riwayat yang menceritakan menangisnya
Rasulullah, Abu Bakar, Umar, dan lainnya ketika shalat. Tetapi ini hanya
berlaku bagi tangisan disebabkan takut kepada Allah Ta’ala, AzabNya, neraka,
azab kubur, dan hal-hal yang terkait dengan akhirat. Ada pun menangisi musibah
pribadi yang terkait keduniaan adalah tidak boleh bahkan membatalkan shalat;
nangis karena rumah kebanjiran, tidak bisa membayar hutang, ditinggal
suami/istri, dan perkara dunia lainnya.
Berkata Syaikh Ibnu Al ‘Utsaimin Rahimahullah:
أن البكاء في الصلاة
إذا كان من خشية الله عز وجل والخوف منه وتذكر الإنسان أمور الآخرة وما يمر به في القرآن
الكريم من آيات الوعد والوعيد فإنه لا يبطل الصلاة وأما إذا كان البكاء لتذكر مصيبة
نزلت به أو ما أشبه ذلك فإنه يبطل الصلاة لأنه حدث لأمر خارج عن الصلاة وعليه فيحاول
علاج نفسه من هذا البكاء حتى لا يتعرض لبطلان صلاته وعليه أيضاً بل يشرع له أن لا يكون
في صلاته مهتماً بغير ما يتعلق بها فلا يفكر في الأمور الأخرى لأن التفكير في غير ما
يتعلق بالصلاة في حال الصلاة ينقصها كثيرا ًفإن ذلك من عمل الشيطان ومن وساوسه ومن
سرقته لصلاة العبد
Sesungguhnya menangis dalam shalat jika disebabkan rasa
takut kepada Allah ‘Azza wa Jalla, dan takut dari azabNya, dan manusia
mengingat urusan-urusan akhirat, dan apa-apa yang Al Quran ceritakan tentang
akhirat, berupa ayat janji dan ancaman, sesungguhnya itu tidak membatalkan
shalat. Sedangkan, jika menangis karena mengingat musibah menimpanya, atau yang
semisal itu, sesungguhnya itu membatalkan shalat karena dia mensisipkan hal di
luar shalat. Wajib atasnya untuk merubah dirinya dari tangisan seperti ini
sehingga shalatnya tidak menjadi
batal. Wajib baginya juga, bahkan
disyariatkan baginya agar dalam shalatnya tidak dipecahkan oleh selain yang
terkait dengan shalat. Maka, janganlah dia memikirkan perkara lainnya, sebab
memikirkan perkara lain selain shalat dalam keadaan shalat dapat banyak menguranginya,
sebab hal itu merupakan perbuatan syetan,
was-was dari syetan, dan bentuk syetan dalam mencuri shalat seorang
hamba. (Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin, Fatawa Nur ‘Alad Dar,
Bab Ash Shalah, No. 378)
- Menoleh Jika Ada
Kebutuhan
Dalil-Dalil:
Sahl bin Hanzhalah Radhiallahu ‘Anhu, berkata:
فجعل رسول اللّه صلى اللّه عليه وسلم يصلي وهو
يلتفت إلى الشِّعب
“Maka Rasulullah menoleh pandangan dalam shalatnya menuju
celah bukit.” (HR. Abu Daud 2501, Al Baihaqi dalam Al Sunan Al Kubra,
No. 2083, dishahihkan Syaikh Al Albani dalam Shahih wa Dhaif Sunan Abi
Daud No. 2051. Al Hazimi mengatakan: hasan. Lihat Tahqiq Musnad
Ahmad, 4/289)
Dari Ibnu Abbas Radhiallahu ‘Anhuma, katanya:
كان رسول الله صلى الله عليه وسلم يلتفت في صلاته
يمينا وشمالا ولا يلوي عنقه خلف ظهره
“Dahulu Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam
menoleh dalam shalatnya ke kanan dan kiri dan tidak sampai memutarkan lehernya
kebelakang.” (HR. An Nasa’i No. 1201, Ahmad No. 2485, Abu Ya’la No. 2592, Ibnu
Hibban No. 2288, At Tirmidzi No. 587, Al Baihaqi dalam As Sunan Al Kubra No.
2084, Al Hakim dalam Al Mustadrak No. 864, katanya shahih sesuai syarat
Bukhari, dan disepakati oleh Adz Dzahabi. Ibnu Khuzaimah No. 484, Al Baghawi
No. 737, dishahihkan oleh Syaikh Al Albani dalam berbagai kitabnya, Shahihwa Dhaif Sunan An Nasa’i No. 1201,
Tahqiq Misykah Al Mashabih No. 998, dll)
Tetapi jika tidak keperluan, maka itu makruh. Dari Al Harts
Al Asy’ari, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
فإذا صليتم فلا تلتفتوا فإن العبد إذا لم يلتفت
استقبله جل وعلا بوجهه
“Jika kalian shalat janganlah menoleh, sesungguhnya Allah Jalla
wa ‘Ala akan memandang hambaNya selama dia tidak menoleh. (HR. Ahmad No.
17170, Ibnu Hibban No. 6233, At Tirmidzi No. 2863, 2864, katanya: hasan
shahih. Ath Thabarani dalam Al Kabir No. 3427, 3428, Ibnul Atsir
dalam Asadul Ghabah, 1/383, Ibnu Khuzaimah dalam Shahihnya No.
1895, Abu Ya’la No. 1571, Ibnu Mandah dalam Al Iman No. 212, Al Hakim
dalam Al Mustadrak, 1/118, 421, juga 11/17, katanya: shahih sesuai
syarat Bukhari dan Muslim, dan Adz
Dzahabi menyepakatinya. Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan: shahih.
Lihat Tahqiq Musnad Ahmad No. 17170. juga dishahihkan oleh Syaikh Al
Albani, Lihat Shahihul Jami’ No. 1724 )
Dari ‘Aisyah Radhiallahu ‘Anha, katanya:
سألت رسول اللّه صلى الله عليه وسلم عن التفات
الرجل في الصلاة، فقال: "إنما هو اختلاسٌ يختلسه الشيطان من صلاة العبد".
“Aku bertanya kepada Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa
Sallam tentang seseorang yang menoleh dalam shalat, beliau menjawab: “Itu
adalah sambaran kilat dari syetan terhadap shalat seorang hamba.” (HR.
Bukhari No. 751,3291, Abu Daud No. 910, An Nasa’i dalam Al Kubra No.
1120, At Tirmidzi No. 590, Ahmad No. 24412, Abu Ya’la No. 4634, 4913, Abu
Nu’aim dalam Al Hilyah , 9/30, Al
Baghawi dalam Syarhus Sunnah No. 732, Ibnu Hibban No. 2287, Al
Baihaqi dalam As Sunan Al Kubra No. 3344, dll)
3. Membunuh Ular, Kalajengking Kumbang, dan binatang
membahayakan lainnya yang mengganggu shalat.
Syaikh Sayyid Sabiq Rahimahullah mengatakan:
قتل الحية والعقرب والزنابير ونحو ذلك من كل ما
يضر وإن أدى قتلها إلى عمل كثير
“Membunuh ular, kalajengking kumbang dan yang semisalnya
yang bisa mengganggu shalat, walau pun dnegan gerakan yang banyak untuk
membunuhnya.” (Fiqhus Sunnah, 1/261)
Dalilnya:
Dari Abu Hurairah Radhiallahu ‘Anhu, bahwa Nabi Shallallahu
‘Alaihi wa Sallam bersbada:
(اقتلوا الاسودين في الصلاة:
الحية والعقرب ) رواه أحمد وأصحاب السنن. الحديث حسن صحيح.
“Bunuhlah oleh kalian dua binatang hitam dalam shalat: ular
dan kala jengking.” (HR. Ahmad No. 7379,
Ibnu Majah No. 1245, Ibnu Khuzaimah No. 869,
Al Baihaqi dalam Al Ma’rifah No. 1041, 1042, Ibnul Jarud No. 213,
dll. Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan: isnadnya shahih. Lihat
Tahqiq Musnad Ahmad No. 7379)
4.
Berjalan Sedikit
Karena Ada Keperluan
Dalilnya:
عن
عائشة قالت: كان رسول الله صلى الله عليه وسلم يصلي في البيت والباب عليه مغلق
فجئت فاستفتحت فمشى ففتح لي ثم رجع الى مصلاه. ووصفت أن الباب في القبلة. رواه
أحمد وأبو داود والنسائي والترمذي وحسنه.
Dari ‘Aisyah, dia berkata: “Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa
Sallam shalat di rumah dan pintu di depannya tertutup, ketika saya datang
saya minta dibukakan pintu. Maka beliau berjalan dan membukakan pintu kemudian
kembali shalat.” ‘Aisyah mengatakan bahwa pintu tersebut ada di arah kiblat.
(HR. Ahmad No. 24027, Abu Daud No. 922, An Nasa’i, At Tirmidzi No. 601, dia menghasankannya, Ad Daruquthni dalam As
Sunan, 2/8, Abu Ya’la No. 4406, Ibnu Hibban No. 2355. Syaikh Syu’aib Al
Arnauth mengatakan: hasan. Tahqiq Musnad Ahmad No. 24027)
Tapi pembolehan ini hanya berlaku jika berjalannya masih
kearah kiblat baik depan, kanan, dan kiri, tetapi tidak berlaku ke arah
membelakangi kiblat. Semua ahli fiqih sepakat berjalan dengan jumlah langkah
yang banyak dalam shalat fardhu adalah membatalkan shalat.
Syaikh Abdul Muhsin Al ‘Abbad Al Badr Hafizhahullah
menjelaskan:
فدل على أن مثل هذا العمل لا بأس به في
الصلاة؛ لأن رسول الله صلى الله عليه وسلم فعله وهو القدوة والأسوة صلوات الله وسلامه
وبركاته عليه
Maka, hadits ini menunjukkan bahwasanya hal yang semisal
perbuatan ini adalah tidak apa-apa dilakukan saat shalat, karena Rasulullah Shallallahu
‘Alaihi wa Sallam melakukannya, dan dia adalah teladan dan contoh -semoga shalawat, salam, dan keberkahanNya
tercurah kepadanya. (Syarh Sunan Abi Daud, 117. Al Misykat)
5.
Menggendong Anak
Kecil
Dalilnya:
عَنْ عَمْرِو بْنِ سُلَيْمٍ الزُّرَقِيِّ أَنَّهُ: سَمِعَ أَبَا قَتَادَةَ
يَقُولُ: " إِنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صَلَّى وأُمَامَةُ ابْنَةُ زَيْنَبَ ابْنَةِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ،
وَهِيَ ابْنَةُ أَبِي الْعَاصِ بْنِ الرَّبِيعِ بْنِ عَبْدِ الْعُزَّى عَلَى رَقَبَتِهِ،
فَإِذَا رَكَعَ وَضَعَهَا، وَإِذَا قَامَ مِنْ سُجُودِهِ أَخَذَهَا فَأَعَادَهَا عَلَى
رَقَبَتِهِ "
Dari Amru bin Sulaim Az Zuraqiy, bahwa dia mendengar
Abu Qatadah berkata: bahwa Nabi Shallallahu
‘Alaihi wa Sallam sedang shalat sedangkan Umamah –anak puteri dari Zainab
puteri Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dan juga puteri dari Abu Al
‘Ash bin Ar Rabi’ bin Abdul ‘Uzza - berada di pundaknya, jika Beliau ruku anak
itu diletakkan, dan jika bangun dari sujud diambil lagi dan diletakkan di atas
pundaknya. (HR. Ahmad No. 22589, An Nasa’i No. 827, Abdurrazzaq dalam Al
Mushannaf No. 7827, dishahihkan oleh Syaikh Al Albani dalam Shahih wa
Dhaif Sunan An Nasa’i No. 827. Syaikh Syu’aib Al Arnauth juga
menshahihkannya dalamTahqiq Musnad Ahmad No. 22589, dan Amru bin Sulaim
mengatakan bahwa ini terjadi ketika shalat subuh)
Apa Hikmahnya?
قال الفاكهاني: وكأن السر في حمله صلى الله عليه
وسلم أمامة في الصلاة دفعا لما كانت العرب تالفه من كراهة البنات بالفعل قد يكون
أقوى من القول.
“Berkata Al Fakihani: “Rahasia dari hal ini adalah sebagai
peringatan (sanggahan) bagi bangsa Arab yang biasanya kurang menyukai anak
perempuan. Maka nabi memberikan pelajaran halus kepada mereka supaya kebiasaan
itu ditinggalkan, sampai-sampai beliau mencontohkan bagaimana mencintai anak
perempuan, sampai-sampai dilakukan di shalatnya. Dan ini lebih kuat pengaruhnya
dibanding ucapan.” (Fiqhus Sunah, 1/262)
Dalil lainnya:
Dari Abdullah bin Syadad, dari ayahnya, katanya:
خرج علينا رسول
الله صلى الله عليه وسلم في إحدى صلاة العشي (الظهر أو العصر) وهو حامل (حسن أو
حسين) فتقدم النبي صلى الله عليه وسلم فوضعه ثم كبر للصلاة فصلى فسجد بين ظهري
صلاته سجدة أطالها، قال: إني رفعت رأسي فإذا الصبي على ظهر رسول الله صلى الله
عليه وسلم وهو ساجد فرجعت في سجودي.
فلما قضى رسول الله
صلى الله عليه وسلم الصلاة قال الناس: يا رسول الله إنك سجدت بين ظهري الصلاة سجدة
أطلتها حتى ظننا أنه قد حدث أمر، أو أنه يوحى إليك؟ قال: (كل ذلك لم يكن، ولكن
ابني ارتحلني فكرهت أن أعجله حتى يقضي حاجته)
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam keluar untuk
shalat bersama kami untuk shalat siang (zhuhur atau ashar), dan dia sambil
menggendong (hasan atau Husein), lalu Beliau maju ke depan dan anak itu di
letakkannya kemudian bertakbir untuk shalat, maka dia shalat, lalu dia sujud
dan sujudnya itu lama sekali. Aku angkat kepalaku, kulihat anak itu berada di
atas punggung Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, dan beliau sedang
sujud, maka saya pun kembali sujud. Setelah shalat selesai, manusia berkata:
“Wahai Rasulullah, tadi lama sekali Anda sujud, kami menyangka telah terjadi
apa-apa, atau barangkali wahyu turun kepadamu?” Beliau bersabda: “Semua itu
tidak terjadi, hanya saja cucuku ini mengendarai punggungku, dan saya
tidak mau memutuskannya dengan segera sampai dia puas.” (HR. An Nasa’i No.
1141, dishahihkan oleh Syaikh Al Albani dalam Shahih wa Dhaif Sunan An
Nasa’i No. 1141)
Berkata Imam An Nawawi Rahimahullah:
هَذَا يَدُلّ لِمَذْهَبِ
الشَّافِعِيّ - رَحِمَهُ اللَّه تَعَالَى - وَمَنْ وَافَقَهُ أَنَّهُ يَجُوز حَمْل
الصَّبِيّ وَالصَّبِيَّة وَغَيْرهمَا مِنْ الْحَيَوَان الطَّاهِر فِي صَلَاة
الْفَرْض وَصَلَاة النَّفْل ، وَيَجُوز ذَلِكَ لِلْإِمَامِ وَالْمَأْمُوم ، وَالْمُنْفَرِد
، وَحَمَلَهُ أَصْحَاب مَالِك - رَضِيَ اللَّه عَنْهُ - عَلَى النَّافِلَة ،
وَمَنَعُوا جَوَاز ذَلِكَ فِي الْفَرِيضَة ، وَهَذَا التَّأْوِيل فَاسِد ، لِأَنَّ
قَوْله : يَؤُمّ النَّاس صَرِيح أَوْ كَالصَّرِيحِ فِي أَنَّهُ كَانَ فِي
الْفَرِيضَة ، وَادَّعَى بَعْض الْمَالِكِيَّة أَنَّهُ مَنْسُوخ ، وَبَعْضهمْ
أَنَّهُ خَاصّ بِالنَّبِيِّ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ، وَبَعْضهمْ
أَنَّهُ كَانَ لِضَرُورَةٍ ، وَكُلّ هَذِهِ الدَّعَاوِي بَاطِلَة وَمَرْدُودَة ،
فَإِنَّهُ لَا دَلِيل عَلَيْهَا وَلَا ضَرُورَة إِلَيْهَا ، بَلْ الْحَدِيث صَحِيح
صَرِيح فِي جَوَاز ذَلِكَ ، وَلَيْسَ فِيهِ مَا يُخَالِف قَوَاعِد الشَّرْع ؛
لِأَنَّ الْآدَمِيَّ طَاهِر ، وَمَا فِي جَوْفه مِنْ النَّجَاسَة مَعْفُوّ عَنْهُ
لِكَوْنِهِ فِي مَعِدَته ، وَثِيَاب الْأَطْفَال وَأَجْسَادهمْ عَلَى الطَّهَارَة
، وَدَلَائِل الشَّرْع مُتَظَاهِرَة عَلَى هَذَا . وَالْأَفْعَال فِي الصَّلَاة
لَا تُبْطِلهَا إِذَا قَلَّتْ أَوْ تَفَرَّقَتْ ، وَفَعَلَ النَّبِيّ صَلَّى
اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - هَذَا - بَيَانًا لِلْجَوَازِ ، وَتَنْبِيهًا بِهِ
عَلَى هَذِهِ الْقَوَاعِد الَّتِي ذَكَرْتهَا ، وَهَذَا يَرُدُّ مَا اِدَّعَاهُ
الْإِمَام أَبُو سُلَيْمَان الْخَطَّابِيُّ أَنَّ هَذَا الْفِعْل يُشْبِه أَنْ
يَكُون مِنْ غَيْر تَعَمُّد ، فَحَمَلَهَا فِي الصَّلَاة لِكَوْنِهَا كَانَتْ
تَتَعَلَّق بِهِ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ، فَلَمْ يَدْفَعهَا فَإِذَا
قَامَ بَقِيَتْ مَعَهُ ، قَالَ : وَلَا يُتَوَهَّم أَنَّهُ حَمَلَهَا وَوَضَعَهَا
مَرَّة بَعْد أُخْرَى عَمْدًا ؛ لِأَنَّهُ عَمَل كَثِير وَيَشْغَل الْقَلْب ،
وَإِذَا كَانَتْ الْخَمِيصَة شَغَلَتْهُ فَكَيْف لَا يَشْغَلهُ هَذَا ؟ هَذَا كَلَام
الْخَطَّابِيّ - رَحِمَهُ اللَّه تَعَالَى - وَهُوَ بَاطِل ، وَدَعْوَى مُجَرَّدَة
، وَمِمَّا يَرُدّهَا قَوْله فِي صَحِيح مُسْلِم فَإِذَا قَامَ حَمَلَهَا .
وَقَوْله : ( فَإِذَا رَفَعَ
مِنْ السُّجُود أَعَادَهَا )
، وَقَوْله فِي رِوَايَة مُسْلِم : ( خَرَجَ
عَلَيْنَا حَامِلًا أُمَامَةَ فَصَلَّى ) فَذَكَرَ الْحَدِيث . وَأَمَّا قَضِيَّة
الْخَمِيصَة فَلِأَنَّهَا تَشْغَل الْقَلْب بِلَا فَائِدَة ، وَحَمْل أُمَامَةَ
لَا نُسَلِّم أَنَّهُ يَشْغَل الْقَلْب ، وَإِنْ شَغَلَهُ فَيَتَرَتَّب عَلَيْهِ
فَوَائِد ، وَبَيَان قَوَاعِد مِمَّا ذَكَرْنَاهُ وَغَيْره ، فَأُحِلّ ذَلِكَ
الشَّغْل لِهَذِهِ الْفَوَائِد ، بِخِلَافِ الْخَمِيصَة . فَالصَّوَاب الَّذِي لَا
مَعْدِل عَنْهُ : أَنَّ الْحَدِيث كَانَ لِبَيَانِ الْجَوَاز وَالتَّنْبِيه عَلَى
هَذِهِ الْفَوَائِد ، فَهُوَ جَائِز لَنَا ، وَشَرْع مُسْتَمِرّ لِلْمُسْلِمِينَ
إِلَى يَوْم الدِّين . وَاللَّهُ أَعْلَم .
“Hadits ini menjadi dalil bagi madzhab Syafi’i dan yang sepakat
dengannya, bahwa bolehnya shalat sambil menggendong anak kecil, laki atau
perempuan, begitu pula yang lainnya seperti hewan yang suci, baik shalat fardhu
atau sunah, baik jadi imam atau makmum.
Kalangan Maliki mengatakan bahwa hal itu hanya untuk shalat
sunah, tidak dalam shalat fardhu. Pendapat ini tidak bisa diterima, sebab
sangat jelas disebutkan bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam
memimpin orang banyak untuk menjadi imam, peristiwa ini adalah pada shalat
fardhu, apalagi jelas disebutkan itu terjadi pada shalat shubuh.
Sebagian kalangan Maliki menganggap hadits ini mansukh
(dihapus hukumnya) dan sebagian lagi mengatakan ini adalah kekhususan bagi Nabi
saja, dan sebagian lain mengatakan bahwa Beliau melakukannya karena darurat.
Semua pendapat ini tidak dapat diterima dan mesti ditolak, sebab tidak
keterangan adanya nasakh (penghapusan), khusus bai Nabi atau karena
darurat, tetapi justru tegas membolehkannya dan sama sekali tidak menyalahi
aturan syara’. Bukankah Anak Adam atau manusia itu suci, dan apa yang dalam
rongga perutnya dimaafkan karena berada dalam perut besar, begiru pula mengenai
pakaiannya. Dalil-dalil syara’ menguatkan hal ini, karena perbuatan-perbuatan
yang dilakukan ketika itu hanya sedikit atau terputus-putus. Maka, perbuatan
Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam itu menjadi keterangan tentang
bolehnya berdasarkan norma-norma tersebut. Dalil ini juga merupakan koreksi
atas apa yang dikatakan oleh Imam Al Khathabi bahwa seakan-akan itu terjadi
tanpa sengaja, karena anak itu bergelantungan padanya, jadi bukan diangkat oleh
Nabi. Namun, bagaimana dengan keterangan bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi
wa Sallam ketika hendak berdiri yang kedua kalinya, anak itu diambilnya
pula. Bukankah ini perbuatan sengaja dari Beliau? Apalagi terdapat keterangan
dalam Shahih Muslim: “Jika Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam
bangkit dari sujud, maka dinaikkannya anak itu di atas pundaknya.” Kemudian
keterangan Al Khathabi bahwa memikul anak itu mengganggu kekhusyu’an
sebagaimana menggunakan sajadah yang bergambar, dikemukakan jawaban bahwa
memang hal itu mengganggu dan tidak ada manfaat sama sekali. Beda halnya dengan
menggendong anak yang selain mengandung manfaat, juga sengaja dilakukan oleh
Nabi untuk menyatakan kebolehannya. Dengan demikian, jelaslah bahwa yang benar
dan tidak dapat disangkal lagi, hadits itu menyatakan hukum boleh, yang tetap
berlaku bagi kaum muslimin sampai hari kemudian.” Wallahu A’lam (Imam An
Nawawi, Al Minhaj Syarh Shahih Muslim, 2/307. Mawqi’ Ruh Al Islam)
6.
Memberikan Salam dan
Mengajak Berbicara Orang Shalat
Dalilnya:
عَنْ جَابِرٍ، قَالَ: أَرْسَلَنِي رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
وَهُوَ مُنْطَلِقٌ إِلَى بَنِي الْمُصْطَلِقِ، فَأَتَيْتُهُ وَهُوَ يُصَلِّي عَلَى
بَعِيرِهِ ، فَكَلَّمْتُهُ، فَقَالَ بِيَدِهِ هَكَذَا، ثُمَّ كَلَّمْتُهُ، فَقَالَ
بِيَدِهِ هَكَذَا، وَأَنَا أَسْمَعُهُ يَقْرَأُ، وَيُومِئُ بِرَأْسِهِ، فَلَمَّا فَرَغَ
قَالَ: " مَا فَعَلْتَ فِي الَّذِي أَرْسَلْتُكَ، فَإِنَّهُ لَمْ يَمْنَعْنِي
إِلَّا أَنِّي كُنْتُ أُصَلِّي.
Dari Jabir bin Abdullah katanya: “Saya diperintahkan nabi
untuk datang, saat itu beliau hendak pergi ke Bani Musthaliq. Ketika saya
datang beliau sedang shalat di atas kendaraannya. Saya pun berbicara kepadanya
dan beliau memberi isyarat dengan tangannya seperti ini. Saya berbicara lagi
dan beliau memberi isyarat dengan tangannya, sedangkan bacaan shalat beliau
terdengar oleh saya sambil beliau menganggukkan kepala. Setelah beliau selesai
shalat beliau bertanya: “Bagaimana tugasmu yang saya minta untuk diselesaikan?
Sebenarnya tak ada halangan bagi saya membalas ucapanmu itu, hanya saja saya
sedang shalat.” (HR. Muslim No. 540, Ahmad No. 14345, Abu Daud No. 926, Abu
‘Awanah, 2/140, Ibnu Khuzaimah No. 889, Ibnu Hibban No. 2518, 2519)
Dari Ibnu Umar: “Aku bertanya kepada Bilal:
كيف كان النبي صلى الله عليه وسلم يرد
عليهم حين كانوا يسلمون في الصلاة؟ قال: كان يشير بيده.
“Bagaimana Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam
menjawab salam kepada mereka ketika beliau sedang shalat?” Bilal menjawab:
“Memberikan isyarat dengan tangannya.” (HR.
Ibnu Majah No. 1017, At Tirmidzi No. 368, katanya: hasan shahih.
An Nasa’i No. 1187, Ad Darimi No. 1362, dari Suhaib)
Berkata Syaikh Sayyid Sabiq Rahimahullah:
ويستوي في ذلك الاشارة بالاصبع أو باليد جميعها أو
بالايماء بالرأس فكل ذلك وارد عن رسول الله صلى الله عليه وسلم.
“Dalam hal ini sama saja, baik isyarat dengan jari, tangan
atau anggukkan kepala, semua ini adalah boleh karena memiliki dasar dari
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam.” (Fiqhus Sunah,
1/264)
Syaikh Abul ‘Ala Muhammad bin Abdurrahman bin Abdurrahim Al
Mubarkafuri Rahimahullah mengatakan:
فَيَجُوزُ أَنْ يَكُونَ أَشَارَ مَرَّةً
بِأُصْبُعِهِ وَمَرَّةً بِيَدِهِ
“Maka, dibolehkan memberikan isyarat, sekali dengan jari dan
sekali dengan tangannya.” (Tuhfah Al Ahwadzi, 2/365. Cet. 2, Al
Maktabah As Salafiyah, Madinah)
7.
Bertasbih dan
bertepuk Tangan Untuk Meralat Imam
Dalilnya:
عن
النبي صلى الله عليه وسلم: مَنْ نَابَهُ شَيْءٌ فِي صَلَاتِهِ فَلْيُسَبِّحْ فَإِنَّهُ إِذَا
سَبَّحَ الْتُفِتَ إِلَيْهِ وَإِنَّمَا التَّصْفِيحُ لِلنِّسَاءِ
Dari Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam:
“Barangsiapa yang terganggu dalam shalatnya oleh suatu hal maka bertasbihlah,
sesungguhnya jika dia bertasbih hendaknya menengok kepadanya, dan bertepuk tangan hanyalah untuk kaum wanita.” (HR. Bukhari No. 652, Muslim
No. 421, Abu Daud No. 940, Ibnu Hibban
No. 2260, Al Baihaqi dalam As Sunan Al Kubra No. 3147, 5089, Ibnu
Khuzaimah No. 1623, Malik dalam Al Muwaththa’ No. 390)
Berkata Syaikh Sayyid Sabiq Rahimahullah:
يجوز التسبيح للرجال والتصفيق للنساء
إذا عرض أمر من الامور، كتنبيه الامام إذا أخطأ وكالاذن للداخل أو الارشاد للاعمى
أو نحو ذلك.
“Dibolehkan bagi laki-laki bertasbih dan bertepuk tangan
bagi wanita, jika ada hal yang membuatnya tidak nyaman seperti: mengingatkan
imam ketika berbuat kesalahan, memberi izin kepada orang yang akan masuk, atau
memandu orang buta atau yang semisalnya.” (Fiqhus Sunnah,1/264)
8.
Meralat Bacaan Imam
Yang Salah atau Lupa
Dalilnya:
عن ابن عمر أن النبي صلى الله عليه وسلم صلى صلاة
فقرأ فيها فالتبس عليه فلما فرغ قال لابي: (أشهدت معنا؟) قال: نعم. قال: (فما منعك
أن تفتح علي؟) رواه أبو داود وغيره ورجاله ثقات.
Dari Ibnu Umar bahwa Nabi shalat, lalu membaca suatu ayat,
tiba-tiba beliau lupa atau ragu dalam bacaannya. Setelah selesai dia bertanya
kepada ayahku (Umar bin Al Khathab): “apakah engkau shalat bersamaku?” Umar menjawab:
“Ya”. Nabi bersabda: “Apa yang menghalangimu untuk mengingatkanku?” (HR. Abu
Daud No. 907, Ibnu Hibban No. 2242, Ath Thabarani dalam Al Kabir No.
13216. Syaikh Al Albani menghasankannya. Lihat Shahih wa Dhaif Sunan Abi
Daud No. 907)
Berkata Syaikh Abdul Muhsin Al ‘Abbad Al Badr Hafizhahullah:
فهذا يدلنا على مشروعية الفتح على الإمام
إذا حصل منه خطأ
“Ini
menunjukkan bahwa disyariatkan untuk memberitahukan kepada imam jika didapatkan
padanya ada kesalahan.” (Syarh Sunan Abi Daud, 115. Al Misykat)
9.
Memuji Allah Ketika
Bersin Atas Suatu Ni’mat
Dalilnya:
Dari Rifa’ah bin Rafi’, dia berkata;
صَلَّيْتُ خَلْفَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَعَطَسْتُ فَقُلْتُ الْحَمْدُ لِلَّهِ حَمْدًا كَثِيرًا
طَيِّبًا مُبَارَكًا فِيهِ مُبَارَكًا عَلَيْهِ كَمَا يُحِبُّ رَبُّنَا وَيَرْضَى
فَلَمَّا صَلَّى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ انْصَرَفَ
فَقَالَ مَنْ الْمُتَكَلِّمُ فِي الصَّلَاةِ فَلَمْ يَتَكَلَّمْ أَحَدٌ ثُمَّ
قَالَهَا الثَّانِيَةَ مَنْ الْمُتَكَلِّمُ فِي الصَّلَاةِ فَلَمْ يَتَكَلَّمْ
أَحَدٌ ثُمَّ قَالَهَا الثَّالِثَةَ مَنْ الْمُتَكَلِّمُ فِي الصَّلَاةِ فَقَالَ
رِفَاعَةُ بْنُ رَافِعٍ ابْنُ عَفْرَاءَ أَنَا يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ كَيْفَ
قُلْتَ قَالَ قُلْتُ الْحَمْدُ لِلَّهِ حَمْدًا كَثِيرًا طَيِّبًا مُبَارَكًا
فِيهِ مُبَارَكًا عَلَيْهِ كَمَا يُحِبُّ رَبُّنَا وَيَرْضَى فَقَالَ النَّبِيُّ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ لَقَدْ
ابْتَدَرَهَا بِضْعَةٌ وَثَلَاثُونَ مَلَكًا أَيُّهُمْ يَصْعَدُ بِهَا
“Aku shalat dibelakang Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa
Sallam, lalu aku bersin, dan aku berkata: Alhamdulillah hamdan katsiran
thayyiban mubarakan fihi mubarakan ‘alaih kama yuhibbu rabbuna wa yardha
(segala puji bagi Allah, dengan pujian yang banyak lagi baik dan keberkahan di
dalamnya, dan keberkahan atasnya, sebagaimana yang disukai Tuhan kami dan diridhaiNya).
Ketika Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam selesai shalat, dia
bertanya: “Siapa yang mengatakan tadi dalam shalat?”. Tidak ada satu pun yang
menjawab. Beliau bertanya lagi kedua kalinya: “Siapa yang mengatakan tadi dalam
shalat?”. Tidak ada satu pun yang menjawab. Beliau bertanya lagi ketiga
kalinya: “siapa yang yang mengatakan tadi dalam shalat?” maka, berkatalah
Rifa’ah bin Rafi’ bin ‘Afra: “Saya wahai Rasulullah!” Beliau bersabda:
“Bagaimana engkau mengucapkannya?” dia menjawab: “Aku mengucapkan: ”
Alhamdulillah hamdan katsiran thayyiban mubarakan fihi mubarakan ‘alaih kama
yuhibbu rabbuna wa yardha.” Maka, Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam
bersabda: “Demi Dzat yang jiwaku ada di tanganNya, sebanyak tiga puluh Malaikat
saling merebutkan siapa di antara mereka yang membawanya naik (kelangit).”
(HR. At Tirmidzi No. 402, katanya: hasan. Dishahihkan oleh Syaikh Al
Albani dalam Misykah Al Mashabih No. 992)
Riwayat ini menunjukkan bolehnya bersin dalam shalat, lalu
dia mengucapkan bacaan seperti di atas secara jahr (keras), dan hal ini
terjadi di depan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, beliau tidak
mengingkari bahkan justru memujinya. At Tirmidzi menambahkan bahwa sebagian
ulama menganjurkan hal ini pada shalat tathawwu’ (sunah). Pernyataan ini
lemah, sebab hal ini terjadi pada shalat wajib, yakni maghrib,
sebagaimana diriwayatkan oleh Ath Thabarani dalam Al Mu’jam Al Kabir
No. 4044.
Al Hafizh Ibnu Hajar juga menyebutkan riwayat dari Bisyr bin
Umar Az Zuhrani, dari Rifa’ah bin Yahya bahwa Shalat tersebut adalah maghrib.
(Fathul Bari, 2/286)
Riwayat ini sekaligus menjadi bantahan bagi pihak yang
mengatakan bahwa kebolehannya hanya pada shalat sunah.
Ada pun, bagi yang mendengarnya, maka dianjurkan membaca Yarhamukallah,
tetapi ini hanya berlaku di luar shalat. Imam Ash Shan’ani
menyebutkan, bahwa kalangan zhahiriyah dan Ibnul Arabi berpendapat wajibnya
tasymit bagi setiap orang yang mendengar ucapan Alhamdulillah. (Imam
Amir Ash Shan’ani, Subulus Salam, 7/12)
Ada pun di dalam shalat, tidaklah menjawabnya, sebab Nabi Shallallahu
‘Alaihi wa Sallam pun tidak menjawab bersin Rifa’ah bin Rafi’ setelah dia
membaca Alhamdulillah. Bahkan Beliau melarang itu, sebagaimana yang
diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam haditsnya yang cukup panjang, dari Muawiyah
bin Al Hakam As Sulami. Ketika beliau shalat bersama Rasulullah, ada seorang
yang bersin dan mengatakan Alhamdulillah, lalu Muawiyah menjawab: Yarhamukallah.
Ringkasnya, setelah shalat Nabi menasihatinya:
إِنَّ هَذِهِ الصَّلَاةَ لَا يَصْلُحُ فِيهَا
شَيْءٌ مِنْ كَلَامِ النَّاسِ إِنَّمَا هُوَ التَّسْبِيحُ وَالتَّكْبِيرُ
وَقِرَاءَةُ الْقُرْآن
“Sesungguhnya
pada shalat ini, tidaklah ada kebaikan di dalamnya bagi ucapan manusia,
sesungguhnya dia adalah tasbih, takbir, dan membaca Al Quran.” (HR. Muslim
No. 537, juga Abu Daud No. 930, dengan lafaz: Sesungguhnya dalam shalat ini
tidak halal suatu apapun dari ucapan manusia ...)
Mayoritas ulama menyatakan hal itu terlarang, dan
membatalkan shalat, sebab tidak dicontohkan oleh Nabi, dan termasuk kalamun
nas (ucapan manusia) yang masuk ke dalam shalat. Imam An Nawawi
mengatakan, hadits di atas menunjukkan haramnya kalamun nas (ucapan
manusia) di dalam shalat, baik karena ada kebutuhan atau tidak, ucapan yang
bermaslahat bagi shalat atau tidak. Jika ada kebutuhan untuk memberikan
peringatakan maka bertasbih bagi laki-laki dan menepuk tangan bagi wanita,
inilah madzhab kami, Malik, Abu Hanifah, dan mayoritas salaf dan khalaf. Namun
dimaafkan bagi orang yang lupa dan bodoh (belum tahu), sebagaimana yang
dilakukan oleh Muawiyah bin Al Hakam, beliau tidak diperintah untuk mengulang
shalatnya, tetapi Rasulullah memberikan pengajaran untuknya. (Imam An
Nawawi, Al Minhaj Syarh Shahih Muslim, 2/298)
10.
Sujud Di atas Baju
atau Sorban Karena Udzur (Alasan yang dibenarkan)
Dari Ibnu Abbas Radhiallahu ‘Anhuma, katanya:
أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ،
صَلَّى فِي ثَوْبٍ وَاحِدٍ مُتَوَشِّحًا بِهِ، يَتَّقِي بِفُضُولِهِ حَرَّ الْأَرْضِ
وَبَرْدَهَا
Bahwa Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam shalat pada sehelai
baju yang dihamparkannya, untuk menahan
panasnya tanah atau dinginnya di waktu beliau sujud.” (HR. Ahmad No. 2320,
Abu Ya’la No. 2446, 2687. Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan: hasan
lighairihi. Lihat Tahqiq Musnad Ahmad No. 2320)
Ada riwayat lain yang lebih shahih, dari Anas bin Malik Radhiallahu
‘Anhu, katanya:
كُنَّا
نُصَلِّي مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي شِدَّةِ الْحَرِّ
فَإِذَا لَمْ يَسْتَطِعْ أَحَدُنَا أَنْ يُمَكِّنَ جَبْهَتَهُ مِنْ الْأَرْضِ بَسَطَ
ثَوْبَهُ فَسَجَدَ عَلَيْهِ
Kami shalat bersama Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa
Sallam saat panas yang sangat, jika salah seorang kami ada yang tidak kuat
meletakkan dahinya ke tanah, dia akan membentangkan pakaiannya lalu dia sujud
di atasnya. (HR. Muslim No. 620)
Ada pun dalam riwayat Imam Bukhari, dari Anas bin Malik
juga:
كُنَّا
نُصَلِّي مَعَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَيَضَعُ أَحَدُنَا طَرَفَ
الثَّوْبِ مِنْ شِدَّةِ الْحَرِّ فِي مَكَانِ السُّجُودِ
Kami shalat bersama Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam,
maka salah seorang di antara kami meletakkan ujung pakaiannya lantaran panas
yang sangat, di tempat sujud. (HR. Bukhari No. 1208)
Sedangkan jika tanpa adanya udzur maka hukumnya
makruh.
11.
Membaca Ayat Dengan
Melihat Mushhaf
Berikut keterangan dari Syaikh Sayyid Sabiq Rahimahullah:
فإن ذكوان مولى عائشة كان يؤمها في رمضان من
المصحف، رواه مالك. وهذا مذهب الشافعية
“Dzakwan, hamba sahayanya ‘Aisyah, kalau jadi imam bagi Aisyah
di waktu shalat dalam bulan Ramadhan biasa membaca ayat dari mushhaf
(Diriwayatkan oleh Malik). (Fiqhus Sunnah, 1/269ح87).
Imam An Nawawi
mengatakan:
لَوْ
قَرَأَ الْقُرْآنَ مِنْ الْمُصْحَفِ لَمْ تَبْطُلْ صَلَاتُهُ سَوَاءٌ كَانَ يَحْفَظُهُ
أَمْ لَا بَلْ يَجِبُ عَلَيْهِ ذَلِكَ إذَا لَمْ يَحْفَظْ الْفَاتِحَةَ كَمَا سَبَقَ،
وَلَوْ قَلَّبَ أَوْرَاقَهُ أَحْيَانًا فِي صَلَاتِهِ لَمْ تَبْطُلْ، وَلَوْ نَظَرَ
فِي مَكْتُوبٍ غَيْرِ الْقُرْآنِ وَرَدَّدَ مَا فِيهِ فِي نَفْسِهِ لَمْ تَبْطُلْ صَلَاتُهُ
وَإِنْ طَالَ، لَكِنْ يُكْرَهُ، نَصَّ عَلَيْهِ الشَّافِعِيُّ فِي الْإِمْلَاءِ وَأَطْبَقَ
عَلَيْهِ الْأَصْحَابُ.
“Seandainya membaca Al Quran melalui mushaf, tidaklah
membatalkan shalatnya. Sama saja, apakah dia sudah hafal Al Quran atau belum,
bahkan menjadi wajib melihat mushaf jika dia belum hafal Al Fatihah sebagaimana
penjelasan lalu. Walau kadang membolak-balikan halamannya dalam shalat, maka
itu tidak membatalkan shalatnya. Juga bagi seorang yang melihat catatan lain
selain Al Quran dan diulang-ulang isinya dalam hati walau lama tidaklah batal,
tetapi makruh. Demikian pemaparan Asy Syafi’i dalam Al Imla’.” (Al
Majmu’ Syarh Al Muhadzdzab, 1/20. Mawqi’ Ruh Al Islam)
Ini juga menjadi pendapat Imam Malik, Imam Muhammad bin
Hasan, Imam Abu Yusuf, Imam Ahmad bin Hambal, sedangkan Imam Abu Hanifah
mengatakan: batal shalatnya. (Ibid)
12.
Ingat Dengan Sesuatu Hal Yang Tidak Termasuk Amalan Shalat
Umar bin Al Khathab Radhiallahu ‘Anhu berkata:
إِنِّي لَأُجَهِّزُ جَيْشِي وَأَنَا فِي
الصَّلَاةِ
“Sesungguhnya saya mempersiapkan pasukan saya, pada saat itu
saya sedang shalat.” (Riwayat Bukhari)
Tentang ucapan Umar Radhiallahu ‘Anhu ini, Imam
Bukhari membuat judul: Bab Yufkiru
Ar Rajulu Asy Syai’a fish shalah
Dari ‘Uqbah bin Al Harits Radhiallahu ‘Anhu, katanya:
صَلَّيْتُ مَعَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْعَصْرَ
فَلَمَّا سَلَّمَ قَامَ سَرِيعًا دَخَلَ عَلَى بَعْضِ نِسَائِهِ ثُمَّ خَرَجَ وَرَأَى
مَا فِي وُجُوهِ الْقَوْمِ مِنْ تَعَجُّبِهِمْ لِسُرْعَتِهِ فَقَالَ ذَكَرْتُ وَأَنَا
فِي الصَّلَاةِ تِبْرًا عِنْدَنَا فَكَرِهْتُ أَنْ يُمْسِيَ أَوْ يَبِيتَ عِنْدَنَا
فَأَمَرْتُ بِقِسْمَتِهِ
“Aku shalat ashar bersama Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa
Sallam, ketika Beliau salam, beliau berdiri cepat-cepat lalu masuk menuju
sebagian istrinya, kemudian Beliau
keluar dan memandang kepada wajah kaum yang nampak terheran-heran lantaran
ketergesa-gesaannya. Beliau bersabda: “Aku teringat biji emas yang ada pada
kami ketika sedang shalat, saya tidak suka mengerjakannya sore atau kemalaman, maka saya perintahkan agar emas itu
dibagi-bagi.” (HR. Bukhari No. 1221, Ahmad No. 16151, Ibnu Abi ‘Ashim dalam Al
Ahadits Wal Matsani No. 477)
Walau hal ini dibolehkan, namun tetaplah dihindari
demi kebagusan kualitas shalat. Syaikh Sayyid Sabiq Rahimahullah berkata:
ومع أن الصلاة في هذه الحالة صحيحة
مجزئة فإنه ينبغي للمصلي أن يقبل بقلبه على ربه ويصرف عنه الشواغل بالتفكير
في معنى الايات والتفهم لحكمة كل عمل من أعمال الصلاة فإنه لا يكتب للمرء من صلاته
إلا ما عقل منها.
“Meskipun shalatnya tetap sah dan mencukupi, tetapi
seharusnya orang yang shalat itu menghadapkan hatinya kepada Allah dan
melenyapkan segala godaan dengan memikirkan ayat-ayat dan memahami hikmah setiap perbuata shalat, karena yang dicatat
dari perbuatan itu hanyalah apa-apa yang keluar dari kesadaran.” (Fiqhus
Sunnah, 1/267)
Nabi Shallalahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
إنّ الرّجُلَ لَيَنْصَرِفُ وَمَا كُتِبَ لَهُ إلاّ
عُشْرُ صلاتِهِ تُسْعُها ثُمْنُهَا سُبْعُهَا سُدُسُهَا خُمُسُهَا رُبُعُهَا ثُلُثُهَا
نِصْفُهَا
“Sesungguhnya ada orang yang selesai shalatnya tetapi tidak
mendapatkan melainkan hanya sepersepuluh, sepersembilan, seperdelapan,
sepertujuh, seperenam, seperlima seperempat, sepertiga, dan setengah dari
shalatnya.” (HR. Abu Daud No. 211, dihasankan Syaikh Al Albani dalam Shahih
wa Dhaif Sunan Abi Daud No. 211). Sekian.
Wallahu A’lam
Referensi:
-
Al
Quran Al Karim
-
Shahih
Bukhari, karya Imam Al Bukhari
-
Shahih
Muslim, karya Imam Muslim
-
Shahih
Ibnu Hibban, karya Imam Ibnu
Hibban
-
Shahih
Ibnu Khuzaimah, karya Imam Ibnu
Khuzaimah
-
Sunan
Abi Daud, karya Imam Abu Daud
-
Sunan
At Tirmidzi, karya Imam At
Tirmidzi
-
Sunan
An Nasa’i, karya Imam An Nasa’i
-
Sunan
Ad Darimi, karya Imam Ad Darimi
-
Sunan
Ad Daruquthni, karya Imam Ad
Daruquthni
-
As
Sunan Al Kubra, karya Imam Al
Baihaqi
-
Musnad Ahmad, karya Imam Ahmad dengan tahqiq Syaikh Syu’aib Al Arnauth
-
Musnad
Abi Ya’la, karya Imam Abu
Ya’la
-
Al
Ahadits wal Matsani,
karya Imam Ibnu Abi ‘Ashim
-
Syarhus
Sunnah, karya Imam Al
Baghawi
-
Al
Muwaththa’¸karya Imam Malik bin
Anas
-
Al
Mustadrak ‘Alash Shahihain,
karya Imam Al Hakim An Naisaburi
-
Al
Mushannaf, karya Imam
Abdurrazzaq
-
Al
Minhaj Syarh Shahih Muslim,
karya Imam An Nawawi
-
Fathul
Bari, karya Imam Ibnu
Hajar Al ‘Asqalani
-
Tuhfah
Al Ahwadzi, kaya Syaikh Abul
‘Ala Al Mubarkafuri
-
Syarh
Sunan Abi Daud, karya Syaikh Abdul
Muhsin Al ‘Abbad Al Badr
-
Fiqhus
Sunnah, karya Syaikh Sayyid
Sabiq
-
Al
Majmu’ Syarh Al Muhadzdzab,
karya Imam An Nawawi
-
Subulus
Salam, karya Imam Amir Ash
Shan’ani
-
Tahqiq
Misykat Al Mashabih,
karya Syaikh Al Albani
-
Shahih
wa Dhaif Sunan An Nasa’i,
karya Syaikh Al Albani
-
Shahih
wa Dhaif Sunan Abi Daud,
karya Syaikh Al Albani
-
dll
No comments:
Post a Comment