Pertanyaan:
Assalamu'alaikum
.........
Apakah syarat sholat jamak dan qashar?ada teman saya yg sholat jama terus di Malang alasannya musafir,dia dari jawa tengah kuliah di Malang. (Dari Juvefans)
Apakah syarat sholat jamak dan qashar?ada teman saya yg sholat jama terus di Malang alasannya musafir,dia dari jawa tengah kuliah di Malang. (Dari Juvefans)
Jawaban:
Wa ‘Alaikum Salam wa
Rahmatullah wa Barakatuh.
Bismillah wal hamdulillah wash shalatu was salamu ‘ala rasulillah wa ‘ala
aalihi wa ashhabihi wa man walah, wa ba’du:
Jamak Shalat
Menjamak Shalat ketika bepergian adalah boleh
menurut jumhur (mayoritas) ulama. Hal ini berdasarkan hadits berikut:
عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ قَالَ
كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا
ارْتَحَلَ قَبْلَ أَنْ تَزِيغَ الشَّمْسُ أَخَّرَ الظُّهْرَ إِلَى وَقْتِ
الْعَصْرِ ثُمَّ نَزَلَ فَجَمَعَ بَيْنَهُمَا
Dari Anas bin Malik, dia berkata: “Adalah
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam jika dia mengadakan perjalanan
sebelum matahari tergelincir (meninggi), maka dia akan akhirkan shalat zhuhur
pada waktu Ashar, lalu dia turun dan menjamak keduanya.” [1]
Berkata Syaikh Sayyid Sabiq Rahimahullah:
الجمع
بين الصلاتين في السفر في وقت إحداهما جائز في قول أكثر أهل العلم لا فرق بين كونه
نازلا أو سائرا.
“Menjamak dua shalat dalam perjalanan, pada
waktu salah satu dari dua shalat itu,
adalah boleh menurut mayoritas para ulama, sama saja baik ketika dalam perjalanannya
atau ketika turun (berhenti).” [2]
Sebenarnya masyaqqat (kepayahan,
kesempitan, kesulitan) yang membuat dibolehkannya jamak, bukan hanya
perjalanan, melainkan juga hujan, sakit, dan keperluan yang mendesak.
Jamak ketika hujan
Berkata
Syaikh Sayyid Sabiq Rahimahullah:
روى
الاثرم في سننه عن أبي سلمة ابن عبد الرحمن أنه قال: من السنة إذا كان يوم مطير أن
يجمع بين المغرب والعشاء. وروى البخاري أن النبي صلى الله عليه وسلم جمع بين
المغرب والعشاء في ليلة مطيرة.
“Al Atsram meriwayatkan dalam Sunan-nya,
dari Abu Salamah bin Abdurrahman, bahwa dia berkata: “Termasuk sunah jika turun
hujan menjamak antara Maghrib dan Isya’.” Bukhari telah meriwayatkan bahwa Nabi
Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam menjamak antara maghrib dan isya’ pada
malam hujan.” [3]
Jamak ketika Sakit
Berkata Syaikh Sayyid Sabiq Rahimahullah:
الجمع بسبب المرض أو العذر: ذهب الامام أحمد والقاضي حسين والخطابي
والمتولي من الشافعية إلى جواز الجمع تقديما وتأخيرا بعذر المرض لان المشقة فيه
أشد من المطر. قال النووي: وهو قوي في الدليل.
Menjamak Shalat lantaran sakit atau udzur,
menurut Imam Ahmad, Al Qadhi Husein, Al Khathabi, dan Mutawalli dari golongan
Syafi’iyyah, adalah boleh baik secara taqdim atau ta’khir, sebab kesulitan
lantaran sakit adalah lebih berat dibanding hujan. Berkata Imam An Nawawi: “Dan
Alasan hal itu kuat.” [4]
Jamak karena adanya keperluan (kesibukan)
Berkata Imam An Nawawi Rahimahullah:
وَذَهَبَ
جَمَاعَةٌ مِنْ الْأَئِمَّة إِلَى جَوَاز الْجَمْع فِي الْحَضَر لِلْحَاجَةِ
لِمَنْ لَا يَتَّخِذهُ عَادَة ، وَهُوَ قَوْل اِبْن سِيرِينَ وَأَشْهَب مِنْ
أَصْحَاب مَالِك ، وَحَكَاهُ الْخَطَّابِيُّ عَنْ الْقَفَّال وَالشَّاشِيّ
الْكَبِير مِنْ أَصْحَاب الشَّافِعِيّ عَنْ أَبِي إِسْحَاق الْمَرْوَزِيِّ عَنْ
جَمَاعَة مِنْ أَصْحَاب الْحَدِيث ، وَاخْتَارَهُ اِبْن الْمُنْذِر وَيُؤَيِّدهُ
ظَاهِر قَوْل اِبْن عَبَّاس : أَرَادَ أَلَّا يُحْرِج أُمَّته ، فَلَمْ يُعَلِّلهُ
بِمَرَضٍ وَلَا غَيْره وَاللَّهُ أَعْلَم .
“Sekelompok para imam, membolehkan jamak ketika
tidak bepergian apabila ia memiliki keperluan, namun hal itu tidak dijadikan
sebagai kebiasaan. Demikianlah pendapat dari Ibnu Sirin, Asyhab dari golongan
Malikiyah. Al Khathabi menceritakan dari Al Qaffal dan Asy Syasyil kabir dari
madzhab Syafi’i, dari Abu Ishaq al Marwazi dan dari jamaah ahli hadits. Inilah
pendapat yang dipilih oleh Ibnul Mundzir, yang didukung oleh zhahir ucapan Ibnu
Abbas, bahwa yang dikehendaki dari jamak adalah ‘agar umatnya keluar dari kesulitan.’
Karena itu, tidak jelaskan alasan jamak, apakah karena sakit atau yang lainnya.
Wallahu A’lam.” [5]
Hal ini berdasarkan riwayat berikut, dan inilah hadits yang yang dijadikan hujjah oleh
Imam An Nawawi di atas.
عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ
جَمَعَ
رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بَيْنَ الظُّهْرِ وَالْعَصْرِ
وَالْمَغْرِبِ وَالْعِشَاءِ بِالْمَدِينَةِ فِي غَيْرِ خَوْفٍ وَلَا مَطَرٍ
Dari
Ibnu Abbas, dia berkata: “Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam
pernah menjamak antara zhuhur dan ashar, maghrib dan isya di Madinah, pada hari
saat tidak ketakutan dan tidak hujan.” [6]
Syaikh
Sayyid Sabiq Rahimahullah menambahkan:
قال
ابن تيمية: وأوسع المذاهب في الجمع مذهب أحمد فإنه جوز الجمع إذا كان شغل كما روى
النسائي ذلك مرفوعا إلى النبي صلى الله عليه وسلم إلى أن قال: يجوز الجمع أيضا
للطباخ والخباز ونحوهما ممن يخشى فساد ماله.
“Berkata Ibnu Taimiyah: “Madzhab yang paling
luas dalam masalah jamak adalah madzhab Imam Ahmad, dia membolehkan jamak
karena kesibukkan sebagaimana yang diriwayatkan oleh Imam An Nasa’i[7]
secara marfu’ (sampai) kepada Rasulullah
Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, sampai-sampai dibolehkan jamak juga bagi
juru masak dan pembuat roti dan semisalnya, dan juga orang yang ketakutan
hartanya menjadi rusak.” [8]
Bahkan dibolehkan pula menjamak, karena sedang
menuntut ilmu atau mengajarkan ilmu. Ini berdasarkan riwayat Imam Muslim
berikut:
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ شَقِيقٍ قَالَ خَطَبَنَا ابْنُ عَبَّاسٍ
يَوْمًا بَعْدَ الْعَصْرِ حَتَّى غَرَبَتْ الشَّمْسُ وَبَدَتْ النُّجُومُ وَجَعَلَ
النَّاسُ يَقُولُونَ الصَّلَاةَ الصَّلَاةَ قَالَ فَجَاءَهُ رَجُلٌ مِنْ بَنِي
تَمِيمٍ لَا يَفْتُرُ وَلَا يَنْثَنِي الصَّلَاةَ الصَّلَاةَ
فَقَالَ ابْنُ عَبَّاسٍ أَتُعَلِّمُنِي بِالسُّنَّةِ لَا أُمَّ لَكَ
ثُمَّ قَالَ رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ جَمَعَ
بَيْنَ الظُّهْرِ وَالْعَصْرِ وَالْمَغْرِبِ وَالْعِشَاءِ قَالَ عَبْدُ اللَّهِ
بْنُ شَقِيقٍ فَحَاكَ فِي صَدْرِي مِنْ ذَلِكَ شَيْءٌ فَأَتَيْتُ أَبَا هُرَيْرَةَ
فَسَأَلْتُهُ فَصَدَّقَ مَقَالَتَهُ
Dari Abdullah bin Syaqiq, dia berkata: Ibnu
Abbas berkhutbah kepada kami, pada hari setelah ‘ashar sampai matahari
terbenam, hingga nampak bintang-bintang, sehingga manusia berteriak: “shalat ..
shalat ..!” Lalu datang laki-laki dari Bani Tamim yang tidak hentinya
berteriak: shalat.. shalat!. Maka Ibnu Abbas berkata: “Apa-apaan kamu, apakah
kamu hendak mengajari saya sunah?”, lalu dia berkata: “Saya telah melihat
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa sallam menjamak antara zhuhur dan
ashar, serta maghrib dan isya.” Berkata Abdullah bin Syaqiq: “Masih terngiang
dalam dada saya hal itu, maka aku datang kepada Abu Hurairah, aku tanyakan dia
tentang hal itu, dia membenarkan keterangan Ibnu ‘Abbas tersebut.” [9]
Demikian. Wallahu A’lam.
Qashar (meringkas shalat)
Shalat Qashar (meringkas empat rakaat menjadi dua) adalah
sedekah yang diberikan Allah Ta’ala kepada umat Islam. (HR. Jamaah). Mayoritas
ulama menyatakan bahwa qashar lebih utama dilakukan dibanding shalat dengan
sempurna (empat rakaat) jika syarat untuk mengqashar sudah terpenuhi. Karena
qashar merupakan rukhshah (keringanan) yang Allah Ta’ala berikan kepada
hambaNya, dan Dia senang jika keringanannya itu kita laksanakan. Sebagaimana
hadits yang berbunyi:
Dari Ibnu Umar Radhiallahu
‘Anhuma, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
“Sesungguhnya Allah suka jika rukhshah (keringanan)nya dilaksanakan,
sebagaimana ia benci jika maksiat dikerjakan.” [10]
Dari Aisyah Radhiallahu ‘Anha, “Sesungguhnya Rasulullah
jika dihadapkan dua perkara, dia akan memilih yang lebih ringan, selama tidak
berdosa.” [11]
Allah Ta’ala berfirman:
“Apabila kamu bepergian di permukaan bumi, maka tidak ada salahnya
bila kamu mengqshar shalat ...” (QS. An Nisa’: 101)
Menurut ayat di atas, jelas sekali bahwa qashar disyariatkan jika
dalam bepergian, atau sudah bertolak dari tempatnya berasal, alias sudah keluar
dari kotanya. Adapun jika masih ditempat kediamannya, belum boleh dilakukan
qashar. Berkata Imam Ibnul Mundzir, “Aku tidak menemukan sebuah keterangan
pun bahwa Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam mengqashar dalam bepergian,
kecuali setelah keluar dari Madinah.”
Ketika bepergian Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam
selalu qashar, tidak ada keterangan yang kuat yang menyebutkan bahwa beliau
shalat empat rakaat jika bepergian. Karena itu, tidak sedikit para sahabat Nabi
yang menyatakan bahwa qashar hukumnya wajib. Mereka yang
berpendapat wajib adalah Umar bin Khathab, Ali bin Abi Thalib, Abdullah bin
Mas’ud, Abdullah bin Umar, Abdullah bin Abbas, dan Jabir bin Abdullah. Kalangan
madzhab Hanafi menguatkan pendapat ini. Adapun kalangan Maliki mengatakan
bahwa qashar adalah sunnah mu’akkadah (sangat dianjurkan), bahkan
menurut mereka lebih utama dibanding shalat berjamaah. Makruh hukumnya shalat
secara sempurna. Sedangkan kalangan Hambali mengatakan qashar itu mubah
(boleh) tetapi lebih utama dibanding shalat sempurna. Demikian juga
pendapat kalangan Syafi’i. Ini semua jika sudah pada jarak dibolehkannya
qashar.
Imam Ibnul Mundzir dan lainnya menyebutkan bahwa ada dua puluh
pendapat tentang jarak dibolehkannya qashar. Perbedaan ini terjadi karena memang tak ada
satupun hadits shahih dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam yang
menyebutkan jarak. Berkata Syaikh Sayyid
Sabiq Rahimahullah, “Tidak ada sebuah hadits pun yang menyebutkan jarak
jauh atau dekatnya bepergian itu.” [12]
Namun, di antara hadits-hadits tersebut ada yang paling kuat -di
antara yang lemah- yang menyebutkan jarak, yakni:
Yahya bin Yazid bertanya kepada Anas bin Malik mengenai mengqashar
shalat. Ia menjawab,”Rasulullah mengerjakan shalat dua rakaat (qashar) jika
sudah berjalan sejauh tiga mil atau satu farsakh.” [13]
Satu farsakh adalah 5.541 Meter,
satu mil adalah 1.748 meter. Bahkan Imam Ibnu Abi Syaibah meriwayatkan dengan sanad yang shahih, dari
Ibnu Umar yang menyebutkan bahwa jarak minimal mengqashar shalat adalah satu
mil! Jika kurang dari itu maka tidak boleh qashar. Inilah pendapat yang
dikuatkan oleh Imam Ibnu Hazm.
Namun, jumhur (mayoritas) ulama
mengatakan bahwa jarak dibolehkannya qashar adalah empat burd
yakni 16 farsakh (88,656 Km). Inilah pandangan Imam Malik, Imam Asy Syafi’i dan
Imam Ahmad bin Hambal, dan pengikut ketiga imam ini. Alasannya adalah perbuatan
sahabat, yakni Ibnu Umar dan Ibnu Abbas
mengqashar shalat dan berbuka puasa jika jarak tempuh sudah empat burd (16
farsakh = 88,656 Km).
Nah, bagaimanakah yang benar melihat berbagai riwayat yang saling bertentangan ini? Imam Abul Qasim
Al Kharqi memberikan jawaban di dalam kitab Al Mughni, “Aku tidak
menemukan alasan (yang bisa diterima) yang dikemukan oleh para imam itu. Sebab, keterangan dari para sahabat
Nabi juga saling bertentangan sehingga tidak dapat dijadikan dalil. Telah
diriwayatkan dari Ibnu Umar dan Ibnu Abbas bahwa mereka berbeda dengan dalil
yang digunakan oleh kawan-kawan kami (para ulama). Kemudian, seandainya belum ditemukan dalil
yang kuat, maka ucapan mereka (para sahabat) tidak bisa dijadikan dalil jika
bertentangan dengan sabda dan perilaku Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa
Sallam. Dengan demikian ukuran jarak yang mereka tetapkan tidaklah bisa
diterima, disebabkan dua hal berikut:
Pertama, bertentangan dengan sunah Nabi Shallallahu
‘Alaihi wa Sallam sebagaimana yang telah dijelaskan. Kedua,
teks ayat firman Allah Ta’ala yang membolehkan qashar shalat bagi orang yang
dalam perjalanan: “Apabila kamu bepergian di permukaan bumi, maka tidak ada
salahnya bila kamu mengqshar shalat ...” (QS. An Nisa’: 101)
Syarat karena adanya rasa takut
dengan orang kafir ketika bepergian, sudah dihapuskan dengan keterangan hadits
Ya’la bin Umayyah. Dengan demikian, teks ayat ini
bermakna mencakupi seluruh macam jenis
bepergian.” [14]
Kesimpulannya, qashar dapat dilakukan jika,1. sudah
keluar dari daerahnya, 2. lalu dengan jarak yang sudah layak, patut, dan pantas
disebut sebagai perjalanan (safar). Mengingat dalil-dalil yang ada satu sama
lain saling bertentangan. Inilah pandangan para Imam Muhaqiqin (peneliti)
seperti Imam Ibnu Taimiyah, Imam Ibnul Qayyim, Imam Asy Syaukani, Asy Syaikh Sayyid Sabiq, juga
Ustadz Ahmad Hasan dan lainnya. 3. Perjalanannya bukan perjalanan maksiat.
Tenggang Waktu Dibolehkannya Qashar
Dalam hal ini
para ulama juga berbeda pendapat. Namun, kita akan lihat dalil yang kuat yang
dilakukan Rasulullah dan para sahabat, dan itulah pandangan yang seharusnya
kita pilih.
Dalam Musnadnya Imam Ahmad meriwayatkan dari
Jabir bin Abdullah Radhiallahu ‘Anhu, katanya: Nabi Shallallahu
‘Alaihi wa Sallami bermukim di Tabuk selama dua puluh hari
dan beliau senantiasa mengqashar shalatnya.[15]
Diriwayatkan
dari Ibnu Abbas, “Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bermukim dalam salah
satu perjalanan selama sembilan belas hari dan selalu mengerjakan shalat dua
rakaat.” [16]
Hafsh bin
Ubaidillah mengatakan bahwa Anas bin Malik bermukim di Syam selama dua
tahun dan terus mengerjakan qashar sebagaimana shalatnya musafir.
Menurut Anas
bin Malik, para sahabat Nabi bermukim di daerah Ramhurmuz selama tujuh
bulan dan tetap mengqashar shalat.
Berkata Al
Hasan, “Aku pernah bermukim bersama Adurrahman bin Samurah di kota Kabul selama
dua tahun, dan dia terus mengqashar shalatnya.”
Ibrahim juga
pernah mengatakan bahwa para sahabat pernah bermukim di Ray selama satu
tahun atau lebih dan di Sijistan selama dua tahun, tetap
mengqashar shalat.
Ibnu Umar pernah tinggal di Azarbaijan selama enam
bulan dan tetap mengqahar sebab terhalang oleh salju.
Adapun pendapat
para Imam, seperti Imam Said bin al Musayyib, Imam Malik, Imam Asy Syafi’i,
Imam Ahmad, yang membatasi paling lama adalah empat hari, tidak memiliki dasar
yang kuat. Begitu pula pendapat Imam Abu Hanifah yang menyebutkan lima
belas hari saja, dan ikuti oleh Imam
Laits bin Saad.
Berkata Imam
Ibnul Qayyim al Jauziyah tentang bermukimnya Nabi selama dua puluh hari di
Tabuk, bahwa hal tersebut kebetulan saja, artinya jika masa perang Tabuk lebih
panjang dari itu, ia akan tetap mengqasharnya. Katanya, “Bermukim (singgah)
dalam bepergian tidak dapat dianggap sudah keluar dari hukum bepergian, baik
singgahnya lama atau sebentar, dengan syarat ia tidak bermaksud menetap di sana
sebagai penduduk.”
Berkata Syaikh
Sayyid Sabiq, “Seorang musafir itu boleh terus mengqashar shalatnya
selama ia masih dalam bepergian. Jika ia bermukim (singgah) karena ada keperluan
yang harus diselesaikannya, ia tetap boleh mengqashar sebab masih terhitung
dalam bepergian, walau bermukimnya selama bertahun-tahun lamanya.”
Imam Ibnul
Mundzir berkata dalam penelitiannya bahwa para ulama ijma’ (sepakat)
bahwa seorang musafir diperbolehkan tetap qashar selama ia tidak
bermaksud akan terus menetap di suatu tempat, walau singgahnya itu selama
bertahun-tahun. [17]
Inilah
pandangan yang sangat kuat berdasarkan dalil yang kuat pula, baik perilaku
Rasulullah dan para sahabat, beserta
pemikiran yang cerdas dari para ulama peneliti seperti Imam Ibnu Taimiyah, Imam
Ibnul Qayyim, Imam Ibnul Mundzir, Syaikh Sayyid Sabiq,dan lain-lain.
Sekian. Wallahu A’lam
[3] Ibid, Hal. 290
[7] Dia adalah Abu Abdirrahman Ahmad bin Syu’aib bin Bahr.
Lahir di kota Nasa di daerah Khurasan tahun 215 H, namun dia lebih memilih
Mesir untuk tempatnya mengajar. Dia
seorang muhaddits (ahli hadits) cerdas, wara’, dan Al Hafizh (bahkan sebagian orang ada
yang menilainya lebih hafizh dibanding Imam Muslim). Beliau dikenal sangat
ketat dalam mengkritik para perawi hadits, sehingga jika ada seserang yang
dinilainya dhaif, maka ulama lain tidak terima begitu saja. Karyanya yang
terkenal adalah As Sunan Al Kubra (dikenal dengan Sunan An Nasa’i), dan Al
Mujtaba’ merupakan seleksi hadits-hadits shahih dari kitab As Sunan Al Kubra).
Beliau berguru kepada banyak ulama, di antaranya Qutaibah bin Said, Ishaq bin
Rahawaih, Hisyam bin Ammar, Muhammad bin Nashr Al Marwazi, dan lainnya.
Muruid-muridnya yang terkenal adalah Abu Ja’far Ath Thahawi, Abu Awwanah, Abu
Ja’far Al ‘Uqaili, Abu Ali An Naisaburi, dan lainnya. Wafat di Palestina (di
Ramallah) 13 Shafar 302H (ada juga yang menyebut wafat di Mekkah Sya’ban 303H,
namun yang benar adalah yang pertama)
[8]
Syaikh Sayyid Sabiq, Fiqhus Sunnah, Juz. 1,
Hal. 291. Dar Al Kitab Al ‘Arabi
[10] HR. Ahmad No.
5866, 5873. Al Baihaqi dalam As Sunan Al Kubra No. 5201, Ibnu Hibban No.
545 – Mawarid Azh Zham’an. Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan: shahih.
(Tahqiq Musnad Ahmad No. 5866), ada pun yang No.5873 kayanya: hasan.
Imam Al Haitsami mengatakan:
“diriwayatkan oleh Ahmad, para perawinya adalah perawi shahih, dan juga oleh Al
Bazzar dan Ath Thabarani dalam Al Awsath, sanadnya hasan. (Majma’ Az
Zawaid, 3/162)
[11] HR. Bukhari dan Muslim, Al Lu’lu wal Marjan. Kitab
al Fadhail, Bab Muba’adatuhu Shallallahu ‘alaihi wa
Sallam lil Atsam
…,no. 1502. Darul Fikri. Beirut- Libanon
[12]
Syaikh Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah, Jilid I, hal. 239. Darul Fikri,
Beirut - Libanon
[13]
HR. Muslim No. 691. Ahmad No. 12335.
Abu Daud No. 1201, Al
Baihaqi dalam As Sunan Al Kubra No.
5231. Abu Ya’la No. 4198. Shahih Ibnu Hibban, Juz. 11, Hal.
470, no. 2800, Abu ‘Uwanah dalam Musnadnya
No. 2368. Ibnu Abi Syaibah dalam Al Mushannaf No. 8207
[15]
HR. Ahmad No. 14172.
Abu Daud No. 1235. Al Baihaqi dalam As Sunan
Al
Kubra No. 5260, Abdu bin Humaid dalam Musnadnya
No. 1139, Abdurrazzaq dalam Al Mushannaf No. 4335. Ibnu Hibban No. 546,
Mawarid Azh Zham’an. Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan: shahih sesuai syarat
Bukhari Muslim. (Tahqiq Musnad Ahmad No. 14172)
[17]
Syaikh Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah, Jild I, hal. 243. Dar Al Kitab Al
‘Arabi
No comments:
Post a Comment